Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

When I See Your Smile

Kata orang merasakan cinta bisa hilang waktu. Detik berjalan begitu cepat tanpa kau sadari sudah berapa kali matamu berkedip sembari menatap layar hape, membuka jendela chat dan menanti balasan dari seseorang yang mengusik pikiranmu.

Seperti pagi ini. Hanya baris-baris obrolan semalam yang kupandangi. Jarum jam masih di angka setengah enam. Artinya aku tak benar-benar bisa memejamkan mata dan tidur. Pesan terakhir Ladea justru membuatku tetap terjaga. Bagaimana bisa terpejam dan memimpikannya?

"Pagi, La ... nyenyakkah tidurmu?" Cepat-cepat kukirim pesan itu ketika pesan sebelumnya berubah status menjadi read.

Semenit, dua menit hingga setengah jam berlalu tak ada balasan walau sudah terbaca olehnya.

Entah apa yang dilakukan wanita itu di hari libur ini. Tekadku sudah bulat. Hari ini aku harus menemuinya.

***

Kompleks Kemuning tampak asri dengan pepohonan yang rindang. Tak sulit mencari tempat tinggal Ladea. Yang sulit tentu saja, bisakah aku melewati gerbang rumahnya dan diizinkan masuk?

"Ladea ..."

Pesanku lagi-lagi hanya terbaca.

Pagar rumah berwarna peach itu tertutup rapat. Apakah ia tak ada di rumah?

"Ladea, aku ada di depan."

"Apa yang bapak lakukan di sana?"

"Bayu. Jangan bapak. Aku belum terlalu tua kok."

"Maaf, apa yang kau lakukan di depan rumahku?"

"Aku ingin menemuimu."

"Saya tidak lagi ingin bertemu siapa-siapa."

"Katakan pada putri kecilmu, aku punya sesuatu untuknya."

"Bisa-bisanya kau memakai putriku jadi alasan."

"Ladea, please. Izinkan aku masuk.

...

"Ladea ..."

Pesan tak terbaca.

Aku memutuskan membuka pagar sendiri. Kegaduhan yang kusebabkan membuat pintu rumah dibuka dari dalam.

Seorang wanita dengan rambut terurai menyambutku ... dengan ketus.

"Sudah kubilang, hari Minggu adalah family time. Kau memaksakan diri," ujar Ladea sambil berjalan menghampiri.

"Hai, Ladea."

Aku menurunkan sesuatu dari dalam mobil.

"Siapa, Bunda?"

"Hai, Shasya ..."

"Eh, Om tahu namaku? Om siapa?"

"Om temen bundamu. Oh ya, ini ada sesuatu untukmu."

Tangan kecil Shasya menyambut tanganku lalu mencium punggung jemariku.

"Om bawa kucing?"

"Loh, kok tahu?"

Si manis Shasya tersenyum, "Tahu, Oom. Allah bilang sama Shasya kemarin."

"Wah, Allah baik ya ... itu dari Allah. Dirawat ya ..."

Shasya membuka kotak dan kucing anggora putih menyembul dari dalamnya. Gadis kecil yang imutnya tak kalah menggemaskan itu menggendong dan membelai dengan sayang. Ladea masing melongo melihat keakrabanku dengan putrinya, ditambah kucing lucu yang tampak manja di pelukan Shasya.

"Ini ... apa-apaan, Pak Bayu?"

"Sstt ... ini bukan di kantor. Berapa kali harus kubilang, buang pak-nya. By the way, boleh duduk?"

Ladea menepuk jidatnya yang sedikit berkeringat. Lalu senyum malu-malu sambil mempersilakan duduk.

"Oom, boleh gak namanya Nis?"

"Boleh ... apapun. Itu buat Shasya kan ... Mau dinamai apa aja, oke kok."

"Shasya, main di dalam dulu, gih."

"Ya, Bunda. Oom, nanti beliin kalung buat Nis ya ... "

"Shasya ..."

"Iya, Bunda. Dadah, Oom."

Seketika suasana menjadi sepi. Ladea hanya memainkan kakinya.

"Kenapa?" Tiba-tiba Ladea membuka mulutnya.

Bibir tipisnya membuat jantungku bergetar.

"Bayu? Hei!"

"Eh, tak apa-apa. Kamu sungguh membuatku tak bisa berkata-kata."

"Lebay."

Sepintas senyum menjejak di bibirnya. Aduhai.

"Jadi, ke sini hanya untuk memberikan seekor kucing untuk anakku?"

"Ehm, tidak. Maksudku lebih dari itu. Seperti yang kubilang kemarin, ingin mengajakmu makan siang."

"Oh, tapi saya baru saja selesai makan." Ladea menjawab dan tersenyum. "Mungkin kapan-kapan, Bayu."

"Temani aku. Sepiring lagi tak akan membuatmu gendut, Ladea."

Wanita itu tertawa. Apa yang lucu?

"Kamu pikir saya takut gemuk? Saya malah ingin menambah berat badan ..."

"Nah, cocok berarti."

"Tapi saya tidak ingin makan, lagi. Masih kenyang."

"Ada yang ingin kusampaikan, Ladea. Dan rasanya lebih pas bila tidak di tempat ini."

"Ada apa?" Wajahnya berubah.

"Hahaha, gak usah tegang gitu, Ladea. Ini bukan sesuatu yang menakutkan, hanya saja cukup serius."

"Ya, ada apa? Di sini saja. Lagi pula saya tidak ingin keluar rumah di hari libur seperti ini. Tahu sendiri kan, betapa lelahnya hari-hari kita di meja kerja. Oh saya lupa, kamu lebih banyak menghabiskan waktu di luar kantor. Jadi tak terasa lelah seperti saya."

Ladea benar. Seharusnya aku mempertimbangkan ini sebelum mengajaknya keluar. Tapi tak ada salahnya mencoba.

"Kita pergi bersama Shasya. Itu mungkin lebih baik. Aku yakin dia takkan menolak bila diajak jalan-jalan bersamaku."

"Curang!"

Ladea menggeleng-geleng.

"Ayolah. Putrimu juga butuh piknik."

"Tidak, Bayu. Maaf. Bila ada yang ingin dibicarakan, di sini saja. Saya lelah. Dan ingin sekali rebahan. So, ada apa?"

Huff. Susah nian.

"Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Maukah?"

Ladea tersenyum lagi. Oh Tuhan, senyumnya ingin kulumat.

"Bukankah kamu sudah mengenal seorang Ladea? Bahkan sampai tahu alamat rumah ini. Juga ... itu tadi ... kucing untuk Shasya? Apa artinya bila tak kenal?"

"Aku menyukaimu."

"Apa?"

"Aku menyukaimu."

"Aku menyukaimu," kuulangi kata-kata itu saat Ladea bungkam.

"Saya tidak."

"Aku tak butuh jawaban suka atau tidak. Cukup, aku menyukaimu."

"Gila. Kalau tak butuh jawaban kenapa bicara? Maunya apa?"

"Hanya ingin kau tahu. Daripada kupendam dan tak bisa tidur karenanya."

Sontak Ladea tertawa.

"Mas, mas ... usiamu sudah bisa dibilang tak muda lagi. Tapi bisa lebay begitu. Mimpi apa semalam?"

Aku tertawa kecil. "Tidur saja tidak bagaimana mau bermimpi?!"

"Oooh. Kenapa tak tidur?"

"Garing deh. Aku serius. Aku tak bisa tidur memikirkan bagaimana mengungkapkan bahwa aku tampaknya memang sudah tergoda oleh pesonamu."

"Saya tak pernah menggodamu atau siapa pun."

"Kamu salah, Ladea." Senyummu saja sudah menggoda, bagaimana tidak dengan hatimu?

"Lalu?"

"Aku tak ingin kedahuluan yang lain. Jadi ... aku ingin mengenalmu, mengenal hatimu."

"Saya tidak ingin pacaran, kalau itu yang kamu inginkan."

"Tidak, aku juga tak ingin seperti ABG. Aku ingin lebih dari itu ..."

"Maaf. Jangan diteruskan. Saya rasa cukup sampai di sini. Saya harus menidurkan Shasya. Sudah waktunya tidur siang." Ladea bangkit dari sofa dan tentu saja gerakannya yang tiba-tiba membuatku canggung.

"Maksudmu?"

"Ya, pulanglah kalau sudah tidak ada yang dibicarakan lagi. Tak mungkin saya meninggalkanmu seorang diri di sini."

"Aku bisa menunggu. Tidurkanlah dulu anakmu. Kita lanjutkan setelahnya."

"Bayu ..."

"Tak apa, aku menunggu. Cukup berikan aku segelas air dingin dan sebuah buku."

"Keras kepala!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro