Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02 | Akara Dalam Dermaga

.  * .  .   °  . ● ° .
° :. ° . ☆   .  . • . ● .° °★

L A C R I M O S A
:: Dara-Dara Runtuh ::
02 | Akara Dalam Dermaga


Hindia Belanda, Batavia, 1927
07.00 AM

"Goodemorgen, Meneer. Sudah lama rasanya tak bertemu dengan Tuan ...."

(Selamat pagi, Tuan)

Seorangan pria terlihat sudah berumur menghampiri Rudolph, menjura pada Rudolph yang ia panggil tuan. Sudah pasti pria tersebut adalah seorangan pekerja yang bekerja di kediaman Rudolph di Batavia.

Margarecth memperhatikan pria tersebut betul dengan amat seksama.

Mengenakan penutup kepala dari kain bercorak banyak motif warna coklat tua, surjan berwarna coklat gelap melapisi tubuh kurus pria tersebut dilengkapi pula dengan celana bahan berwarna hitam.

Pria itu tak sendiri. Dibuntuti dua laki-laki yang terlihat sedikit lebih muda, mengenakan model pakaian yang serupa dengan pria tua tersebut.

"Ja. Cepat ambil barangku di dalam kapal!" perintah Rudolph terdengar ketus.

Menurut.

Pria tua tersebut lantas pergi bersama beberapa pasukan kecilnya, mengambil barang bawaan sang tuan di dalam kapal. Seperti dugaan mereka, tuannya nyatanya tidak berubah. Sebelumnya sempat mereka berharap, barangkali setelah tuannya membawa serta-merta manusia terkasihnya, Rudolph akan berubah. Setidak-tidaknya sedikit melembut. Namun, nyatanya harap mereka hanyalah sekadar harap semu.

Ntah dari perangai aslinya yang dingin atau tuannya itu hanya mengikuti tabiat benawat macam Eropa lainnya? Barangkali, boleh jadi dikata macam itu. Biar begitu para pekerja yang melayani Rudolph masih setia bekerja hingga saat ini.

"Siapa mereka, Rudolph?" Kembali Margarecth mengeluarkan pertanyaan. Penasaran. Pandangnya pula masih sigap memperhatikan langkah beberapa orang tadi, sedikit tergesa-gesa menghampiri kapal. Tak lama kemudian, hirap dibalik kerumunan banyak manusia.

"Rudolph!"

Margarecth mengarahkan agahnya ke arah Rudolph. Pikirnya kembali geram. Pertanyaannya tak dijawab walau cuma sepatah-dua. Sesaat, ia memperhatikan Rudolph betul-betul.

Rudolph tengah disibukan aktivitas baru sekarang. Menenangkan putri bungsu mereka yang sudah terbangun dari tidurnya. Sesekali merengek sebab mengeluhkan udara Batavia yang amat panas.

"Papa waar zijn we?"
(Papa dimana kita?)

"Papa ik ben zo heet."
(Papa aku merasa sangat panas).

"Papa!"

Betul-betul tak berbohong bocah mungil dalam dekapan Rudolph itu merasa amat panas. Tak henti tangannya menyikap peluh yang mengaliri wajah. Udara Batavia sungguh jauh berbeda dengan Netherland.

Anak itu berani bersumpah.

Tak jarang, jika terlampau kesal Rudolph memarahi Anne—anak keduanya yang lagi berada dalam dekap. Menurutnya, Anne harus belajar menyesuaikan diri dengan cuaca Hindia Belanda. Di sini tropis bukan seperti Netherland beriklim maritim.

"Ik heb nooit gezegd dat het hier koud was, Anne. Maak uzelf vertrouwd met de situatie hier!"
(Aku tidak pernah mengatakan di sini dingin, Anne. Biasakan dirimu dengan situasi di sini!)

Memang betul! Rudolph tak pernah mengatakan apapun mengenai Tanah Hindia. Tak pernah ia agung-agungkan Batavia. Jadi, ia tak bisa disalahkan dalam hal apapun yang mengecewakan akan ini tanah yang lagi dipijak.

Meskipun begitu, kalau Rudolph diberi pertanyaan, baru ia akan mau jawab dan jelaskan.

"Niet, papa! Kan niet! Breng me terug naar Nederland!"
(Tidak, Papa! Tidak bisa! Bawa aku kembali ke Belanda!)

"Niet! Je kunt niet terug naar Nederland!"
(Tidak! Kamu tidak bisa kembali ke Belanda!)

Bukannya takut akan nada bengis yang Rudolph utarakan, Anne justru semakin menjadi-jadi. Tak ada hentinya Anne merengek, bahkan untuk mendramatisir keadaan, Anne terus meronta dalam gendongan Rudolph. Sesekali ia memukul-mukul bahu papanya.

Berang ditambah pula rasa geram berkecamuk, Rudolph sampai mengancam akan meninggalkan Anne di dermaga atau parahnya menurunkan Anne di tengah jalanan biar anak itu hilang diculik. Alih-alih diam atau takut, tangis Anne justru kian histeris. Ia takut ditinggal dan tak ingin ditinggal!

Apalagi pada ini tanah yang masih asing dalam jiwanya.

Rasa kesal yang sempat mengerogoti uluh hati Margarecth, sejenak berubah. Menjadi tawa tak terbendung melihat pertengkaran ayah dan anak yang sebetulnya sama-sama berkepala batu. Tak ayal Rudolph dengan Anne sering beradu mulut dalam hal apapun meskipun usianya masih terlampau kecil; 5 tahun. Anne tak pernah mau kalah dari Rudolph.

Sejak kecil, Anne ganas, bahkan boleh dikata bringas. Ia tak mau kalah pada hal apapun dan dari siapapun. Hal apa yang menurutnya benar, akan terus ia bela sampai ia raih kemenangan.

Lain hal dengan kembaran sekaligus kakak kandungnya yang terbentang jarak hanya lima menit saat dilahirkan. Anna hanya diam dalam gandengan Margarecth. Menatap dirgantara pesisir Batavia dalam balutan binar mentari pagi.

Sama seperti kembarnya, sejujurnya pun juga ia merasa betul amat panas. Udara Hindia Belanda berbanding terbalik sekali dengan Netherland. Sesekali tangannya mengibas-ngibas wajah serta tengkuk. Panas bukan main!

Pantas Anne terus merengek.

Namun, Anna tak begitu mendramatisir macam kembarnya. Ia cukup tenang menyikapi keadaan. Menurutnya, rengekan atau tangisan seberapa pun keras tak akan mengubah tempat ini dingin seperti Netherland.

"Hei, hei, Rudolph, tenanglah. Jangan tersulut amarah macam begitu," ucap Margarecth diselipi beberapa tawa renyah yang masih bersisa.

Rudolph tak menggubris. Mulutnya masih setia melayangkan beberapa ancaman kepada putri bungsunya. Anne harus diberi pengertian bahwa sekarang adalah babak baru dalam hidup mereka.

"Papa, lapar."

Penuturan singkat Anna sekejap menghentikan aktivitas Rudolph — bertengkar dengan Anne. Wajahnya cepat menoleh ke arah putri sulungnya.

"Ja, Anna. Setelah ini kita makan, sayang. Tunggu orang-orang tadi. Baru kita pergi makan. Bersabar sedikit, ya?"

Anna mengangguk mengerti. Jemarinya kian mengerat pada gandengan sang mama. Jauh di lubuk hatinya, ia tak siap akan kepindahan mengikuti papanya bertugas. Ada rasa janggal terselip dalam benak. Tak seperti mamanya, begitu antusias atau seperti Rudolph yang terkesan apatis.

Ia begitu takut kalau boleh ia ungkap.

Ia takut. Takut akan semua belenggu paradigma dalam pesona Hindia Belanda.

༻✦༺

"Bawa barangku dalam kendaraan dan tunggu di sana. Aku mau makan lebih dulu."

"Ya, Meneer. Kami mohon pamit."

Pria tua tersebut melenggang pergi setelah pamit undur diri bersama pengawal muda-mudanya. Membawa barang bawaan tuan dan nyonya mereka menuju kendaraan Rudolph.

Berbekal prestasi yang cukup tinggi dalam karirnya, Rudolph diberi fasilitas hunian lengkap pula dengan sebuah kendaraan di kawasan Batavia oleh Pemerintah Belanda. Kediaman yang sudah Rudolph tinggali selama dua tahun bersama para pekerja setianya, sekarang pun Margarecth turut menjadi nyonya di kediaman itu.

Lantas mereka pergi, menuju sebuah restoran kecil di sepanjang Dermaga Sunda Kelapa setelah sempat sebelumnya Margarecth melayangkan seulas senyum pada laki-laki paruh baya tadi, yang ia tebak; seorang itu adalah pekerja di rumah Rudolph, kendati begitu hanya dibalas senyum kikuk oleh si pria tua tersebut.

Agak-agaknya pria tua tadi cukup asing diberi senyuman—terutama senyum itu berasal dari bibir Eropa. Seorangan Eropa itu selalu mengelu-elukan rasnya, mana mau ada terbesit niat untuk tersenyum pada penduduk tanah jajahannya yang kerap dipandang kaum tak ada harga?

Biar kata pada abad ini turut bermunculan pemuda-pemudi pribumi terpelajar, bahkan beberapa di antaranya mampu menyamaratakan perang otak dan intelektual dengan kaum Eropa. Namun, tetap saja status dari negara jajahan yang tersemat membuat mereka kerap dipandang sebelah mata. Diskriminasi masih terasa begitu kental menjadi matrik antara Eropa dan pribumi.

Rudolph beserta keluarga kecilnya tiba di sebuah restoran yang menyajikan menu santapan khas Netherland. Rudolph memesan Waterzooimakanan kesukaannya sejenis sup.

Umumnya, Waterzooi pada masa sekarang lebih banyak dijumpai berbahan dasar ayam, lain halnya di restoran ini masih menggunakan bahan dasar ikan laut sebagai bahan utama. Alasan utama mengapa Rudolph menyukai restoran ini. Kalau ia perlu benar bolak-balik Hindia Belanda-Netherland, ia pasti selalu kunjungi restoran ini.

Selain itu, Rudolph juga memesan hidangan pendamping untuk putri-putrinya; Bitterballenkroket yang dibuat dari daging sapi, udang dan bisa pula berisi sayur yang dibalut tepung roti ditemani semangkuk kecil saus keju dan Schuimpjes.

"Papa gaan we hier wonen?" bocah kecil yang hobi merengek itu mulai membuka suara, sembari mengunyah beberapa potong Bitterballen. Tangisnya pun sudah mereda.
(Papa, kita akan tinggal di sini?)

"Ja, Anne."

"Tot wanneer?"
(Sampai kapan?)

"Mijn termijn is voorbij."
(Masa tugasku selesai).

"Ja. Wanneer is dat gebeurd, papa?"
(Iya. Kapan itu terjadi, papa?)

"Als ik oud word."
(Saat aku tua nanti).

Mendengar tuturan Rudolph, membuat Anne kembali merengek berang. Ia tak mau berlama-lama di negara ini.

Sungguh!

Kesan pertama pada Hindia Belanda sudah terlanjur buruk. Bisa-bisa mati kepanasan ia di sini. Membaui aroma tanah Batavia saja sudah mampu buat ia muak. Tak mungkin jika menunggu Rudolph tua nanti ia baru kembali ke Netherland.

Anne lantas meminta Anna untuk menemaninya kembali ke Netherland dan hanya dihadiahi senyuman masam oleh Anna.

Anne memang gila!

Belum lagi mamanya, hanya tertawa melihat tingkah Anne merajuk ingin kembali ke negara asal. Seolah yang tengah Anne lakukan hanyalah lelucon belaka.

Padahal ia serius! Sangat Serius!

Lagi-lagi Anne dihujami amarah oleh Rudolph. Sampai Rudolph banting setir beralih profesi menjadi motivator dadakan dengan harap Anne bisa memahami kondisi dan situasi saat ini yang akan mereka lalui. Seiris nasihat demi nasihat dikeluarkan Rudolph walau mulai kehabisan kata-kata.

Rudolph berjanji di Hindia Belanda ini, kehidupan mereka tak akan jauh berbeda saat di Netherland. Ia akan memanjakan mereka dengan apapun, memberikan apapun yang mereka mau agar kerasan tinggal di tanah Hindia guna menemani sang kepala keluarga Van der Lijn bertugas.

Namun,  jauh di lubuk hati Rudolph, ada janji tersemat yang sebenar-benarnya cukup kelu untuk dirapal. Mungkin saja dalam seumur hidupnya ia hanya mau berucap dalam benak.

Ia akan melindungi tiga nirmalanya. Apapun yang terjadi, bahkan jika itu harus dibayar mahal dengan nyawanya sendiri.

༻✦༺









•• ✨ Untuk Tokoh si kecil Anna & Anne bisa. dibayangkan dengan si imuttttt satu ini ✨ ••

Hindia Belanda, 1927
©️2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro