Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. ANNOYING SURPRISE

Kasih foto si Rey fucking jerk dulu (Bank Thiti Mahayotaruk) biar inget lagi visual Rey yang cakepnya makin membwahana ulala.. cetarr weh pokoknyamah. Cek aja di IG Bank Thiti. Beuh! Ntab jiwa. Sayangnya... dia udah punya doi. Namanya... B.

26. ANNOYING SURPRISE

Adit berjalan menuju kantin, matanya menangkap Fiona yang tengah membaca buku Fisika di tepi lapang. Senyuman mulai terukir di bibirnya saat Fiona membalas tatapan Adit. Fiona tersenyum membuat Adit ingin segera menghampirinya.

"Maaf lama, hehe.. Barusan kumpul Osis dulu."

Senyuman Adit lenyap seketika saat melihat Rama sudah duduk disamping Fiona sambil mengacak rambutnya gemas.

"Fuck."

Adit berusaha mengenyahkan Fiona dan Rama dalam pikirannya. Tidak henti-hentinya ia menggumamkan kata "Move On, Adit."

Saat perjalanan menuju kantin, kebetulan ia berpapasan dengan Gina dan Jimi yang berjalan berlawanan arah dengannya. Adit mendengus kasar, melihat Jimi yang semakin hari semakin dekat saja dengan Gina.

Dasar PHO, kak Gina kan cocoknya sama kak Rendi! pikirnya dalam hati.

Adit mulai menghampiri meja Rey dan Bimo. Matanya menatap aneh kedua temannya itu yang sedari tadi hanya sibuk dengan ponsel di genggaman mereka. Tidak seperti biasanya, selalu menggoda siswi cantik yang melewati mereka.

"Hawanya kok dingin ya, gak biasanya kalian diem-diem an kayak gini." Adit mulai menyeruput minuman milik Rey, "Woy! Gue bukan pajangan elah.. Gue nanya kalian barusan.. "

Bimo melirik Adit, "Loh, Adit. Kapan lo kesini?"

Adit memukul kepala Bimo gemas, "Kampret! Kalian berdua kenapa sih! Tumben gak berkoar."

"Berkoar? Emangnya gue apaan!" Rey merebut minumannya dari tangan Adit, "Tumben lo perhatian sama kita, Dit?"

Adit mendengus pasrah, "Bodo ah! Gue balik ke kelas! Jangan lupa, liat arah jam satu, Rey. Dia merhatiin lo dari tadi."

Adit melenggang pergi meninggalkan kedua temannya kembali menuju kelas. Sempat ia berpapasan dengan Jane dan Zenita, namun ia sama sekali tidak tertarik untuk mengucapkan kata "Mau kemana?" atau, "Dari mana kalian?" ia sangat tidak berselera sekarang.

"Si Adit kenapa?" tanya Zenita menyikut lengan Jane.

Jane menatapnya datar, "PMS kali,"

"Eh, Jane. Kayaknya, gue mau ke toilet dulu. Panggilan alam." Zenita tiba-tiba mendadak sakit perut, tangannya mengusap perutnya pelan.

"Yah.. Ya udah, cepet!"

Zenita mengangguk, "Entar gue nyusul, kok! Lo duluan aja. Bye!"

Jane terkekeh melihat Zenita berlari-lari kecil menuju toilet. Ia mendengus kasar, karena terpaksa harus ke kantin sendirian. Matanya menatap lurus tanpa menghiraukan penampilannya yang sangat mengundang perhatian setiap orang. Terdengar jelas di telinga gadis itu bisikan memuji dari beberapa kaum adam dan cibiran pedas dari kaum hawa yang dilewatinya.

Sementara di sisi lain, Rey mengernyit lalu menoleh ke arah yang ditunjukan Adit.
Bimo berdehem dengan keras, "Pacar sehari lo."

Rey tersenyum miris menatap Rania yang jelas-jelas menatapnya geram. Ia masih ingat saat Rania memarahinya habis-habisan di telepon malam tadi.

Setelah sadar dari mabuknya karena terlalu banyak minum, Rey tidak percaya dengan semua pesan-pesan yang ia kirim untuk Rania. Hampir puluhan pesan ia kirim berupa kata-kata maaf dan cinta yang jelas-jelas untuk Jane. Karena hanya nama gadis itu yang tengah menduduki hatinya.

Sesampainya ia di rumah, ponselnya kembali bergetar di saku celana jeansnya. Saat ia sudah di dalam kamarnya, ia baru mengangkat telepon tersebut dengan sedikit takut.

"Gue gak nyangka, lo ternyata masih suka sama cewek lain! Siapa Jane! Gue gak suka ya kalo lo cuma manfaatin gue doang buat bahan lo move on!"

Rey meringis tidak tega mendengar suara parau di seberang telepon. "Maaf, Ran. Gu-gue gak bermaksud-"

"Gue heran ya sama lo, lo itu sebenernya niat gak sih pacaran sama gue? Gue udah nebak dari awal, sejak kapan ada seorang pacar dianter pulang sahabat pacarnya sendiri? Gue gak ngerti jalan cerita lo, Rey. Gue bener-bener sakit hati."

Rey menggaruk tengkuknya bingung, "Ran, tolong. Dengerin gue dulu-"

"Terserah lo mau ngomong apa. Gue tahu, lo masih suka kan sama si Jane-jane itu? Terus, ngapain lo nembak gue? Ngasih harapan ke gue? Kalo sebenernya hati lo buat orang lain?"

"Rania, please! Dengerin gue dulu. Gue emang nembak lo karena berusaha nyoba move on dari Jane. Sumpah! Gue bener-bener gak niat manfaatin elo. Tapi, hati gue gak bisa pindah gitu aja. Hati gue masih sepenuhnya milik Jane,"

"Terus? Gue harus memaklumi kondisi hati lo, gitu? Apa gunanya gue ada buat lo, Rey! Gue pacar lo! Gue siap buat nerima lo, curhatan lo, bahkan gue udah menghargai usaha lo buat nembak gue! Apa lo cuma mau mainin perasaan gue doang?"

Rey membanting tubuhnya keatas kasur. Tangannya mengacak rambutnya frustrasi. Ia bingung harus menjelaskan kondisinya kepada Rania. Ia juga takut, jika untuk kedua kalinya ia harus menyakiti perasaan perempuan dengan mudah.

"Perasaan lo cuma basa-basi doang kan, Rey?"

Hati Rey mencelos sakit saat mendengar suara Rania yang berusaha menahan tangis. Didetik kedua, Rey mulai mendengar Rania menangis.

"Ran? Jangan nangis. Aku tahu, kamu pasti marah. Maafin aku Ran-"

"Stop! Jangan buat gue semakin marah apalagi nangis karena cowok kayak lo! Gue bener-bener gak ngerti sama pola pikir lo, Rey! Gue bener-bener kecewa! Harusnya dari awal gue tahu, cowok gak jelas kayak lo emang suka mainin hati cewek."

Rey membuang nafasnya kasar, berusaha menetralisir amarahnya karena perkataan Rania yang terlalu menusuk hatinya secara sempurna.

"Kita putus."

Rey melotot, "A-apa Ran? Kenapa-"

"Ini kan yang lo mau? Tadi siang di kantin? Putus? Udah, lo sekarang bebas nembak cewek lain! Termasuk ngemis minta maaf sama si Jane-jane itu."

"Ran! Gue minta maaf! Gue gak mau kita putus-"

Sambungan terputus. Rey merasa sangat bersalah pada gadis itu. Sudah berkali-kali ia kembali menghubungi Rania dan mengirim puluhan pesan, namun semuanya percuma.

Dan malam itu, Rania resmi menjadi mantan kekasih Rey. Sampai sekarang pun, Rey masih merasa bersalah dengan tatapan geram Rania padanya, mengingat tidak ada satu pesan pun balasan dari Rania sampai detik ini.

Rey melirik Bimo, "Dia baik. Lo gak tertarik, Bim?"

"Dasar sinting."

Rey mengangguk, "Dasar penghianat. Gue bener-bener kecewa, Bim. Gue pikir, lo nggak nyimpen granat dibelakang gue, ternyata salah besar."

Bimo menatap Rey tajam, juga sebaliknya. Ada kilat api permusuhan diantara mereka.

"Lo adalah pelaku paling pengecut yang pernah gue kenal, Bimo."

"Dan lo juga playboy paling hina yang pernah gue kenal, Rey."

Tatapan maut mereka terhenti saat mereka mulai merasakan getaran ponsel di saku mereka.

Sepasang muda-mudi SMA Dharma Bangsa tengah berciuman di dalam bar. Sungguh memprihatinkan anak remaja zaman sekarang.

Mereka berdua melotot saat melihat gambar yang mengiringi kiriman tersebut. Bukan hanya mereka berdua saja yang mendapat kiriman, tetapi seluruh siswa yang berada di SMA Dharma Bangsa di waktu yang sama. Mereka semua saling menatap tidak percaya satu sama lain.

Rey geram bukan main, "Yussy!"

Bimo melirik ke arah Rey dan ponselnya bergantian, "Ini, elo.. Elo. Elo.. Elo. Lo ngapain ciuman sama Yussy? Mau buat Jane nangis lagi?"

Rey menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Ia mulai mendengar bisikan-bisikan miring dari warga kantin dengan jelas.

"Rey!"

Yussy berlari ke arahnya, "Siapa yang nyebarin foto ini!"

Rey menggeleng, lalu menatap tajam Yussy, "Lo nggak niat ngejebak gue, kan?"

Yussy menggeleng, "Sumpah! Gue gak tahu!"

Rey menggeram frustrasi. Sementara Yussy mulai risih dengan tatapan mengejek dari warga kantin. Apalagi Rania yang sudah kesal menggebrak meja keras lantas menghampiri Rey kalap.

"Ternyata gue bego banget bisa percaya sama mahluk sialan kayak lo, Rey." Rania tertawa sinis, melirik sengit Yussy di samping Rey. "Dan lo, gak tanggung banget jadi pho.."

Rey terkejut begitu melihat Rania muncul dengan menatapnya penuh kebencian. "Ran, ini gak seperti yang lo kira. Dia bukan pho. Okey, bisa jadi sih. Tapi--"

Rania tersenyum sengit, melirik Bimo yang barusaja berdiri melihat kehadirannya, "Lo denger sesuatu?"

Bimo mengerjap, "Barusan Rey ngomong sama lo."

"Sayangnya gue gak denger dan gak liat siapapun di depan gue saat ini, Bimo."

Mendengar jawaban Rania, sontak membuat Rey dan Yussy terkejut bukan main. Sebegitu bencinya Rania pada Rey dan juga Yussy yang kini berdiri di hadapannya.

"Ran, gue minta maaf. Soal semalem--"

"Bim. Gue duluan ya. Soalnya gue gak bisa liat orang-orang munafik di sini." Rania melenggang pergi setelah melontarkan kata-kata yang cukup pedas untuk Rey yang berusaha mencairkan suasana. Sementara Yussy, gadis itu mulai mendapat perhatian dan tatapan sinis dari berbagai pengunjung kantin di sana.

"Dasar cewek gak bener!"

"Nggak punya malu banget tuh cewek!"

"Slut girl? Iuuhhh... "

Yussy menatap kakak kelas yang membicarakannya dengan jelas, "Makasih perhatiannya. Fans."

"Bacot, bitch!"

Rey menarik tangan Yussy menjauh dari kantin. Matanya sempat melihat Jane yang tengah menatap kosong layar ponsel di hadapannya.

Tiba-tiba dari arah berlawanan, Zenita berlari menghampiri Jane dengan memasang wajah cemas.

"Jane? Lo nggak apa-apa, kan?" Zenita mulai mengambil bakso di mangkuk Jane.
Jane terdiam. Matanya fokus terhadap gambar yang terdapat di ponsel pintarnya. Zenita mengernyit, lalu melihat objek yang berada di ponsel milik Jane.

"Gak usah dipikirin kali, tuh cowok emang berengsek dari sononya!" Zenita menepuk pundak Jane pelan, "Tapi, lo bener nggak apa-apa, kan?"

Jane menghembuskan nafasnya berat, "Gue nggak apa-apa. Bolos yuk!"

Zenita tersedak, dengan cepat Jane memberinya minum, "Pelan-pelan, cantik!"

Zenita menatapnya tidak percaya, "Lo serius? Mau bolos lagi?"

Jane mengangguk mantap dan tersenyum samar.

Lengang. Lima detik kemudian Zenita menyeringai, lalu berbisik, "Lo memilih waktu yang tepat."

***

"Sepi, coy!"

Zenita mulai melirik kesana kemari mengawasi pagar belakang sekolah. Awalnya ia tidak yakin dengan rencananya mengajak Jane kembali untuk bolos, tapi saat mengetahui Jane yang mengajaknya, ia hanya bisa tersenyum puas.

Jane menggigit bibir bawahnya kuat, berusaha menahan rasa sakit hati yang menderanya dengan mudah secara tiba-tiba.

Ia tahu, bahwa tindakannya ini memang tidak wajar, kenapa ia harus marah dan merasa tersakiti saat melihat gambar nista yang ia dapatkan beberapa jam lalu. Ia bukan seseorang yang special lagi untuk Rey. Hanya calon adik tiri.

"Kayaknya aman, Jane." Zenita menoleh lalu berdecak kesal, "Jangan mewek, elah.. Ngapain nangisin cowok, kita itu harus bertindak sebaliknya. Cowok yang harus nangisin cewek, berjuang ngejar cewek, dan berusaha bahagiain cewek. Bukannya nyakitin cewek terus!"

"Stop, Je! Udah, gue gak bakal nangis lagi." Jane menyeka air matanya pelan lalu menatap Zenita tajam. "Dan sekali lagi, jangan pernah lo anggap masalah gue ini semudah membalikan telapak tangan. Inget baik-baik, Je. Gue tahu, lo sahabat gue. Tapi, gak semua hal privasi gue bisa lo ungkit dan lo bebas ngatur gue."

Zenita tersenyum mengejek mendengarnya. Tangannya mengusap pundak Jane pelan, "Gue tahu masalah lo emang berat. Tapi gue sahabat lo, dan gue berhak menerima keluh kesah lo, apalagi dengerin curhatan lo. Gue akan terus berusaha mendukung usaha lo buat move on dari Rey. Gue bakal bantu lo buat bebas dari jeratan kenangan lo sama Rey. Tapi ingat, dengan cara gue sendiri. Gue akan bantu lo."

Jane memeluk Zenita erat, "Thanks, Je. Janji gak bakal ninggalin gue. Sahabat lo yang cengeng ini?"

Zenita mengangguk, "Gue janji. Lo sahabat gue, dan gue sahabat lo. Dan kita harus ada saat salah satu diantara kita susah dan senang, bukan?"

Jane mengangguk. Mereka mulai melepas pelukan masing-masing.

"Jadi, gue sahabat lo akan bantu lo apapun itu. Sebaliknya, apa lo mau bantu gue saat gue susah apapun itu?"

Jane mengangguk lagi.

"Bagus. Lo emang sahabat gue yang paling baik."

Mereka berdua mulai menatap pagar di hadapan mereka, "So, sebagai sahabat yang baik, gue akan mempersilahkan lo untuk loncat terlebih dulu."

Jane terkekeh, "Mau loncat aja pake drama dulu, gue akui kita cukup berlebihan." Dengan gerakan cepat Jane mulai menaiki pagar tersebut hati-hati. "Tapi, Je, gue gak yakin buat loncat-"

"WOY!"

Suara membahana mulai mengejutkan aksi kedua gadis itu. Jane melotot saat ia mengetahui siapa yang memergokinya menaiki pagar.

"KALIAN BERDUA JANGAN KABUR!"

Jane kembali menuruni pagar lalu menatap Zenita yang sama-sama terkejut. "Kak Rizki! Gimana nih?"

Zenita menggeleng cemas, "Cabut!"
Jane mengerut, "Apa!"

"Cabut, Jane!" Zenita menyambar tangan Jane lalu menariknya berlari menghindari Rizki yang barusaja hendak menghampiri mereka.

"WOY! BERHENTI! JANGAN LARI, WOY!"

Rizki tidak mau kalah, ia langsung mengejar kedua adik kelasnya itu untuk digeretnya menuju ruang konseling.
Jane tersenyum geli. Matanya melirik semua orang yang menatap mereka penasaran. Kenapa harus ada adegan kejar-kejaran seperti ini? Apalagi yang mengejarnya itu Rizki. Kakak kelas yang selama ini disukai oleh Zenita.

"Je, bukannya yang ngejar lo itu cowok yang lo suka? Ciee.. " Jane mulai menggoda sahabatnya.

Zenita berdecak, "Bukan waktunya bercanda, Jane. Kita harus mikirin, kita sembunyi dimana? Dia itu Osis bidang kedisiplinan. Kita bakal dilaporin ke pak Beni."

Jane memutar bola matanya malas. Kakinya mulai lelah saat berlari-lari di sepanjang koridor sekolah dengan mendapat tatapan risih dari kakak kelasnya. Mengingat rambut juga penampilannya bersama Zenita yang mencolok.

Mereka akhirnya tiba di depan kelas Fiona. Tanpa banyak bicara Zenita langsung memasuki kelas tersebut. Semua teman sekelas Fiona termasuk Fiona sendiri kaget lalu menghampiri mereka yang berusaha bersembunyi di pojokan kelas.

"Ada apaan lari-lari ke kelas orang? Kalian kenapa?" tanya Fiona cemas.
Jane terengah-engah. Matanya tidak sengaja bertabrakan tatapan Akmal, salah satu mantan kekasihnya. Namun Jane kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.

Zenita berusaha mengatur napasnya pelan, "Kita, nggak ada apa-apa. Cuma-"

"MANA DUA ANAK ITU!"

Jane mulai merasakan jantungnya berdegup kencang. Mereka berdua hanya bisa menyengir kuda saat Rizki mulai menariknya menuju ruang konseling.

Fiona berdecak tidak percaya, "Kenapa mereka berdua jadi berubah?" ia menghembuskan nafasnya pelan.
Fiona melirik Akmal yang tengah mengikuti aktifitasnya mengintip di pintu kelas. Menatap punggung dua gadis yang tengah digeret menuju ruang konseling dengan susah payah.

"Lo kangen sama dia, Mal?" tanya Fiona menggoda Akmal.

"Ya.. Begitulah. Gue masih gak percaya kalo dia bisa deket sama Rey." Akmal menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Apa gosip-gosip anak cewek di kelas bener, Fi?"

Fiona mengangguk, "Benar sekali. Tapi, saat mengetahui Rey udah punya pacar baru, Jane mulai berani bolos keluar sekolah kata Adit."

Akmal hanya bisa tersenyum miris. Ia melipat tangannya lalu menyeringai, "Temen lo itu emang susah ditebak. Itu sebabnya gue suka sama temen lo. Terlalu polos, namun terlalu naif."

***

"Lo mungkin gak tahu, siapa yang nyebarin foto laknat ini, Yus." Rey menghisap rokoknya perlahan, lalu menghembuskannya dengan kepulan asap pekat di sekitar tempat penyimpanan bola. "Tapi kenapa, dan siapa yang gak punya kerjaan nyebarin foto ini?"

Yussy menggeleng frustrasi sambil bolak-balik mencari tahu. Tidak henti-hentinya ia menggigit bibir bawahnya kuat berusaha berpikir.

Selintas ia mulai memikirkan kejadian malam itu. Ia mengingat ada seorang gadis polos yang belum pernah ia temui di club.

"Yus, lo nggak sadar kan kalo waktu itu kita lagi begituan terus ada yang ngambil foto sialan itu?" tanya Rey berjongkok di samping rak bola diikuti oleh Yussy, "Nggak, kan?"

Yussy menatap Rey lekat, "Rey.. Gue mulai ingat sesuatu."

Rey mengernyit, "Apa?"

"Ini kejadian saat lo pergi setelah kita ciuman. Waktu itu gue minum sambil nyerocos gak jelas. Tapi saat itu, samar-samar gue liat cewek yang gak asing di sekolah tapi gue jarang liat di club. Cewek polos dan kalau gak salah.. "

Yussy memijat pelipisnya frustrasi, "Gue lupa."

Shit! Rey mengumpat kotor dalam hati. Ia mulai berpikir keras mengenai cewek polos yang di maksud Yussy itu. "Bener lo nggak inget? Sama sekali?"

"Gue keburu teler, Rey."

Rey menggeram gemas, "Coba deh, lo inget-inget lagi. Soalnya, selama ini kita bebas clubbing, gak ada yang berani ambil gambar kita. Apalagi sampai disebarin. Dulu, cuma Jane yang bertingkah konyol ngancem kita buat sebarin foto kita ke semua orang. Tapi ini? Hanya foto kita berdua, Yus! Anehnya, Bimo sama yang lain enggak? Nggak salah lagi, Yus! Dia orangnya!"

Semangat Rey meledak seketika. Ia berdiri lalu tangannya membanting puntung rokok ke lantai lalu menginjaknya dengan sadis.

Yussy terkejut bukan main, Kampret! Rey tai!

"Coba lo inget-inget, Yus! Cepet!"

Yussy menggeram gemas meladeni sikap Rey yang mulai menyebalkan. "Bentar!"
Yussy memejamkan matanya perlahan, berkonsentrasi dengan mulai mengingat malam itu. "Gue inget!"

Refleks, Rey mengguncang bahu Yussy gemas, "Siapa, Yus!"

Yussy menyeringai, "Lo akan tahu setelah permainan akan dimulai, Rey."

"Maksud lo?"

"Lebih seru kalau gue yang akan bawa dia buat lo."

Rey mendengus penasaran, "Kapan?"

"Saat permainan gue dimulai

_______________

Aimbek! Votkomeneasay..

Rey: ALAY LU THOR!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro