12. KEJUTAN
Menurutku, ini part ter-alay yang aku tulis deh. Gak sih, semua part juga terkesan lebay. hihihi... :D
Enjoy reading...
.
12. KEJUTAN
Beberapa minggu telah berlalu setelah malam paling mengerikan bagi kedua remaja labil Jane dan Rey. Selama ini pula mereka berusaha mati-matian untuk mengubur semua rasa menyesal juga ingatan tentang apa yang sudah mereka lakukan saat malam itu. Kejadian yang sama sekali tidak direncanakan, semua serba kebetulan yang membuat mereka semakin merasa gelisah akan perasaan masing-masing di antara keduanya.
Seringkali Jane lebih memilih duduk bergiliran dengan Zenita agar ia bisa lebih leluasa menetralisir rasa malunya jika harus berada di samping Rey. Begitu juga dengan Rey, rasa bersalah semakin menyelimutinya saat ia mengingat sikap bejatnya pada Jane. Sesekali ia melihat Jane lebih memilih menjauh. Walaupun mereka sempat bertatap muka, Jane selalu membuang muka ke arah lain daripada menatap langsung manik mata lelaki itu. Lelaki yang membuatnya menelan rasa malu saat dirinya terbawa suasana dengan mudahnya di malam itu.
"Cepet ganti bajunya! Anak cewek jangan lelet. Kita bakalan lawan kelas sebelas IPS tiga."
Suara tegas Adit membuyarkan lamunan Jane saat itu. Diraihnya baju olahraga di atas mejanya. Ia bersama teman-teman perempuan langsung berganti pakaian saat anak laki-laki sudah berganti terlebih dulu.
Setelah berganti pakaian, semua anak perempuan langsung mengeluarkan berbagai produk parfum untuk disemprotkan ke beberapa bagian tubuh mereka. Alibi agar tidak tercium bau keringat saat berolahraga. Aroma berbagai parfum mulai menguar di udara. Mereka berjingkrak ria keluar kelas berjalan menuju lapangan.
Jane menarik lengan Zenita malas, berusaha menghilangkan rasa gelisahnya mengingat syarat taruhan yang Rey sepakati sebelumnya. Ia menghembuskan napas pasrah, melirik ke arah Zenita yang masih sibuk beradu argumen dengan Hira. Leader dari Trio Alay yang berkomentar pedas pada parfum yang dipakai Zenita.
"Lo pake minyak apaan sih? Yang diisi ulang itu, kan? Lima ribuan? Hahaha..."
Tawa menggelegar dari Trio Alay mulai berderai, Zenita mendengus kesal saat mendengar parfum yang dipakainya memang terbilang murah. Diisi ulang pula.
"Biarin lah, Ra. Kere juga kan pengen gaya. Biar keliatan gaul kayak kita. Tapi, wanginya.. aduh, gak banget!" ejek Dea berusaha menahan tawa dengan telapak tangannya.
"Minyak emak-emak lo pake, udah deh! Gak usah sok-sok an pengen kekinian, hahaha.." celetuk Nopi membuat semua anak perempuan di sana kembali tertawa terbahak-bahak.
Jane mendengus kasar, menarik tangan Zenita untuk menghampiri Trio Alay. Tatapan seseorang yang sudah jengah mendapati temannya menjadi bahan olokan teman-temannya yang membuatnya marah bak gunung meletus yang siap menyemburkan lahar-lahar panasnya.
"Kalian tuh gak capek apa maen keroyokan! Wajar sih ya, anak-anak macem kalian emang tukang nyari sensasi, tapi, please, dia itu temen kalian, temen sekelas, jangan maen bully, bisa?" Jane mulai berjalan mendekati Hira. Ia menatap tajam ketiga temannya itu.
"Oh, ya? Gue pikir gak ada urusannya sama lo, deh! Minggir! Ini urusan gue sama anak sampah kayak dia!" Hira mendorong bahu Jane dengan jari telunjuknya, berusaha menatap tajam Zenita di belakang Jane.
Zenita tidak kalah menatapnya sengit, "Gue yang beli, gue yang pake, kenapa lo-lo semua pada sibuk ngomentarin hidup gue? Emangnya hidup lo-lo semua udah bener? Haha! Ngaca dengs!"
"Guys, please! Stop! Hira, bukannya gue mau ikut campur urusan lo yang gak berguna ini, tapi dia temen gue, sahabat gue, jadi gue mau, lo jangan pernah usik kehidupan dia dan gangguin dia lagi. Urusin aja kehidupan lo sendiri dulu, baru lo bisa ngurusin hidup orang lain, tapi dengan cara terdidik." Merasa temannya terpojok, Jane berusaha melawan Hira.
Zenita mendelik penuh kekesalan pada Trio Alay di hadapannya. Berusaha menarik semua ejekan-ejekan yang terus saja dilontarkan Trio Alay yang membuat telinganya terasa panas tak berujung.
"Terdidik? Apa peringkat juga pandangan guru terhadap gue masih bukan bukti bahwa gue sangat amat terdidik? Jane, gue mau lo jangan ikut-ikutan jadi anak sampah kayak dia, ya? Dan lo, Zenita! Gue gak perlu kaca, mungkin lo sendiri yang butuh kaca. Hidup lo emang hancur Je, gue tahu. Siapa yang gak tahu soal bangkrutnya perusahaan bokap lo, heh? Sadar Je!"
"Lo!-" geram Zenita tertahan saat mendengar semua pengakuan Hira yang terdengar tabu untuk dibicarakan.
"Apa? Udahlah! Kita pemanasan dulu!" Hira yang mulai mengerti dengan sorot mata Zenita yang seakan membuatnya mematung untuk bungkam. Mereka berdua mempunyai bom atom masing-masing. Zenita akan senantiasa mengeluarkan bom atom milik Hira jika Hira senantiasa membeberkan apa yang menjadi privasi bagi Zenita.
Selama perlombaan Dharma Cup berlangsung, Jane sedari tadi berusaha mencari sosok lelaki yang membuatnya malu itu. Ternyata lelaki itu tidak ada saat perlombaan bola voli. Jane mendesah lega, seakan beban malunya mulai berkurang saat tidak perlu menatap mata cokelat milik Rey. Kecuali Bimo dan Adit. Mereka berdua sedang asik mengerjai anak-anak perempuan dengan mainan ularnya itu, membuat Trio Alay dan anak-anak lain menjerit heboh.
"Bim, Rey kemana?" Tanya Jane pada Bimo.
"Tahu tuh anak, mungkin dia bolos kali. Dit, lo liat si Rey gak?" Tanya Bimo pada Adit, dia hanya menggeleng acuh.
"I don't know, tadi sih cuma bilang mau ketemuan sama Yussy, biasalah.. dia kurang belaian." Jane hanya ber-oh ria, berusaha mengingat di mana ia pernah mendengar nama "Yussy" sebelumnya.
"Kangen ya? Gue telepon mau? Bilang aja kalau Jane kangen-aws! Sakit Yang!" Bimo mengaduh kesakitan saat Jane mencubit pinggangnya.
"Emangnya ketemuan di mana?" Jane mendelik sebal pada Bimo, lalu kembali menatap Adit yang masih memelintirkan mainan ular itu di tangannya.
"Gue gak tahu. Telepon aja napa, susah amat."
Jane mendengus kasar, enggan meladeni kedua temannya itu. Ia lebih memilih kembali ke barisan anak perempuan yang sudah siap beradu tanding bola voli. Seperti biasa, Hira mengatur kelompok dengan semaunya sendiri. Ia memasukan anak-anak yang menurutnya jago voli ke dalam kelompoknya. Dea dan Nopi sudah berdiri sambil tersenyum remeh di dalam kelompok Hira. Sementara kelompok lain hanya mendapat sisa, yang terlebih kurang mengerti tentang permainan bola voli.
"Yang adil dong Ra, di kelompok kita pada gak ngerti voli. Lo gimana sih!" Zenita mulai keberatan dengan keputusan Hira. Namun Hira enggan menanggapi komentar Zenita yang menurutnya sangatlah mengganggu.
"Udahlah! Jangan pada protes. Udah untung gue kasih kalian kelompok. Dari pada gak masuk sama sekali, gak dapet nilai, mending mana? Ikutin aja aturan permainannya." Hira menjawabnya malas. Menatap kelompoknya yang mulai menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. Mereka yang tersisa hanya bisa mendengus pasrah, saat mengetahui beberapa di antara mereka tidak ada yang mengerti tentang permainan bola voli.
Jane yang kedapatan masuk kelompok Zenita mulai berancang-ancang di tengah lapang. Merasakan panasnya terik matahari mulai membuatnya merasakan keringat mengucur di pelipisnya saat berusaha melakukan service atas hendak memulai permainan.
Bola melambung jauh melewati net pembatas, permainan pun berlangsung. Dengan langkah cepat, Jane bersama Zenita mempertahankan skor kelompoknya saat melawan anak-anak perempuan dari kelas sebelas IPS tiga. Hanya mereka berdua yang menonjol dalam memantulkan bola, sisanya hanya menjadi pajangan saja. Karena tidak tahu harus bagaimana saat bola mendatangi mereka, bahkan tidak aneh lagi jika mereka memilih untuk menghindar bahkan menjerit ketakutan saat bola melambung ke arah mereka.
Jeritan, sorakan, ejekan, juga teriakan mulai menggema saat skor di antara kedua lawan mulai memasuki kepala dua. Hanya dengan beberapa menit saja, Jane mampu melakukan smash dengan keras. Zenita mengacungkan jempolnya pada Jane, yang dibalas Jane dengan anggukan mantap.
Kelompok Hira hanya bisa menggigit jari saat melihat kemampuan Jane dan Zenita yang tak kalah hebat dari anggota kelompok yang direkrutnya. Terdengar di sampingnya, Dea mendengus kasar saat melihat kelompok Jane dapat mengalahkan kelompok lawan.
Suara kor kemenangan mulai terdengar heboh dari kelas sepuluh IPS satu. Terlebih dari gerombolan pentolan kelas seperti teriakan heboh dari Bimo dan Adit. Riuh teriakan juga jeritan dari Hira mulai menggema saat kelompok Jane menyisi dari lapangan. Hira tersenyum bangga mendelik ke arah anak-anak kelas sebelas, lalu menoleh ke arah Dea dan Nopi bergiliran.
"Kalian siap? Buktikan bahwa kita lebih baik dari mereka. Semangat!"
Seperti komando, Hira menggiring anak buahnya menuju lapangan dengan mendapat sorakan berlebihan dari gerombolan pentolan kelas. Hira mengacungkan jempol tersenyum bangga ke arah Jane dan Zenita. Tatapan Hira mulai menajam saat dilihatnya kelompok lawan yang menjadi lawan mereka. Para cewek pentolan kelas sebelas IPS tiga.
"Anjir! Kenapa kita kedapatan lawan kelompoknya Elisa, sih!" gerutu Hira, Dea, dan Nopi bersamaan.
***
Di dalam gudang penyimpanan alat olahraga, di sanalah Rey sedang bersembunyi sembari menelpon temannya dari luar sekolah untuk mengajaknya bolos, dengan alasan hendak bertemu dengan Yussy. Rey tidak ingin mengajak Bimo dan Adit hanya untuk mengajaknya bolos karena berusaha menjauh agar Jane tidak terlalu merasa takut juga malu jika saling bertatap muka satu sama lain. Semakih hari, Rey semakin tahu apa arti dari tatapan Jane yang selalu berusaha mengalihkan pandangannya saat bertemu dengannya. Tatapan malu, takut, risih, bingung, juga marah bercampur menjadi satu. Gelisah.
"Lo bisa bolos sekarang gak? Gue bener-bener pengen banget bolos.." Rey berbisik pada ponsel yang berada di telinganya, tangan lainnya memegang rokok yang mulai mengepulkan asap berbaur dengan udara di sekitarnya.
"Gak bisa Rey ganteng, gue mau ulangan nih.. gue masih trauma sama abang lo kemaren,"
"Ayolah Dick, gue bener-bener bosen-"
Tit....
"SIALAN! Kenapa lo matiin telepon gue!" Rey mengumpat geram pada layar ponselnya.
Dicky yang trauma akan bentakan juga tatapan tajam Rendi enggan untuk mengikuti ajakan bolos Rey saking takutnya. Hingga terdengar derap suara sepatu disertai dengan berbagai umpatan berjalan menuju ke arahnya bersembunyi. Rey mengibaskan tangannya berusaha untuk menghilangkan kepulan asap rokok di sekitarnya. Alibi bahwa tidak ada seseorang di dalam sana.
"Dasar Osis! Enaknya saja menyuruhku membawa bola voli. Pembantu sekolah aja sok berkuasa! Huh!" ucap seorang pelayan kantin sambil membawa beberapa bola voli tepat di samping Rey bersembunyi. Sesekali ia mendengus merasakan aroma rokok yang sangat menyengat di sana. "Bau rokok dari mana sih?" pelayan kantin itu kembali berjalan keluar tanpa mengetahui Rey yang sedang bersembunyi. Tangannya kembali mengetuk layar ponsel hendak menelpon temannya kembali.
Tit...
"Saus tar-tar! Kenapa lo matiin!" umpat Rey untuk kedua kalinya. Akhirnya Rey hanya bisa bersembunyi sambil menghisap rokok di genggamannya. Kepulan asap rokok mulai menyatu dengan udara, asap putih pekat yang berbahaya jika kita menghirupnya, "Ogah banget gue lomba voli begituan."
Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar saat dilihatnya panggilan dari Bimo.
Bimo songong calling...
"Halo, nomor yang anda tuju sedang sibuk hehe.."
"Honey, lo dimana? Bukannya haha hehe gitu.."
"Najong lo! Gue lagi nggak di mana-mana, gue lagi pengen sendiri aja. Udah jangan nelpon lagi okey! Bhay honey!"
"Najong lo nyet! Si Jane nanyain elo tuh!"
Tit...
Dengan cepat Rey memutuskan sambungan teleponnya dengan Bimo, "Sorry Mo, kalau gue ajak lo sama Adit, gue gak bisa. Soalnya ini masalah gue sama-apa? Tadi gue kok kayak denger nama tuh cewek dari mulut sialannya si Bimo?"
Najong lo nyet! Si Jane nanyain elo tuh!
Crap! Rey menggeram gemas, rasanya seperti ada sengatan listrik baru saja menyengat hatinya saat mengetahui gadis itu menanyakan keberadaannya. Ia tersenyum berjalan keluar gudang tersebut. Pikirannya terus saja dipenuhi dengan berbagai kemungkinan juga pertanyaan.
Apa tuh cewek mulai peduli sama gue? Apa tuh cewek cuma basa-basi bangsat doang nanyain gue? Apa tuh cewek punya rasa yang sama ke gue?
"Tuh cewek emang susah ditebak!"
Rey bergumam sambil melempar rokok di genggamannya ke lantai lalu diinjaknya hingga mati. Ia berjalan menuju toilet hendak kembali melakukan aktifitas merokoknya di dalam sana. Menyendiri lalu mengunci pintu salah satu bilik toilet tanpa ada rasa takut tertangkap basah tengah merokok.
***
Bel istirahat baru saja berbunyi saat semua siswa mulai beristirahat selepas mengikuti berbagai acara lomba yang diselenggarakan. Alunan petikan gitar yang sangat merdu mulai mengisi seluruh penjuru kantin.
Rendi memanfaatkan waktu istirahatnya dengan memainkan gitar. Badan dimana, pikiran kemana. Rendi dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya, selalu menjadi bahan obrolan guru-guru dan anak-anak satu sekolah. Tidak aneh jika Rendi menjadi panutan baik bagi semua adik-adik kelasnya yang sangat terobsesi dengan sikapnya dalam berorganisasi.
Namun di balik itu semua, ia mempunyai banyak masalah yang mengharuskannya untuk mengurusi setiap tingkah buruk adiknya yang membuatnya semakin bersikap dewasa untuk menggantikan ayah dan ibunya yang hanya mengirim uang tanpa memperhatikannya di rumah. Hubungan kedua orang tuanya memang terlihat semu. Seiring berjalannya waktu, hubungan kedua orang tuanya semakin merenggang, hingga akhirnya mereka lebih memilih untuk menitipkan kedua anaknya kepada Bik Yonse.
"Ren, kenapa kamu gak masuk band sekolah? Lumayan loh!" Tanya Nisa dengan lantang, namun Rendi hanya bisa menggeleng.
"Gue gak mau. Pusing!" Jawab Rendi frustrasi.
"Kenapa pusing? Udah hebat juga.." tanya Nisa mengernyit heran. Rendi hanya bisa tersenyum kecut sambil menyimpan gitar pada kursi terdekat.
"Pusing mikirin adek gue! gak kelar-kelar gue keluar-masuk BK. Lo tahu sendiri kan bandelnya adek gue kayak gimana?"
"Sabar aja... jangan takut, kan ada Gina." Nisa tersenyum kecut saat mengingat bagaimana sikap juga perilaku adik dari temannya itu.
"Ke lapang yuk! Waktu istirahat bentar lagi habis." Ajak Rendi yang dibalas Nisa dengan anggukan. Alibi untuk mengalihkan pembicaraan yang menyangkut pautkan pada Gina.
Saat hendak melangkah menuju lapang, tiba-tiba dua orang anggota Osis dengan nametag Faisal Dagama dan Giant Pangestu berlari ke arah Rendi dan Nisa dengan tatapan darurat.
"Kak Rendi, Rey, Rey nggak ada! Huh!" lapor Giant dengan napas tersengal-sengal. Tangannya berusaha menyikut Faisal untuk memperjelas informasi yang akan disampaikan.
"Maksudnya gini Kak, Rey nggak ada dari jam pertama pelajaran olahraga. Dia gak ikut lomba voli. Sampai sekarang dia gak ada di rombongan kelas sepuluh IPS satu. Saya sama Giant kesulitan pas tau dia kabur waktu ambil absenan."
Mendengar penjelasan dari Faisal, Rendi terkejut bukan main. Karena dia takut adiknya bisa saja kembali mengajak anak sekolah lain untuk ikut membolos bersamanya.
Nisa menatap Rendi kebingungan, "Aduh, itu anak! Gimana Ren?"
"Ya udah, Kakak mau cari Rey dulu. Nisa sorry, bilang ke Gina gue ada urusan dulu. Dan kamu Faisal, Giant, kamu masih jaga saja di lapangan. Perlombaan kan belum selesai, masih ada tanding basket di jam selanjutnya. Jadi jangan sampai ada murid yang kabur lagi ok! bye!"
Rendi menepuk pundak Faisal dan Giant bergantian, meyakinkan mereka bahwa semuanya baik-baik saja. Sepersekian detik kemudian Rendi berlari kesana kemari menelusuri setiap denah sekolah. Mencari keberadaan adiknya yang tidak mengenal kamus "Takut" untuk melanggar peraturan sekolah.
***
Terik panas matahari membuat semua peserta lomba merasakan keringat yang mengucur deras di sekitar tubuh mereka. Sorakan juga teriakan para supporter terus menggema saat tim favorit mereka dapat mencetak angka. Suasana ceria yang ditampilkan para anggota Osis yang senantiasa bangga dengan diadakannya Dharma Cup setiap setahun sekali. Beberapa di antaranya ada lomba voli, basket, dan berbagai cabang olahraga lainnya.
Seperti para anggota Osis lainnya, Rama dengan suka rela menjaga stand tempat penjualan minuman isotonik yang merupakan produk sponsor yang mendukung kelancaran kegiatan Dharma Cup tersebut. Matanya tertuju pada layar ponsel di genggamannya, saling membalas sms dengan seseorang yang sudah menjadikannya sebagai sandaran ketika ia jatuh. Tempat curhatnya saat ia dilanda patah hati. Siapa lagi kalau bukan Fiona.
Fi, gue minta bantuan lo boleh?
Rama tersenyum saat beberapa detik kemudian pesannya dibalas dengan cepat.
Bantu apa kak?
Rama menghembuskan napasnya berat, berusaha meyakinkan diri apakah keputusannya meminta bantuan kepada teman curhatnya ini akan berhasil atau tidak. Rama mengacak rambutnya frustrasi. Diliriknya kembali balasan dari Fiona.
Sebenarnya ia tidak mau menyakiti kembali hati gadis itu. Sudah cukup ia menjadikannya hanya sebagai teman curhat. Alibi untuk menghargai usaha Fiona untuk dekat dengannya.
Bantu gue deket sama Jane lagi, boleh?
Rama melengos panjang, sulit sekali hanya untuk mengetik beberapa kata untuk Fiona. Perasaan Rama kini mulai gelisah, ditatapnya kembali layar ponsel miliknya. Sudah sepuluh, sebelas detik, bahkan beberapa menit kemudian belum ada balasan dari si penerima. Rama menggeram cemas, berusaha meyakinkan bahwa tindakannya ini tidak salah.
Iya kak, aku bakal bantu kakak deket lagi sama Jane, tapi slow action okey!
Rama masih menatap balasan Fiona lekat-lekat. Tidak ada kesalahan pengetikan atau rasa patah hati. Balasan yang sepenuhnya mendukung akan usahanya untuk kembali dekat dengan Jane. Rama mendengus lega, menatap langit-langit stand mengucap syukur bahwa tindakannya ini tidak membuat seseorang patah hati di dalamnya.
Sementara di bawah pohon besar dekat lapang, tepatnya di depan kelas sepuluh IPA empat, Fiona tengah duduk memeluk lutut dengan kepala ditekuk berusaha membalas sms demi sms yang masuk dari sang penggores hati, Rama. Sesekali melirik ke arah Rama yang berada di stand dekat lapang. Rama sedari tadi memang tidak menyadari bahwa Fiona tetap memantau gerak-gerik lelaki itu dari kejauhan. Mereka memang belum pernah bertemu, hanya sebatas teman sms.
Saat diliriknya balasan pesan dari Rama, Fiona melengos panjang merasakan tubuhnya seketika melemas. Hatinya terasa retak dengan sempurna. Apa yang sedang dipikirkan lelaki itu? Apa hanya seorang gadis yang jelas-jelas sudah mematahkan hatinya secara terang-terangan beberapa minggu lalu? Fiona tidak habis pikir. Dengan tangan gemetar ia membalas pesan tersebut.
Iya kak, aku bakal bantu kakak deket lagi sama Jane, tapi slow action okeh!
Entah kenapa rasanya begitu berdesir perih. Fiona merasakan matanya mulai memanas. Setetes demi setetes cairan hangat mengalir di pipi chubby-nya. Seluruh tubuhnya bergetar saat tangisannya mulai menguasai rasa kesabarannya. Mungkin kita sering percaya akan ungkapan sabar itu tidak ada batasnya. Memang mudah untuk sekedar dikatakan, tapi sangat sulit untuk dilakukan. Pertahanan Fiona kini runtuh, seiring harapan besar yang diberikan kepadanya hanya fatamorgana.
Sadar gak sih, lo itu sering ngeselin gue kalau lo masih aja suka sebut nama dia!
Dengan emosi yang bercampur aduk, Fiona hendak menulis pesan kembali untuk Rama. Tangannya yang gemetar tiba-tiba saja merasakan kehangatan yang membuatnya terdiam. Seseorang datang dengan baju olahraganya yang basah akan keringat duduk di samping gadis itu.
"Eh, liat Fiona gak?"
Lelaki itu mulai bertanya dengan ekspresi datar. Fiona mengernyit heran melihat sosok di hadapannya sekarang.
"Gue, FI-O-NA."
"Lo bukan Fiona. Yang gue tahu, dia orangnya rajin, pinter, dan yang pasti strong girl!"
Dengan cepat Fiona menepis lengan yang tengah berusaha mengusap air mata di pipinya. Gadis itu terkejut saat dilihatnya Adit tengah memasang wajah datarnya menatap Fiona. "Lo ngapain di sini? Bukannya kelas lo lagi lom-"
"Tinggal lomba basket. Lo kenapa pake mewek segala, udah jelek makin jelek aja taraf kejelekan lo."
Fiona memukul pundak Adit tidak terima. Dengan cepat ia segera menyeka pipinya yang basah. "Lo ngapain ke sini kalau mau ngejugde gue doang! Pergi sono!"
Fiona mendelik sebal melihat ekspresi Adit yang masih memasang wajah datar. Ini cowok kenapa sih! Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Jelangkung abis! Batin Fiona menatap Adit yang masih diam, sesekali membenarkan kacamatanya yang besar.
"Gue mau minta tolong sama lo."
Akhirnya Adit mengeluarkan suara. Lelaki itu menatap Fiona dengan sorot mata kontradiktif. Fiona melengos panjang malas melihat Tatapan seperti itu.
"Apa?"
"Tolong lo jangan nangis lagi. Apalagi di depan gue. Lo kenapa? Kayak cewek aja pake mewek segala,"
"GUE EMANG CEWEK RADITYA! WAJAR KALAU SUKA NANGIS, BAWAANNYA PAKE HATI, BUKAN PAKE LOGIKA KAYAK COWOK! NGERTI!"
"Santai bu.. santai. Lo kenapa, sih? Cerita sama gue."
Fiona menghembuskan napasnya pelan, "Gue korban friendzone. Entah fanzone. Pokoknya gue bener-bener lagi.. Aaarrggghh...!!! Gue capek dianggap temen curhat terus! Capek dianggep pelantara terus! Yang gue mau dia tuh sadar! Dia itu lagi ngejer cewek yang belum tentu balik suka sama dia, dan gak pernah peduli kalau ada gue di belakang dia yang selalu ada buat dia. Gue... bener-bener capek!"
"Fi... gue tahu. Lo sebagai cewek harusnya bisa nerima apa yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan. Setiap insan pasti punya rantai cinta. Yang ini suka yang itu, yang itu suka temen yang ini.. udah biasa. Mungkin.. lo masih bisa dikatakan dewi cupid yang jatuh cinta sama targetnya sendiri. Coba deh, lo berusaha buat cuek sama dia. Emang tuh cowok siapa sih! Segitu gantengnya dia sampai buat lo nangis kayak gini?"
Fiona menunduk, "Lo.. jangan ember ya Dit. Gue.. cinta sama Kak Rama. Dan Kak Rama malah curhat sama gue, minta bantuan gue buat deketin dia lagi sama Jane. Sahabat gue sendiri yang lagi ngebet sama-"
"Rey?" Potong Adit spontan.
Fiona menggeleng, "Bukan. Jane sukanya sama Kak Rendi. Mana mau dia sama berandalan kayak Rey."
Adit mengernyit, "Jadi.. lo suka sama Rama anak sebelas IPA empat, dan lo nggak suka kalau nama Jane disebut-sebut sama dia? Lo benci sama Jane?"
Pertanyaan yang sukses membuat Fiona tergelak. "Eng-nggak, mana mungkin gue benci sama sahabat gue sendiri."
"Jelas-jelas lo itu benci sahabat lo sendiri! Apa hanya karena gara-gara satu cowok, lo sampai nggak suka sama sahabat lo sendiri. Jangan membodohi diri sendiri!"
Fiona melotot, "Sampai kapan pun, gue gak akan pernah benci sama Jane! Dia sahabat gue! Mau lo bilang apa pun, terserah! Jangan pernah sangkut-pautkan antara sahabat dan cinta. Dan yang pasti, segimana pun gue berkorban buat sahabat sendiri, itu adalah pilihan yang terbaik buat gue!"
"Dan masalah cinta bertepuk sebelah tangan? Ingat, rantai cinta. Lo suka Rama, Rama suka Jane, terus.. siapa yang ada di belakang lo?"
Fiona menoleh, "Siapa?"
"GUE."
Sepersekian detik kemudian Adit beranjak pergi meninggalkan Fiona yang masih menatapnya tidak percaya. Awalnya Fiona berdecih mendengar jawaban Adit, semakin lama senyuman mulai terukir di bibirnya.
"ADIT!"
***
Rendi yang sedari tadi mencari adiknya yang entah kemana berhenti melangkahkan kakinya tepat di depan pintu toilet. Hidungnya seperti mencium bau asap rokok di balik salah satu toilet. Tanpa berpikir panjang, Rendi berlari menuju kelas sebelas IPS tiga. Kelas Elisa. Ia hendak menjemputnya karena Rendi hanya mengetahui satu-satunya mantan kekasih Rey baru-baru ini adalah Elisa.
Rendi meminta bantuan agar Rey bisa keluar dari toilet dengan dipancing melalui Elisa. Dilihatnya gadis yang ia cari tengah beristirahat, meregangkan kedua kakinya setelah bermain voli mengalahkan kelas sepuluh IPS satu.
"Elisa!"
Elisa menoleh ke arah sumber suara. Ditatapnya Rendi yang tengah berjalan lurus ke arahnya. Dengan cepat gadis itu berusaha menyingkirkan dayang-dayangnya lalu membenarkan posisi duduknya saat Rendi sudah berada di hadapannya.
"Kak Rendi.. ada apa Kak?" Elisa mengernyit heran melihat tatapan darurat Rendi.
"Gue ada perlu sama lo. Sekarang."
Elisa mengangguk senang saat Rendi menjelaskan kedatangannya hanya untuk memintanya berusaha merajuk adiknya keluar dari toilet. Senyuman penuh kemenangan mulai tercetak di sudut bibir Elisa. Gadis itu terus saja bersorak dalam hati, bahwa kali ini Rey benar-benar akan jatuh kembali ke tangannya.
Semenjak masa MOPD lalu, Rey sudah menjadi the most wanted di sekolah. Tidak heran jika Elisa menginginkan sang pujaan hatinya kembali kepadanya hanya untuk memanfaatkan kepopuleran sang mantan kekasih. Alasannya; Pertama; karena ketampanannya. Siapa yang tidak tergila-gila dengan lelaki berwajah tampan, khas oriental. Tidak kebarat-baratan, juga tidak terlihat kecina-cinaan. Khas orang Indonesia. Kedua; penampilannya yang urakan dan berani melanggar peraturan sekolah. Mungkin di antaranya ada beberapa orang yang menatapnya tidak suka saat melihat sikapnya yang berandalan. Tapi menurut beberapa gadis di sekolahnya, cowok bandel itu terkesan keren. Alasan yang sangat tidak masuk akal. Ketiga; senyuman khasnya yang selalu menampilkan rentetan gigi putihnya yang rapi hasil pemasangan behel sewaktu SMP. Keempat; selalu menjalankan skateboard saat hendak menuju kelas. Keahliannya dalam memainkan skateboard membuatnya menjadi trending topik setiap harinya.
Sesampainya di depan toilet, lamunan Elisa buyar saat Rendi menepuk pundaknya untuk segera menjalankan misi. Misi untuk membujuk Rey keluar dari sarang persembunyiannya. Elisa berjalan menuju bilik toilet yang menimbulkan bau rokok yang sangat menyengat. Dengan gerakan yang sangat pelan, gadis itu berusaha mengetuk pintu tersebut dengan hati-hati.
"Rey..?"
"Rey keluar dong.. "
"Rey.. aku tahu kamu masih marah sama aku. Kamu gak bakalan ikut lomba yang lain? Masih ada basket kok kalau kamu gak suka voli. Kasihan kelas kamu pasti butuh kamu banget sekarang.."
Masih tidak ada sahutan, Rendi berdecak kesal menunggunya.
"Rey.. Please, keluar. Kamu jangan terus-terusan ngurung diri tanpa alesan gak jelas gitu. Sambil ngerokok lagi! Kamu gak sayang apa sama badan kamu?"
Rey membuang rokoknya lalu membuka pintu toilet dengan langsung menghentakan tangan Elisa dengan keras ke arahnya.
"Lo bilang apa tadi?! Sayang badan? Lo gak salah bilang itu ke gue? Bukannya itu kata-kata buat lo sendiri? Elo yang harusnya sayang badan! Jual murah sama om-om gak jelas! Gak malu lo!" Rey tersenyum menghina pada gadis di hadapannya. Dengan cepat ia menepis tangan gadis itu dengan keras. Menatapnya remeh hendak menyingkirkan gadis itu dari hadapannya. "Awas!"
"Rey! Gue masih sayang sama lo. Tapi kenapa lo begitu benci sama gue!" Elisa berusaha menarik kedua tangan Rey. Menatap lelaki itu penuh penyesalan.
"Eh! Lo kan tahu sendiri alasan gue benci sama lo."
Rey tetap bersikukuh untuk berusaha mengubur dalam-dalam semua kenangan juga ingatannya tentang Elisa. Emosi yang selalu bisa mengalahkan akal sehat untuk mencapai rasa kepuasan tersendiri saat meluapkan amarah juga kebencian kepada seseorang, termasuk orang yang pernah kita sayang.
"Tapi Rey, gue juga punya alesan buat perbaiki itu semua. Gue-"
"Bangsat banget lo jadi cewek! Awas! Jangan pernah lo berani pegang tangan gue ya bitch, tangan lo udah kotor bekas om-om!"
Dengan hentakan keras Rey menghempaskan tangan Elisa yang tengah berusaha menahannya kembali. Rey menatapnya begitu hina untuk kembali bersamanya. Rey berjalan ke arah Rendi yang sedari tadi melihat adegan demi adegan dramatis tentang kisah cinta adiknya itu.
"Liat aja Rey. Lo gak bakal lepas dari gue!"
***
"Lo itu dari mana aja, sih! Gue sama Bimo nyari lo kemana-mana gak ada! Lo tahu, kelas kita udah di cap sebagai anak bolos hanya karena gara-gara lo! Lo liat, kelas kita hampir masuk catatan BK terbanyak tahun ini! Hanya karena satu orang troublemaker!"
Adit menyembur tanpa aba-aba saat Rey baru saja datang lalu berjalan menuju kursinya. Rey mengernyit heran menghampiri Adit yang masih menatapnya tajam. Semua perkataan Adit seperti tamparan keras bagi Rey, membuat dirinya tidak bisa menyangkal untuk membela diri. Karena dialah satu-satunya dalang yang menjadikan anak-anak kelas pentolan terfamous yang terlampau rajin dipanggil ke ruang konseling.
"Adit, gue bener-bener nyesel. Selama ini gue selalu buat kalian, anggota Osis dan pihak sekolah jengah gara-gara sikap gue, gue bener-bener minta maaf. Atas nama kelas gue minta maaf, gue nyesel Dit." jelas Rey dengan tatapan penuh penyesalan. Terlihat dari manik mata Rey yang sepertinya sungguh-sungguh menyesal akan perbuatannya. Padahal di balik itu semua, Adit benar-benar berusaha menahan tawa saat melihat ekspresi Rey yang begitu menyedihkan. Gak yakin setan ini mau tobat, batin Adit ragu.
"Ya udah, gue atas nama kelas maafin lo. Untuk kali ini juga gue maafin lo, tapi ada syaratnya."
"Yah.. lo modus juga gue minta maaf harus pake syarat segala. Apaan syaratnya?" Rey melengos panjang menatap Adit malas. Tiba-tiba Adit memberinya kaus basket nomor urut 3 pada Rey. "Apaan nih?" Tanya Rey bingung.
"Lo pake terus lo ikut tanding lomba basket. Lo kan atlet basket di SMP dulu, jadi lo tunjukin siapa Rey yang sebenernya. Troublemaker kelas atau pahlawan kelas." mendengar itu Rey langsung bersemangat dan langsung memakai kaus tersebut.
"Dit. Mau gue pentolan kelas atau pahlawan kelas, gak berpengaruh sama sekali. Gue ya tetep gue, anak bandel gak tahu aturan." Rey menjawab asal. Adit mengangguk setuju merangkul Rey sepanjang perjalanan menuju lapang.
***
Sorakan dan teriakan kor supporter masih menggema seisi lapang saat perlombaan bola voli selesai lalu berlanjut dengan perlombaan bola basket. Beberapa siswi dari semua kalangan kelas maupun guru-guru silih memadati kursi penonton hendak menyaksikan perlombaan bola basket yang selalu dinanti-nanti selama Dharma Cup berlangsung.
Sama seperti yang lain, Jane bersama teman sekelasnya-semua anak perempuan-sudah memadati kursi penonton dengan suara-suara menggelegar yang dikomandoi oleh sang leader Trio Alay. Hira dengan semua gaya berlebihannya membuat semua penonton lain merasa terganggu terhadap teriakan khasnya.
"Jane, gue pikir kelas kita bakal menang sekarang." Zenita berbisik mendelik ke arah gerombolan anak laki-laki yang baru saja datang dari kelas setelah penentuan siapa saja yang ikut serta dalam tanding basket di kelasnya. Tidak lupa, Kisha datang dengan membawa beberapa gelas air mineral untuk dibagikan kepada peserta lomba sehabis bertanding.
Jane mengerut, "Kenapa?"
"Guys! Kalian tahu kan induk setan kelas kita bolos dari tadi? Dia udah balik lagi sekarang! Dan sekarang dia mau ikut lomba! Wooo...!!!" pertanyaan Jane terpotong saat Hira mulai berorasi di hadapan teman-temannya. Jane mengernyit heran, Apa yang dimaksud Hira itu Rey? Lelaki yang sudah membuatnya malu setengah mati saat menatapnya? Saat berhadapan dengannya?
"Apa kata dunia guys? Rey balik lagi? Hancur sudah dunia damai gue.." celetuk Mumut dramatis seakan dirinya yang paling teraniaya. Sedetik kemudian tawa mereka berderai mendengar ucapan Mumut. Namun anak-anak cowok di sana hanya bisa terkekeh, sesekali merebut kantung berisi air mineral yang berada di pangkuan Kisha.
"Gue pengen kalian kasih support yang heboh juga gak garing, okey! Heh! Anak cowok! Kalian joget-joget aja kayak biasa di kelas. Anggap ini itu konser kalian okey! Semangat! Social One! Woooo...!!! Fighting! Fighting! Ganbatte senpai...!!!"
Sorakan dari kelas sepuluh IPS satu mulai berkoar saat peserta lomba mulai keluar dari arah kelas mereka. Penampilan premanisme mulai tertanam di setiap tatapan orang lain yang menilainya. Adit memimpin mereka tanpa embel-embel kacamata, membuatnya terlihat lebih segar juga tampan. Sampailah pada seorang Rey yang selama ini ditunggu-tunggu para penggemar setianya. Rey mengeluarkan senyuman khasnya, di sanalah teriakan histeris mulai menggema dari kalangan kaum hawa.
"Lo-lo semua siap?" Adit bertanya tegas.
"InsyaAllah, siap!" Latif menjawab dengan semangat menggebu-gebu.
"Kok yang jawab lo doang? Lo-lo semua pada cacingan? Gak asik!" Adit cemberut membuat tawa di antara mereka berderai.
Semua peserta sudah berada di posisinya masing-masing. Rey memimpin dalam penentuan siapa yang terlebih dulu memenangkan bola. Ditatapnya Rama yang menjadi lawannya sekarang. Mereka berdua saling beradu argumen dalam hati.
"Gue yang akan memenangkan Jane!"
Suara peluit juga lemparan bola basket yang melambung tinggi membuat mereka berusaha bersaing untuk mendapatkan bola tersebut. Rama yang tinggi memudahkannya untuk merebut bola, membuat Rey berdecih tidak terima. Persaingan saling berebut bola mulai terlihat saat Rama dengan teman-temannya mulai mengecoh Adit yang notabene tidak terlalu suka dengan olahraga basket. Hanya dalam beberapa menit berlalu, tim Rama sudah mencetak dua angka dengan sempurna. Senyuman kemenangan mulai tercetak di bibirnya, membuat Rey berdecak kesal melihatnya.
"Ehem! Ladies first.. " Rey berdehem tepat saat ia melewati Rama dengan tersenyum mengejek. Rama yang mengerti arti ucapan Rey hanya menatap sengit adik kelasnya itu. Rey terkekeh, "Bang, jangan liatin gue kayak gitu. Deg-degan gue!"
Keringat mulai membasahi tubuh mereka, namun semuanya belum selesai. Antara Rey dan Rama menganggap pertandingan ini merupakan perlawanan mereka untuk merebut sang pujaan hati mereka. Gadis yang membuat mereka tergila-gila untuk segera mereka dapatkan.
"Social one semangat!!! Wooo...!!!"
Teriakan Hira juga sorakan yang mengikutinya mulai menghiasi lapangan. Rey menoleh ke arah Hira, tepatnya ke arah belakang Hira berdiri. Jane tengah bersorak ria menggunakan beberapa botol air mineral yang diisi kerikil. Wajah cerianya tertuju tepat pada lelaki yang menjadi rivalnya saat ini, Rama. Sontak kedua tangan Rey mengepal keras saat peluit kembali berbunyi. Dengan segala kemampuannya, juga rasa cemburu yang amat menyelimuti akal sehatnya, Rey merebut bola lalu mencetak angka tanpa ampun. Teman-temannya kembali bersemangat, mereka saling mengadu strategi membuat penonton semakin bersorak heboh. Perubahan drastis raut wajah Jane saat melihat Rey terus saja membobol ring lawan. Raut wajah yang menunjukan kecemasan melihat Rey seperti meluapkan emosinya melalui basket.
"Eh, Anjing!"
Adit terjatuh merasakan perutnya seperti disikut seseorang. Rey yang melihatnya segera menghampiri kakak kelas yang membuat Adit jatuh terkapar. Tim P3K mulai berdatangan saat penonton mulai heboh menyuruh mereka untuk menggotong Adit keruang UKS.
"Sportif dong!"
"Dasar bocah! Nggak usah banyak bacot lo!"
Rey geram bukan main, rahangnya semakin mengeras melihat sikap acuh kakak kelasnya yang terlewat batas wajar. Bimo segera menjauhkan Rey untuk segera meredam emosinya. Rama pun melakukan hal yang sama seperti Bimo pada temannya tersebut. Suasana tegang mulai menyelimuti kedua pihak lawan. Beberapa kali Rey mengumpat mengucapkan sumpah serapah saat permainan kembali berlangsung. Dan beberapa kali juga menahan Rey yang berusaha menyerang kakak kelas tadi untuk melayangkan pukulan telak padanya.
"Sialan tuh kakak kelas. Kalau bukan di sekolah, gue pites tuh orang!"
Walaupun kehilangan Adit, mereka tetap berusaha melakukan yang terbaik untuk meraih skor tertinggi. Jane berharap-harap cemas berdoa agar mereka bisa memenangkan pertandingan tersebut.
Rey mengulum bibir bawahnya canggung saat tatapannya bertabrakan dengan Jane. Mata dengan mata. Dengan cepat Jane tersenyum berusaha menghilangkan rasa malunya saat bertatapan langsung dengan Rey. Seperti energi, sumber kekuatan di saat dia lemah, Rey kembali bersemangat membobol ring lawan sampai tertinggal jauh. Sorakan heboh dan kor kemenangan mulai berkoar dari teriakan Hira juga teman-teman pentolan sekelasnya.
"Dan akhirnya, pemenang lomba basket antar kelas dimenangkan oleh kelas... sepuluh IPS satu...!!!"
Semua penonton dan supporter kelas bersorak gembira penuh kemenangan tanpa henti. seperti Hira, Nopi, dan Dea langsung menari-nari sembari memegang botol air mineral yang diisi batu krikil. Sementara pemain basket lain langsung bersalaman dengan damai sebelum akhirnya menyisi menuju tempat berkumpulnya supporter kelas sepuluh IPS satu. Hira bersama dua temannya langsung berhambur saling bertos ria menyambut Rey dengan yang lain.
Kisha memasang senyum termanisnya saat satu per satu air mineral mereka minum. "Ehem! Pengeluaran uang kas sebesar lima belas ribu untuk satu kardus air mineral. Jika dihitung untuk penghematan pengeluaran, kalian bisa membayar uang kas lebih untuk satu minggu ke depan." ujar Kisha jelas, panjang, dan cepat. Lantas semua anak cowok di sana menatap Kisha horror, sebelum akhirnya Rey memainkan air minumnya ke arah Kisha.
Tawa mereka berderai melihat tatapan tajam Kisha pada Rey dan Bimo yang tak henti-hentinya memainkan air minum mereka ke arahnya.
"Gue jamin hidup kalian gak bakal tenang saat penagihan uang kas!" terkejut, Rey dan Bimo semakin mengejar Kisha membuatnya tampak kesal maksimal.
Hira yang melihatnya sedikit risih dengan sikap Rey yang kekanak-kanakan, namun bisa membanggakan kelas. "Dasar setan! Udah tahu Kisha anaknya diam-diam mematikan. Gue aja yang sebangku sama tuh anak, bangkrut gara-gara buat uang kas. Senggol dikit aja penggaris kelas, bawelnya minta ampun.."
Namun suara getaran ponsel milik Rey bergetar di dalam saku celana membuatnya menghentikan aktifitasnya. Didapatinya ponsel itu dengan senyuman, ternyata notif sms dari Jane. Tumben, pikirnya.
Jane: Do you wanna have sex with me tonight?
Rey terkejut bukan main dengan pesan yang Jane kirim. Lelaki itu masih tidak percaya dengan pesan tersebut.
"Rey! Capek lo!" Bimo berteriak sambil berlari berusaha mencipratkan air ke arah anak-anak cowok.
Rey menggeleng pelan, mengangkat tangannya untuk meminta waktu. Keningnya berkerut seiring perasaannya mulai tidak enak. Tidak ada kesalahan penulisan dari pesan tersebut, Rey langsung menoleh ke arah Jane yang jelas-jelas menatapnya lekat. Tanpa sadar keduanya saling membalas senyuman, walau di tempat berbeda.
Apa hape Jane dibajak seseorang?
Lelaki itu tersenyum kecut mengacuhkan pesan tersebut dan kembali bercanda gurau dengan teman-temannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro