Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20 | Cuap Kala Senja

°·.     ·  ✦       ·* .  •     ·  •.   ✶˚  .   ·*✧* ˚     · . ·* .      ✵.          ✧✵ .·      ✵  ✫˚            · · .             ·✦ ˚   ·   .           ⊹   ·   . *              ..       .  °

Meester Cornelis, Batavia
Hindia-Belanda; 1941

Senjakala itu, Anne mulai menyusuri huniannya satu demi satu. Hanya untuk mencari sosok sang mama. Seliweran satu persoalan amat mengganggu benak, tiada dapat hilang jika tak dituntas secepat mungkin.

Tak berlama - lama, netranya menemukan mamanya di perkarangan rumah. Diperhatikan dari kejauhan, nampaknya Margarecth tengah merawat puspita kesayangan. Hadiah dari papanya saat seketibanya mereka pertama kali tiba di Batavia. Berbelas - belas tahun lalu, dan saat ini pun masih terawat amat apik. Tak tertinggal pula si anjing ras pomerania peliharaan keluarga mereka, turut menemani aktivitas Margarecth.

Dihampirinya sang mama, lalu memeluk mamanya dari belakang setiba sampai. Anne tenggelamkan wajahnya pada punggung Margarecth, mencium arumi gysophile, lavender, chicory, dan mawar yang menguar.

Semua semerbak memenuhi indra penciumannya, sampai padanya Margarecth membalikan tubuh dan membelai lembut pipi daranya itu. "Ada apa, sayang? Tak seperti biasa menghampiri mama saat mama sedang seperti ini."

Anne menggeleng, lalu mengganguk, lalu menggeleng lagi. "Tak apa - apa, mama."

Dari sikap yang ditunjukan, tentu saja Margarecth mengetahui pasti dibalik kata 'Tak apa - apa' daranya ini sedang dirundung 'kenapa - kenapa.'

"Jangan bohong pada mama. Mama mengerti ada yang mengganjal pikirmu. Katakan. Tak biasa kamu seperti ini."

"Hmn ... memang sebenarnya sedang ada apa - apa, ma. Tapi bukan karena aku bertengkar lagi. Sungguh aku tak bohong. Hmn ... ada hal lain. Tapi tak ada sangkut - pautnya terlebih pada keluarga kita ... Hanya saja ... sedikit mengganggu."

Selesai Anne berucap, Margarecth memandangi Anna kepalang heran. Macamnya soal serius, tapi tak ada sangkut - paut pada keluarganya, juga bukan perkara daranya itu bertengkar lagi. Lalu apa sebab?

"Baiklah. Lebih baik jelaskan sembari duduk dan meminum teh, bagaimana?" Dan dibalas anggukan antusias oleh Anne.

Lalu ibu dan anak itu beralih menuju sebuah meja bundar putih dilengkapi dua buah kursi berwarna putih pula, juga dinaungi kanopi transparan. Dekat dengan kolam ikan yang membentang di sisi kiri. Bersamaan pula dengan Dash membututi pemiliknya dari belakang. Margarecth juga memanggil Mbok Darmi — si asisten rumah tangga yang sudah melayani keluarga mereka belasan tahun — untuk menghidangkan teh dan tumpukan schuimpjes.

Tak jauhnya dari kolam ikan, berdiri pula sebuah patung Hades yang baru dipasang di perkarang rumah Keluarga van der Lijn dalam dua tahun terakhir. Rudolph yang memberi. Karena katanya ia mengagumi sosok Hades, salah satu dari sekian banyak Dewa-Dewi Olimpus yang dikenal tiada punya belas kasih. Namun, hanya memiliki satu perempuan sepanjang hidupnya — Persephone.

Tersetel pula alunan Standchën pada gramophone yang terletak di atas meja, dekat pintu masuk-keluar menuju perkarangan rumahnya ini. Mahakarya dari salah satu komposer yang Margarecth senangi — Franz Schubert, dengan segala alunannya mampu meluluhlantahkan kampa dalam diri mamanya seorang.

Tak hanya Schubert, sebetulnya juga ada Liszt, Paganini, Schumann terlebih lagi pada Beethoven. Semua kesukaannya ia turunkan pada dua daranya. Tapi sayang, hanya Anna yang nampak berminat.

"Ada apa, sayang? Ceritakan pada mama." Kembali Margarecth tanyai daranya itu sembari mendudukan Dash dalam pangkuan. Mengusap Dash lembut.

Anne perhatikan betul - betul sikap mamanya pada Dash.

Pantas! Pantas saja papanya sampai mau disematkan julukan budak asmara kepada mamanya! Mamanya amat sangat pengasih bagi sekitar. Terlihat dari bagaimana mamanya merawat puspita - puspita yang bagi sebagian besar tak ada nyawa juga tak ada nilai — bagi yang tak menyukai — mamanya kasihi! Dan dilihat bagaimana memperlakukan Dash macam memperlakukan anaknya sendiri.

Memang kerap kali mamanya berkata: Tentu kita perlu kasihi mereka. Mereka ada sebab kehendak Tuhan, rencana Tuhan dan pun mereka sama - sama ciptaan Tuhan. Kalau Tuhan yang sudah Maha Sempurna saja mengasihi ciptaannya, mengapa kita yang sama - sama ciptaannya tak juga saling mengasihi?

"Mama, aku mau bertanya satu perihal," jawab Anne juga kembali menyuara. Mengarahkan agahnya dari Dash pada sang mama.

"Tanyakan, sayang. Apa yang ganggu perasaanmu?" Margarecth menyuara, lalu menyeruput teh dalam gelas kecil keramik berwarna biru laut.

"Apa itu gundik bagi mama?" Tanpa ragu pula Anne tanyakan perihal yang mampu membuatnya diusik gundah setengah mati. Tentu, setelah tak puas atas jawaban papanya.

Margarecth terdiam cukup lama. Lamat - lamat memperhatikan salah seorangan daranya ini, lalu menjawab, "mereka makhluk Tuhan."

Lagi dan lagi. Kata - kata yang baginya amat klasik kerap dilontarkan sang mama. Ia tahu semua itu. Dia, kita dan mereka adalah makhluk Tuhan. Tapi, bukan jawaban macam itu yang ia harap. "Bukan, mama. Bukan itu yang kumaksud. Lebih kepada apa dan bagaimana gundik itu ... menurut mama."

"Tak tahu, Anne. Aku belum pernah jumpai. Tapi dari cerita yang pernah Mbok Darmi tuturkan padaku, kebanyakan dari mereka dibeli oleh Tuan - Tuan. Ya ... tugasnya sama seperti mama ini terhadap papamu. Hanya saja tak dinikahkan." Dan mamanya menyahut masih menatap Anne penuh heran, sembari tangannya juga tiada henti mengusap Dash lembut.

"Aku sempat dengar, mereka wanita simpanan juga."

"Kau dengar darimana?"

Sore ini, Margarecth berani bersumpah ia terkejut atas pertanyaan daranya! Mengetahui darimana daranya seorangan ini? Sedikitpun Margarecth tiada pernah singgung perkara pelik akan Tanah Hindia. Terlebih persoalan wanita simpanan pula.

Atau jangan - jangan daranya ini betul gemar bergosip? ....

"Tak sengaja, ma. Saat sedang berlalu lalu mencuri-dengar buah bibir macam itu." Hebatnya dara itu dapat menjawab santai. Seolah penuturannya bukan masalah riskan. Ia menyeruput teh dalam gelas yang disuguhkan untuknya, melahap satu-dua buah schuimpjes.

Hening tercipta cukup lama. Seorang sedang mencerna tiap tuturan yang keluar dari bibir daranya, sedang seorang lagi hibuk menikmati hidangan kecil tanpa tahu sedikitpun keterkejutan sang mama atas tuturannya.

"Memangnya apa menurutmu? Gundik itu. Apa yang kau tahu?" Margarecth pandangi Anne lebih lekat. Macam sedang mencari sesuatu dalam bola mata daranya.

"Wanita ... Hmn, simpanan. Betul juga kata mama, mereka tak dinikahkan ... lalu ...."

"Ah, iya! Sebab katanya di Tanah Hindia ini sedikit sekali wanita Eropa macam kita, ma. Dan juga ... hmn ... sebab adanya larangan beristri lebih dari satu ... seingatku seperti itu."

"Larangan beristri lebih dari satu? Apa hubungan?"

Anne memutar bola matanya. Mencoba mengingat dan merangkai kata yang tepat untuk ia utarakan. "Iya, ma. Pria - pria Eropa itu hanya boleh memiliki satu perempuan. Temanku menjelaskan kalau para pria Eropa yang bertandang ke tanah ini, mereka jarang membawa perempuannya ...."

"Ah, lebih tepat begini maksudku. Semisal papa waktu itu — saat masih di Netherland, lalu dipindah-tugaskan ke negara ini, belum tentu papa mau bawa mama bersama. Sebab banyak beberapa hal. Lama - kelamaan, terlalu lama papa berpisah dari mama, papa mungkin ... hmn ... ingin melampiaskan berahinya ...."

Anne diam cukup lama. Ini perkara orang dewasa sebenarnya. Sangat bodoh ia! Bibirnya hampir lepas kendali membicarakan yang tidak - tidak.

"Dan biasanya, ma, untuk meluapkan perasaan itu dengan cara memiliki gundik. Yang tak terikat ikatan suci apapun. Jadi jika sudah bosan atau masa tugas yang selesai, kasarnya mereka langsung dapat dibuang."

"Ya, tapi beberapa yang belum menikah juga banyak kedapatan memiliki gundik, ma. Seperti kataku untuk ... hmn ... meluapkan sementara ... hasrat tak terbendung."

Anne pandangi mamanya dengan sedikit tatapan malu - malu. Tapi sepersekian detik rasa malu itu lenyap begitu saja — Anne memang tiada punya malu. "Karena mereka hanya ingin menikahi wanita Eropa, ma. Sudah jelas dengan derajat yang dipandang tinggi."

"Mengetahui dari mana kamu perihal seperti itu?" Tak dapat lagi Margarecth sembunyikan keterkejutan pula keheranannya. Terlihat jelas dari intonasi suara yang dirapal.

"Temanku, ma. Dia seorang pribumi. Aku ketahui sedikit - sedikit dari dirinya."

"Temanmu?" Margarecth kian dibuat terkejut.

Anne melahap lagi sebuah schuimpjes, lalu meneruskan ucapnya, "iya, ma. Temanku. Dia seorangan pribumi, anak dari Bupati Sleman ... Sewaktu dia masih sekolah di MULO, pernah dia temani ayahnya di sidang terbuka pengadilan Sleman. Katanya atas perkara tuduhan gundik membunuh Tuan Eropanya. Ya ... biarpun ia hanya tunggui dari luaran saja. Sejak itu temanku mulai banyak cari tahu tentang gundik."

"Sleman? Mengapa melanjut di HBS Batavia?"

"Ntah lah, ma. Tak tahu betul aku. Ia sekarang tinggal di pemondokan."

"Temanmu katakan apa lagi?"

"Hmn ... katanya pula Tuan Eropa yang terbunuh itu sudah punya keluarga di Netherland sana. Waktu itu dugaan sementara si gundik yang membunuh. Tapi belum ada bukti kuat. Selain hanya sebab mereka hidup bersama setiap hari dan orang sering jumpai gundik itu kedapatan coba - coba melarikan diri ... Dari hal itu jaksa berspekulasi kalau si gundik merasa tak nyaman dan sebab rasa tak nyaman yang sudah meradang, ia melakukan pembunuhan terhadap Tuannya."

"Tapi, pada akhirnya si gundik itu dijatuhi hukuman mati. Tak tahu juga temanku, mengapa bisa dapat hukuman mati seperti itu. Temanku menemani ayahnya hanya pada satu kali sidang."

"Sungguh tak adil bukan, ma? Barangkali Tuan itu mati sebab memang sudah waktunya. Karena kata temanku lagi Tuan Eropa itu sudah amat tua. Mungkin berkisar tujuh puluh tahun, sedang gundiknya waktu itu masih berusia enam belas."

Margarecth diam. Agahnya jadi kosong menatap ntah mengarah pada apa. Lama mereka diam, Anne menyuara lagi, "mama pernah beruucap, katanya jika kita menebar kebaikan pada sesama. Niscaya semua itu akan terbalas. Kalau kita menebar kebaikan, si penerima boleh jadi akan menyebar kebaikan itu juga pada yang lain ... tapi, ma ... sekarang juga aku sadari hidup nyatanya tak senaif itu."

"Apa mama memandang mereka kotor?" Lagi Anne membuka suara, menatap sang mama lekat. Seolah berusaha menyadarkan lamunan mamanya.

"Sebab apa aku pandang mereka kotor?" Margarecth mulai menyuara lagi, hanya untuk menjawab pertanyaan yang selagi ia masih dapat jawab — Tentu ia tak dapat berkata apapun akan tuturan daranya sebelum mengajukan pertanyaan itu.

"Mama pasti mengerti," jawab Anne sembari menyandarkan tubuh pada kepala kursi.

"Tak tahulah, Anne. Aku takut terjadi kekeliruan saat aku utarakan pendapatku tentang mereka. Kita tak tahu apa sebab mereka jadi seperti itu."

"Orang - orang bilang mereka tak ada kehormatan, tak ada moral, asusila dan—"

"Dan kamu akan pandang mereka seperti itu juga?"

"Tidak, ma. Aku ... tidak. Orang lain berucap begitu." Jelas orang lain dalam maksud Anne adalah papanya sendiri — Rudolph. Ia mengingat betul semua ucap papanya yang sedemikian keji, lalu ia teruskan pada sang mama.

"Jangan! Itu sama saja kamu hakimi kehidupan orang lain tanpa tahu duduk-perkara. Jangan pernah ikuti cara pandang seperti itu. Terlebih hal buruk atas kehidupan orang. Seperti yang baru saja aku katakan, kita tak pernah tahu apa sebab mereka jadi seperti itu ...."

" ... Suatu hal yang terlihat buruk di depan belum tentu di belakangnya juga sama, Anne."

Demi papanya yang galak tak ada tanding! Anne sungguhpun dibuat keheranan seorang diri! Bagaimana bisa mamanya memandang segala sesuatu sebaik ini?  Memang tak ada yang salah. Hanya saja satu pertanyaan lagi mulai mengusik alur percabangan pikirnya.

"Dan kalau papa semisal di belakang mama memiliki perempuan lain, mungkin perempuan simpanan. Apa mama tetap akan pandang mereka baik?"

"Ntahlah, Anne. Aku percaya pada papamu." Lesu terdengar dari irama rapalan Margarecth. Agak - agaknya ia mulai merasa sedikit terguncang.

"Sebegitu kuat mama percaya pada papa?"

"Sepenuh kuat. Ia sangat aku percayai. Aku tahu papamu bukan lelaki macam itu."

Tak kepalang tanggung, Anne terus hajar sang mama pada pertanyaan yang mengusik benak. Sebetulnya ia tahu dari air wajah mamanya sudah menunjukan ketiadaan daya. Tapi saat ini ia seolah tak peduli itu semua. Setan akan rasa penasarannya sudah merasuk. Menggerogoti nuraninya sendiri. "Kalau semisal ada, apa yang akan mama lakukan? Apa mama akan marah sebab kepercayaan mama dikhianati begitu saja ... atau—"

"Mama tak akan marah. Mungkin ... mama hanya dapat diam."

"Mengapa diam? Karena apa mama diam? Mengapa kau tak marah, ma? Tak terluka kah hatimu?" Dan betul. Dara itu tersentak. Bagaimana pula mamanya tiada melawan atau memberontak pada papanya jika kalbunya dipatahkan? Jika Anne yang berada di posisi itu, barang tentu ia akan memberontak! Atau jika amarahnya sudah kalut bukan main, bisa - bisa ia lindas orang itu menggunakan mobil tronton.

Dan mengapa mamanya ini hanya dapat diam? ...

"Tak sampai hati aku meradang padanya, Anne. Tak bisa mama marahi papa jika semisal papa seperti itu. Tak ada daya untuk marah, mungkin sebab aku terlalu mencintai papamu ... semisal iya dia melakukan itu pun, aku yakin ada alasan dibaliknya ... tak bisa aku hakimi dia seorangan diri."

" ... Dan hanya melalui diam aku tunjukan kekecewaan terbesarku. Sebab aku takkan mampu tunjukan rasa yang lain."








"Because, nobody understand another's sorrow
and nobody understand another's joy."
Franz P. Schubert
1797 - 1828
One of the Legendary Compossers in the Romantic Era

Hindia Belanda, 1941
©️2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro