25. REMEMBER WHEN
Sinar mentari mulai menembus gorden kamar bernuansa warna biru yang berantakan seperti kapal pecah. Jane mulai mengerjapkan matanya pelan, matanya melirik jam di ponselnya.
Matanya melotot, "Gue telat!"
Ia mulai melakukan aktifitas paginya dengan cepat. Setelah selesai memakai seragam sekolah, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Jane tersenyum mengejek saat melihat rambutnya yang berwarna biru. Ngapain juga gue pake sabuk? Dasi? Masukin seragam kedalem rok? Pake sepatu hitam-putih? Kalo rambut gue, udah nandain gue itu badgirl! Batinnya sambil melirik tubuhnya yang terbalut seragam lengkap. Dengan tarikan keras Jane mulai melucuti sabuk, dasi, juga sepatu hitam-putihnya. Ia mulai menarik seragam putihnya keluar dari rok, mengganti sepatunya menjadi berwarna biru muda. Dengan sengaja ia mengacak-acak rambutnya tanpa embel-embel dikepang seperti biasanya. Cantik dan liar, pikirnya.
"Mana Jane yang dulunya anak baik, polos, nggak pernah ngelanggar peraturan?"
Dengan cepat ia menyambar lipice berwarna pink-peach lalu memakainya dengan hati-hati.
Ponsel Jane mulai bergetar, dengan cepat ia menyambar ponsel tersebut jengah. "Siapa sih?"
Private number calling...
Jane mengangkat panggilan tersebut, "Halo?"
"Jane?"
Jane mengerjap, begitu mudahnya ia mengetahui sipemilik suara, "Ya?"
"Gue minta maaf."
Jane mendesah, "Maksudnya?"
"Jane, gue bener-bener minta maaf sama lo."
"Soal?" Jane mulai melangkah keluar kamar menuruni tangga, menyapu pandangan keseluruh ruangan rumah. Lengang, rumah sangat sepi. Ia mengusap perutnya yang lapar keluar dari pintu utama rumah.
"Bimo? Ngapain lo di sini?"
Jane terkejut bukan main, matanya membulat seketika saat melihat Bimo sudah menunggunya didepan rumah dengan menyandarkan punggungnya pada motor.
"Gue mau ngajak lo berangkat bareng."
Jane mengernyit, ia mulai menghampiri Bimo dengan tatapan tidak mengerti. Bimo dengan senang hati mulai memasangkan helm dan mengancingkannya dikepala Jane.
"Nggak usah ngelamun. Ayo naik!"
Jane tersenyum kaku, ia mulai menaiki motor Bimo. "Penampilan kamu boleh juga."
Jane mengernyit, Barusan dia pake "Aku-kamu"?
"Tapi lebih baik, lo jadi diri sendiri aja. Orang lain pasti berfikiran sama kayak gue."
"Oh."
Jane mulai memegang pundak Bimo hati-hati saat motor mulai melaju dengan kecepatan standar. Bimo tersenyum merasakan tangan Jane berada dipundaknya. "Tumben ngajak bareng? Biasanya kan suka sama Rey?"
Bimo terkekeh, "Dia kan jemput Rania. Gue lagi pengen ngajak lo sekarang."
Jane tersenyum miris, "Maksud lo?"
Bimo terdiam. Jane berusaha mencari tahu sesuatu dibalik diamnya sang mantan kekasihnya itu, "Bim, jawab elah.. "
"Gue masih sayang sama lo, Janny.. "
Janny, nama panggilan kesayangan Bimo saat mereka masih berpacaran dulu. Jane menelan ludahnya sulit, ia mulai mengingat kejadian demi kejadian saat mereka masih merajut kasih sayang.
Setelah Bimo berhasil meyakinkan teman-temannya bahwa ia sudah memiliki kekasih, Jane merayakannya dengan membuat seratus harapan didalam kertas warna berukuran kecil, lalu mereka lipat menjadi sebuah origami-origami kecil.
"Harapan kamu apa, Janny?"
Jane yang masih polos menjawab pertanyaan Bimo dengan semangat, "Banyak!"
"Salah satunya?"
Jane memejamkam matanya, "Siapapun jodohku nanti, aku ingin dia mempunyai sifat bertolak belakang dariku. Agar hidup kami saling melengkapi satu sama lain. Itulah suamiku nanti."
Bimo mengangguk mengerti.
"Dan kuharap itu kamu, Bimo."
Bimo tergelak, tangannya mulai mengacak-acak rambut Jane gemas. "Masih bocah udah mikirin jodoh."
Jane tertawa. Mereka berdua mulai menghanyutkan seratus origami tersebut di salah satu sungai dekat dengan sekolah mereka dulu.
"Terus, harapan kamu apa, Bim?"
Bimo menatap langit menerawang, "Aku ingin selalu bersamamu, Janny. Dimana pun kamu berada, dengan siapapun kamu bahagia, aku akan terus berada di dekatmu. Ya, walaupun harus nahan sakit."
Jane tersipu malu, pipinya memanas melihat Bimo tersenyum tulus padanya, "Kita pulang. Udah siang, takut Mamih kamu khawatir sama kamu."
Jane mengeluh, "Yah.. Gak seru!"
"Janny, bukannya aku gak mau lama-lama sama kamu, aku cuma takut kamu dimarahin mamih kamu lagi. Dan, gue takutnya entar kita dimarahin pihak sekolah lagi gara-gara origami ini."
"Eh, iya. Nyampah sembarangan." Jane tertawa pelan, mengerti. Bimo akhirnya mengantar pulang Jane ke restoran milik Julia. Di sepanjang perjalanan, Bimo tidak henti-hentinya menggoda Jane membuatnya kesal memukul bahu lelaki itu gemas.
"Oh.. Jadi sekarang mulai berani meluk nih?"
Jane tersipu, "Apaan sih!"
"Kalo liat kamu malu-malu gitu, bawaanya lucu tau gak! Jadi makin gerah."
"Anjay!"
Bimo tertawa, "Makin sayang.. "
"BIMO ALAY!!!"
Lambat laun Jane mulai tersadar dari lamunannya, kenangan manis yang begitu lenyap seketika saat mengetahui Bimo sering melakukan perkelahian di sekolah. Ia merasa tidak suka dengan sikap Bimo saat itu. Sampai suatu hari ada seorang lelaki dengan seluruh kesempurnaannya menghibur Jane dengan sukarela. Jane yang labil mulai membagi perhatiannya dengan instan. Sampai di suatu hari, Bimo berusaha mengajaknya pulang bersama, tapi Jane membuat alasan palsu bahwa dia ada eskul dadakan. Bimo akhirnya menunggu di warung depan sekolah.
Selang beberapa menit kemudian, Bimo merasakan hatinya mulai memanas saat matanya melihat Jane diboncengi Akmal dengan senyuman penuh kebahagiaan. Bimo merasakan sakit hati yang luarbiasa. Ingin rasanya ia menghajar Akmal sampai puas.
"Si anjing! Awas lo Akmal!”
Malamnya, Jane mendapat interogasi dari Bimo lewat telepon. Jane terus saja membantah bahwa dia tidak selingkuh. Bimo geram, sampailah di hari senin. Semua peserta upacara mulai memadati lapangan dengan tertib, begitu juga dengan Jane dan Akmal. Mereka berdua terlihat sangat akrab saat berbaris di lapang. Saat upacara dimulai, Bimo yang sudah tidak tahan lagi melihat wajah bahagia mereka berdua mulai menerobos jajaran kelas Jane.
"Anjing! Berani-beraninya lo rebut cewek gue, bangsat!"
Tepat saat pembina upacara mulai memasuki lapangan upacara, Bimo berhasil memukul telak wajah Akmal di kerumunan peserta upacara.
"Bimo! Stop!" Jane menjerit, berusaha menghentikan Bimo yang semakin memukulnya dengan membabi-buta.
"Gue suka sama dia! Jadi, gue berhak rebut dia dari lo!" Akmal hendak membalas pukulannya, namun Bimo tidak memberinya kesempatan. Tidak sampai disitu, Bimo meninjunya telak sampai tidak sadarkan diri. Lapangan upacara mulai menegang, ada yang menyemangati mereka berkelahi, ada juga yang menyingkir ketakutan. Semua guru di sana mulai menghentikan Bimo, dan berusaha menstabilkan kegiatan upacara bendera.
"Bimo! Dia gak salah apa-apa! Aku yang salah!" Jane berusaha meyakinkan Bimo untuk berhenti memukul Akmal.
Bimo menatap Jane tajam kemudian berbisik tertahan, "Bullshit! Lo bilang lo gak pernah selingkuh, dan sekarang, waw! Lo belain si bajingan itu! Maksud lo apa, heh? Lo udah mainin perasaan gue, Jane! Gue kira lo bakal setia dan nerima gue apa adanya. Dan kenyataan gak semudah yang gue pikirkan, lo mulai menjauh dari gue karena gue sering dipanggil ke bk, kan?"
Jane tertohok, setetes airmata jatuh di pipi, "Bim, semua cewek akan berpikiran sama kalo sebenernya cowok yang selama ini baik di depannya, ternyata suka mukulin orang di luaran sana. Aku kecewa Albimo."
Beberapa guru mulai menyeret Bimo menjauhi Akmal yang kini sudah dibawa petugas pertolongan pertama. "Jane.."
Jane melenggang, berbisik tegas, "Kita putus!"
Bimo menatapnya tidak percaya, "Jane, kenapa--"
Jane menatapnya tajam, menganggukkan kepalanya tanpa merasa bersalah. Bimo yang melihatnya menggeleng tidak percaya, selama ini ia memang tidak bisa menjadi yang terbaik untuk gadis itu.
Ia pasrah diseret ke ruang bk. Dengan suara parau ia bertanya dengan polosnya, "Pak, apa ini yang rasanya patah hati karena putus cinta? Rasanya kok nyess.. Banget. Bawaanya pengen nonjok orang di tempat."
Guru itu terkekeh, "Kamu kayak baru pertama kali putus aja, dasar anak zaman edan."
"Dia cinta pertama saya, Pak! Dan juga pacar pertama!"
Guru itu menatapnya tidak percaya, sebelum akhirnya memberikan peringatan keras pada Bimo untuk tidak lagi melakukan keributan dan kerusuhan yang dapat merugikan orang lain, termasuk murid lain.
Bimo tersenyum kecut mengingat kenangan kecilnya bersama Jane. Sementara Jane di belakangnya, berusaha melupakan semua yang pernah terjadi di antara mereka.
"Gue masih penasaran, apa lo bener-bener selingkuh?"
Jane tersadar dari lamunannya, ia menggeleng pelan, "Nggak."
Bimo melirik Jane lewat kaca spion, "Terus, kenapa lo belain dia. Tanpa alasan yang jelas, lo.. mutusin gue."
"Ganti topik, please."
Bimo menghela nafasnya berat, Jane emang udah bener-bener move on dari gue, dia gak pernah peka sama gue!
"Asal lo tahu, Bim, gue gak suka cowok kasar! Apalagi suka mukulin orang!"
"Jelas-jelas kamu udah ngejilat ludah sendiri, Jane. Apa sosok Rey buat kamu itu belum cukup bukti?"
Jane mendesah pelan, "Gak ada urusannya sama Rey,"
"Dia malah lebih nakal dari gue."
Jane terdiam.
"Dunia itu berputar, Jane. Mungkin, dulu kamu mandang aku sebelah mata. Tapi sekarang, kamu lebih tergila-gila sama yang lebih dari aku."
Tanpa sadar, Jane mulai memeluk dan menyandarkan kepalanya di punggung Bimo.
Perasaan hangat itu kembali ia rasakan setelah bertahun-tahun lamanya. Bimo berdeham, berusaha mengalihkan suasana. "Gue laper. Ngebubur dulu yuk!"
"Peka banget deh, Bimo. Yuk!" Mendengar kata bubur, Jane memukul bahu Bimo semangat. Sontak Bimo mengaduh sekaligus gemas melihat tingkah lucu gadis di pantulan spion.
Bimo tertawa mengejek, "Laper ya? Makanya pacaran sama gue lagi, biar ada yang perhatiin. Kasian."
Jane mendelik, "Bapernya nanti lagi ya, Beb."
"Nyebelinnya gak berkurang."
Mendengar celetukan Bimo membuat Jane kembali memukul bahunya keras. "Gak ngaca mas? Buruan, i'm hungry, babe."
"Apa? Horney?"
"BIMO RESE!!!"
Bimo tertawa lepas saat melihat wajah gadis itu memerah marah karena kejailannya di sepanjang perjalanan.
*
"Kemarin Rana pulang cepet, ulangannya udah beres?"
Adit melirik Rana sekilas, adiknya itu memang sangat sulit ditebak. Pagi ini mereka tengah sarapan pagi bersama. Kebetulan ayah Adit masih bekerja di rumah sakit, hanya ada Diana, Rana, dan dirinya.
"Iya Bun, sekarang sekolah Rana lagi bebas. Rasanya bosen banget kalo sekolah, gak ada guru, gak belajar sampai bel pulang, serasa buang-buang waktu, Bun." Rana menjawabnya dengan membalas lirikan Adit disampingnya. "Emangnya abang, suka ngabur gak jelas di sekolah."
Adit menoleh geram, Bunda belum tahu, Ranaku, cintaku!
"Kak, Bunda mau nanya, apa kamu ikut organisasi di sekolah?" tanya Diana menatap Adit tajam.
Adit mengangguk, masih melirik adiknya yang biasa saja.
"Bagus! Tapi kalau kamu merasa tertekan, jangan terlalu dipaksakan. Bunda gak maksa kamu, ya. Eh, Bunda baru inget sekarang,"
Adit mendongak, "Apa?"
"Bunda pernah punya pasien, dia seumuran sama kamu. Kalo gak salah, sekolahnya di Dharma Bangsa."
Adit mengernyit, siapa? Sementara Rana disampingnya sudah selesai dengan sarapan paginya.
"Malang sekali anak itu, dia menderita trauma yang sangat parah. Dia takut kembali ke sekolah karena kasus penindasan yang dilakukan kakak kelasnya. Wajahnya penuh dengan luka lebam, Bunda takut kamu ditindas seperti itu, Adit."
"Jane?" celetuk Adit spontan.
"Nah, gadis itu namanya Jane. Kalo gak salah dia itu anak dari yang punya restoran J.A. Sayang, dia itu cantik dan lugu. Dia mengalami patah hati yang sangat dalam, anak remaja sekarang.. Mudah sekali membuat harapan pada sesuatu yang belum tentu terjadi. Ngasih harapan dan dikasih harapan palsu. Apa kamu kenal, nak?"
Kasihan banget tuh cewek, sampai pake psikiater segala lagi! Parah banget si Elisa, udah buat anak orang sakit jiwa! Si Rey lagi! Udah bikin anak orang stress. Batin Adit simpati.
"Temen sekelas, Bun. Dia memang sulit ditebak."
"Dia cantik dan baik. Apa kamu udah punya pacar, Dit?" tanya Diana menggoda.
Adit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Belum. Adit belum nemu yang pas."
"Gimana kalau Jane?"
Adit tersedak, "Bunda, dia itu inceran temen Adit. Lagian, Adit gak punya rasa sama dia. Sedikit pun gak terlintas di pikiran Adit. Adit juga lagi ngedeketin cewek sekarang, ralat, bukan Jane."
Rana mendelik sebal mendengarnya, "Sok punya inceran, muka pas-pasan gitu."
Adit mencubit pipi Rana kesal, "Dia anak ipa, Bun. Namanya Fiona. Dia nggak cantik, tapi dia menarik. Dia yang buat Adit suka."
Diana tersenyum, sementara Rana tersenyum mengejek, "Tapi diembat orang! Kasihan.. "
Mendengar celetukan Rana, Adit tak segan-segan menatapnya tajam, lalu memasang wajah sedih pada Diana. "Iya, Bun. Dia nggak ngerespon perasaan Adit. Dia malah ngejar cowok yang jelas-jelas suka sama cewek lain."
Diana tersenyum miris, "Kasihan kakak kamu, Ran. Udah, jangan dibuat beban. Jadikan semuanya pelajaran buat kamu. Jangan pernah jadi orang ketiga, Dit. Dan jangan pernah buat hati orang sakit. Kamu mau, Rana disakitin orang lain?"
"Biarin! Dia mah bukan cewek-aw!" Adit merasakan cubitan pedas di pahanya, hadiah dari Rana. "Emang enak!"
"Adit, bagaimana pun kamu merasa tersakiti, usahakan kamu jangan menyakiti. Sudah, kalau kamu gak bisa kejar dia, kamu masih punya banyak perempuan baik diluaran sana. Cantik aja tidak cukup, bukan? Bunda tahu pilihan kamu."
Adit berdiri dari duduknya, memberi salam hendak berangkat sekolah bersama Rana.
"Adit, kalau bisa, kamu jangan suka sama satu perempuan aja. Kamu masih belum terikat sama siapa pun."
Adit berpikir sejenak, lalu mengangguk mengerti. "Akan aku coba, Bun."
"Jane belum punya pacar, kan? Kasihan anak itu, dia baru patah hati. Coba deh, kamu kasih hiburan buat dia."
Adit mengernyit, Bunda kok kebelet banget sama Jane? Heran gue?
*
Bel masuk berbunyi, Jane memasuki kelas dengan mendapat tatapan tidak percaya dari teman sekelasnya. Dari mulai Trio Alay sampai Trio Alim. Kebetulan ia berpisah bersama Bimo di parkiran. Penampilan yang sangat tidak terduga. Jane yang dulu tampil apa adanya, sekarang menjadi Jane yang tampil ada apanya. Jane melenggang masuk setelah memberi salam, ia duduk di samping Zenita yang ikut ber-wow ria menggoda penampilan Jane.
"Wow.. You're so bad, but you does it so well, bitch!"
Entah itu pujian atau sindiran yang keluar dari Trio Alay. "Bad girl dadakan. Ups! Kalo nggak salah nih ya, yang amatiran emang suka songong!"
Jane menatap mereka mengintimidasi, enggan meladeni mereka. Zenita menyeringai melihatnya, "Lo keren banget, Jane! Gimana malem tadi? Lo gak dimarahin kan?"
Jane menggeleng, berbohong. Tidak sadar bahwa sedari ia masuk kelas, ada sepasang mata yang memperhatikannya tidak percaya. Tatapan Rey tidak lepas dari gerak-gerik gadis itu. Sementara gadis itu sendiri mulai penasaran dengan reaksi lelaki yang bisa saja bersikap biasa saja melihatnya berubah.
"Gue males belajar, Je." Jane memelas saat dilihatnya Bimo barusaja masuk kelas bersama pak Deri, guru matematika mereka. Bimo berjalan menuju bangkunya dibelakang, Rey yang melihatnya berusaha tersenyum membalas senyuman dan tos dari Bimo.
"Udah siap?" tanya Bimo meletakan tasnya.
"Tenang, gue udah putus sama Rania semalem." Rey menjawabnya dengan nada penuh ancaman.
Bimo menanggapinya dengan seringai liciknya, "Hebat! Lo emang anjing terlihai, bung!"
Rey menatapnya tajam, "Dan sebaliknya, lo pengkhianat terbaik, bung!"
"Sudah berdiskusinya, Reynand, Bimo? Saya akan mengajar sekarang."
Mereka berdua akhirnya mengangguk mengetahui pak Deri akan segera memulai pelajarannya.
Selang satu jam kemudian, Jane merasa sangat bosan di kelas. Ia sama sekali tidak mengerti dengan materi yang disampaikan pak Deri di depan. "Je, lo ngerti?"
Zenita menoleh, "Enggak."
"Percuma belajar juga, lo gak ngerti, gue juga gak ngerti. Bolot bareng kalo gitu." Jane menghembuskan nafasnya pasrah, sebelum akhirnya namanya dipanggil oleh pak Deri.
"Jane Demetria, bisakah kamu jelaskan kembali apa yang bapak terangkan barusan? Kamu sepertinya asyik sekali berdiskusi dengan Zenita."
Jane menelan ludahnya sulit, "Barusan saya mau ke toilet pak, tadinya mau ajak Jeje juga pak, tapi dia nggak mau."
"Ya sudah kalau gitu cepat. Jangan lama-lama. Anak gadis pamali lama-lama di toilet."
Jane menatapnya tidak percaya, ia tidak dimarahi dan malah diizinkan untuk ke toilet. Zenita menatap Jane kagum, dengan cepat ia beranjak dari duduknya berjalan keluar kelas.
"Pak! Saya izin ke toilet!"
Semua mata mulai menyudutkan siapa yang meminta izin tersebut, "Jangan lama-lama. Cepet ke kelas!"
Lelaki itu menyengir kuda, "Siap pak!"
Bimo menatap rivalnya sengit, kini kursi disampingnya kosong. Sampai ia menemukan secarik kertas diatas meja belajar Rey. Ia membuka kertas tersebut lalu membacanya.
Start mungkin udah lo ambil, tapi gue gak akan biarin dia lepas gitu aja.
"Setan!"
*
Jane berjalan menuju toilet perempuan, kebetulan koridor sekolah mulai sepi karena semua murid tengah melakukan kegitan belajar mengajar. Setelah mencuci muka di depan cermin wastafel, matanya membulat seketika saat melihat Rey sudah berada tepat dibelakangnya.
"Deja vu."
Jane memejamkan matanya perlahan, ia membalikan tubuhnya menghadap Rey yang kini hanya berjarak satu meter dengannya.
"Mau lo apa, Rey?"
Rey menatap Jane penuh penyesalan, "Gue minta maaf."
Jane mengernyit, lalu tersenyum mengejek, "Minta maaf? Segampang itukah? Lo udah matahin hati gue berapa kali, Rey! Nggak gampang bersihin kertas putih yang udah kena coretan tinta berkali-kali. Bahkan udah lo remas sampe kusut, nggak bakalan rapi bersih kembali seperti semula. Hati gue gak sekuat itu, Rey!"
"Jane, gue bener-bener nyesel. Gue nggak mau kehilangan lo lagi, gue bene-bener shock denger berita orang tua kita. Gue gak bisa cegah mereka. Terlebih gue tahu, perasaan seorang duda dan seorang janda itu kayak gimana. Gue ngerti, gue gak boleh egois lihat mereka bahagia. Dan, gue juga mau, lo jangan ngelampiasin semua kekesalan lo sama nyokap lo. Beliau calon ibu gue. Walau pun gue tahu, antagonis di kehidupan gue itu sebenernya dia."
"Antagonis? Lo tahu apaan soal antagonis! Jangan pernah samain nyokap gue dengan antagonis di kehidupan lo, Rey! Gue emang kecewa sama keputusan begonya mereka! Karena sebentar lagi, gue bakal jadi adek lo. Jauh dari apa yang sebenernya gue harapkan."
Rey menghembuskan nafasnya kasar, "Jane, gue harap, lo mau kasih mereka kesempatan buat bahagia. Gue tahu, lo nggak akan pernah setuju sama pernikahan mereka. Sama kayak gue, kita hancur karena hubungan mereka yang tiba-tiba. Jane, gue rela ngorbanin perasaan gue buat jadi saudara lo. Demi mereka, demi kebahagiaan mereka. Kita harus ikhlas melihat mereka bahagia."
Tanpa sadar, setetes air mata mengalir di pipi Rey.
"Bullshit! Buktinya lo masih aja berani manas-manasin gue nembak si murid baru! Itu tandanya apa, Rey? Kenapa kita saling menyakiti satu sama lain kalau pun kita masih mencintai satu sama lain! Lucu banget!" Jane mulai kehilangan kendali, tangannya mulai memukul bahu Rey berkali-kali bersama tangisnya yang mulai menghiasi dinding toilet.
"Bukan itu, Jane! Gue minta maaf. Gue janji--"
"Gue gak suka lo buat janji!" Jane mulai menyeka matanya menggunakan punggung tangan. Rey melihatnya tidak tega, hatinya ikut merasa sesak mengetahui bahwa sebuah tekad yang besar, tidak akan menembus dinding takdir.
"Udah, gue gak mau lo nangis, udah Jane! Jangan nangis." Rey berusaha meyakinkan Jane yang semakin rapuh, Jane tiba-tiba tertawa hambar.
"Gue gak nangis, gue miris dengan hidup gue sendiri. Lo juga, cowok kok nangis, nggak malu lo?"
Rey tersenyum pahit, "Gue nggak malu nangis di depan lo. Cuma di depan lo, nggak ada cewek lain."
Jane memukul bahu Rey, "Omong doang. Nggak ada cewek lain, heh! Semua cowok itu sama aja. Nggak ada bukti!"
"Nggak semua cowok, Jane."
Lengang.
Sedetik kemudian mereka tertawa dengan berderai air mata. Mereka telah siap menjadi saudara tiri. Sungguh skenario yang tidak terduga. Bukannya Rey ingin mengajak Jane untuk menyambungkan tali hubungannya yang telah lama putus, tetapi ia malah menyambungkan tali ikatan yang lain. Tali persaudaraan.
Jane memeluk Rey tiba-tiba.
"Apakah kita akan bahagia, jika kita mendobrak moralitas?"
Rey terdiam.
__________
Hai. Masih ada yang mau pantengin kisah lebay mereka? Masih mau lanjut?
Reader: Lama bat dah updatenya? Kemana aja sih thor?
Author minta maaf selama ini belum bisa update, terlalu banyak kendala, entah dunia rumah, kerja, dan juga kuliah. Ditambah laptop kembali sakit dan dibawa servis
🙏gomenasai mina 🙏
*maklumiauthorwibu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro