Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Bond

"You came."

"You called."

***

Aku praktis terbangun dengan suara terkesiap kaget dan napas ngos-ngosan. Seorang baru bangun dari mimpi panjang. Kutekan dadaku dan merasakan jantung yang berdebar.

"Are you awake, my love?"

Mendengar suara yang tak asing itu, aku langsung menoleh, mendapati Rafayel yang sedang berdiri santai dengan lengan menempel pada kosen pintu sambil menyeruput secangkir minuman.

"Morning," lanjutnya.

"You... what are you doing??"

Lelaki itu mengedik. "Minum?"

Dia masih saja menyebalkan.

"Maksudnya, apa yang kamu lakuin ke aku??"

"Wow.... Aku nggak ngapa-ngapain, kok. Belum."

Mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku sadar bahwa sedang berada di kamarnya. Kucoba untuk mengingat apa yang terjadi semalam. Hanya ada bayangan sekelebat di batok kepalaku. Lautan, lagu panggilan, ciuman hangat penuh gairah, Rafayel.

Aku memukul kepala berkali-kali setelah mengingat malam itu.

"Are you enjoying the view on your mind?" Rafayel bertanya seolah-olah membaca pikiranku. "Aku memang bisa membaca pikiranmu sekarang."

"Hah?? Apa maksudnya?" Aku menggeleng dan segera bangkit. Dan, baru kusadari pula bajuku sudah berganti, bukan lagi seragam hunter. Aku hanya memakai kemeja besar sebatas lutut. Ini kemejanya karena aroma pengharumnya sama.

"Rileks," katanya seraya menghampiriku. Tangannya masih menenteng cangkir. "Aku belum apa-apain kok. Hanya mengganti bajumu."

Membayangkan itu saja sudah membuat wajahku memerah malu. Aku ingin marah, tapi rasa malu itu lebih besar daripada kemarahanku. Aku mengentakkan kaki hendak ke luar, tapi suaranya spontan menghentikan langkahku.

"Mau ke mana, Sayang?"

Rasanya, kakiku sangat berat. Aku tak bisa melanjutkan langkah. Kuputar badan menghadapnya.

"Apa yang kamu lakuin?"

Rafayel mengedikkan dagu menunjuk ke tanganku. Aku mengangkat tangan diikuti dirinya. Ada seutas benang transparan dengan aura merah yang terikat di kelingkingku.

"Ini apa?" tanyaku bingung.

Lelaki itu menunjukkan kelingkingnya seraya tersenyum tak bersalah.

"Sekarang, kita sudah terikat."

"Terikat... apa maksudnya?" Aku menaikkan nada tinggi.

Dia mengusap dagu, memberikan ekspresi berpikir yang dibuat-buat.

"Terikat. Tahu, kan? Kayak pasangan sehidup semati. Bonding."

"Are you joking?? Aku nggak mau! Lepaskan ikatannya!"

Dia mendecak, lantas meletakkan cangkir di tangannya ke atas bufet di dekatnya.

"Seandainya saja aku bisa," katanya enteng. "Kamu yang datang sendiri kemarin malam saat aku sedang mencari pasangan di musim kawin."

Aku melongo sekian detik. Lalu, kuingat kejadian semalam, suara panggilan indah itu, dan dirinya dalam wujud lain. Mata biru berkilauan layaknya pantulan cahaya bulan di lautan, wajah indah yang mengisyaratkan bahaya, dada bidang dan otor perut yang kokoh...

Aku menggelengkan kepala sambil memukul berkali-kali. Ini bukan waktunya megagumi dirinya.

"Thanks," Rafayel menyahut, membaca pikiran cabulku. Dia tidak bercanda saat bilang bisa membaca pikiranku....

"Kamu... sengaja menjebakku, ya??" Telunjukku mengarah padanya. "Kamu yang memanggilku ke sini!"

Dia menyatukan alis, seperti tak terima tuduhanku.

"Aku kan sedang memanggil kaumku. Bukan salahku kalau justru kamu yang datang."

Aku hanya menganga. Bahkan, aku tidak tahu dia ini sejenis apa. Yang kutahu selama ini, dia hanya seorang pelukis ternama yang sedang membutuhkan bodyguard dan kebetulan aku yang dipilihnya berkat kelihaianku saat berburu Wanderer.

"Mau sarapan dulu? Aku bisa jelaskan sambil sarapan." Senyumnya berubah melunak dan lembut.

Aku tidak bisa mengelak. Aku seperti anak ayam yang mengekori induk. Apakah ini salah satu efek dari "bonding" itu? Membuatku menuruti segala kemauannya? Aku bahkan tidak bisa menolak, tidak bisa berpikiran buruk. Rasanya seperti habis dicuci otak.

*

Dia menyiapkan sarapan seorang diri. Sangat terampil, cekatan, dan hati-hati. Aku memandang salad di depanku, sedikit skeptis.

"C'mon, aku nggak mungkin meracuni kamu. Aku bisa mati," katanya. "Kita sekarang berbagi rasa. Kalau kamu mati, aku bisa mati karena patah hati."

"Hopeless romantic sekali," ejekku.

Dia tertawa.

"Maaf," lanjutnya. "Aku nggak tahu kamu... bisa mendengar panggilanku. Selama ini, setiap musim kawin, nggak ada yang menjawab panggilanku. Karena hanya aku yang tersisa."

Jantungku seperti ditusuk sembilu mendengar kalimat itu. Sakit sekali. Aku menyentuh dada saking sakitnya. Apakah ini adalah rasa sakitnya?

"Kamu itu... apa?" tanyaku yang sejak tadi penasaran.

"Lemurian. Manusia menyebutnya, merman? Duyung? Siren? Sejenis itulah."

Oh, ternyata ikan.

Aku mengembuskan napas panjang.

"Aku harus pulang."

"No." Dia menggenggam garpu dan sendok cukup kuat. "Kita sudah terikat, kamu nggak bisa berjauhan denganku."

"Aku punya kehidupan! Cari tahu cara melepaskan bonding ini! Kamu salah orang. Aku manusia, nggak sama sepertimu."

Wajahnya berubah memelas dan sedih. Jantungku sakit lagi. Apakah reaksi seperti ini berulang setiap kali dia sedih, kecewa, atau terluka? Aku bisa gila.

"Aku nggak bisa melepaskan bonding itu," dia menegaskan. "Kita sudah diikat oleh Laut Terdalam. Kamu sekarang adalah pasanganku."

Aku yakin sekali dia sengaja memanggilku saat musim kawin untuk ini. Licik sekali! Aku menolak melanjutkan makanku.

"Elara." Nadanya melembut saat memanggil namaku. "Aku nggak bermaksud menjebakmu. Aku nggak tahu kamu bisa mendengar panggilanku. Kalau kamu masih tetap ingin pergi, silakan. Aku nggak akan memaksa lagi." Dia melanjutkan makan tanpa memandangku lagi.

Aku menghela napas panjang. Kuputuskan untuk menghabiskan sarapan sebagai bentuk menghargainya, lalu aku akan pulang.

*

Aku belum tahu efek berjauhan dari Rafayel seperti yang dikatakannya. Tapi, hatiku gelisah sekali. Aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi pada pertemuan Hunter Association. Tara yang menyadari kegelisahanku, mencolek bahuku.

"Are you okay?" tanyanya.

Aku menekan dada yang sesak. "Hanya kurang tidur," dustaku.

"Mau kuizinkan pulang saja? Mukamu pucat."

Aku menyentuh pipi dengan telapak tangan dan punggung tangan.

"Ah... iya."

Apakah ini efeknya? Tapi... aku kan tidak mungkin berada di dekatnya terus-menerus.

Tara mengangkat tangan menyela rapat. Dia akhirnya meminta izin pada Jenna, ketua tim kami. Aku diperbolehkan pulang karena wajahku pucat sekali.

Pukul tujuh malam, aku baru sampai apartemen untuk berganti baju. Saat menbuka seragam hunter, aku mengendus dan menciumnya. Kenapa terasa berbeda? Seperti adiksi. Seragam ini sudah dicuci oleh Rafayel karena basah oleh air laut. Kini, aku bisa mencium aroma pelembut pakaiannya. Entah sejak kapan aku memejam hanya untuk mencium aromanya.

Aku mengecek ponsel. Tidak ada tanda-tanda pesan atau panggilan darinya. Hal itu membuatku sedikit khawatir. Maka, aku segera mandi dan bersiap-siap untuk ke rumahnya.

*

Pukul sepuluh malam, aku baru sampai di rumahnya yang terisolasi itu. Panggilan dan pesanku tidak dia balas. Namun, aku tetap bisa masuk berkat screening wajah.

"Rafayel," panggilku seraya mencarinya di bangunan rumahnya.

Aku tak mendengar jawaban apa pun. Lampu rumahnya bahkan padam, hanya koridornya yang menyala temaram.

Aku tak menemukannya di studio. Maka, kulanjutkan langkah menuju kamarnya.

Rupanya, dia ada di sana. Meringkuk di tempat tidur.

"Hey," sapaku sembari berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya. Dia kelihatan kesakitan sekali. Aku mendekatkan tangan di dahinya yang lantas dicekal dengan tangkas.

Pandangan matanya yang sendu diarahkan padaku. Dia bahkan tak sanggup mengatakan sesuatu. Hanya rintihan lirih dan deru napas berat yang kudengar.

Melihatnya seperti itu semakin menyesakkan dada.

"What happens?" tanyaku. "Apa yang bisa aku bantu?"

Dia mendekatkan tanganku pada pipinya yang sangat dingin, lalu memejamkan mata.

"Mendingan?" tanyaku memastikan.

Dia menggeleng.

"Maaf...." Aku berbisik lirih. Tak seharusnya aku pergi begitu saja. Aku tidak tahu dampaknya seperti ini. "Kasih tahu aku, bagaimana caraku membantu kamu?" Tanganku yang bebas meraih kepalanya untuk mengusap rambut memberikan ketenangan.

Dia membuka mata. Wajah dan telinganya semakin memerah. Dia terlihat seperti... birahi.

"You can't help," balasnya lirih.

Aku menunduk, memejamkan mata sebentar. Efek bonding sialan ini benar-benar menyesakkan dada. Aku tak sanggup melihatnya tersiksa begini.

"Just tell me..." lanjutku. "Apa yang kamu butuhkan?"

Dia meremas tanganku yang masih ada di pipinya.

"Bercinta," jawabnya. "Sama kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro