11 | Anne Robert
Baik. Hari ini Anne dilanda kebosanan tiada tara tiada ampun. Sepi, sendiri, sunyi sungguh amat menyiksa nadi. Seolah bentala pun enggan bersanding dengannya hari ini.
Margarecth — mamanya sedang bertandang ke rumah salah seorang teman. Ntah membahas perihal apa, Anne tidak mau repot-repot mencari tahu sebab tentu saja, karena ia malas.
Anna — Ah! Barangkali kembarannya ini dihujami sebal enggan berkesudahan. Semenjak kejadian dimana Anne diam-diam memergoki Anna bersama Joahn di Societiet Concordia lalu, dengan cepat gadis nakal itu menyebarkan ke mama dan papanya. Tentunya ditambahi bumbu-bumbu pemanas.
Alhasil dari perbuatan yang ia tanam, ia mendapat dampratan langsung dari yang digosipkan. Belum usai sampai disitu, Anna pun tak ingin bertegur sapa sama sekali dengannya. Hingga detik ini.
Dan sekarang ia suntuk setengah mati.
Mbok Darmi pun tak tampak sedari tadi. Ntah kemana. Semua seakan hirap begitu saja. Perlahan ia membolak-balik beberapa lembar buku catatan sejarahnya. Sesekali mengukir aksara, sesekali pula mengerang frustasi. Membosankan. Sesekali pun matanya melirik jarum jam. Masih pukul dua siang.
Terlampau bosan, ia merebahkan kepala di atas meja belajar. Otaknya berkelana, mencari suatu tempat atau apapun itu yang dapat mengindahkan bosan.
Sembari mengingat-ngingat sesuatu, ia mengetuk-ngetukan jemarinya di meja. Harap-harap ada ide terlintas mendadak biar lekas ia bisa lenyapkan itu rasa jemu.
Taman ... Jalanan ... Toko Buku... Pasar? Hmnn.. Pasar?... Boleh juga .. Eh memangnya ada toko buku di pasar ya?... Pasar... Toko buku... AH, IYA!! Toko buku bekas!!
Dan Anne terkikik sendiri. Seolah-olah ide yang sekejap terlintas itu macam mendapat ilham dari Yang Maha Kuasa. Kemudian dara itu segera bangkit dari duduknya, bergegas menuju keluar menuju tempat dimana ia akan datangi. Sesudah menutup pintu rumahnya, ia melenggang pergi.
༻✦༺
Pasar Baroe
03.00 PM
Menaiki trem, Anne lantas turun setelah sampai tujuan. Pasar Baroe. Di ambang depan pasar tersebut ia menyungging senyum puas. Jiwa bebasnya kian beriak tak keruan, menanti petualangan singkat di depan mata.
Wajar ia merasa bahagia. Macam dibebas dari belenggu jeruji besi. Ia tak pernah pergi ke tempat begini macam. Jelas itu semua sebab Rudolph melarang!
Anne menghirup dalam-dalam aroma pasar--meski ada bau-bau tak sedap, Anne tidak pesduli--Dia beranggapan bahwa ini sama saja dengan aroma kebebasan. Kemudian, lanjut ia melangkahkah kakinya memasuki area pasar.
Matanya melihat, menelisik segala sesuatu dirgantara dalam sejumput bumi astula Hindia-Belanda. Pedagang Tionghoa pun turut meramaikan, menjajakan berbagai macam. Obat-obatan tradisional, beberapa hasta karya, pakaian dan masih banyak lain.
Tak lupa tujuan awal pergi ke toko buku, ia kesana. Menghampiri salah satu menjajakan buku usang. Kendati begitu, buku tersebut tak menyurut nilai estetikanya sama sekali. Justru kian terlihat antik dan menarik.
Setelah membayar dengan beberapa sen, ia berjalan kembali mengikuti arah kakinya melangkah. Tak tentu arah. Ia ingin bersenang-senang terlebih dulu. Sebelum lembayung mulai menampak jati diri, dan itu tandanya ia harus kembali.
Sedikit jauh Anne melangkah dari pasar, langkahnya spontan berhenti kala matanya terpaku menatap seseorang yang juga lagi terpaku pula menatap seseorang. Diikutinya arah pandang seseorang yang sepertinya dikenali tersebut dan matanya jatuh pada seorang pria Eropa tua memukul, menendang anak perempuan kecil bertubuh kurus.
Miris. Anne bergidik sendiri dalam hati. Ingin dia maki pria tua bau tanah tersebut seketika, sampai seseorang yang berhasil menarik perhatiannya berjalan menuju tempat perkara.
Anne tak tau pasti secara gamblang mengapa pria Eropa tersebut berhenti melakukan aktivitas kejinya pada si bocah, tetapi pria tua itu beralih menghajar seseorang itu. Ntah kenapa bisa seseorang itu dihajar, padahal Anne lihat seseorang itu tak melakukan kejahatan apapun!
Lama memperhatikan dengan rasa iba, Anne menghampiri kedua orang itu perlahan.
"Mengapa kamu bisa diperlakukan seperti tadi?" tanya seorang tersebut sembari sedikit berjongkok, menjejarkan diri dengan si bocah. Jelas Anne dapat mendengarnya ketika tepat berada di belakang seseorang itu—tentu tanpa disadari sang pemilik suara.
"A ... Aku lapar, Tuan," jawab bocah itu, menunduk. Melodi rapalannya terdengar sangat lemah macam tak ada daya.
"Dan kamu mencuri roti di tokonya?" Bocah kecil itu hanya mengangguk lemah. Sedikit pun tak mendongakan wajah. Seakan tak berani ... Tentu bocah itu takut.
"Yasudah. Kamu tunggu di ujung jalan sana. Nanti aku bawakan roti yang banyak. Cepat segera kesana."
Bocah itu kembali terdiam. Sepertinya sedikit meragu. Takut apa yang dikatakan seseorang itu cuma memberi harapan semu. Tak lama ia mengangguk. Lekas pergi meninggalkan seseorang penolong tirta amartanya, berlari ke arah dimana seseorang tersebut menunjuk suatu tempat dengan tangannya.
Lelaki itu menghembuskan nafas kasar melihat kepergian bocah itu, kembali dirinya terbangun dari posisinya. Dan sangat amat tersentak seluruh palung kalbunya, mendapati Anne — si gadis yang terkenal jadi biang onar berada tepat di belakangnya.
"Robert!" sapa Anne mengulas senyum puas juga ramah yang dibuat—yang justru amat terlihat menyebalkan di mata Robert.
Seperti biasa, Robert hanya menatap tajam. Menghunus tepat di kedua bola matanya. "Mulia sekali diri kamu hari ini, Tuan Robert..."
Tak membalas penuturan Anne sama sekali, Robert justru malah berlalu dari hadapan gadis itu. Kian Anne menyungging senyum penuh kemenangan, agak-agaknya lawannya itu berhasil disulut emosi akan kehadirannya.
Anne segera menghampiri Robert. Menjejarkan langkah di sisi kanan lelaki itu. "Aku habis berjalan-jalan sebentar disini dan tak sengaja menemukan kamu..."
"... Aku akui, perbuatan kamu tadi mulia sekali."
"...."
Hening. Tak ada jawaban. Anne menghembuskan napas kasar, berusaha kuat menyabarkan diri sendiri yang seolah seperti bicara dengan batu.
Hampir lelah Anne menyungging senyum kemenangan. Lama-kelamaan lawannya satu ini berhasil pula membuatnya naik pitam.
"Robert! Mau kemana?"
Lagi dan lagi tak ada jawaban.
"Robert!"
Tetap tak ada jawaban. Ketiadaan respon dari Robert kian membuat Anne mendadak mengerang frustasi berat, meski tak sedikitpun pun tersurut niat berhenti mengikuti kemara arah Robert pergi. Menelisik gang sempit yang sedikit kumuh.
Untuk sekarang, Anne lebih memilih diam. Terus mengikuti kemana Robert melangkah pun lambat laun akan membuat lekaki itu makin gusar sendiri dan pada akhirnya akan mau berbicara dengan ia. Setidaknya itulah yang Anne nantikan.
Sesampainya mereka di balik sebuah tembok bangunan berbatu-bata merah. Robert menghentikan langkah, meletakan tas punggung hitam kemudian mengeluarkan sesuatu. Lelaki itu tampak mengeluarkan sebuah kumis palsu macam misai Tuan Eropa yang lebat melintang. Sejujurnya, Anne ingin tertawa! Tapi karena digerayangi rasa penasaran setengah mati ia jadi lebih pilih meleburkan itu hawa ingin tertawanya.
Dipakainya kumis palsu itu di antara hidung dan mulut, lantas Anne kembali bertanya. "Robert, sebenarnya kamu mau apa?"
"Mencuri," jawab lelaki itu enteng sembari menutup dan mengambil tasnya lagi.
"HAH? MENCURI?! UNT—-"
Spontan saja karena tutuan Anne yang terlampau sangat keras akan keterkejutan, Robert menutup mulut gadis itu. Membekapnya dengan berang, lalu berbisik, "Diam!"
Makhluk dari dimensi mana yang tidak terkejut mendengar pernyataan seseorang ingin mencuri dengan irama santai bak tak ada dosa.
Anne juga tak begitu mengindahkan, ia turut melirik Robert yang nottabene lebih tinggi beberapa senti darinya.
Mata lelaki itu pun, tak lekang menatap bola mata gadis yang kini— tanpa disadari berada cukup amat dekat di hadapnya. Berang dan benci sekaligus beradu-padu Robert rasai kalau-kalau lagi berjumpa dengan Anne.
"Diam! Tak usah berisik!" bisik lelaki itu sekali lagi.
Tak tinggal diam, Anne meronta cukup hebat. Dua tangannya dipergunakan menarik salah satu tangan Robert yang sempurna menutup mulutnya. Namun, tangan itu terlalu kuat.
"Tak 'kan aku lepas sampai kamu mengangguk untuk diam! Paham?!"
Bukannya mengangguk, gadis itu justru menggeleng. Dan benar dugaannya. Amarah lelaki itu semakin terpancar melalui dua bola matanya yang terus tanpa ampun menghunus manik milik Anne.
Kian dekat ditajamkan. Padahal, salah besar Robert melayang tatap seperti itu. Macamnya, Anne memang ditakdirkan jadi rival sejatinya, tak mudah ciut sedikitpun melihat manik itu. Justru netra Anne pun kian terasah tajam berlama-lama bertatap dengan Robert.
Hitungan satu, dua, tiga.
Selepas cukup mengumpulkan tenaga untuk melakukan perlawanan, spontan sebelah kaki Anne menginjak dengan keras salah satu kaki Robert. Berhasil membuat pria itu berteriak kesakitan dan melepas bungkamannya.
"Robert gila! Bagaimana kalau ada orang melihat dan mengira kita melakukan yang tidak -tidak?!"
"Siapa juga yang mau melakukan hal yang tidak- tidak bersama kamu, hah?!" Robert pun tak kalah berang sekaligus frustasi. Berhadapan dengan gadis ini lama-lama dapat membuatnya hipertensi. Tangannya pun tak lupa mengusap kasar sebelah kakinya yang sempurna terinjak kaki Anne. Harap-harap cemas supaya kakinya tak jadi gepeng.
Macam babonlah itu tenaga dara gila!
Mendengar tuturan Robert, Anne mencembik sebal. "Ya mana tau. Kamu seperti tak tau saja mulut penggosip."
Tanpa mengindahkan lagi penuturan Anne, Robert masih setia mengusap kakinya tersebut. Terlalu sakit. "Tenagamu sebesar babon sekali sih!"
Duaghh!!!
"Aw, Anne!!" Gadis itu — Anne tertawa keras, mendapati laki-laki itu mendapat jurus double kill darinya. Yang satu menginjak kaki dan yang satu lagi meninju perut. Bagus! Rudolph harus bangga pada salah seorang daranya ini! Harus!
"Tolong jaga mulutmu, Tuan Robert! Atau tanganku sendiri yang akan bermain," ucap Anne, menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan wajah Robert sembari menyungging senyum kemenangan.
"Diam, Anne! Aku lagi tak ingin bertengkar, kamu paham?!"
Anne menggangguk. Mengiyakan. Membiarkan Robert beralih mengambil tas miliknya. Mengeluarkan Topi Fendora, lalu mengenakan. Persis seperti bangsawan Eropa abad-19.
Dara itu terheran. Tentu saja. Sebenarnya tas Robert berisi apa saja, sih?!
"Robert, tadi kamu bilang ingin mencuri?" tanya Anne sekali lagi. Memastikan.
"Hmn," Robert bergumam acuh. Sama sekali enggan menoleh pada gadis tersebut.
Sejenak Anne tampak berpikir. Lima detik kemudian ide gila melintas dalam benaknya. "Robert... bagaimana jika aku ikut?" —
༻✦༺
AN INFORMATION
Pasar Baru
Jln. Pasar Baru, Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.
—
Pusat Perbelanjaan ini dibangun tahun 1820 dengan nama Passer Baroe oleh pemerintah Hindia Belanda. Kebanyakan para pembelinya adalah orang Belanda yang tinggal di Rijswijk (sekarang Jl. Veteran). Gaya arsitektur bangunan di Pasar Baroe pun kebanyakan bergaya Tionghoa dan Eropa.
Hindia Belanda, 1940
©️2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro