Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LAGI MIKIRIN SIAPA KOK BELUM TIDUR? PART 12B

HELLAWWWWWWWWWWWWW~~

Kalian rajin olahraga nggak sih? Biasanya berapa kali seminggu? Bangse demen naik sepeda statis, soalnya bisa nyambi nonton pake hape. Tapi belakangan ini semacam malas ngelakuinnya. Tolong jangan ditiru. 

Seperti biasa, Bangse cuman mau ngingetin supaya drop vote dan komen. Dukungan dari kalian adalah motivasi berharga buat Bangse. 

Cium sayang dari siniiiiiiiiiii~

--



Quote yang pernah dia save di Pinterest itu ternyata beneran terbukti: semakin kamu berusaha melupakan sesuatu, otakmu sepertinya semakin gigih untuk mengingatkanmu.

Saat perlahan membuka mata, hal pertama yang terlintas di benaknya adalah pertengkarannya dengan Gadis di kafe tadi malam. Cewek itu, begitu juga kedua temannya yang lain, menepati janji untuk nggak mengungkit-ungkit lagi tentang Oza, tapi atmosfer di antara mereka juga ikutan berubah sejak itu. Rasanya seperti semeja dengan orang-orang yang diam-diam membencimu. Ditambah lagi, malamnya, dia pergi tidur dengan perasaan nggak tenang, dan sekarang setelah bangun, perasaan itu semakin kuat. Jantungnya berdegup kencang saat memutar ulang percakapan dengan Gadis di kepalanya, membuatnya bertanya-tanya apa dia telah melakukan sesuatu yang salah.

Saras duduk di pinggir tempat tidur, menggosok matamya, dan mencoba menepikan perasaan gelisah itu jauh-jauh dari kesadarannya. Kamarnya gelap dan sunyi, dan dia sendirian dengan pikirannya. Dia juga kesulitan untuk nggak bertanya-tanya apakah Gadis masih marah padanya, atau apakah hubungan mereka jadi berubah selamanya.

Membayangkan akan kehilangan salah satu teman baiknya membuat perutnya mendadak mual. Mereka berempat sudah seperti satu set lengkap selama bertahun-tahun, jadi sulit membayangkan hidupnya tanpa humor sarkas cewek itu. Tapi sikapnya tadi malam benar-benar keras, menciptakan atmosfer tegang di meja mereka, dan sulit untuk berpura-pura semuanya akan baik-baik saja setelah itu.

It won't, suara hatinya malah menambah keruh isi otaknya. More than likely she gonna puts you on the back burner.

Saras bangkit dari tempat tidur dan menyeret langkahnya menuju dapur, berharap secangkir kopi bisa membantunya menenangkan diri. Sambil menyesap kopinya, dia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan mengecek apa saja yang sedang trending di Twitter, tapi nggak butuh waktu lama untuk kembali teringat pertengkaran mereka itu.

Sekarang dia menimbang-nimbang, apakah sebaiknya dia harus menghubungi Gadis. No, tentu aja nggak mengumumkannya di group chat. Dia kepengen bicara empat mata, bikin janji ketemuan lagi kalau perlu.

Tapi... gimana kalo lo justru semakin memperburuk keadaan?

Saras mendesah. Jadi baiknya gimana dong?

Saran gue, ada baiknya lo ngasih Gadis space dan biarin semuanya dingin dulu.

Sounds like a very good idea—tapi Saras nggak yakin akan sanggup melakukannya. Membayangkan nggak mengobrol dengan Gadis selama berhari-hari, atau bahkan berminggu-minggu, sepertinya jauh lebih menyiksa daripada workout di vertical climber.

Saat duduk di sana, sambil melamun, Saras pun menyadari kalau Gadis lebih dari sekadar teman. Dia adalah seseorang yang dia percayai, seseorang yang memahaminya lebih dari siapa pun di dunia ini. Kehilangan Gadis berarti kehilangan sebagian dari dirinya.

Bisa dibilang Saras akan semakin larut dalam kekhawatirannya sendiri yang untungnya diselamatkan oleh notifikasi handphone-nya. Oza, pikirnya senang.

Oza Prime : Aku nge-gym duluan ya, Sar.

Saras K : Hah? Jam segini? Niat amat.

Oza Prime : I feel like I have to. Hari ini tema workout-nya: nebus dosa. Jadi ceritanya, aku diajak temen ke Korean barbecue yang baru buka. Antara pengen mastiin duitku sebanding dengan yang kumakan selama di sana, dan menu dagingnya juga enak-enak, aku makan banyak banget tadi malam. Dan oh, plus dessert juga. Tempat itu punya patbingsoo paling enak yang yang pernah aku coba. Tebak aku pesen berapa?

Saras K : Entahlah. 2 maybe?

Oza Prime : Nope. 4, Sar. I know, I know. Harus bisa nahan nafsu dan segala macam. Tapi entah ya, kemaren itu rasanya seperti keputusan yang tepat. Beneran enak banget soalnya. Dan sepertinya pake resep original Korea; dibuat dari dasar es serut yang dipadukan dengan injolmi, kacang merah yang direbus dengan gula, terus disiram dengan saus karamel. Dan ternyata sama owner-nya masih dirasa kurang, dia juga nambahin es krim vanilla di atasnya. Jadi ngerti kan kenapa aku harus nge-gym sekarang? Seandainya nggak kerja, mungkin aku sekalian nginep kali di gym hari ini. Mastiin dosa-dosa tadi malam terbayar lunas.

Saras K : Omaigat, kebalikannya gue dong kalo begitu. Ckckckck!

Saras K : Tapi tenang, gue nggak bakalan judging. Sebaliknya, gimana kalo sekarang gue bantu bikinin lo workout routine? Sekalian mastiin lo ada di vertical climber minimal setengah jam-an.

Oza Prime : Jokes on you, Sar, aku biasa make alat itu minimal satu jam.

Saras K : Baeklahhhh. Kalo gitu, hari ini lo make vertical climber dua jam.

Saras K : No, TIGA JAM!

Oza Prime : Oh wow. Ternyata untuk ukuran workout buddy selama ini, aku baru nyadar kalo kamu ternyata punya kecenderungan balas dendam. Ckckckckck!

Saras K : Less talking, more workout. NOW! *fx: pecut*

Oza Prime : Anjir, sadis amat ya Oknum S kalo jadi trainer. Tambah hati-hati deh mulai dari sekarang.

Saras K : "ψ(`∇')ψ"ψ(`∇')ψ

*

Saat melangkah ke stepmill, mesin itu berdengung hidup di bawah kakinya. Pedal berputar dalam gerakan konstan, nggak jauh beda seperti kata Oza dulu, rasanya seperti naik tangga. Setelah menarik napas dalam dalam, Saras mulai mendaki, kakinya menghentak pegal saat dia mendaki lebih tinggi.

Layar stepmill berkedip hidup, melacak progress cewek itu dan menampilkan jumlah langkah yang sudah dia ambil. Semakin lama dia berada di sana, angka di layar pun semakin tinggi, mencerminkan kerja keras yang dia lakukan di mesin itu pagi ini.

Jujur, meskipun sudah berulang kali latihan dengan stepmill, dia tetap nggak punya alasan untuk menyukainya. Tapi satu hal yang pasti, mesin ini termasuk yang paling efektif membakar kalori. Berlatih setengah jam saja, otot-otot di tubuhnya mulai terbakar. Napasnya semakin tersengal, tapi dia belum ada keinginan untuk menyerah. Sebaliknya, cewek itu menggertakkan gigi dan mendorong dirinya lebih keras lagi. Kakinya bergerak dengan intensitas yang semakin besar saat memanjat semakin tinggi di stepmill.

Di suatu masa, dia memperlambat langkahnya, sementara tangannya meraih handphone untuk mengetikkan pesan WhatsApp untuk Oza.

Saras K : Jir, capek banget. Keknya gue nggak punya energi buat chatting dan olahraga dalam waktu yang bersamaan.

Oza Prime : Kalo gitu, kenapa nggak teleponan aja? Bawa earphone kan?

Meskipun menyadari dengan jelas keberadaan earphone yang menyumbat kedua telinga, ditambah lagi mulutnya juga melafalkan lirik "Dum Tek Tek"-nya Hadise yang sedang diputar di Spotify-nya.

https://youtu.be/isEzhladyzA

Saras lalu membalas sambil senyam-senyum sendiri.

Saras K : Are you sure? Emangnya lo lebih milih buat dengerin suara gue sambil workout ketimbang musik? Eh, by the way, gue jadi penasaran sama playlist lo. Pasti lagunya gahar-gahar ya, old school metal and rock, punk, atau semacamnya.

Oza Prime : Gue kirimin deh link-nya.

Drrrt, drrrt.

Link yang dikirim Oza bisa langsung dibuka di Spotify-nya. Matanya membulat ketika membaca judul playlist dan deskripsi singkat di bawahnya.

Transformers Soundtrack (Complete)

Best songs from all the Transformers movies, 1, 2, 3, 4, 5, 6 + Bumblebee.

Handphone-nya berbunyi nyaring selang dua menit kemudian. Saras langsung mengangkatnya pada dering kedua.

"Halo?"

"Halo juga, Sar," balas suara serak dan berat di seberang sana.

"Bener-bener nggak nyangka ada yang bikin beginian di Spotify. Niat banget!"

Cowok itu ikutan tertawa. "Dan ada soundtrack-nya Bumblebee juga—jadi kamu nggak perlu merasa dikucilkan."

"Hahahahahahahaha!"

"Betewe, kamu sendiri biasanya dengerin apa kalo lagi workout?"

"Biasanya sih lagu-lagu pop dan yang iramanya cerita gitu, biar nggak berasa capeknya." Saras memutuskan untuk mengurangi kecepatan stepmill-nya. Nggak enak banget ngobrol di telepon dengan suara seperti orang lagi bengek, batinnya. "Tapi belakangan ini lagi suka dengerin Podcast."

"Jangan bilang kamu ternyata salah satu dari true crime podcast girlies yang hornian banget nonton serialnya Jeffrey Dahmer?"

Saras menyeringai. "Thanks but no thanks," katanya. "Horror podcast, yes please! Apalagi kalo podcaster-nya orang Indonesia, beuhhhh... beberapa episodenya sukses bikin gue sampe nggak berani gelap-gelapan ke kamar mandi. But true crime? Ugh. Entah ya. Gue ngerasa aneh aja sejak tahu kalo topiknya diambil dari kisah nyata. Dan meskipun nggak bisa juga digeneralisasi, gue ngerasa true crime podcast punya kecenderungan mengglorifikasi elemen gory dalam kasus yang sedang dibahasnya. Tapi alih-alih menciptakan suasana mencekam, yang ada gue malah mempertanyakan integritas podcaster-podcaster itu. Where do you stand anyway? Berbagi cerita atau bikin podcast jadi semacam ear porn buat para pendengar lo? Setelah nyoba beberapa kali, akhirnya gue putuskan untuk nggak dengerin lagi."

"Jadi balik ke horor nih ceritanya?"

"Nggak juga. Gue dengerin... ah, mending nggak usah dibahas deh. Lo nggak bakal tertarik juga."

"Try me," kata cowok itu dengan antusiasme yang terdengar tulus.

Saras kembali ke laman chat mereka, lalu mengirimkan link podcast yang tadi dia maksud.

"Jewelry Journey Podcast?" Oza benar-benar terkejut. "Oh wow. Niche banget ya seleramu, Sar."

Wajah Saras ditekuk dua. "Makanya dari awal gue bilang: lo nggak bakalan tertarik."

"No, no, no, gue nggak bermaksud jelek. Buktinya, ini podcast-nya baru aja aku follow. Nanti aku coba dengerin deh di rumah. Meskipun bahasannya mungkin seru, kayaknya nggak mungkin banget aku bakalan konsentrasi dengerin diskusi mereka sambil ngangkat barbel gini."

"Hahahahahaha, iya sih."

Oh damn, kenapa sekarang malah ngebayangin Oza bersimbah keringat di gym-nya? Saras geleng-geleng kepala sendiri melihat kelakuannya. Gurl, you're helpless!

"Jadi barbelan nih ceritanya?" katanya lagi.

"He-eh. Kamu sendiri gimana?"

"Masih di stepmill. Oof, kok gue udah capek ya. Ini apa ada hubungannya sama faktor umur atau workout yang lo bikin emang lebih berat daripada biasanya?"

Tapi cowok itu malah balik bertanya, "Menurut kamu, cenderungnya yang mana?"

"Ingin hati sih nyalahin lo, Oknum F. Tapi kayaknya emang faktor umur deh. Beberapa hari yang lalu aja, cuman gara-gara garuk punggung yang gatal, gue denger suara 'krak' gitu di bahu gue."

"Astagaaa! Karena apa ya itu?"

"Karena tualah—apa lagi?"

"Hahahahahahahahahahahahahahahaha!"

Setelah mandi dan mengganti pakaian olahraga dengan two piece berbahan tweed yang memetakan lekuk tubuh barunya dengan sempurna, Saras meraih teleponnya lagi dan menelepon Oza dari WhatsApp. Cowok itu juga baru selesai berpakaian dan sama sepertinya, dia juga on the way ke kantor.

Saras pelan-pelan membawa mobilnya keluar dari parkiran gym, lalu mengarah langsung ke jalan besar. Setelah meletakkan handphone-nya di dashboard, dia lanjut mendengarkan cerita cowok itu tentang orangtuanya.

"Jadi lo nggak inget apa pun tentang orangtua lo?"

"Selain ingatan samar-samar yang muncul saat liat album foto, aku nggak tahu banyak tentang mereka." Meskipun disembunyikan dengan rapi, Saras masih bisa mendeteksi kesedihan dalam suara cowok itu. Perasaan yang masuk akal mengingat Oza kehilangan kedua orangtuanya sekaligus waktu masih kecil. "Tapi aku sadar betul, Om dan Tante membesarkanku karena keharusan. Mereka nggak akan pernah bisa menggantikan Mama dan Papa, nggak peduli seasing apa pun mereka berdua di kepalaku." Dia menarik napas dalam, lalu membuat pengakuan yang selama ini nggak pernah dia bagikan dengan siapa pun. Not even his girlfriend. "That's why December is my worst month."

"Hah? Kenapa gitu?"

"Karena itu bulan yang terang-terangan ngingetin kalo aku nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Hari Ibu, Natal, terus malam pergantian tahun." Cowok itu tiba-tiba terdiam, seolah tengah menunggu reaksi Saras. Hening. Karena itu, Oza pun meneruskan, "Makanya meskipun selalu mengambil cuti akhir tahun—sekalian menghabiskan jatah dari kantor—biasanya aku memilih untuk mengasingkan diri ke mana gitu sampai Tahun Baru."

"Masa sih Om dan Tantemu nggak nyariin sama sekali?" tanya Saras lirih. "Bahkan buat sekadar basa-basi?"

"Mereka mengirim pesan selamat Natal lewat WhatsApp. Udah. Aku juga nggak menyalahkan mereka. Gimana pun anak-anak mereka tetap adalah keluarga mereka yang sebenarnya—bukan aku."

Saras menelan ludah. That's just the saddest thing she ever heard from him. "Sori, Za. Gue beneran baru tahu situasi lo ternyata kayak gitu."

"Nggak usah sedih," kata cowok itu, seperti bisa membaca pikirannya. "Sekarang aku beneran baik-baik saja. Karena toh semuanya sudah terjadi. Kehendak Tuhan. Nggak ada yang bisa aku lakukan selain melanjutkan hidup."

"Okay, back to your story. Tempat pengasingan. Biasanya kamu liburan ke mana?"

"Paling banter Yogya—syukurnya selama ini nggak pernah kesulitan mencari penginapan murah di sana. Pengeluaran buat makanan pun lumayan bisa diatur. Malah pernah—duh nggak inget kapan persisnya—aku end up makan lontong sayur dua kali sehari gara-gara itu menu termurah dekat penginapan. Niat banget iritnya, hahahahahahahaha!" cowok itu mengakui sambil nyengir kuda.

"Kenapa nggak liburannya sama pacar aja?"

"Oh itu." Oza berpikir sejenak. "Hmm, entah ya, aku merasa dia nggak akan seratus persen memahami yang aku rasakan. Selain itu, dia sendiri pasti punya acara sendiri bersama keluarganya—aku nggak berani ganggu."

"...."

"...."

"Sar, masih di sana kan? Aku nggak denger suara kamu sama sekali."

"Sori, aku tadi ke-distract sama hujan mendadak di sini. Dan sumpah ya, nggak sampe lima menit, derasnya udah kayak gini."

"Masa? Di sini langitnya cerah banget, nggak ada awan mendung sama sekali."

"Cih. Jealous." Saras pasang muka bete. "Gue nggak rela pulang make sepatu yang gue pake sekarang—bahan beledunya pasti bakal nggak karu-karuan kena becek. Jadi mending sandalan aja." Akhirnya dia berhasil dapat tempat parkir kosong yang lumayan dekat lagi dari pintu masuk kantor. Jadi mungkin sepatunya nggak harus bernasib tragis pagi ini.

"Oh ya, Za, boleh nggak lo janjiin satu hal buat gue?"

"Tergantung lo minta apa dulu."

"Kalo Desember ini lo berencana minggat lagi, kabarin gue."

"Kenapa, kamu mau ikut aku ke Yogyakarta?"

"Iya. Dan tenang aja, gue nggak berencana jadi parasit. Kita akan patungan buat semuanya. Yang penting kita seneng-seneng. Right? Right?"

"Aku tahu kamu niatnya baik, Sar. Tapi kalo kamu sampe ninggalin acara keluarga demi nemenin aku di Yogyakarta, lebih baik nggak."

"Za."

Cowok itu jadi terdiam cukup lama. Sejurus kemudian dia berkata, "Oke. Desember ini kita liburan bareng."

"YESSS!"

Saras merasa dirinya sedikit main curang setelahnya. Dia sengaja menyetir percakapan mereka ke topik lain demi memastikan cowok itu nggak berubah pikiran. Dia juga nggak ingin merasa dirinya seseorang yang patut dikasihani. Karena ide tadi tercetus begitu saja di pikirannya, simply karena Saras nggak terima Oza menjalani bulan Desembernya sesedih itu. Teman yang baik punya kewajiban untuk memastikan cowok itu nggak merasa kesepian lagi. Meskipun... itu juga berarti dia akan berjudi dengan perasaannya ketika akhirnya benar-benar bertemu.

Karena Saras juga nggak yakin dia bisa terus berpura-pura kalau dirinya nggak punya perasaan apa-apa pada cowok yang mewarnai hidupnya selama beberapa bulan terakhir ini.


Kue beras yang dibalur dengan bubuk kacang kedelai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro