Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐢 Part 8 🐢

Labuhan Terakhir

Part 8

🐢🐢🐢🐢🐢🍓🍓🍓🐢🐢🐢🐢🐢

Mobil Pajero hitam baru saja berhenti di depan sebuah rumah sederhana, di dalam kendaraan itu terdapat lima pemuda yang menatap penuh tempat mereka akan singgah. Saat empat pemuda mengerutkan kening penuh tanya, satu orang hanya diam mengamati dengan senyuman.

"Rumah siapa, Diz?" tanya Johan yang memang merasa penasaran.

"Ini rumah orang yang nyelamatin lo dulu, kan?" sahut Ricky.

"Betul sekali. Ini rumah Pak Arman. Orang yang akan menuntun kita ke jalan yang benar. Tempat di mana masa depan gue berada," ucap Diaz penuh senyuman. Sedangkan lainnya memandang Diaz tidak mengerti.

Merasa tidak mendapat tanggapan dari teman-temannya, Diaz mengalihkan pandangan. Dilihatnya keempat laki-laki ini yang memandang penuh tanya. "Udah, ayo masuk!" Diaz pun keluar dari mobil.

"Eh, Diz, Diz, Diaz." Tak menghiraukan panggilan dari teman-temannya, Diaz terus melangkah menjauhi mobil.

"Ya elah. Yuk lah kita ikuti dia!" Keempatnya pun segera keluar dari mobil dan menyusul Diaz.

"Tunggu napa, Diz!" Diaz hanya tersenyum dan merangkul pundak Ricky saat pemuda dengan baju kotak-kotak itu sudah berada di sampingnya.

"Assalamualaikum," ucap Diaz.

Keempat temannya memandang Diaz terkejut akan apa yang baru saja mereka dengar. "Itu tadi, Diaz?" tanya Johan pada Ricky dengan berbisik. Padahal, Ricky pun juga terkejut, ia yang juga merasa heran akan Diaz pun hanya menggelengkan kepala.

"Wa'alaikum salam." Suara seseorang terdengar. Tak lama, terlihat perempuan paruh baya—istri dari Pak Arman keluar.

Ibu Marwah memandang lima orang pemuda yang ada di rumahnya ini dengan bingung. Bukan apa-apa, kelima pemuda ini datang dengan penampilan layaknya seorang preman. Celana yang sobek-sobek, rambut warna-warni, dan telinga yang memakai anting seperti perempuan. Pandangan jatuh pada pemuda yang berada di paling depan. Sepertinya dia yang mendekati normal, meskipun celana yang ia kenakan sama dengan yang lainnya. Dan sepertinya—"Kamu?" Ibu Marwah menunjuk Diaz saat mulai bisa mengingat satu orang di antara mereka.

"Diaz, Bu. Yang waktu itu diselamatkan sama ponakan Ibu," sahut Diaz sembari meraih tangan ibu Marwah dan mencium punggung tangannya.

Diaz menoleh pada keempat temannya. "Ye, pada bengong. Cepetan cium tangan." Keempatnya pun buru-buru meraih tangan Ibu Marwah dan melakukan apa yang Diaz lakukan sebelumnya.

"Silakan duduk." Ibu Marwah mempersilahkan pada tempat duduk yang ada di depan rumahnya yang langsung diikuti mereka.

“Mau minum apa?" tanya Ibu Marwah sopan. Bagaimanapun penampilan tamunya, ia selalu menghormati tamu yang singgah di rumah.

"Ah, tidak usah repot-repot, Bu. Kami ke sini ingin bertemu dengan Pak Arman. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan." Ibu Marwah nampak berpikir. Sesaat kemudian, ia pun mengangguk.

"Kalau begitu, saya panggilkan dulu suami saya." Diaz mengangguk dan Ibu Marwah segera berlalu. Diaz tampak menatap heran saat melihat langkah ibu Marwah yang bukan masuk ke rumah melainkan menuju ke samping rumah.

🍓🍓🍓

Saat Ibu Marwah memanggil suaminya, bertepatan pula dengan sang suami dan keponakannya yang baru saja selesai mengajar mengaji. "Assalamualaikum Ustadzah." Para murid yang baru saja selesai mengaji mencium tangan ibu Marwah.

"Wa'alaikum salam." Ibu Marwah menerima salam dari mereka satu persatu, lalu segera menghampiri suaminya saat selesai.

"Abi," Panggil Ibu Marwah pada suaminya.

Pak Arman yang sedang membereskan Al-quran dibantu keponakannya itu mengalihkan pandangan pada sang istri. "Iya, Umi. Ada apa?"

"Ada lima anak muda mencari Abi di rumah," ucap Ibu Marwah pada Pak Arman.

"Anak muda?"

"Iya. Salah satu dari mereka adalah pemuda yang pernah diselamatkan Sahida waktu itu." Pak Arman berpikir sejenak.

"Diaz?" tanyanya memastikan.

"Iya. Diaz." Syifa yang tengah berkutat dengan kegiatannya tak sengaja mendengar ucapan paman dan bibinya.

Pak Arman memandang Syifa yang baru saja meletakkan Al-quran terakhirnya pada rak. Kemudian memandang istrinya kembali. "Ya sudah. Ayo kalau begitu."

"Sahida!" Pak Arman memanggil.

"Iya Paman?"

"Kamu sudah selesai?" Syifa mengangguk. "Jangan lupa kunci pintunya." Pak Arman dan ibu Marwah berlalu diikuti Syifa di belakang mereka yang mengunci ruangan terlebih dahulu.

🍓🍓🍓

Diaz menatap heran anak-anak yang baru saja muncul dari arah kepergian Ibu Marwah. Tak lama, senyumnya terbit kala mendapati Pak Arman dan Ibu Marwah yang juga telah datang. Belum lagi seorang gadis cantik yang berjalan di belakang keduanya. Gadis cantik yang selalu memenuhi pikiran sejak pertama kali Diaz melihat.

"Wihh, cantik bener?" Diaz tersadar dari lamunannya saat mendengar ucapan Johan. Ia memandang temannya yang menatap Syifa tak berkedip. Satu pukulan Diaz daratkan pada Johan yang berhasil membuat pemuda dengan kaus hitam Black Devil itu mengadu.

"Aduh. Apa-apaan sih, Diz?" eluh Johan dengan mengusap kepala yang sakit karena terkena pukulan Diaz.

"Jaga tuh mata sebelum gue congkel. Masa depan gue itu." Johan hanya mengerucutkan bibirnya. Ketiga temannya yang lain, menertawakan Johan yang mendapat pukulan dari Diaz. Tentunya dengan suara lirih.

"Nak Diaz." Diaz menatap Pak Arman yang sudah dekat. Segeralah ia berdiri dan mencium tangan Pak Arman diikuti keempat temannya.

Pak Arman memandang Diaz bingung. ‘Silakan duduk."

Diaz dan keempat temannya pun duduk. "Sahida!"

Syifa yang sebelumnya ingin memasuki rumah pun berhenti. "Tolong buatkan mereka minum." Syifa mengangguk.

"Ada perlu apa, Nak Diaz?" Diaz menggaruk kepalanya. Ia tampak bingung untuk menyampaikan niatnya.

"Saya malu, Pak mau bilangnya," ucap Diaz dengan tersenyum tak enak.

Pak Arman yang melihat itu tersenyum. "Jangan malu, Nak. Kalau malu, bagaimana saya tahu ada apa Nak Diaz ini kemari."

Diaz membenarkan itu, tak ada keraguan lagi ia untuk mengutarakan niatnya. "Sebelum itu perkenalkan dulu. Ini teman saya Ricky. Dan yang berdiri di belakang saya ini Andre. Ini Johan dan ini Alex." Tunjuk Diaz pada teman-temannya. "Saya, ingin meminta bantuan Bapak," ucap Diaz ragu.

"Bantuan apa, Nak Diaz?"

"Saya ingin, maksud saya, kami ingin belajar agama, Pak."

Sempat Pak Arman menatap Diaz heran. Melihat itu, Diaz segera memperjelas. "Kami ... selama ini kami merasa kalau kami jauh dari Alloh, Pak. KTP kami Islam, tapi kami tidak pernah salat. Oleh karena itu, saya dan teman saya ingin belajar," jelas Diaz yang kali ini mampu dipahami oleh Pak Arman.

Pak Arman tersenyum. "Alhamdulillah," ucap Pak Arman dan Ibu Marwah. Namun, berbeda dengan keempat temannya. Mereka yang memang belum tahu niat itu pun akhirnya memandang Diaz penuh tanya.

Dan di lain sisi, Syifa turut terkejut saat mendengar ucapan Diaz. Ia sampai mematung di ambang pintu rumah. Tangannya mencengkeram nampan yang berisikan gelas-gelas minuman. Menormalkan rasa terkejutnya, Syifa segera mengantar minuman itu untuk Diaz dan teman-temannya.

"Saya senang mendengarnya. Pasti. Pasti saya akan bantu." Diaz merasa lega karena Pak Arman bersedia membantunya. "Kalau boleh tahu, apa yang mendorong Nak Diaz dan teman-temannya ini untuk bertaubat?"

Diaz memandang Syifa yang datang membawa minuman sekilas. "Saya sedang menyukai seseorang, Pak," jawab Diaz jujur yang membuat ia mendapat pandangan penuh dari Pak Arman.

Sedangkan Syifa kembali dibuat terkejut. Kali ini, jantungnya kembali berdegup melebihi irama sewajarnya. Syifa segera undur diri saat ia telah selesai menata minuman. Memasuki kamarnya dan duduk di atas kasurnya. Syifa masih bisa mendengar obrolan Diaz dan pamannya, karena kamarnya yang berada tepat di belakang Diaz duduk.

"Dan orang itu mengatakan kalau dia menginginkan suami yang memiliki iman. Sedangkan saya, sangat jauh dengan itu. Maka dari itu saya ingin berubah." Diaz menjawab dengan jujur yang membuat Pak Arman tersenyum.

"Kalau yang lain?" Ricky dan yang lainnya merasa bingung harus menjawab apa.

"E-sa--saya. Saya takut mati, Pak!" jawab Ricky cepat sembari memperlihatkan senyuman lebarnya. Andre, Johan dan Zehan yang berada di belakang mengangguk dengan cepat.

Pak Arman dan Ibu Marwah tertawa renyah, merasa lucu dengan alasan anak-anak jaman sekarang. "Ekhm. Baiklah. Saya akan membantu. Tapi, alangkah baiknya, jika taubat itu didasari dari hati dan karena Alloh SWT. Bukan karena yang lain."

Diaz dan yang lainnya tampak diam. "Tapi tidak apa-apa. Setidaknya, kalian ada niatan untuk berubah. Semoga di perjalanan kalian mendekatkan diri pada Alloh, kalian menemukan niat yang benar-benar karena Alloh."

Diaz dan teman-temannya tersenyum. "Terima kasih, Pak."

"Ya sudah. Kita mulai besok saja. Setelah magrib, kita akan mulai. Bagaimana?" Kelima pemuda itu mengangguk semangat.

"Secepatnya lebih baik, Pak." Tak henti-hentinya mereka mengucapkan terima kasih kepada Pak Arman. Setelah beberapa waktu berbincang, Diaz dan yang lainnya pun undur diri. Ia sudah merasa tidak sabar untuk menjalani apa yang akan ia lakukan demi Syifa.

Pak Arman dan Ibu Marwah memandang Diaz dan teman-temannya yang menuju mobil. "Anak jaman sekarang kalau tobat alasannya aneh-aneh ya, Bi."

"Tidak apa-apa, Umi. Asalkan ada niatan pada diri mereka. Dan Abi yakin, lambat laun, mereka akan tahu taubat mereka yang sesungguhnya untuk siapa." Ibu Marwah mengangguk.

Sedangkan Syifa, ia tersenyum sendiri di dalam kamarnya. Entahlah. Syifa juga tidak tahu kenapa ia merasa bahagia. Hanya saja, ada perasaan sejuk hinggap di hatinya. Ya Alloh. Apa yang terjadi?

🐢🐢🐢🐢🍓🍓🍓🐢🐢🐢🐢🐢

Berapa hari aku belum up?
Yok kita kejar DLnya

🤗🤗🤗🤗

🤗🤗🤗🤗

🐢Salam🐢
🍓 EdhaStory🍓

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro