Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. BAD NEWS ABOUT US


23. BAD NEWS ABOUT US

Suasana kantin mulai ramai saat kedatangan Rey bersama murid baru sekaligus kekasih barunya yang membuat geger satu sekolah. Mereka tidak berpegangan tangan, tidak juga saling merangkul. Mereka bersikap seperti biasa saat duduk di salah satu kursi kantin.

"Rey..?"

"Hm..?"

Gadis itu melirik ke seluruh penjuru kantin, merasa risih dengan tatapan semua siswa di sana, "Aku malu.. "

Rey menaikan satu alisnya, "Malu kenapa?"

Gadis itu memutar bola matanya malas, "Banyak yang liatin kita. Risih tau nggak!"

Rey tersenyum, "Itu artinya, mereka itu respect sama kita."

"Respect? Maksud kamu?"

"Ya.. menghargai keberadaan kita. Daripada enggak sama sekali."

Gadis itu mengangguk. Kini ia mulai menatap Rey penuh selidik. "Kamu.. famous?"

"Iya Rania... emangnya kenapa? Malu punya pacar terkenal satu sekolah?"

“Terkenal karena apa? Tampang? Prestasi? Atau… mainin cewek?”

“Ih! Ya bukanlah!”

Rania menyipitkan matanya, “Karena kamu itu langganan keluar masuk BK?”

“Seratus buat kamu, murid baru!” Rey mengacungkan jempolnya bangga.

“Bukannya malu malah bangga! Denger ya! Kebiasaan kamu itu sama aja merusak citra kamu sendiri! Rusak nama baik sekolah, kelas, keluarga, apalagi orang tua kamu!” Rania menggeleng tidak percaya melihat sikap lelaki di hadapannya itu.

“Bentar, bukannya cewek kayak kamu itu, biasanya keluaran anak pemandu sorak, ya?”

“Kok, tahu?” tanya Rania pelan, sangat pelan.

“Keliatan lah! Dari segi penampilan, menarik. Terus wajah kamu keliatan suka pake make up, dan..”

“Ya-ya.. Tuan Sherlock Holmes. Hipotesis anda tepat sekali.” Rania memutar bola matanya malas.

Rey terkekeh, pandangannya terhenti pada teman-temannya yang kini tengah menghampiri ke arah mereka berdua.

“Cie.. ada yang baru, nih. Kenalin dong..” Salah satu di antara mereka mulai menggoda kedua muda-mudi itu.

“Eh, Rey! Bukannya lo suka deket sama adeknya si Jimi?”

Rey menggeleng, berusaha menutup-nutupi. “Ganti topik.”

“Lah.. ya udah, kita duluan. Bye-bye cantik… Rey itu tukang rusuh, loh!”

“Gak ngaca kalian?” Rey menyahut ketus.

Mereka tertawa meninggalkan kantin. Rey mengusap dadanya pelan mengingat kedekatannya dengan Jane hampir saja diketahui kekasih barunya itu.

Rania mendengus, "Denger baik-baik. Aku itu baru masuk ke sekolah ini. Dan aku mau, di sekolah baru ini aku hiatus dari kata populer. Aku kira... kamu enggak se-populer yang aku tahu sebelumnya."

"Jadi?" Rey mengerut sebelum menyeruput es jeruk miliknya.

"Aku mau kita bersikap kayak biasa aja. Enggak usah jadi anak populer yang gak ada kerjaan pengennya cuma cari sensasi. Kayak tadi tuh, nembak aku di parkiran. Iya kalo aku terima, nggak terlalu malu. Lah kalo ditolak, kamu pasti malu Rey.. "

Rey mengernyit, lantas menatap tajam Rania, "Gue harap.. lo jangan pernah coba atur kehidupan gue. Gue cuma pacar lo, bukan boneka lo."

Rania tersenyum manis menanggapi Rey, "Cuma pacar? Cuma pacar yang nantinya diberi harapan palsu terus kamu php-in, gitu? Kasihan banget semua mantan pacar kamu. Ckckck... Sehabis manis sepah dibuang, kalo udah bosen ya.. buang aja. Nanti juga mantan kamu bakal dipungut sama sahabat kamu sendiri."

"Aku antar kamu ke kelas sekarang!"

Rey menyambar tangan Rania dengan paksaaan, "Apa-apaan sih!"

"Kita putus."

Rania melotot, "Loh? Gak bisa gitu dong! Baru beberapa jam kita jadian, masa mau putus lagi. Udah untung gue terima--"

Barusaja Rania hendak menyemburkan berbagai pertanyaan pada Rey, lelaki itu sudah terlebih dulu meninggalkannya duduk sendiri di kantin. Rania berdecak kesal, diliriknya beberapa pasang mata mulai memperhatikan adegan dramatisnya bersama Rey. Rania menatap mereka acuh, lantas pergi mengejar Rey. Matanya menatap tajam punggung Rey yang kini meninggalkannya menuju meja tempat para penyamun sekolah berkumpul.

Senyuman manis kembali terukir di bibir Rania, dengan langkah cepat ia kembali menyusul Rey yang masih tidak jauh darinya.

"Rey, tunggu! Maafin gue!"

Rey berhenti berjalan, menunduk lantas menoleh dengan tersenyum tulus. Rania turut membalas senyuman Rey yang kini berjalan mendekat ke arahnya, "Bercanda Ran, aku gak bakal putus sama kamu."

Rania tersenyum lega, ia mulai merasakan kehangatan saat Rey menyelipkan jemarinya di genggaman tangannya, menggenggamnya erat. "Kita mulai sama-sama yah."

Rania mengangguk mantap, "Jangan takut, Rey. Aku janji, aku bakal jaga hubungan kita."

Rey mengeratkan genggaman tangannya, enggan menjawab. Hatinya masih berontak untuk berpindah ke lain hati. Bayangan wajah Jane masih melekat di matanya.
Kini mereka berdua berjalan kembali menuju bangku kantin. Rey berusaha menghilangkan bayangan Jane dengan kehadiran Rania di hidupnya. Begitu juga dengan Rania, ia berusaha mencari tahu tentang kekasih barunya kini.

***

"Rambut gue jadi warna biru Je! Aduh.. keren banget... "

Jane berteriak kegirangan saat menatap cermin salon di hadapannya. Kebetulan mereka berdua sukses memasuki mall dengan aksi penyamaran mereka.

"Gila... Lo beda banget Jane. Sumpah! Lo keren banget!"

Jane kembali menatap cermin tidak percaya, rambutnya yang berwarna cokelat gelap kini berubah menjadi separuh berwarna biru. Sama halnya dengan Zenita, ia mewarnai rambut hitamnya menjadi separuh berwarna merah maroon.

"Lo juga Je, rambut lo merah.." puji Jane saat melihat rambut Zenita yang kini terurai.

"Nah... sekarang gue tanya sama lo Jane, gimana perasaan lo sekarang?"

Jane menghela napasnya sejenak, kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Sangat berbeda. Bukan Jane yang tampil apa adanya, tanpa make up dan pakaian terbuka, dengan rambut cokelat yang selalu ia kepang. Kini berubah menjadi Jane yang nakal, berani bolos sekolah, memakai pakaian terbuka, memoles wajahnya dengan make up, dengan rambut terurai berwarna biru tua. Terbesit dalam hatinya ia merasa takut, takut akan penampilan dan sikapnya yang berubah hampir seratus delapan puluh derajat. Meninggalkan sosok Jane yang polos, acuh, cuek, dan takut melanggar peraturan.

"Gue ngerasa ada yang aneh dengan diri gue sendiri. Gue ngerasa bebas. Bebas melakukan apapun yang gue mau."

Zenita tersenyum, "Lo bahagia?"

"Jelas. Gue sangat bahagia dengan perubahan ini, Je. Gue ngerasa lebih liar dari sebelumnya." Jane mengangguk mantap.

"Nah.. mumpung kita masih di wilayah sini, mending kita rayain keberanian lo bolos sekolah!"

Jane terkekeh, "Klise! Basi banget! Norak!"

Suasana salon mulai ramai saat mereka berdua hendak keluar dari tempat tersebut. Setelah membayar salon, Zenita menarik Jane ke tempat yang sangat ramai di sana.

"Kita rayain keberanian lo di sini!"

Jane menatap tempat itu kagum, "Timezone!"

"Yoi. Gak cuma di sini kok! Tenang... gue yang bayar! Asalkan lo bahagia."

Jane memeluk Zenita erat, lalu berlari memasuki kawasan tempat permainan tersebut tanpa merasa malu. Zenita terkekeh, ia mengikuti langkah temannya lalu bermain sepuas-puasnya.

***

Bel pulang sekolah berbunyi. Dengan langkah malas Fiona mengait tasnya hendak keluar kelas untuk pulang. Namun langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang sedari tadi berdiri di ambang pintu kelas, "Adit? Ngapain lo di sini?"

Adit melirik kesana-kemari canggung, "Euh... gu-gue mau ngomong sama lo."

Fiona berdecak, matanya melirik jam di pergelangan tangannya malas, "Mau ngomong apa? Cepet. Kak Rama pasti udah nunggu aku di gerbang.. "

Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, hati Adit mencelos sakit mendengar jawaban sang pujaan hati. "Lo.. pulang bareng dia? Bukannya sama Jane?"

"Tumben nanya?"

Adit melengos panjang, merasa kesal dengan jawaban gadis di hadapannya. Untung suka! Kalo enggak, gue gibeng juga ini cewek!

"Maksudnya gini, tadi Jane sama Jeje bolos. Dia gak balik-balik lagi ke kelas. Gue kan sebagai KETUA KELAS kan harus bertanggung jawab sama mereka, gue pikir lo tahu mereka cabut kemana.." Adit sengaja menekankan kata KETUA KELAS entah apa maksudnya.

"Bolos? Jane bolos Dit? Serius, lo bohong, kan?" Fiona terkejut bukan main, ia tidak percaya dengan kabar yang Adit jadikan sebagai alasan menemuinya.

"Sumpah! Ngapain gue bohong sama lo. Makanya gue ke sini mau nanya, lo liat mereka kagak? Dan satu lagi, ada hubungan apa sih lo sama Kak Rama?"

Fiona tergelak mendengar pernyataan dan pertanyaan Adit. Ia menghembuskan napasnya kasar, berusaha meyakinkan Adit dengan jawabannya sekarang.

"Gini, gue udah jalan dua bulan sama Kak Rama. Kali ini dia bener-bener menghargai perasaan gue. Dia udah bales semua perasaan gue dengan perlahan. Gue tahu, cinta memang butuh perjuangan, walaupun prosesnya menyakitkan, tapi hasil tidak mengecewakan. Gue percaya, dia udah bisa move on  dari sahabat gue."

Satu kali lagi sengatan listrik menyengat hati Adit secara sempurna. Adit menatap Fiona datar, berusaha menyembunyikan beberapa belati yang telah Fiona tancapkan tepat di hati Adit.

"Oh.. "

"Cuma oh? Lo nggak bakal ngucapin selamat gitu, udah dua bulan gue jadian lo gak tahu?"

Adit tersenyum sinis, "Selamat! Lo udah buat dia peka sama perasaan lo. Gue pergi-"

"Tunggu!"

Adit menghentikan langkahnya, menoleh dengan wajah datarnya, "Apa?" harap-harap cemas ia menantikan Fiona membalas semua perasaannya. Apa tuh cewek mulai sadar? Semoga..

"Jane bolosnya kapan?"

Adit mendengus kasar, hatinya kembali patah mendengar pertanyaan Fiona yang bukan harapannya. "Istirahat pertama, dia bawa tas keluar kelas."

"Oh.. apa Kak Jimi tahu?" tanya Fiona khawatir. Sebagai sahabat dekatnya sekaligus tetangganya, ia mungkin merasa tidak percaya dengan aksi sahabatnya itu.

Adit menggeleng, berjalan lurus ke arah gadis itu, lalu berbisik tepat di depan wajahnya, "Yang gue gak tahu, gimana caranya buat lo sadar Fi."

Fiona mematung. Bungkam dengan jawaban Adit yang terkesan ambigu. Lelaki itu meninggalkan Fiona dengan penuh pertanyaan di benak. Namun pikirannya kembali mengingat sahabatnya.

"Jane bolos? Nggak mungkin. Dia kan anak baik-baik. Gimana kalo Tante Julia sama Kak Jimi tau.. "

Fiona kembali melanjutkan perjalanannya menuju gerbang hendak menemui Rama.
"Lo kenapa sih Jane.. bisa-bisanya lo kebawa arus sama Jeje. Ya Tuhan.."

***

Setelah menghabiskan waktunya selama di dalam mall, seperti ke salon, timezone, ke beberapa toko baju, karaoke, sampai akhirnya Jane mengajak Zenita untuk segera mengisi perut mereka yang sudah keroncongan. Kini mereka tengah menikmati makanan di salah satu kafe di dalam mall tersebut.

"Makasih ya Je, berkat lo, hari ini gue bahagia banget!" kata Jane sambil mengscrool layar ponsel di genggamannya.

"Yah... asal lo bahagia, apa yang enggak?"

"Lebay!" Jane terkekeh sebelum akhirnya ia menemukan sosok yang janggal di seberang meja makannya. Getaran ponsel di genggamannya mulai mengalihkan perhatiannya. Satu pesan masuk dari si peretak hati, Rey.

Lihat arah jam dua belas, perhatiin mereka.

Jane mengerut, matanya melirik ke arah beberapa pengunjung di depannya. Matanya membulat tidak percaya, seorang wanita cantik tengah disemati cincin yang pastinya berharga fantastis oleh seorang pria tampan berdasi. Senyuman tulus mulai terukir di bibir wanita itu, hingga terdengar sangat jelas di telinga Jane saat wanita itu berkata, "Ya! Aku terima, Mas!"

Entah ini kabar bahagia atau kabar tragis yang menimpa hatinya secara bersamaan. Ia melihat dengan kedua mata kepalanya sendiri, Julia tengah dilamar oleh seorang pria tampan yang tidak lain adalah Vano. Ayah dari si pengirim pesan tadi.

"Mamih..?"

Sebutir air mata lolos mengalir di pipi, hatinya terasa remuk dan hancur saat ia kembali mendapatkan pesan dari Rey.

Gue di belakang lo.

"Jane? Lo.. lo kenapa nangis?"

Jane mengusap airmatanya cepat lalu menggeleng, "Kita balik Je, gue.."

"Loh? Kenapa? Kita kan lagi-"

"Persetan Je! Gue gak betah di sini!" Jane berusaha menarik Zenita keluar dengan paksaan. Zenita hanya bisa pasrah menanggapi temannya itu.

"Ah.. elo mah gak asik.."

Jane sama sekali tidak memedulikan rengekan Zenita, matanya tidak lepas dari Julia yang kini tengah membicarakan pernikahannya dengan Vano. Hati Jane kembali berdesir perih saat melihat Vano mencium punggung tangan Julia dengan lembut.

Gue harap, mereka sama sekali gak punya hubungan apa-apa. Lo jangan nangis, lo jangan ikut-ikutan ancur kayak gue. Lo harus tetep jadi diri lo sendiri, jangan rubah penampilan lo kayak gini. Kemana pun lo pergi, gue tetep di belakang lo.

Jane mendengus kasar saat melihat pesan Rey kembali di ponsel. Ia sama sekali tidak berani untuk memutar tubuhnya atau sekedar menoleh ke belakang. Ia mengutuk dirinya sendiri saat ia tahu bahwa dia tengah bersama Zenita di sampingnya.

"Lo kenapa sih, Jane? Emang ada apaan, sih?"

Saat Zenita hendak menoleh ke belakang, dengan cepat Jane menahannya, "Nggak ada apa-apa. Gue cuma pusing aja.. "

"Oh.. kirain ketemu mantan."

Jane mendesah lega, namun Rey kembali mengirim pesan.

Pulang? Atau kemana? Lo jaga diri baik-baik.

Jane merasa gemas sendiri, dibalasnya pesan tersebut dengan cepat.

BODO AMAT! BUKAN URUSAN LO!

"Tapi lo cewek Jane. Gue gak mau lo kenapa-napa."

Jane merasakan jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara di belakangnya, sontak ia menoleh bersamaan dengan Zenita. Zenita terkejut, "Rey? Lo ngapain di sini? Pake seragam lagi? Emang bisa?"

Rey mengindahkan pertanyaan Zenita, matanya lebih mementingkan objek di hadapannya. "Jane, gue gak mau lo berubah kayak gini. Gue takut lo kebawa-bawa yang gak bener."

Dalam hati, Jane tersentuh. Namun logikanya kembali berontak, "Perhatian lo itu.. basi tau gak."

Rey terdiam, berusaha menetralisir emosinya.

"Eh, Setan! Lo itu udah nyakitin Jane berkali-kali! Lo gak mikir apa? Perasaan dia tuh kayak gimana? Gue di sini cuma mau ngehibur dia, bukan ngajak dia yang gak bener!" Zenita mulai mengeluarkan argumen kekesalannya di depan Rey.

Jane tersenyum sinis, "Udahlah! Nggak usah sok-sok an perhatian sama gue, gue udah capek!"

"Gue lebih capek Jane! Gue nyerah ngejar lo karena gue punya alesan tersendiri. Dan soal bokap gue sama nyokap lo, gue gak kalah stress Jane! Dan gue harap mereka gak ngerencanain buat menikah."

"Telat. Mereka udah ngomongin pernikahan tadi. Gue gak nyangka ya, dunia ini emang sempit banget buat pertemuan nyokap gue sama bokap lo. Romantis banget!" Jane tersenyum ketir mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Zenita berdecak, menggeleng tidak mengerti, "Apaan sih? Kalian ngomongin apaan?"

Jane menggeleng, kembali menatap Rey tidak suka, "Kalau sampai mereka menikah, sampai kapan pun, gue bakal benci sama lo."

Rey menelan ludahnya sulit, matanya berusaha menatap tenang gadis di hadapannya, "Sebaliknya Jane, gue bakal gencar ganggu hidup lo yang semakin ancur sekarang."

"Udah-udah! Gue gak tahu apa yang kalian omongin sekarang. Keluarga, benci, atau apalah itu. Berhenti berdebat okey? Kita jadi pusat perhatian sekarang.. " Zenita mulai menengahi perdebatan panas kedua temannya itu.

"By the way, pacar lo mana? Anak baru kelas IPA satu?"

"Pulang diantar Bimo." jawab Rey santai.

Jane tersenyum sinis, "Bukannya harusnya elo yang anter? Kenapa temen lo sendiri? Ditikung baru tau rasa!"

Rey menyeringai, "Nggak apa-apa. Itu bukan urusan lo."

"Oh.. pantesan. Orang juga mikir dua kali, mana mau punya pacar kayak lo? Tukang mainin cewek, terus diphp-in gitu aja. Siapa yang mau...?"

"Elo."

Satu tamparan keras kembali melayang di pipi Rey. Merasa menjadi pusat perhatian, Rey kembali tersenyum hingga ia merasakan ujung bibirnya terasa perih dan asin. Cairan merah kental mulai mengalir di sudut bibirnya.

"Apa rasa lo udah mati buat gue, Jane? Sampai lo berubah kayak gini?"

Jane tersenyum sinis, "Berubah? Nggak bakalan ada asap kalo gak ada api, Rey! Mana mungkin gue berubah kalo nggak punya alasan tersendiri. Dan lo gak berhak buat ngatur urusan gue! Bedebah kayak lo pantes buat diberi pelajaran."

"Jane.. udahlah. Kita pulang, malu gue jadi kamcong di sini.." Zenita yang masih terkejut melihat Jane bisa-bisanya menampar Rey mulai merasa malu sendiri, ia segera menarik Jane menjauh dari Rey.

"Baik. Kalau itu mau lo, gue saranin, jadilah cewek baik-baik, karena lo bakal dapet cowok yang baik-baik. Inget, jodoh lo itu cerminan diri lo sendiri. Bukannya cowok yang lo mau itu Kak Rendi? Jauh, Jane! Lo gak pantas buat dia!"

Sekali lagi hati Jane tersentuh, namun kali ini logikanya tidak kalah bermain, "Nggak usah sok peduli!"

"Please.. kita balik Jane.. malu woy!" Zenita sudah tidak sabar, matanya melirik kepada semua pasang mata yang melihat adegan dramatis di depan mata.

Rey menghela napas pelan, "Biarin lah Je.. hatinya masih pengen di sini."

Jane mendelik sebal, "Kita pulang Je!"

"Dari tadi gue udah ajak lo balik keleus.."

Jane merutuki dirinya sendiri, Gue kenapa sih! Tanpa sadar ia menarik tangan Zenita menjauh dari Rey.

"Jane! Gue sayang sama lo!"

"Bullshit!" umpat Jane saat mendengar ucapan Rey dari kejauhan.

____

NEXT-NEXT-NEXT???

VOMENT DULU HEHE 😉✌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro