26 | Antan Patah Satu Dara (1)
𝐀𝐧𝐭𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐭𝐚𝐡 𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐃𝐚𝐫𝐚 | 𝟐𝟔
𝖠𝗇𝗇 𝖶𝗂𝗍𝗁 𝖠𝗇 𝖠 𝖺𝗇𝖽 𝖤
↳ @artyque ੈ‧₊˚ ┊͙🥀
❝Haraplah saudaraku ditendang
Semua barang yang malang-malang
Supaya kita berjalan senang
Ke tempat kita terang❞
━━━━━━━━━━━━
Marco Kartodikromo | 1890-1935
(Sama Rasa dan Sama Rata)
Dua hari menjelang natal, keluarga kecil yang baru saja pindah ke Bumi Pasundan itu lagi ramai menyiapkan segala keperluan teruntuk natal nanti.
Margarecth lagi banyak berkutat di penanggahan untuk membuat sajian-sajian saat natal, usai mereka kembali dari gereja untuk melakukan beberapa pengakuan dosa.
Anna juga sama sibuknya. Menghias pohon natal dengan berbagai ornamen. Sesekali sampai menggunakan kursi stool kayu untuk menghias bagian atas. Sedang Anne, dara yang mendapat tugas membuat sebuah Wreaths yang akan mereka gantungkan di depan pintu utama, cuma bertura-tura tak jelas sejak tadi. Sesekali memberenggut, berguling-guling di atas permadani—ia terlampau pegal hati sebab Anna tak sedikitpun menggubris segala ucapnya.
Anna tak mau menjawab. Lebih meniti pada apa yang sedang ia kerjakan walau sebenarnya ia juga lagi curi-curi dengar percakapan antara papanya di geladeri rumah dengan seorang yang baginya pernah amat mengganggu kehidupan.
Dia adalah Joahn.
Pemuda itu tiba kembali, menyambangi, sudah dari tiga hari lalu. Ntah apa maksud kedatangannya dan mungkin papanya yang memberi tahu mengenai kepindahan mereka pada anak Tuan Gustav itu.
Papanya terlalu kuat percaya pada itu pemuda.
Sesekali Anna curi dengar, Joahn lagi membahas perkara aparat gerakan bawah tanah yang pernah dibentuk pemerintah Hindia-Belanda dengan kelompok antifasis guna lawan Jepang, sebab Belanda sudah menyadari betul keunggulan Jepang. Rudolph teruskan, katanya pada waktu itu juga pihak Belanda lagi mencari kerja sama dengan pihak Pendidikan Nasional Indonesia—yang jelas juga merupakan antifasis.
Tapi ntah bagaimana kelanjutan kabar itu setelahnya, Rudolph tak tahu.
Joahn juga ceritakan mengenai gerakan bawah tanah dari seorangan kawan yang pernah ia kenal dengan singkat, Amir—seorangan pegawai di Departemen Ekonomi Batavia, sebelum kawannya itu ditangkap setahun yang lalu, hampir ditempatkan di Boven Digoel. Namun, pada akhirnya kawannya itu lebih memilih bekerja sama dengan pihak Belanda.
Anna cermati betul-betul itu percakapan dalam kesibukan. Pemuda itu ... kalau dipikir lagi ... seorangan Belanda. Totok pula. Dan sejak tiga hari yang lalu pula, Joahn selalu bahas perkara begini macam.
Segala rasa ganjil datang kemudian. Ada darimana Joahn tahu-menahu pergerakan-pergerakan itu?
Sebenar-benarnya Anna tak mau berpikir yang bukan-bukan. Kendati pikirannya akhir-akhir ini memang sering banyak dipenuhi wasangka yang gila. Tapi kepalang tiba-tiba ia dirasuki sedikit rasa janggal, seusai ia menghias pohon natal, ia langsung menuju geladeri depan. Tempat dimana ada keberadaan pemuda itu dan papanya. Meninggalkan Anne dalam gulananya sendiri.
Masa bodoh dengan Anne. Dia tak begitu penting sekarang.
"Anna mau bicara pada Joahn?" ucap Rudolph pada Anna. Melihat anaknya yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu. Menghadiahinya tatapan terkejut, walau pada akhirnya Rudolph jadi lekas berdiri.
Anna mengangguk singkat. "Cuma sebentar, Papa."
Sebelum melenggang pergi, Rudolph tatap Joahn dan Anna bergantian. Agak-agaknya ada tampak keanehan di matanya, kendati begitu pada akhirnya Rudolph memilih menyingkir juga.
Segera Anna terduduk di salah satu kursi rotan bentuk klasik yang sebelumnya telah diduduki Rudolph. Menatap Joahn penuh minat, meminta pemuda tersebut melanjutkan pembahasan yang sebelumnya sempat dibicarakan cuma melalui tatap.
Sayang, Anna tak mau bicara maksud kehadirannya dan Joahn macam tak menggubris itu tatapan yang tertuai.
"Ada masalah, An?"
Anna menggeleng segera. "Tidak." Dan juga agahnya menatap heran pemuda yang ada di sampingnya tersebut sebab panggil ia Anna. Ntah gerangan ada apa, Anna belum mau cari tau. Rasa penasarannya akan hal itu tidak terlampau besar—walau tak bisa dibohongi kalau ia sedikit terkejut.
"Lalu kenapa?"
Pemuda itu bertanya, menyesap kopi yang tersuguh di hadapnya. Sembari matanya lebih memilih jatuh pada sekitar, tiada tertumbuh niat menatap kawan bicaranya barang satu-dua menit.
Hari ini Bandoeng betul lagi amat cerah. Dinaungi beberapa payoda seputih kapas, ditambah pula dengan desau menjadi iring-iringan sunyi yang memekak sempurna. Agaphantus, Petunia, Iries Germanica, dan tabebuya yang menghias pada taman rumah serempak mengarah pada arah yang sama mengikuti sepoi angin.
Rudolph tak salah memilih kediaman. Di Bumi Pasundan ini, kediaman mereka ada di tempat yang sedikit terpencil tapi amat sejuk. Sengaja Rudolph pilihkan. Katanya, biar terhindar dari bising. Jadi tak heran kalau sepi sudah jadi kawan mereka sehari-hari.
Bukan main eloknya kediaman van der Lijn saat ini. Di belakangnya terhampar luasnya kebun teh yang tampak hijau—macam gelaran permadani di atas bumi. Sungguh mengundang kemauan untuk tetap tinggal biar tak usah pergi kemana-mana lagi.
Dan dua manusia itu ... pada akhirnya cuma diselimuti kebisuan. Macam membatasi diri dalam keasingan.
Anna diam memandangi pemuda itu. Jelas, bukan Joahn yang hampir setahun lalu ia jumpa. Di mata Joahn tak ada untaian aksara menggebu. Dan satu lagi, pemuda itu tak lagi memanggil ia 'Maria.'
Sedikit kian janggal walau pada akhirnya Anna tak mau jauh pusingkan perkara tersebut. Memang sebab bukan persoalan itu yang mau ia cari tahu.
"Pernah ke kebun teh, Mar—An?"
Anna terkekeh sebentar. Mendengar suara bariton lelaki itu tiba-tiba menyuara memecah hening. Belum lagi panggilan yang barangkali pemuda di disampingnya ini hampir lupa ingin memanggilnya Maria kembali. "Belum. Belum lagi ada minat."
"Mengapa?" Dan Joahn meneguk sisa kopi terakhirnya sampai jadi tandas. Memperhatikan dara itu dengan kedua alis bertaut heran.
Anna hanya mengendikan bahu sebagai jawaban. Macamnya pun ia sendiri tiada tau apa alasan.
"An."
Anna menyahut mendengar panggilan tersebut. "Ya?"
"Pergi ke kebun teh. Mau?" tanya pemuda itu.
"Untuk?" Bukan alang-kepalang lagi keheranan yang jelas terpancar pada pancaran aksa Anna. Dia cuma memperhatikan Johan yang lekas berdiri.
"Biar tak melulu di rumah. Ayo, ikut. Nanti biar aku yang meminta izin pada Tuan Rudolph. Aku tau dibelakang sana juga ada sumber mata air. Cantik pula kalau waktu hampir senja." Pemuda itu berucap sembari mengarahkan dagunya ke tempat yang ia maksud.
Tak ada suara lagi yang Anna keluarkan. Memperhatikan Joahn masuk ke dalam rumahnya—yang macam masuk rumah milik sendiri. Anna hembuskan napasnya kasar. Lalu, tiba-tiba ia merasai gaung-gaung gelabah yang membikin ia mau mati berdiri di ujung silam.
Atma lagi rimpuh, akhirnya ... ia bersimpuh.
🕊 ˊˎ
•. . . . . ╰──╮
An information :
Gerakan yang dimaksud Joahn dan Rudolph disini adalah Aparat Gerakan Bawah Tanah yang dibentuk Pemerintah Hindia-Belanda untuk melawan Jepang.
Pada waktu itu yang ditugasi membangun aparat ini adalah Charles van der Plass. Tapi, Charles memiliki hubungan yang kurang dengan tokoh-tokoh Indonesia. Akhirnya diusulkan bahwa agar seseorang yang diserahkan tugas tersebut adalah Amir Sjarifuddin. Waktu itu posisi Amir juga sebagai ketua Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) partai yang berhaluan antifasis dan marxist.
Tahun 1940 Amir ditangkap sebab aktivitasnya dengan PKI ilegal. Namun, Amir ditawari 2 pilihan: Ingin dibuang ke Digul atau bekerja sama dengan pemerintah Belanda, dan pada akhirnya Amir memilih opsi ke 2 setelah melalui pertimbangan dengan Gerindo.
Amir Juga salah satu tokoh perdana menteri pada masa revolusi, juga salah satu pemimpin terdepan dari sayap kiri.
| Tokoh Amir yang aku maksud sebagai teman Joahn adalah sosok Amir Sjarifuddin ini |
••
Saya berniat mau ada membuat konflik yang masih berhubungan sama part ini.
(Soalnya ini part hambar saya akui sksks)
Mungkin besok atau lusa part tsb akan saya up.
Tapi ...
Music by Franz Schubert
Serenade
Hindia-Belanda, 1941
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro