Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. BOLOS?

Hasil revisi :) enjoy reading :D

5. BOLOS?

Suasana kantin mulai heboh saat gerombolan pentolan dari kelas sepuluh IPS satu memasuki kawasan kantin. Rey berjalan dengan senyuman khasnya duduk di salah satu kursi kantin. Mereka saling berpencar ketika memesan makanan. Namun Rey lebih memilih untuk diam dan menyuruh Adit untuk memesan makanan.

"Dit, gue titip es jeruk aja satu. Please..."

Rey memohon dengan menatap Adit lekat. Sontak Adit menatapnya datar. "Ok. Lo Bim? Mau titip?"

Bimo berdiri, "Gue ikut aja."

Rey berdecak kagum melihat kedua temannya sangat akrab. Tak sengaja ia memalingkan muka ke arah pojok kantin. Dilihatnya gerombolan pentolan dari kelas sebelas dan dua belas mulai membuat rusuh. Pemandangan biasa jika banyak sekali siswa berandalan yang selalu menggoda anak perempuan yang melewati mereka.

Siulan, panggilan, memang membuat risih saat setiap anak perempuan melewati mereka. Jika tidak anak perempuan, anak lelaki selalu mereka mintai uang jajan mereka. Dengan mata mengintimidasi, mereka bisa saja mendapat uang tersebut dengan mudah.

"Wey! Nih es jeruk lo."

Rey tersenyum saat Adit menyodorkan segelas es jeruk, "Makasih yah, Adit." kata Rey berlebihan.

Adit menatapnya datar, "Sama-sama. Lain kali, lo punya tangan sama kaki masih utuh. Manfaatin!"

Rey berdecak, "Itungan banget sih, makin ganteng aja,"

Adit bergidik ngeri melihat Rey mengelus pundaknya. "Najong lo!"

"Hey-hey! Ada yang bening tuh!" Bimo berbisik mengkode kedua temannya untuk melihat apa yang dilihatnya. "Cecanss guys.. "

Rey dan Adit melihat seorang gadis cantik hendak melewati mereka. Senyuman jail mulai terukir di bibir Rey. Ia menatap lekat nametag di dada sebelah kanan seragam gadis tersebut. Tanpa merasa malu, Rey mengeja nama tersebut dengan keras.

"Te-ata-sya. Tasya. "

Sontak si pemilik nama menoleh kearah sumber suara. Matanya melirik Rey yang langsung menyeruput es jeruk miliknya. Bimo melahap baksonya acuh, sedangkan Adit mengunyah snack digenggamannya. Tasya mengernyit heran, ia menggeleng sambil melangkah melewati mereka.

"Tasya cantik, ngedate yuk.. "

Rey kembali menggodanya, membuat Tasya langsung menoleh kearah mereka lagi dengan wajah memerah.

Posisi mereka berubah drastis. Rey melahap bakso milik Bimo, Adit merebut es jeruk milik Rey, sedangkan Bimo mengunyah snack milik Adit. Tasya terkekeh melihatnya. Ia berusaha menahan tawa kembali melanjutkan perjalanan.

"Loh? Kok kita beda posisi gini sih? Perasaan gue kalo lagi salting gak gini-gini amat." kata Rey dengan mulut penuh bakso.

"Goblok! Lo jangan asal jeplak aja kalau ngomong! Udah tau itu kakak kelas, speechless gue.." jawab Bimo merebut mangkuk bakso dari Rey.

Adit berdecak sebelum menyeruput es jeruk milik Rey, "Udahlah, jangan pada ribut,"

"Eh, itu punya gue, Nyet!" Rey merebut kembali es jeruk dari tangan Adit. "Beli sendiri!"

"Setan! Lo itu udah nyuruh gue, terus nyuruh gue lagi buat beli tuh es jeruk? Gue gibeng juga lo!"

"Sabar Dit, sabar.." Bimo mencoba menenangkan Adit yang sudah siap memukul Rey kapan saja.

Adit mendengus kesal menatap Rey tajam, namun yang ditatap hanya menaikan bahu tidak peduli. "Rey! Itu kayaknya si Elisa deh, tuh-tuh!" Adit mulai heboh menunjukkan dagunya kearah ketiga gadis yang jelas-jelas menghampiri mereka.

"Elisa? Oh yang suka nyanyi... bentar, ehem. Let it go... Let it go... Can't hold you back anymore... Let it-"

"Itu mah Elsa, kuda. Elsa! Wah.. Lo ternyata suka liat film yang begituan ya.. tujuh belas tahun ke bawah!" potong Adit mengejek.

Bimo yang tidak terima menggebrak meja geram, "Monyet. Jangan buka kartu napa!" membuat Rey menoleh kaget.

"Eh, Rey! Kamu sekolah di sini?" seorang gadis cantik mulai menyapa Rey dengan rentetan behel di giginya, "Ikutin aku? Atau ikutin kakak kamu?"

Kedua teman Rey lebih memilih diam, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sedangkan Rey berusaha mati-matian untuk tidak terpancing emosi saat ia kembali melihat gadis yang pernah menginjakkan kaki di hatinya. Rey tersenyum miris saat kembali mengingat kejadian saat Rey memutuskan hubungan dengan gadis tersebut.

"Kamu benar-benar tidak akan menyesal? Kamu mau menemani saya malam ini hanya untuk mempunyai ponsel juga tas baru?" suara bariton mulai menguasai pikiran gadis itu, ia menangis dalam hati, berusaha memantapkan tekadnya untuk mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan.

"I-iya Om, saya mau Om," gadis itu mulai berfikir keras antara senang juga menyesali keputusannya tersebut.

"Kamu yakin? Maksudnya benar-benar yakin?"

Gadis itu menelan ludahnya sulit, memejamkan matanya perlahan. Menghembuskan nafasnya yang berat, kembali menatap pria berbalut jas mahal itu dengan penuh kepastian.

"Saya siap Om."

Setelah menunggu lama di depan restoran di dekat club, Rey tak henti-hentinya menelepon kekasihnya dengan perasaan resah dan gelisah.

"Kamu kemana sih, aku hampir gila nyari kamu kemana-mana.." bisiknya lirih pada ponsel di telinganya. Harap-harap cemas Elisa mengangkat teleponnya.

Terakhir kali mereka bertemu saat Elisa menangis karena teman sekelasnya menjauhi gadis itu dengan alasan tidak masuk akal. Kurang gaul juga ketinggalan zaman dengan semua barang jadul yang dimilikinya. Elisa menangis mengacuhkan Rey yang sontak mengejarnya hingga kehilangan jejak. Menghilang beberapa hari meninggalkan sekolah tanpa kabar. Rey mulai mencarinya kemana-mana, namun nihil.

"Ck! Lo kemana sih!"

Rey berjalan menuju club di seberang restoran, berencana untuk menghilangkan rasa gelisah juga stress yang biasanya orang-orang selalu mengunjungi bar jika mereka membutuhkan hiburan sementara.

Rey mulai memberanikan diri memasuki kawasan paling berbahaya bagi remaja tanggung sepertinya. Bahkan untuk kali pertamanya ia melihat ruangan penuh dengan manusia tengah berjoget ria tanpa malu. Aroma alkohol mulai menyengat penciumannya saat ia berjalan ke arah meja bartender. Banyak sekali kalangan muda dan tua tanpa malu bercinta dengan semau mereka. Rey tersenyum miris saat seorang wanita menghampirinya dalam keadaan mabuk berat.

"Eh ganteng.. sendirian aja.."

"I-iya, Tante," Rey menjawab setengah mati karena takut.

"Yah.. Jangan panggil aku Tante ah! Aku Molly, kamu? Kayaknya masih SMA? Eh, enggak. SMP ya?" wanita itu mulai mengelus dada bidang milik Rey tanpa permisi. Rey terkejut, ia segera menjauhkan diri berjalan ke arah kerumunan, meninggalkan wanita mabuk tadi.

"Anjir! Mimpi apa gue semalem digoda nenek lampir lagi teler? Hih.. "

Rey merasa risih sendiri, ia berencana untuk pergi ke kamar mandi hendak mencuci muka. Rasa lelah juga kantuk mulai menyerang mata.

Setelah mencuci muka di depan restorm, tak sengaja ia melihat seorang pria tampan dengan pakaian yang sedikit berantakan baru saja keluar dari toilet disampingnya. Tangannya membenarkan resleting celananya berlalu melewati Rey berdiri. Rey mendengus geli melihatnya sebelum akhirnya seorang gadis cantik keluar dari toilet yang sama dengan dress yang terlihat kusut juga berantakan.

Rey terkejut bukan main saat mengetahui gadis yang selama ini ia cari dan selama ini selalu menghiasi hati juga pikirannya. Gadis yang ia cintai baru saja melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh sepasang suami istri. Mereka berdua saling menatap satu sama lain. Elisa kehilangan kata-kata, hanya air mata yang bisa mewakili jutaan rasa yang sulit untuk disampaikan.

"Oh! Jadi ini yang lo maksud, hem...? Pergi tanpa kabar? Bagus! Gue hampir gila mikirin lo setiap hari. Dan ternyata? Wow! Lo dibayar berapa setiap malamnya, Bitch?"

Rey tersenyum miris, berusaha menguatkan hatinya yang mulai hancur tepat di satu titik terdalam. Tatapan kecewa dan rindu bercampur dengan hati yang mulai hancur berkeping-keping. Tubuh Rey mendadak lemas melihat Elisa berusaha menggenggam kedua tangannya dengan gemetar hebat. Namun dengan cepat Rey menepis tangan Elisa dengan keras.

"Rey, aku bisa jelasin semuanya!"

"Gue gak butuh alasan buat cewek murahan kayak lo. Lo sadar gak sih, gue udah ngasih semuanya ke elo, tapi lo? Ngasih kejutan buat gue. Thanks girl! sebagai rasa terima kasih gue ke elo, GUE PUTUSIN LO sekarang juga!" Rey tersenyum getir meninggalkan Elisa, menahan rasa sakit di hatinya.

"Rey, please.. Gue gak mau putus. Gue masih sayang sama lo!" Elisa berusaha menahan Rey untuk mendengarkannya.

"Sayang? Hahaha! Bullshit. Setelah gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, lo udah... sama om-om!" Rey sudah siap meledakan emosinya. "Lo bisa mikir gak sih kalo mau ngelakuin sesuatu. Banyak kerjaan yang bisa buat lo beli semua apa yang lo mau. Bukan cara instan kayak gini. Dan mulai detik ini, gue mau lo jauh-jauh dari kehidupan gue."

"Rey.. Ini semua gak seperti yang lo pikirin-"

"Gue kecewa sama lo, El. Gue terlanjur benci! Lo... emang bener-bener hina! Anjing banget lo jadi cewek! Akal lo mana sih? Uang? Ck! Fuck bitch!" Rey berlalu meninggalkan Elisa yang tak henti-hentinya menyesali perbuatannya tersebut.

Rey benar-benar terpukul, ia tidak habis pikir bagaimana bisa Elisa yang dikenal sebagai cewek rajin yang selalu ada saat acara-acara keagamaan, membuat Rey jatuh cinta pada sosok kakak kelasnya tersebut. Namun rasa suka dan benci itu beda tipis kan? Kadang, disaat seseorang menyukai pujaan hatinya dengan berlebihan, ia akan merasakan sakit hati yang justru lebih menyakitkan saat dikecewakan. Maka timbulah rasa ketidaksukaan, marah, benci, hingga akhirnya pura-pura tidak mengenal satu sama lain. Padahal pernah menjalin hubungan dari hati ke hati.

"Kebetulan aja, eh!" Rey terkejut saat kedua tangan Elisa mulai merangkul Rey manja.

"Kebetulan atau takdir..?"

"Kebetulan Elisa. Ya udah, tangan lo nya turunin, malu dong sama brondong! Apalagi brondong kere kayak gue" Rey berusaha melepas kedua tangan Elisa.

"Ih.. apaan sih! Kamu kok makin lucu ya! Eh, ya udah aku mau ke kelas dulu," kata Elisa sebelum akhirnya mendekatkan bibirnya ke arah telinga Rey, "Aku kangen."

Rey membeku mendengar pernyataan Elisa. Ia tidak menghiraukan Elisa dengan kedua teman-nya berlalu pergi. Rasa benci, muak, kesal, kecewa mulai menyeruak dalam hatinya. Beberapa kali ia menghela nafas berat berusaha membuang semua rasa itu kembali, tetapi malah semakin menjadi.

"Rey, kita ke kelas yuk! pelajaran Pak Deri, guru Matematika." ajak Adit berdiri dari duduknya.

"Lo aja deh, gue males." jawab Rey malas, tatapannya kosong.

"Eh.. emang sekolah ini punya abang lo, heh? Baru aja masuk kelas sepuluh! Hari pertama coy! Lo gak takut?"

Tidak ada jawaban. Adit mendengus kesal, "Ya udah gue ke kelas bhay! Mo, lo mau ikut gue atau ikut bolos?"

Bimo hendak berdiri. Ia menoleh ke arah Rey yang masih bergeming. Pilihan yang sangat rumit. Bimo akhirnya lebih memilih duduk kembali, sontak Adit terkejut.

"Bo to the lose, bhay Adit!"

Adit berdecak kesal, berjalan meninggalkan kedua temannya yang lebih memilih jalan yang salah. Bolos di hari pertama sekolah memang merupakan santapan lezat bagi guru konseling untuk menggiring mereka masuk ke ruang BK.

"Mo, kita bolos ke rumah gue yuk! Gue lagi sebel sama si Elisa." kata Rey merogoh ponsel di dalam saku celana.

"Tapi gimana kalau abang lo nyariin kita?" Tanya Bimo cemas, ia melirik kesana kemari, kantin sudah kosong.

"Santai aja, kita ajak temen kita di luar sekolah,"

"Dicky?"

"Yoi! Kita janjian di gerbang belakang sekolah."

Dengan gerakan cepat, mereka berdua berjalan menuju pagar belakang sekolah. Dengan segera Rey menelepon Dicky untuk melancarkan aksi kaburnya tersebut.

"Nyet! Cabut yuk! Gue tunggu di gerbang belakang sekolah gue okey! Sama Bimo,"

"Gimana ya? Oke deh! Di rumah lo ya! Gue lagi bokek nih!" jawab Dicky di seberang telepon.

"Ya udah, gue tunggu!"

Rey memutuskan sambungan telepon, senyuman mulai tersungging di bibirnya.

"Gimana?" Tanya Bimo antusias.

"Pasti!"

Mereka bertos ria, menunggu Dicky tepat di pagar belakang sekolah. Tempat yang menjadi saksi bisu di mana kali pertamanya mereka bolos di hari pertama sekolah.

"Rey, yang tadi itu mantan lo?"

Bimo mulai membuka pembicaraan, menatap Rey seakan meminta penjelasan, mengapa dirinya sampai terpengaruh hanya karena bertemu dengan mantan kekasih.

Rey menoleh, mengernyitkan kedua alisnya lalu menatap Bimo dalam.

"Lo jangan liatin gue kayak gitu dong, deg-degan liatnya," aku Bimo berlebihan, Rey menatapnya datar lalu menoyor kepala Bimo pelan.

"Anjir! Dia emang mantan gue, mantan ter-hina."

Bimo terkekeh mendengar jawaban Rey, "Sadis amat. Sampai dibilang hina. Emangnya tuh cewek kenapa?"

Rey menggeleng pelan, dikeluarkannya rokok dari saku celananya, "Pinjem korek," pinta Rey.

"Bentar..." Bimo memberikan korek dari saku celana pada Rey, "Nih. Emang ada apaan sih, kepo gue!"

Rey terkekeh, menyalakan rokok di mulutnya dengan santai. Kepulan asap rokok mulai berbaur dengan udara di sekitar mereka. "Sebenernya, dia itu-"

Rey merasakan ponselnya bergetar, didapatinya ponsel itu dengan notif sms dari Dicky.

Gue udah nyampe, Nyet. Cepet. Gpl.

Rey mendengus kasar, baru saja ia menyesap rokoknya, ia membuang rokok tersebut ke tanah lalu menginjaknya sampai mati.

"Ada apaan?" tanya Bimo antusias.

Rey menyeringai, "It show time."

Bimo mengangguk mantap, mereka berdua berusaha memanjat pagar sekolah dengan susah payah. Sepasang mata melihat aksi mereka dengan tatapan penuh kekesalan.

"Hei! Kalian berdua! Jangan kabur! Woy!"

Rey dan Bimo terkejut bukan main, mereka segera terjun dari atas pagar berlari dengan cepat menuju halte untuk menghindari kejaran seseorang yang memergoki aksi mereka.

"Dick!"

Mereka berdua bertos ria dengan Dicky, dengan cepat mereka bertiga menyetop bus jurusan rumah Rey. Meninggalkan sekolah hanya dengan berbekal seragam sekolah yang mereka kenakan.

***

"Akhirnya.. Capek juga kabur dari mahluk astral!" Rey mengusap rambutnya pelan.

"Eh, tumben lo berdua ngajak gue bolos?" tanya Dicky menatap kedua temannya heran. Rasa panas mulai menyengat saat sinar matahari mulai berada tepat pukul sebelas siang.

"Pengen aja. Kangen." Rey menjawab santai, berjalan ke arah pintu bus.

"Anjir! Rey, sejak kapan lo bisa sweet gitu?" tanya Dicky berlebihan, Bimo yang melihatnya langsung mengeluarkan ekspresi ingin muntahnya.

"Sini-sini! Lo-lo berdua mau ikutan gak!"

Rey memanggil kedua temannya untuk mengikuti aksinya, berdiri tepat di pintu bus yang bisa membahayakan keselamatan mereka. Keduanya tertarik, mereka mengikuti aksi Rey yang sangat mengundang perhatian pengguna jalan. Sudah berapa kali mereka mendapat peringatan juga teguran dari penumpang juga supir bus, tapi mereka tetap tidak memedulikannya.

"Hey cewek... " Rey berceletuk pada siswa berseragam SMP di pinggir jalan, sontak gadis itu menoleh dengan wajah memerah.

"Jadi gebetan gue yuk...." tambah Rey saat bus melewati gadis itu.

Sedetik kemudian tawa mereka pecah. Rey terkekeh melihatnya. "Udah-udah, tuh cewek emang payah. Digituin aja udah merah pipinya,"

"Eh! Lo lupa pas waktu MOPD lo blushing gara-gara digombalin sama Jane?"

Rey menatap Bimo tajam, dia belum tahu Begs!

"Lo blushing gara-gara cewek? Anjir? Apa kata dunia? Hahaha...!!!" Dicky tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan Bimo yang menurutnya sangatlah mustahil. Rey blushing sama cewek? Gak kebalik tuh? Batin Dicky menatap Rey tak percaya.

"Biasa aja kali Dick, gue cowok normal. Wajarlah blushing gara-gara cewek." Rey menjawab santai, berusaha menghilangkan rasa gugup saat mengingat kejadian paling memalukan baginya.

"Tapi yang jadi pertanyaan, lo udah bisa move on dari-"

"Stop Bang! Turun sini!"

Rey berusaha memotong pembicaraanya Dicky. Dengan cepat mereka turun dari Bus berjalan masuk menuju perumahan mewah yang hanya bisa didiami oleh kalangan atas dengan harga yang sangat fantastis. Dicky menatap Rey tidak mengerti, ia lebih memilih diam berjalan menyusuri perumahan yang cukup sepi.

***

"Rey, di rumah gak ada orang napa? Sepi amat?" Tanya Bimo sambil melihat sekeliling ruangan rumah yang terbilang megah juga klasik.

"Udah biasa. Tenang aja gak ada mahluk astral di sini, dia lagi di alamnya." Rey menjawabnya santai.

Sesaat pandangan Bimo terhenti pada sebuah etalase dan ruangan kaca yang di dalamnya terdapat beberapa ular yang cukup berbisa. Ia berdecak kagum melihatnya, "Waw.. dapet darimana Abang lo, Rey? Anjir...keren..."

Dicky yang sudah terbiasa main ke rumah Rey segera menjawab pertanyaan Bimo, "Bokapnya melihara ular sama musang."

Bimo ber-oh ria. Rey menggeleng pelan melihat tatapan kagum Bimo pada hewan-hewan itu, "Kalian ke kamar gue duluan, nanti gue nyusul." Rey menyuruh kedua temannya sambil berjalan menuju dapur, membuka kulkas lalu mengambil beberapa botol vodka dengan beberapa bungkus kacang tanah di pangkuannya.

"Den, udah pulang lagi?"

Seorang wanita paruh baya bertanya dengan celemek yang melekat di tubuhnya, "Gue bolos. Jangan banyak tanya. Gue bawa temen ke kamar."

Rey berlalu meninggalkan wanita itu menuju kamarnya tepat berada di lantai dua.

"Lo gak salah mau minum yang begituan?" Tanya Bimo gelagapan sekaligus terkejut saat untuk kali pertamanya ia melihat beberapa botol vodka di pangkuan Rey. Ia hanya tahu bahwa minuman keras seperti itu hanya ada di club atau di film-film.

"Iyalah! Kalau mood gue buruk, pasti gue minum ini. Ya gak Dick?" yang ditanya hanya mengagguk mantap.

"Gimana ya? Aduh, soalnya gue belum pernah minum kayak begituan coy..." Bimo menggidikan bahunya merinding saat Rey menuangkan minuman itu di gelasnya.

"Santai ajalah.." Dicky menjawab enteng.

"Tapi... gimana kalau ada yang liat kita minum?" Bimo mulai labil dalam mengambil keputusan. Antara ikut meminum atau hanya menonton karena belum pernah mencoba.

Melihatnya Rey merasa gemas sendiri. Ia berjalan menuju gorden kamar lalu menutupnya rapat-rapat.

"Nah..! Gak ada yang liat kan, ayo bersenang-senang!"

"Cheers!!!"

Rey dan Dicky langsung meneguk cairan bening itu sampai tandas, tanpa merasa ragu ataupun takut. Bimo masih dalam posisinya, memegang gelas yang masih penuh dengan tangan gemetar.

"Mo! Ckckck, ayolah! Lo jangan takut gitu dong.. ayo dong minum.." Rey mencoba memberi tekanan juga dorongan agar Bimo segera meminum minuman tersebut.

"Ayolah Bim, lo jangan jadi pengecut! Jantan!" tambah Dicky memanas-manasi.

Akhirnya, dengan berat hati, Bimo meminumnya hingga habis dengan sedikit meringis. Rasa pahit, dingin, juga keras mulai melewati lidah juga tenggorokan. Bimo sempat ingin muntah, namun dengan cepat Rey menambah kembali gelas Bimo dengan minuman tersebut.

"Gimana? Enak?" tanya Rey mulai merasakan pusing berat di kepalanya.

"Lumayan. Enak-enak! Lo dapet darimana tuh minuman?" Bimo mulai menuangkan kembali minuman itu, hingga membuatnya sedikit ketagihan.

"Bokap punya beberapa hotel sama resort di Bali sama Lombok, dan dia suka bawa kayak beginian ke rumah, buat ilangin stress dari Oma gue." Rey menjawabnya dengan suara serak.

"Nih, gue bawa rokok." Dicky melemparkan sebungkus rokok dari saku celananya.

"Nah.. kalau ini baru gue mau!" Rey dan Bimo mengambilnya dengan cepat, dihisapnya rokok itu dengan perlahan. Kepulan asap rokok juga aroma vodka mulai mengisi kamar Rey.

"Eh! Bokap nyokap lo kemana? Kayaknya jarang ada di rumah ya?" Tanya Bimo sesekali menghisap rokoknya.

Rey terkekeh, "Bokap nyokap gue emang jarang pulang, mereka lagi kerja di Bali. Gue cuman berdua sama abang gue di sini. Ditambah Bik Yonse."

"Kalau bokap nyokap lo tahu lo kayak gini gimana?" tanya Bimo lagi.

"Mereka tau gue kayak gini semenjak gue kelas dua SMP. Dimana pada saat itu gue baru tau apa itu yang namanya bar sama dunia malam. Anggap ajalah gue sama abang gue cuman penghuni rumah doang, udahlah! Gue makin sebel kalau inget mereka. Baper!" kata Rey melempar beberapa kacang tanah ke arah Bimo.

"Kalau soal Elisa? Anjir! Gue kepo banget!" Bimo menatap Rey penasaran, sedangkan Dicky menunggu reaksi Rey tentang mantan kekasihnya itu.

"Bim, gue tahu lo pengen tahu banget soal tadi. Dia itu cewek terhebat yang dulu pernah menggerakan hati gue ke jalan yang benar. Cewek yang selalu buat gue kagum, tertarik, sampai akhirnya kepercayaan gue lenyap saat gue liat dia jual diri di bar depan restoran JA tepat di depan mata kepala gue sendiri. Emang hina tuh cewek!"

Rey kembali meneguk beberapa gelas hingga satu botol habis tandas olehnya. Rasa muak, kecewa, benci, marah mulai menyeruak saat ia menceritakan kembali kejadian yang seharusnya bisa terhapus dalam memori. Masa lalu yang terus mengejarnya agar untuk diingat kembali.

"So-sorry Rey, gue gak bermaksud buka luka hati lo dulu. Gue-"

"Udahlah! Gak usah minta maaf!" Rey memotong permintaan maaf Bimo.

"Masih banyak cewek di luaran sana. Eh! Bukannya tadi Bimo bilang, lo pernah blushing gara-gara Je.. siapa sih Bim?" tanya Dicky pada Bimo.

"Jane. Temen sekelas." Bimo menjawabnya santai.

Rey tersenyum miring, mengulum bibir bawahnya setelah menenggak kembali minuman haram itu, "Liat aja nanti, dia bakalan tunduk sama gue. Permainan seorang Rey belum dimulai. Dan gue yakin, gue bakal dapetin hatinya."

"Sok ambisius lo! Emang si Jane-Jane itu mau sama lo?" tanya Dicky mengejek. "Kayaknya... aku sih No.." tambahnya sambil mengusap dagunya pelan.

Rey menatapnya sengit, "Bodo amat. Gue gak peduli!"

"Gue sih agak keberatan Rey. Jangan mainin perasaan cewek kalau lo bener-bener belum bisa move on dari mantan-mantan lo." Dicky mulai berkomentar, membuat Bimo menoleh kearahnya.

"Kenapa? Kalau menurut gue sih, fine-fine aja. Asal Rey jangan baper kalau misalnya ketemu mantan. Kayak gue, let it flow.." kata Bimo sesekali mengunyah beberapa kacang tanah.

"Emang mantan lo siapa, Bim? Gue gak tahu satu pun mantan lo. Karena kita gak satu sekolah." Tanya Dicky penasaran, tangannya masih setia menuangkan minuman haram itu ke gelas Rey.

"Cewek yang ditaksir manusia ini." Bimo menunjuk ke arah Rey.

Lengang. Rey tersedak mendengarnya, "Lo... mantannya Jane Bim?" tanya Rey sambil menggoyang-goyangkan bahu temannya itu, "Jawab Nyet, lo-"

"Hm..." Bimo mengangguk takzim.

Dicky yang mendengarnya terkejut bukan main sampai mulutnya sedikit terbuka, "Rey... lo... bener-bener goblok! Lo ngincer mantan temen lo sendiri! Gak ada yang lain napa!"

"Sialan! Gue kira lo bukan mantan tuh cewek! Kalau gitu gue gak bakal ganggu hubungan kalian lah!" Rey tersenyum kecut, mencoba menerima kenyataan bahwa temannya ini adalah mantan kekasih Jane.

Bimo menggeleng, "Tenang aja... ambil hati dia, bukan kepolosannya doang. Dia masih polos, labil, dan... susah ditebak. Setahu gue sih itu. Udah! Jangan dipikirin kalau gue itu mantan dia, lo tetep bisa berjuang Rey, mumpung hatinya masih kosong, belum ada yang isi. Dan... lo emang niat, atau sama kayak yang lain, cuma basa-basi doang deketin dia?"

"Gue bener-bener Bim. Serius, gue tertarik. Apalagi masih polos sama labil."

Bimo menatap Rey tajam, "Jangan pernah lo rusak barang orang sembarangan, sebangsat-bangsatnya elo jadi cowok, gue saranin, jangan pernah rusak anak gadis orang. Karma berlaku Rey."

Rey mengusap wajahnya kasar, "Oke.. gue tahu Bim, lo masih takut kalau Jane sampai kenapa-kenapa, kan? Emangnya waktu lo pacaran sama Jane gimana? Terus bisa bubar kenapa?"

"Kenapa tuh?" Dicky hanya bisa menjadi bartender juga pendengar yang baik, menuangkan vodka di setiap gelas Rey dan Bimo tandas.

"Biasalah, paling sms-san, telponan, saling sayang, tapi sewajarnya. Awalnya gue sempet dicomblangin sama temen gue yang ngebet banget pengen gue pacaran, karena gue dulu disangka homo gara-gara gak pernah deket sama cewek. Kelas sembilan, gue mengiyakan ajakan temen gue buat ngeceng sambil duduk di tangga, kebetulan perpustakaan di sekolah gue ada di lantai dua. Samping kelas gue. Temen-temen gue pada heboh pas anak-anak cewek pada lewat sambil godain mereka gak jelas, dan sialnya, kaki gue keinjek salah satu cewek di gerombolan itu. Refleks gue gak terima, pas gue nengok ke atas, jantung gue maraton liat tuh cewek deket banget sama gue. Dia jongkok sambil minta maaf. Dan...di situlah, gue liat bet namanya Jane Alexa Demetria.

Temen gue refleks godain gue pas tuh cewek jongkok di depan gue. Kepalang sebel gue terus-terusan dibilang homo sama mereka, ya... gue langsung nembak tuh cewek. Nggak ada penolakan, tuh cewek langsung ngangguk terus lari ke perpus. Malemnya entah dari mana dia dapet nope gue, dan gue akhirnya pacaran."

Rey mendesis, "Putusnya,"

"Putusnya, pas waktu gue liat dia pulang bareng sama Akmal. Temen sekelasnya. Gue sempet biasa aja, tapi gue sebel pengen nampol tuh cowok. Sampai akhirnya gue diputusin sama tuh cewek gara-gara ngebogem si Akmal pas mau upacara. Suruh siapa deketin cewek orang, mentang-mentang murid teladan, sedangkan gue? Berandalan yang modalnya adu jotos doang."

Dicky terkekeh, "Cuma ninju, sampe diputusin?"

Bimo mengangguk berat, "Gue ninjunya sampe pingsan, tuh cewek masih sempet-sempetnya belain si PHO. Bodo ah! Kenapa gue jadi flashback? Minum-minum!"

Bimo kembali menghabiskan minumannya sampai beberapa kali. Mendengar cerita Bimo, Rey sedikit mempunyai bekal untuk menghadapi Jane.

"Ya udah. Kalau gitu, mending gue jadian aja sama Hira." celetuk Rey mengepulkan asap rokok dari mulutnya.

"Hira? Si HEBOH dari SMP?" Dicky terkejut bukan main.

"Ciee... R L H wikwiw.." Bimo bersiul menggoda Rey.

Rey terkekeh, "Maksud? R L H?"

"Reynand Love Hira.." jawab Bimo mendramatisir. Seperti acara tayangan komedi di televisi.

Seketika tawa mereka berderai. Rey menggeleng berusaha menahan tawa, "Calon pacar.. calon pacar.. "

Gebrakan pintu mulai menyadarkan mereka, seorang pemuda masih lengkap dengan seragam yang sama seperti Rey baru saja masuk dengan tatapan membunuh. Tawa mereka perlahan berhenti, Dicky dan Bimo berusaha mematikan rokok pada asbak hendak kembali pulang.

"Rey! lo itu harusnya mikir! Baru aja hari pertama sekolah, udah maen bolos! Ajak anak sekolah lain lagi!" bentakan keras mulai mengisi seluruh sudut kamar Rey yang mulai hening seketika. Mata pemuda itu mulai memperhatikan banyaknya botol vodka, puntung rokok, juga kulit kacang tanah yang berserakan.

"Apa? Mau lo apa ngelarang gue? Hah! Masalah buat lo? Wong bokap nyokap lo aja gak pernah peduli sama kehidupan gue!" Rey menghampiri pemuda itu dengan mata merahnya, bau rokok juga vodka mulai tercium saat Rey berbicara.

"Bubar! Bubar! Kalian semua pulang! Atau saya laporkan kamu Kepala Sekolah!" pemuda itu menunjuk ke arah Bimo dengan ujung telunjuknya. Bimo meringis ketakutan berlari keluar kamar.

"Dan kamu juga Dicky, pulang!" Dicky meringis, melirik sebentar pada Rey lalu berlari keluar kamar.

"Lo gak usah ngusir mereka kali, urusan lo sama gue, bukan sama mereka!" suara bentakan Rey membuat pemuda itu menatapnya nanar.

"Gue peduli sama lo, Rey! Masa depan lo masa depan gue juga! Gue juga ngerasain Rey! Lo boleh kayak gini, tapi jangan di hari sekolah, ngerti!"

Suara pintu dibanting membuat Rey tersadar, kakaknya sangatlah marah padanya. Rasa sayang seorang kakak memang sulit diartikan. Mungkin saja omongan mereka terlalu menyakitkan, namun hatinya tulus melindungi, menyayangi adiknya.

"Oke! Fine! Terserah lo! Gue gak peduli!" Rey berteriak di balik pintu, ia mendengus kasar membantingkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Sorry bang, gue gak bermaksud buat nyakitin hati lo kayak tadi, ngebentak lo kayak tadi, gue kepalang kesel inget bokap nyokap kita yang selalu mikirin kerjaan tanpa mikirin perasaan anak itu kayak gimana. Gue bener-bener minta maaf Bang..." Rey berbisik lirih, sebelum akhirnya ia tertidur karena efek vodka yang diminumnya.

VOTE+COMENT?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro