1. Easy Life
Wanita penuh pesona itu baru saja keluar dari ruangan. Sementara bisa ditebak, mataku bahkan tak berhenti berkedip hingga pintu ditutup dan dia menghilang di baliknya. Steve menahan tawa sedari tadi. Aku tahu ia ingin sekali mengata-ngataiku.
"Stop, Steve. Ini tidak lucu. Lu gak sedang menonton film komedi. Berhentilah cengegesan atau jangan pernah datang lagi ke kantorku!"
"C'mon, Bayu. Santai, Bro. Gue hanya tak menyangka lu segila itu menatapnya. Gue yakin tak satu pun perkataannya yang lu ingat selain wangi parfumnya dan belahan dadanya yang seksi. Berhati-hatilah."
Oh my, God. Steve pasti menangkap wajah bloonku saat melihat wanita istimewa tadi.
"Lu yang harus berhati-hati, Steve. Mata playboy lu itu yang harus dijaga. La terlalu sempurna. Mata lu bisa saja tertarik padanya."
"Berarti lu pun mengakui nih kalau telah jatuh cinta padanya?"
Steve membuatku bungkam. Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku sibuk membolak-balikkan surat perjanjian yang baru saja diberikan Ladea Prameswari.
"Ada yang lebih penting dari itu, Steve. Ini proyek besar. La hanya bonus untuk mata. Seratus satu klien kita wanita," ujarku sambil tertawa dan diikuti tawa garing Steve.
"Tapi, bila Ladea bisa mencuri hati lu, itu bukan hanya bonus. Tapi jackpot." Steve kembali menggoda.
"Ayolah, Bayu ... lu harus mulai memikirkan teman tidur."
"Hahahah. Menikah maksud lu?"
Steve mengangguk.
"Menikah tak sekadar ada teman tidur, Bro. Ak-"
"Ya ... sudah cukup," potong Steve. "Gue bosan mendengar ceramah lu tentang pernikahan. Dan gue tahu, ketakutan lu akan kegagalan biduk rumah tangga membuat lu jadi lebih parno. Wanita tak melulu harus berakhir dengan pernikahan kok ..."
"Bagi lu, tidak buat gue."
"Ah, lu mempersulit hidup lu sendiri." Steve mulai membuatku bosan dengan pembicaraan ini.
"Lu salah, Steve. Hidup gue cukup mudah sejak tidak lagi bersanding dengan wanita."
Meski sesungguhnya aku kembali menderita sejak mengenal Ladea.
"Ah, sudahlah, Bro. Gue yakin sebentar lagi hidup lu tak semudah beberapa waktu lalu. Tatap mata lu itu gak bisa membohong. Btw, gue rasa wanita itu pun tertarik dengan lu."
Mataku kembali ketumpukan berkas perjanjian. Ini lebih penting--sepenting membaui aroma parfum La yang tertinggal di ruangan ini.
***
Sebagai pengusaha muda, tentu saja sebagian besar waktu kuhabiskan di kantor. Setidaknya ini yang kujalani tujuh tahun terakhir. Apalagi sejak ... Oh iya, aku lupa memberitahumu. Aku pria 39 tahun yang sempat merasakan indahnya mahligai rumah tangga. Dulu ... sebuah pernikahan yang diawali karena rasa simpati--yang kemudian berujung sebuah penyesalan mendalam. Kau tahu rasanya dikhianati?
9 tahun yang lalu ...
"Ini minumnya, selamat menikmati," ujar gadis berambut panjang yang diikat ekor kuda sambil tersenyum dan meletakkan cangkir di hadapanku.
"Terima kasih."
"Ada lagi yang bisa saya sediakan?"
"Belum. Mungkin nanti." Aku mempersilakan ia kembali dengan isyarat tangan. Dan gadis itu pun berbalik.
D'Orange Cafe, tampak ramai seperti biasa. Suasana yang cozzy membuatku betah berlama-lama di sini. Satu-satunya alasanku mengunjungi tempat ini adalah gadis tadi. Ada yang menarik di wajahnya. Ia begitu lugu. Polos seperti bayi. Ia tak cantik, hanya saja lipstik tipis merah muda membuatnya terlihat manis sekali. Seragam oranye yang melekat di tubuhnya menambah kesan segar di mataku.
Santy namanya-begitu yang tertera di nametag. Hampir dua bulan ini diam-diam aku mencari tahu tentangnya. Besar di tengah keluarga broken home dan harus membantu ibunya menghidupi adik tiri yang masih berusia balita. Besar keinginanku untuk mengajaknya berkenalan lebih dekat. Dan hari inilah waktu yang tepat.
Jarum jam sudah hampir menuju pukul 10 malam. Aku sengaja menunggunya pulang.
"Malam ini bolehkah aku mengantarmu pulang?"
Gadis yang sudah berganti seragam itu tersentak kaget saat menyadari kuikuti.
"Eh, gak perlu, Mas. Saya bisa pulang sendiri. Lagian saya cukup berjalan kaki untuk sampai di rumah."
"Kamu tak mungkin pulang ke rumah. Bukankah pagi tadi ibumu melarang pulang bila tak membawa sejumlah uang?"
Santy tampak keheranan. Keningnya berkernyit dan matanya melihatku curiga. Ya, tentu saja aku tahu. Saat ia berangkat kerja, ibunya meminta uang dan hanya selembar yang keluar dari dompetnya.
"Bukan urusan Mas. Biar saya pulang sendiri."
"Abimayu, panggil saja Bayu," ujarku seraya menyodorkan tangan.
Santy tampak ragu-ragu menyambut perkenalan dariku.
"Aku tahu namamu Santy. Akan kuantarkan kamu pulang. Ibumu ... biar kubantu."
"Tapi ..."
"Kamu mau jalan kaki? Kutemani."
Santy bergeming. Angin malam semakin dingin. Aku menarik tangannya dan mulai berjalan.
"Terima kasih," bisiknya.
Ini kencan pertamaku dengannya.
...
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro