Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. SELAMAT DATANG DUNIA BARU!

Hasil revisi :) enjoy reading :D

4. SELAMAT DATANG DUNIA BARU!

Hari yang paling bahagia bagi semua siswa baru di SMA Dharma Bangsa. Mereka berbondong-bondong mencari nama mereka masing-masing di setiap barisan kelas sepuluh yang akan menjadi tempat mereka menuntut ilmu.

Jane bersama kedua temannya-Zenita dan Fiona-berusaha mencari nama Jane di urutan nama di setiap kelas, namun nihil. Hanya nama Zenita yang masuk di kelas sepuluh IPS satu dan Fiona di kelas sepuluh IPA empat. Jane mendengus frustrasi. Ia bingung harus mencarinya kemana.

Fiona menyuruh Jane untuk bertanya pada Rendi yang tengah memasang deretan nama tepat di depan kelas sepuluh IPA empat. Namun ide brilian itu ditentang keras oleh Zenita.

"Gimana dong! Nama gue nyempil di mana sih!" Jane menggoyangkan bahu Zenita gemas.

"Coba lo tanya sama... Tuh! Kak Rendi! Buruan! Daripada gak dapet kelas," Fiona mendorong bahu Jane, ia merasa gemas sendiri.

"Yang bener dong kalau ngasih saran! Mana mungkin Jane mau! Lo aja sono!" sahut Zenita dongkol.

Jane menghembuskan napasnya berat, ditatapnya Rendi dengan tajam seiring jantungnya mulai berdegup kencang, "Tak apa teman-teman. Demi gue, demi kelas gue, Zenita, Fiona, gue sayang sama lo, doakan gue! Semoga gue berani! Dan semoga gue gak gemeteran..."

Dengan langkah berani Jane mulai meninggalkan kedua temannya menghampiri Rendi, tangannya gemetar seiring setetes keringat meluncur di pelipisnya.

"Kak... boleh nanya gak?"

"Mau nanya apa, Dek?" Rendi menjawab ramah.

Ramah banget nih suami masa depan gue... "Gini Kak, nama aku gak ada di setiap deretan nama siswa di semua kelas Kak." jawabnya berusaha menghilangkan rasa gemetar di sekujur tubuhnya.

"Ya udah, Kakak cek dulu ke ruang BK. Ikut Kakak."

Rendi berlalu dengan Jane mengikutinya di belakang. Tatapannya tidak lepas dari punggung tegap Rendi tanpa berani berjalan beriringan di sampingnya.

"Nama kamu siapa?" tanya Rendi, membuka lembaran setiap absenan kelas.

Dia nanyain nama gue... "Jane Alexa Demetria."

"Kayaknya kamu masuk ke kelas sepuluh IPS satu. Mungkin nama absenannya sedikit keliru. Malah nama Hira Risca Pratiwi ada dua,"

Jane mendesah lega, "Oh... jadi kelas sepuluh IPS satu. Makasih ya, Kak!" Rendi menoleh lalu tersenyum,

"Ya udah Kakak antar ke kelas ya, biar gak salah masuk kelas."

Seperti kor kemenangan, Jane bersorak ria dalam hati. Ia membalas senyuman Rendi saat mereka mulai berjalan menuju kelas sepuluh IPS satu. Tak henti-hentinya Jane menunjukan senyuman penuh kemenangan.

"Makasih ya Kak! Kakak masuk kelas mana?"

Mereka berhenti setelah tiba di depan pintu kelas.

"Gue kelas dua belas IPA satu, gue ke kelas dulu ya! Bye!" Rendi tersenyum lalu meninggalkan Jane yang masih tersenyum di depan pintu. Tidak sadar, tangannya mulai menggebrak-gebrak pintu kelas hingga semua siswa di dalam menatapnya heran kenapa tuh cewek? Cantik-cantik gendeng! Umpat mereka dalam hati.

"Jane? Lo ngapain di sini?"

Jane menoleh ke arah sumber suara. Ia menjerit tertahan saat melihat Zenita tiba-tiba muncul di belakangnya, "Gue sekelas sama lo Zenita Putri. SE. KE. LAS!" Jane menjawab penuh penekanan

"Yang bener lo? Lo sekelas sama gue! Aaaa...!!! Gak nyangka gue! Yuk masuk! Lo semeja sama gue, di belakang!"

"Lo tahu gak, barusan gue dianterin ke sini sama siapa?" bisik Jane menatap Zenita dalam.

"Siapa?"

"Kak Rendi! Wooo...!!!" Tanpa aba-aba, Jane masuk ke dalam kelas sambil berteriak menahan rasa haru yang semakin bergemuruh di dada.

Zenita ikut berteriak histeris, "Waw... dasar budak cinta! Jane-jane, beruntung banget lo!"

Suasana kelas baru amat sangat asing. Semua siswa saling menyesuaikan dengan siswa lain. Saling berkenalan, membagi cerita semasa SMP, rasa canggung dan gugup mulai menyelimuti perasaan mereka para siswa baru.

Jane mendapat tempat duduk di belakang namun tidak di pojok. Ia mendengus kesal, "Kenapa gak di pojok? Jadi gak bisa bokep.." keluhnya sambil menyimpan tas birunya di atas meja.

"Syukur-syukur punya tempat duduk Jane.." Zenita menjawab malas.

Jane menyapu pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Dilihatnya teman satu kelas sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sebelum akhirnya terdengar suara nyaring di depan pintu kelas.

"Morning guys!"

Suasana kelas mulai rusuh, saat seorang gadis dengan lantangnya menyapa semua siswa di dalam kelas. Dengan aksesoris serba berwarna pink juga ikat rambut, anting, gelang, sepatu, tas juga bando yang ia kenakan bernuansa pink. Penampilannya sangat mengundang perhatian seluruh mata memandang.

Siulan mulai berkoar dari siswa laki-laki saat melihat Hira baru saja memasuki kelas lalu duduk tepat di jajaran paling depan. Dengan gayanya yang terlalu percaya diri, namun terkesan berlebihan, ia melirik seluruh teman sekelasnya dengan tatapan merendahkan. Apalagi saat melihat Zenita tengah bercanda gurau dengan Jane, teman satu gugusnya dulu. Beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi, terlihat tiga siswa laki-laki berjalan dari arah pintu.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumussalam..." semua teman sekelas mulai menyudutkan ketiga siswa tersebut. Dengan penampilannya yang terkesan rapi, bersih, namun yang menjadi perhatian, peci hitam yang melekat di kepala mereka.

Hira refleks menoleh ke arah ketiga pemuda tersebut, langsung melemparkan tatapan sinis. "Di sini bukan pesantren, Mas. Di sini sekolah formal."

Seorang siswa di antara mereka menjawab, "Terus masalah buat lo? Di sini memang sekolah formal, tapi gue berusaha memasukan unsur keagamaan yang seharusnya melekat di semua siswa sekolah manapun. Apalagi di tengah zaman yang semakin aneh ini."

Hira mendelik sebal, ketiga pemuda itu berlalu mencari tempat duduk. Diliriknya dua siswa yang baru saja masuk kelas.

"Kayaknya kita beruntung masuk kelas ini.." ucap salah satu gadis berambut cokelat.

Hira mulai memperhatikan penampilan kedua gadis itu, sangat urakan. Melanggar peraturan sekolah. Rasa tertarik mulai menyelimuti pikiran Hira. Hira menghampiri kedua gadis tersebut, "Kalian duduk belakang gue aja."

"Ya udah, yuk Nop!" seperti komando, mereka berdua mengikuti saja apa perkataan Hira.

"Ngomong-ngomong, nama lo-lo siapa?" tanya Hira melirik kedua gadis itu bergiliran.

"Gue Nopi."

"Gue Dea."

"Gue Hira, nanti ke kantin bareng gue yuk!"

Mereka berdua mengangguk mantap. Hira tersenyum puas setelah mendapatkan teman. Diliriknya seorang gadis berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam juga dingin, "Gue semeja sama lo."

Hira mengernyit heran, "Bentar, lo siapa?"

"Gue chairmate lo sekarang, teman sekelas lo, nama gue Kisha."

Hira mengangguk ragu, canggung, juga heran mengapa gadis ini tiba-tiba saja ingin satu meja dengannya.

"Gue Hira. Semoga lo betah duduk sama gue." senyuman licik mulai tersungging di bibir tipisnya.

***

Suasana kegiatan belajar mengajar memang belum begitu efektif. Semua siswa saling mengenalkan diri ke depan kelas secara bergiliran. Wali kelas mulai mengabsen. Semua siswa mulai merasa gugup saat perkenalan di depan kelas. Semua terasa canggung dan asing.

"Loh, itu bangku belakang belum ada yang isi? Belum pada masuk?"

Bu Tania-guru Sejarah sekaligus wali kelas mereka-mulai menatap tajam bangku kosong yang ada di belakang, tepat di samping Jane.

"Belum Bu..."

Lima detik kemudian, suara ketukan pintu terdengar jelas membuat semua mata memandang tertuju pada pintu, "Itu mereka..."

Ketegangan mulai menyelimuti kelas saat dibukanya pintu kelas. Semua siswa di dalam mulai menatap penasaran, sampai ada yang buka gorden jendela saking penasarannya, "Si Rey! Gugus dua!" bisik siswa itu pada teman sekelas.

"KALIAN ITU DARI MANA, HAH! PENAMPILAN KAYAK PREMAN PASAR! BAU ROKOK LAGI! KALIAN ITU PREMAN ATAU PELAJAR!"

Suara bentakan, teriakan, juga gebrakan penggaris kelas mulai terdengar jelas seisi ruangan. Sampai kelas sebelah pun mendengar semua bentakan Bu Tania pada ketiga siswa yang baru datang tersebut.

"Ma-maaf Bu, saya sama temen-temen saya dari tadi nyari nama di semua kelas, tapi gak ketemu, terus ketemunya di sini." Adit menunduk malu berusaha melancarkan kebohongan yang ia ucapkan.

"I-iya Bu, tadi nama saya gak ada di daftar nama. Terus saya nyari informasi dulu ke bk." Bimo ikut berargumen.

"Kalian itu pinter banget nyusun skenario ya! Keliatan banget bohongnya! Tuh! Temen kamu yang satu lagi malah ketawa!" potong Bu Tania menggebrak pintu kelas menggunakan penggaris.

Adit dan Bimo melirik ke arah Rey yang tengah berusaha menahan tawa dalam diam, melihat kedua temannya seperti baru pertama kali saja terlambat masuk kelas.

"Bu, semua alasan sama aja salah di mata Ibu. Kami semua memang nyari nama kami ke BK, dipersulit. Bahkan harus nyari sendiri kelas kami di mana. Tapi soal penampilan, gak akan berpengaruh sama sekali sama nilai. Apa nilai saya bisa turun drastis karena penampilan? Atau malah makin naik-"

"Kamu itu baru aja masuk udah berani ngelunjak ya! Udah terlambat, bohong, terus berandalan!" Bu Tania kembali menggebrak pintu membuat ketiga-nya terkejut mati kutu.

"Ma-maafin kami Bu, kami gak bakal kayak gitu lagi.?" Adit memohon melirik ke arah dua temannya bergiliran, ngangguk, Nyet! Ucapnya dalam tatapan. Akhirnya mereka bertiga mengangguk ketakutan.

"Masuk! Capek saya berurusan sama siswa berandalan." Ucap Bu Tania saat menutup pintu kelas dengan keras.

"Eh, Jane! Kita sekelas!" mendengar sapaan di sampingnya, Jane tersenyum melihat Bimo baru saja melewatinya untuk duduk.

"Mungkin kita jodoh." canda Jane, Bimo tergelak mendengarnya.

Melihatnya, Rey menatap Jane sengit, "Jangan ngobrol."

"Masalah buat lo?" Jane bertanya sebal. Rey tidak menjawab, ia duduk tepat di samping Jane. Kenapa bisa sekelas lagi? Rey bersorak dalam hati.

Pelajaran berlangsung dengan hikmat, Jane melirik ke arah Adit di depan. Kebetulan Adit memilih tempat duduk tepat di depan Jane.

Percuma belajar, kalo pake headset gumamnya dalam hati. Adit memperhatikan kedepan menggunakan headset di kedua telinganya. Samar-samar ia mendengar penjelasan guru, samar-samar mendengar musik yang mengalun di telinga. Jane mendengus, diliriknya Rey di sampingnya tengah sibuk mengutak-atik ponsel lengkap dengan headset di kedua telinganya. Gak guna banget masuk sekolah ringisnya pelan, terakhir ia melirik ke arah Bimo di samping Rey. Tidur. Lengkap dengan buku cetak sebagai alibi menutupi tidurnya. Jane tersenyum miris melihatnya.

"Trio A ; Aneh, Absurd, Antik. Cocok banget buat mereka."

***

"Jane ke kantin yuk!"

Ajakan demi ajakan mulai berdatangan saat bel istirahat berbunyi, semua siswa di dalam kelas mulai bersorak ria berbondong-bondong keluar kelas.

"Yuk! Bentar.."

Jane merasakan getaran di dalam saku rok, ia mendapati ponselnya bergetar. matanya menangkap notif sms dari Rama.

Hai Jane! Kamu masuk kelas mana?

"Nanyain kelas doang, kirain penting." Jane mendengus pelan.

Sepuluh IPS satu.

Beberapa detik kemudian, Rama membalas pesan tersebut.

Gue kira lo masuk kelas IPA. Udah keluar kelas belum? Kita makan bareng yuk!

"Makan bareng?" Jane bergumam pelan.

Udah keluar, tapi gue mau nemenin Zenita, maaf ya Kak.

Tidak ada balasan. Jane tersenyum menarik lengan Zenita, "Kita ke kantin sekarang!"

Riuh suara kantin mulai terdengar kontras saat mereka memasuki kantin. Mereka duduk di antara puluhan siswa yang sedang asyik menyantap makanan yang mereka kunyah. Jane duduk menyapu pandangannya ke seluruh kantin. Sedangkan Zenita memesan makanan yang sudah direncanakan Jane saat di perjalanan.

"Wey! Ngelamun aja lo. Yang tadi sms dari siapa? Pacar?" Jane terkejut saat mendapati Zenita sudah duduk di hadapnnya dengan dua gelas es jeruk dan dua mangkuk bakso.

"Gue single, Zenita. Ini sms dari Kak Rama. Udah seminggu ini dia sms-san sama gue, kesannya gue ngasih harapan ke dia. Tapi gue gak punya rasa sama sekali. Tapi malah Fio yang ngebet banget suka sama dia." Jane mulai membuka pembicaraan dengan nada gelisah.

Zenita mengangguk samar, "Drama banget hidup lo."

"Yah.. hidup emang sebentar. Dramanya aja yang bikin lama. Gimana dong...?" Jane merengek meminta saran pada Zenita.

"Mulai alay lo. Eh, mana nope Kak Rizki? Mana!"

Jane meringis, "Je, lo kok pengen banget nope Kak Rizki? Lo single? Sama kayak gue?"

"Yoi."

Jane melenguh pelan, "Semoga aja gue ketemu sama dia. Gue udah siapin skenario gue dari awal-awal, tenang aja..."

"Eh, Jane! Liat tuh! Si Rey sama kakak kelas. Katanya gak ada yang punya, eh... masa iya bukan pacar tapi ngerangkul segala lagi." Zenita menyikut lengan Jane gemas, Jane mengikuti arah pandang Zenita. Dilihatnya seorang gadis merangkul Rey mesra, bersama dayang-dayang-nya.

"Murahan banget tuh cowok!" Jane terkejut melihat adegan yang seharusnya tidak dipertontonkan di sekolah.

"Ceweknya kali Jane, bukan cowoknya. Tapi, kadar kegantengan Rey makin nambah ya!"

"Ih! Lo kok malah belain si setan Rey sih! Jangan-jangan...lo suka sama Rey?" Jane mendengus kesal, dalam hati ia mulai penasaran dengan topik pembicaraan Rey dengan gadis cantik itu.

"Gue gak belain dia, kok, dulu sih gue emang tertarik sama cowok kayak Rey. Udah setia, baik, sweet banget lah kalau sama cewek. Tapi rasa itu hancur lebur waktu gue liat Rey terlibat tawuran antar sekolah. Eh! Gue baru inget! Itu cewek namanya Elisa, kalau gak salah." Zenita menunjuk gadis itu dengan dagu.

Jane mengernyit, "Elisa siapa?"

"Mantannya Rey dulu. Di SMP mereka so sweet banget, tapi entah kenapa mereka tiba-tiba putus. Gue gak tau sebabnya, karena waktu itu gue orangnya acuh. Gak terlalu peduli sama gosip-gosip anak tenar di sekolah. Jujur, itu gak penting buat dibahas."

Jane mendengus geli, cowok berandalan seperti Rey tidak mungkin masuk dalam kategori calon pacar seorang Jane Demetria.

"Lo tertarik sama Rey?"

"Uhuk!" Jane tersedak, saat mendengar pertanyaan Zenita yang sama sekali mustahil bagi Jane.

"Santai Bu, jangan kaget gitu, gue cuma nanya" Zenita berusaha mengusap tengkuk Jane, "Sorry deh, gue cuma nanya kali Jane, jangan baper..."

"Siapa yang baper Bu... ingat! Gue sama sekali gak tertarik. Gue tau cowok berandalan kayak Rey emang banyak yang suka, apalagi ditambah fisiknya yang sempurna. Badboy aneh, absurd, antik. Pas banget!" Jane menjawab enteng, ia mulai merasakan perutnya yang mulai bermasalah.

"Kenapa Jane?"

"Aduh, gue ke toilet bentar ya, panggilan alam." Jane mulai berlari-lari kecil ke arah toilet.

***

"Leganya..."

Setelah keluar dari toilet, ia berencana untuk kembali menemui Zenita di kantin. Langkah kakinya terhenti saat melihat Rendi dan Rizki tengah berjalan ke arahnya, ini asli, gue nggak mimpi kan? Dua cowok ganteng nyamperin gue!!! Soraknya dalam hati.

"Kamu kan? Yang tadi sempet nanya kelas?"

Jane mulai merasakan detak jantungnya berdegup kencang, kedua kakinya mulai melemas saat Rendi bertanya tepat padanya. Dia nanya ke gue...

"Wey! Jangan ngelamun, jawab kalo orang lagi nanya." Rizki menjawab ketus.

Jane tersadar, tangannya mengusap rambutnya salah tingkah, "Oh! Iya, Kak. Emangnya ada apa ya?"

"Gini, gue mau nawarin lo buat masuk eskul pecinta alam. Lo tertarik?" ajak Rendi tersenyum ramah, rasanya Jane mulai meleleh melihat senyuman Rendi yang tidak akan pernah ia lupakan. Dia, pangeran masa depan gue ngajak gue masuk eskulnya... aw!

"Jawab. Bukannya senyam-senyum gitu, ilfeel gue liatnya," celetuk Rizki menepuk pundak Jane.

"Oh-oh, i-iya Kak. Aku mau." Jane mengangguk mantap. Kak Rizki nyebelin amat, sumpah.

"Nama lo siapa?" tanya Rizki malas. Ih! Sok ganteng banget, sih tuh cowok!

"Nanti aja, lo sms-sin aja ke nomor Rizki. Nama sama kelas lo. Ajak juga temen-temen lo buat ikutan ya!" Rendi menoleh ke arah Rizki.

"Loh, kok nomor gue? Kenapa gak nomor hape lo?" tanya Rizki tidak terima.

Bener banget! Kenapa gak nomor bang Rendi aja sih! Kenapa harus kak Rizki?Greget banget Kak Rendi!

"Ribet amat. Lo kan tahu gue gak hafal nomor gue sendiri, terus gue sekarang gak bawa hape. Cepet kasih!"

Rendi mulai menatap tajam Rizki, yang ditatap mulai mengangguk malas lalu menyimpan nomor ponselnya pada ponsel milik Jane. Jane berusaha untuk tidak terlihat gugup saat berada di dekat Rendi. Aduh! Jantungku, please, jangan dulu dangdutan!

"Nih! Jangan sms gue yang aneh-aneh. Gue gak suka cewek sok kenal sok dekat,"

"SONGONG BANGET LO!" Rendi memukul bahu Rizki keras. Jane menelan ludahnya sulit mendengar pengakuan Rizki. Ia menerima ponselnya kembali.

"Ya udah ya, Kak. Makasih." Jane mengangguk cepat meninggalkan kedua lelaki tersebut. Harap-harap cemas ia berlari menuju kantin untuk menceritakan semua kejadian barusan pada Zenita.

"Jeje? Lo di mana? Kok sepi sih!" Jane melirik ke sana kemari melihat kantin dalam keadaan kosong. Ia melihat jam di pergelangan tangannya cemas. Udah masuk vroh!!!

Jane kembali berlari menuju kelas dengan perasaan was-was juga takut, karena untuk pertama kalinya ia terlambat masuk kelas saat hari pertama sekolah.

"Mampus! Udah masuk beneran..." Jane tak henti-hentinya berdoa dalam hati, semoga gue gak dapet bentakan atau amukan kayak Trio A tadi pagi.

Jane mengetuk pintu pelan.

"Dari mana kamu?" suara bariton dengan raut wajah dingin mulai bertanya saat pintu mulai terbuka.

Jane menunduk takut, "Sa-saya dari toilet, Pak."

"Apa kamu tidak pernah belajar mengenai disiplin? Masuk kelas tepat waktu?"

Jane mulai kehilangan kata-kata. Kini semua teman sekelas mulai menyudutkannya dengan tatapan penasaran. Ia menelan ludahnya sulit berpikir keras mencari alasan.

"Ya sudah, untuk pertama dan terakhir kalinya saya kasih kamu toleransi. Jika kamu mengulanginya kembali, mau kamu siswa perempuan atau siswa laki-laki, peraturan tetap peraturan. Jangan harap kamu dapat nilai dari saya."

Jane mengangguk mengerti.

"Duduk."

Jane berjalan menuju bangkunya dengan sedikit lemas. Zenita menepuk pundak gadis itu prihatin. "Lo darimana sih? Perasaan jarak toilet sama kantin itu gak jauh-jauh amat. Kecuali kalau dari kelas kita ke toilet. Serasa ke ujung dunia. Jauh!"

"Gue dapet nomor Kak Rizki," Jane berbisik, senyuman mulai terukir di bibirnya. "Dari orangnya langsung."

"Bentar! Gue gak salah denger? Mau...!!!" Zenita merengek mengamit lengan Jane, "Kok bisa?"

"Ceritanya panjang, udah, ah! Jangan ngobrol mulu. Pelajaran apa sekarang?"

"Matematika. Namanya Pak Deri. Gurunya killer abis! Tapi kayaknya masih killer Bu Tania." Jane bergidik ngeri, tangannya mulai mengeluarkan buku tulisnya dari dalam tas. Tak sengaja ia melirik ke arah bangku di sampingnya. Kosong. Hanya Adit yang setia berada di depannya.

"Si setan Rey kemana?" Jane berbisik, menyikut lengan Zenita.

"Cie... nanyain Rey, ehem! Yang kangen mah gitu..."

"Serius begs! Mereka...Kabur?" tanya Jane hati-hati.

Zenita menggeleng pelan "Nggak tahu, tuh!"

Suara ketukan pintu mulai mengejutkan semua siswa yang tengah berada di dalam kelas, semua mulai menatap penasaran ke arah pintu saat Pak Deri berjalan hendak membuka pintu.

"Oh, Rendi, ada apa?"

Mengetahui yang berada di ambang pintu Rendi, Jane langsung tersenyum berusaha melihat wajah Rendi yang tertutup setengah pintu. Ck! Awas dong pintu! Gak keliatan nih suami masa depan gue! Dongkolnya dalam hati.

"Gini Pak, apa di kelas ada siswa yang bernama Reynand?" tanya Rendi sambil memberi salam di balik pintu. Semua teman sekelas termasuk Jane mulai rusuh saat menge tahui Ketua Osis mereka baru saja menanyakan siswa bermasalah seperti Rey.

"Reynand? Kayaknya gak masuk. Soalnya bangku belakang dari tadi memang sudah kosong sebelum saya masuk."

"Cuma Reynand atau ada yang lain?" tanya Rendi antusias.

"Berdua. Reynand sama...Albimo Windarta."

Raut wajah Rendi mulai menegang, tangannya mengusap keringat di dahinya.

"Oh, berarti benar. Tadi ada dua siswa yang berusaha kabur lewat pagar belakang sekolah. Makasih Pak!" Rendi memberi salam kembali meninggalkan Pak Deri yang masih berdiri di ambang pintu.

"Sebelumnya, bapak mau kasih tau. Jika kalian menempatkan sesuatu pada tempat yang bukan semestinya, itu sama saja berbuat zalim. Sama seperti bolos di waktu seharusnya mengikuti KBM. Mereka yang kabur pada tempat yang bukan semestinya, secara tidak langsung sudah menzalimi diri mereka sendiri. Jadi, bapak harap kalian harus menerapkan jiwa disiplin dalam kehidupan sehari-sehari. Mengerti?"

"MENGERTI PAK..."

Jane mendengus kesal. Matanya melirik tajam ke arah bangku di sampingnya, "Dasar troublemaker! Pasti kelas kita jadi pusat perhatian kelas lain nanti! Bukan karena hal positif, melainkan negatif.

VOTE+COMENT?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro