13 | Senandika Partitur
°·. · ✦ ·* . • · •. ✶˚ . ·*✧* ˚ · . ·* . ✵. ✧✵ .· ✵ ✫˚ · · . ·✦ ˚ · . ⊹ · . * .. . °
ANN WITH AN A AND E
[ Senandika Partitur ]
Agak-agaknya siang ini kepalang pekat bagi salah seoranga Van der Lijn. Dirasa gundah tanpa sebab jelas, Anna lantas mendengus kasar.
Berada dalam ruang keluarga di kediamannya seorang diri membuatnya jemu bukan alang-kepalang. Ia mendudukan diri di piano bench miliknya. Selepas melantunkan beberapa melodi, nyatanya musik itu tiada juga mampu menjadi pelipur bayang jiwa. Ini suasana rumah lagi betul sunyi. Melebur jiwanya pada pekatnya sepi, pantas ia menjadi jemu sendiri.
Ia beranjak dari tempat duduknya saat pandangnya jatuh pada lembar usang yang diberi Joahn padanya tempo lalu di Bandoeng. Sebelum kembalinya ia ke Batavia — selepas acara pesta di Societiet Concordia.
Ia meletakan asal lembar tersebut, ia kira Mbok Darmi atau siapapun itu yang melihat akan membuang. Nyatanya, lembaran tersebut masih bertengger apik di atas salah satu nakas.
Sebab dirasuki rasa penasaran tiba-tiba, Anna lantas mendekat ke itu nakas dan meraih surat tersebut dan perlahan membuka tiap helai lipatan. Hanya berupa lembaran usang bersaut-saut partitur. Terukir apik walau-walau tampak sedikit pudar.
"Swan Lake ...?"
Alisnya berkerut tampak kebingungan melihat judul lembar tersebut. Lagi-lagi pemuda itu kerap membelenggunya dalam buaian tanpa arti. Dirasa tak terlalu bermanfaat, ia ingin membuang lembaran musik itu sampai matanya menemukan suatu catatan terukir cukup kecil di sudut bawah sana.
🕊 ——————— 🕊
Malam saya terlalu muram, Maria
Lengkara berpulang biar sudah punya arah dituju
— Bandoeng, 1940
🕊 ———————- 🕊
Maria? Siapa pula Maria?
Anna memutar malas kedua iris coklatnya sembari sedikit menerka-nerka tiap aksara yang tertera.
Barangkali lembar ini bukan milik Joahn asli. Mungkin lembar itu milik seorang lain sebelumnya. Pun keusangannya lebih tampak macam barang bekas pakai. Jadi bisa dikata, untaian kata itu didedikasikan untuk si cinta kasih pemilik lembar ini sebelumnya.
Dirasa tak ada makna penting lagi, lantas ia ingin membuang lembar tersebut. Sampai sepersekian detik pikirnya kembali bekerja.
Tunggu! Tunggu! Maria?...
Namanya pun mengandung kata Maria
Annaztasia Maria.
Boleh jadi itu ia? ...
༻✦༺
Joahn menatap kehadiran Anna jauh saat gadis itu masih berada dalam ambang pintu. Gaun putih tidur putih pucat yang dikenakannya pun kian menyemarak paras elok juga dahayu milik itu dara—bagi Joahn. Tentu saja. Tak luput juga anjing kecil berbulu putih dalam dekapnya.
Udara cukup dingin malam ini, pula ditambahnya konstelasi lintang menyemburat cukup apik pada nastabala, kian tegas memperindah pesona bumi Batavia.
Sesaat sebelumnya ia telah berbincang banyak dengan Rudolph. Mengenai perihal kedatangannya ke Batavia. Tak lama Rudolph memanggil Anna — ini sebab permintaan Joahn sendiri. Katanya sudah lama tak jumpa Anna. Ia ingin melihat perkembangan itu dara yang dulu waktu masih kecil sekali sering Joahn temui. Tentu ini semua hanya alibi.
"Malam, Nona!" Seru pemuda itu lekas berdiri tegak dari duduknya. Pada bangku kayu di halaman depan kediaman Van der Lijn.
"Ada apa?" tanya Anna. Dingin.
Sebetulnya pertanyaan Anna bukanlah bagian dari tuturan yang Joahn mau. Ekspetasinya begitu berlebih jikalau Anna akan menyambutnya hangat. Biar sebenarnya tak bisa dipungkiri mana mungkin gadis tersebut mau bersikap macam itu.
"Hanya ingin berjumpa ... Barang sejenak saja. Tidakkah boleh?" ujarnya lalu mengukir senyum.
Anna menghela napas kasar. Seolah Joahn ini beban dalam hidupnya saat ini. Ntah sebab apa, Anna sebetulnya dihantui rasa tak nyaman dengan pemuda ini. Dipertemukan selalu secara tiba-tiba dan tanpa terencana. "Untuk?"
Sedikit cukup tersentak lagi, secepat mungkin Joahn mengatur raut wajahnya. Sebetulnya Joahn kecewa. Sangat kecewa. Ekspetasinya terlalu tinggi untuk ini dara di hadapnya.
"Apa tak ingin duduk? Kaki kamu bisa cepat lelah kalau terus berdiri seperti itu."
Dan dengan cepat Anna menukas, "Tak perlu."
Lagi dan lagi Joahn hanya mampu tersenyum kecut. Lama meramu jemu dalam bisu, suasana kian dibuat dingin dengan sikap gadis tersebut. Bahkan tatapnya pun sama dingin dengan sepoi sarayu Batavia malam ini.
Berjarak kurang lebih lima belas kaki, amat jelas Joahn melihat raut menuntut dari wajah dara di hadapnya. Persis seperti tempo lalu pertemuan mereka pertama kali, setelah belasan tahun lamanya tidak jumpa.
"Duduklah, Maria. Akan tak enak hati bila saya duduk sementara si pemilik rumah ini tidak. Kaki saya sudah sedikit mulai terasa pegal," ujar pemuda itu sedikit terkekeh. Harap-harap apa yang dilakoni bisa menghangatkan suasana.
Sedikit lama Anna berdiam sampai kaki dara itu melangkah di tempat dimana berada sebuah bangku kayu. Mendudukan dirinya lalu diikuti oleh Joahn.
"Mengapa panggil aku Maria?" Satu pertanyaan mendadak menyerang pikirnya berhasil Anna utarakan. Setidaknya ia harus mendapat klarifikasi penuh dari seseorang yang pertama kali memanggil ia Maria.
Sembari memperhatikan anjing kecil menggeliat dalam pangkuan Anna, Joahn menyuara lagi, "hanya menyukai saja ... Salah?"
"Tanpa alasan?" Anna menatap Joahn, sedikit mengernyit tak percaya. Jawaban Joahn sama sekali bukan jawaban yang diharap.
Joahn tertegun. Sesaat. Lalu pandangnya diarahkan kembali kepada Anna. "Haruskah alasan itu saya utarakan?"
"Jika aku meminta?"
Joahn beralih memutus tatap matanya pada Anna. Memejamkan mata barang sesaat sembari berpikir cepat, merangkai sebuah kata untuk jawaban dari pertanyaan -baginya agak- rumit macam ini.
"Nama Maria mengingatkan saya pada banyak hal. Dan ... nama itu juga pernah mengisi bagian hidup saya."
"Pengisi bagian hidupmu?"
Joahn hanya mengangguk sebagai jawaban. Lantas pandangnya beralih sedikit mendongak, menatap gemerlap konstelasi lintang Orion malam ini. Menghubungkan menjadi satu padu dalam garis imajinasi yang dibuat dalam khayali sendiri.
"Konstelasi Lintang Orion ... Kamu lihat?" Anna mengangguk mengikuti arah pandang Joahn. "Aku cuma mampu melihat sabuk Orionnya. Kalau aku tarik dari garis imajinasiku sendiri."
Joahn tersenyum cukup samar mendengar jawaban gadis tersebut. "Kamu tau?"
Anna mengangguk singkat sebagai jawaban. "Cuma menyukai literaturnya saja."
Lantas Joahn lagi menyuara ketika isi pikirnya mulai dibayang rasa kagum. "Sosok Maria itu yang membuat saya acap kali jatuh cinta kalau-kalau lagi memandang Konstelasi Orion."
Suasana kembali hening. Pun Anna tiada niat untuk meneruskan perbincangan mereka malam ini.
Di bawah naungan gemerlap lintang yang kian berlalu menjadi temaram.
"Sudah memainkan melodi yang saya beri kemarin, Maria?" Kembali Joahn membuka suara, merasa Anna tak akan merespon apapun dari ucapan sebelumnya.
Anna menggeleng cepat. Sesekali tangannya mengusap lembut kepala Dash. "Apa alasan beri aku itu lembar?"
"Saya ... menyukai melodi itu. Dan yah ... saya kira kamu turut menyukai pula," jawabnya, menyandarkan tubuh pada kepala bangku.
"Cuma itu?"
"Tidak. Ada hal lain ..., tetapi saya mengira kamu pasti bisa memecah sendiri."
Anna mendengus kasar. Tak tahu apa alasan di baliknya, emosinya membuncah mendengar jawaban Joahn betul-betul bukan jawaban yang ia harap keluar dari bibir pemuda itu. Rasanya geram bukan main.
"Bagaimana dengan catatan kecil di sudut bawah lembar itu?"
Tak lama Anna berdiri. Dirasa Joahn bereaksi apapun atas pertanyaannya. "Lebih baik lekas pulang. Udara cukup dingin malam ini, sebentar lagi mungkin akan turun hujan ... dan bukannya juga kurang sopan bertamu ke rumah orang lain sebegini malam?"
Kesekian kalinya Joahn mampu dibuat bergeming tak percaya. Apa gadis itu mengusirnya secara tak langsung?
"Satu hal lagi ... Tolong jangan pernah katakan suatu hal yang tak jelas apa maksudnya. Aku tak mau susah payah berpikir untuk memecahkan tiap kata yang keluar dari bibirmu itu ..."
"... Waktuku terbuang habis percuma. Dan ... aku tak mengenalmu, Joahn. Kita baru jumpa pertama kali di Bandoeng tempo lalu, jangan—"
"Kita pernah bertemu sebelumnya, Maria," tukas Joahn lalu lekas berdiri. Menatap Anna lembut, sedang gurat gadis itu menatapnya penuh tanya. "Taman Wilhelmina ... Kau ingat?"
"... Saya pernah mengatakan saat perjumpaan kita di Bandoeng lalu, tetapi agaknya kamu tak begitu mengindahkan ucap saya..."
"... Kita pernah berjumpa di sana. Atau ... lupa juga kamu saya sering menyambangi rumah Tuan Rudolph bersama papa dan ... mama dulu sekali?"
Raut Anna kian menunjukan tanya. Intonasi nada bicara pemuda ini terdengar agak aneh di telinganya. Pun seketika otaknya mengingat keras memori lampau dalam lautan hidupnya.
Ah! Anna mengingat kejadian itu sekarang. Jadi Wanita Eropa waktu itu rupanya membawa anak. Dan anak itu adalah Joahn.
"Dan perihal saya memainkan musik Fur Elise saat pesta kemarin ... sebab saya melihat kamu, Maria. Saat saya melihat kamu, spontan saya langsung ganti memainkan itu simfoni."
"... Saya rindu tanpa alasan pasti pada kamu, Maria. Aneh! Saya tahu kamu akan memandang ini aneh. Namun, begitu memang adanya."
Kentara sekali di mata Anna, napas Joahn memburu menuturkan tiap-tiap kata yang diucap. Irama rapalan dan tatap matanya semua sarat akan emosi yang menumpah. Seolah pemuda itu sudah tak tahan membendung semua.
Sembari meraih tas miliknya, Joahn kembali berucap, "saya sedang berlibur ke Batavia, kebetulan papa menitipkan pesan untuk Tuan Rudolph."
"... Saya ingin kembali ke penginapan. Bisa antar saya pada Tuan Rudolph?"
Sebelum memutuskan untuk pergi, Joahn meraih salah satu tangan gadis tersebut yang menggantung tanpa mendekap anjing kecil seperti tangan yang lain.
Mencium punggung tangan gadis di hadapnya, persis seperti etika orang Eropa saat bertemu. Namun, yang Joahn lakukan kali ini, saat berpisah. Mendiamkan bibirnya di punggung tangan gadis itu barang sejenak.
Anna sadari betul apa yang dilakukan Joahn. Menatap tanpa arti itu pemuda, lalu dengan segera menarik cepat tangannya. Bergegas ia mengantarkan Joahn pada Rudolph dan Margarecth, setelahnya Joahn pamit undur diri.
Beberapa detik selepas kepergian Joahn, Anna menyibak tirai kamarnya yang menghadap langsung ke jalan besar. Dilihatnya nastabala yang kian dirundung mendung, tak lama setelahnya gemericik air turun membasahi Bumi Batavia.
Masih dapat ditangkap penglihatannya laki-laki itu membuka jas miliknya lalu dipakai untuk menutup kepala, melindungi dari tetesan air yang menumpah tak tanggung-tanggung.
Rudolph sempat meminta pemuda itu untuk menginap sementara. Kebetulan kediaman Rudolph pun ada sisa dua kamar tak terpakai, mengingat pula semilir angin meliuk cukup dingin malam ini. Takut-takut bila turun hujan. Namun, pemuda itu menolak. Takut merepotkan, katanya.
Dilihatnya langit malam. Konstelasi lintang Orion menghias apik malam ini. Walau-walau binar rasi itu kian juga meredup tertutup mendung.
Orion begitu memuja Merope. Namun, terhalang dinding yang dibuat Oenopion, sebab ketidaksukaannya pada Orion menumbuh benci enggan berkesudahan.
Orion sudah dibuat jatuh kepalang jauh dalam pesona Merope, menghalalkan segala cara demi meraih sang pujaan.
Oenopion pun tak tinggal diam.
Ia mengutuk Orion panjang dalam tidurnya dan dibutakan kedua bola matanya kala Orion terbangun.
Sayang beribu sayang,,
Saat penglihatannya kembali
Orion tenggelam dalam pesona wanita lain dan pada akhirnya yang dipuja justru menjadi ambang menuju jalan kematiannya sendiri.
Artemis,
dia ...
si pembunuh itu.
Tunggu!
Pikir Anna kembali berjalan. Sepertinya ia berhasil menembus untaian teka-teki dalam lingkup hidup Joahn malam ini. Apakah sosok Merope penggambaran dari?... Lalu Orion? Joahn? Dan... Ah! Sial.
Namun, bukannya pula Joahn sempat mengatakan bahwa ia sudah tenggelam pada dirinya sejak belasan tahun yang lalu?
๛
Konstelasi Lintang Orion
atau
Rasi Bintang Orion
Rasi bintang Orion itu adalah salah satu rasi bintang terpopuler sejak zaman peradaban kuno. Kalau di Indonesia lebih dikenal Rasi Bintang Waluku. Dan rasi bintang ini untuk wilayah Indonesia sendiri muncul antara bulan Oktober - Mei saat musim hujan.
Rasi bintang ini kalo dihubungkan dengan garis imajinasi berbentuk seperti seorang pemburu dengan anak panah di tangannya.
Gampang kok buat kita kalau mau melihat rasi bintang ini, karena memang bisa dilihat dengan mata telanjang.
Kalo dihubungkan dengan garis imajinasi kurang lebih seperti ini
Tiga bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak, Alnilam, Mintaka membentuk sabuk sang pemburu.
Bergeser ke sebelah selatan, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse digambarkan sebagai bahu Orion.
Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel yang membentuk kaki Orion.
Sebenarnya masi banyak lagi
Bintang Saiph; berada di sebelah kiri Betelgeuse
Dan bintang Bellatrix
Rigel sendiri adalah bintang ke 6 paling terang di langit dan paling terang di rasi Orion. Sedangkan Betelegeuse termasuk ke dalam 20 bintang paling terang di langit.
Terlepas dari hal itu semua,
Nama Orion ini diambil salah satu tokoh dalam Literatur Mitologi Yunani, dan sekelebat kisahnya pun sudah aku paparkan dalam cerita di atas.
✨✨
Untuk salah satu lagu klasik yang sempet aku singgung juga di cerita ini
Swan Lake
Adalah lagu klasik penggiring drama tarian ballet dengan judul yang sama pula dengan lagu ini.
Ada film barbie kesukaan aku dulu WKWKWK yang diadaptasi dari drama ballet pun ini berjudul sama pula. Swan Lake.
Lagu ini ciptaan dari salah satu komposer favorit Joahn, yaitu Pyotr Ilyich Tchaikovsky
and that's the reason why Joahn recommended this song to Anna~
"Tuhan mencipta cinta,
Juga mencipta sesuatu untuk kita cintai."
Alfred Tennyson ⁺゜
Hindia Belanda, 1940
©️2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro