Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 ⚘ Pain and the Last Letter



Fioletta menyambut kepulangan Frost dengan senang saat laki-laki itu mengunjunginya ke dalam kamar. Dengan senyuman lebarnya, Fioletta mendekat dan berniat memeluk sang raja. Namun apa yang dia dapat?

"Ohh, Yang Mulia! Anda sudah pulang?"

Plak!

Sebuah tamparan.

Fioletta jatuh terduduk karena saking kerasnya tamparan itu. Manik aquamarine miliknya melebar, badannya gemetar. Ia mendongak dan mendapati kemarahan besar Frost di sana.

"Apa yang kau lakukan pada Bretta dan calon anakku?"

"A-apa?" Fioletta menggeleng cepat saat menyadari ke mana arah pertanyaan Frost. "Bukan saya pelakunya, Yang Mulia! Saya tidak tahu apapun!"

"Bohong. Jelas-jelas kau yang meminta Anna untuk memberikan teh hijau itu saat jamuan makan siang kalian. Teh hijau itu sudah kau campurkan racun yang membuat Bretta pendarahan, 'kan?"

"Itu tidak benar!"

"Morris juga sudah menyelidikinya, dan dia menemukan botol racun itu ada di ruang kerjamu, Fioletta. Mau mengelak bagaimana lagi?"

"Sa-saya ..." Bibir Fioletta terkatup rapat. Air mata yang sedari tadi ditahannya jatuh. "Saya sama sekali tidak tahu tentang botol itu!"

"Bohong. Lagi-lagi kau berbohong." Frost menatap sang ratu yang masih terduduk di lantai itu dengan tatapan datarnya. "Morris! Seret pelayan pribadi Ratu Fioletta dan bawa dia kemari!"

Morris yang memang berada di ambang pintu kamar sang ratu mengangguk. Memanggil Anna untuk dimintai keterangan. Pun ketika Anna sudah sampai di kamar Fioletta bersama Morris, perempuan itu hanya menunduk dan tidak berani bertukar tatap dengan sang ratu.

"Anna, apakah benar Ratu Fioletta yang memintamu memberikan teh hijau itu pada Lady Bretta?"

"Benar, Yang Mulia."

Fioletta melebarkan matanya, menatap bengis pada sosok sang pelayan pribadi sebelum berdiri dan memberikan tamparan pada Anna.

Plak!

"Kau bersekongkol dengan Nenek Sihir itu?" tekannya.

Plak!

"Apa alasanmu sampai tega mengkhianatiku, Anna?! Katakan!"

Plak!

"KATAKAN, ANNA! KATAKAN!"

"Cukup." Frost mencekal pergelangan tangan Fioletta dengan kuat begitu melihat Anna sudah babak belur karena tamparan keras dari sang ratu. "Kau benar-bener keterlaluan, Fioletta."

"Tapi saya tidak melakukannya, Yang Mulia! Saya difitnah!" Air mata terus turun dari netra aquamarine Fioletta Verriz. Napasnya memburu menatap sang pelayan pribadi dari balik tubuh Frost. Anna sudah dijauhkan dari jangkauannya oleh Morris.

"Biarkan sidang yang menentukan hukuman yang pantas untukmu." Masih dengan tatapan datarnya, Frost berujar dingin. "Sampai sidang diadakan siang besok, kau akan aku kurung seharian di kamar ini tanpa makanan."

Fioletta menggeleng, ia memeluk pinggang sang raja dengan isak tangis yang terdengar begitu menyakitkan. Pipi basah dan hidung memerah beserta bibir yang bergetar disertai isakan keras. "Tidak! Tolong jangan lakukan itu, Yang Mulia! Saya tidak bersalah! Saya difitnah!"

Frost melepas paksa lilitan tangan Fioletta dari pinggangnya, bahkan menatap netra Fioletta pun sang raja tampak enggan. "Morris! Jaga kamar Sang Ratu dengan ketat sampai sidang dilaksanakan besok siang, dan jangan beri dia makanan sebelum ada perintah dariku. Mengerti?"

Morris membungkukkan badannya. "Saya mengerti, Yang Mulia."

Frost memutuskan untuk langsung pergi dari kamar Fioletta setelahnya. Mengabaikan teriakan dan isak tangis sang ratu yang berhasil membuat sudut hatinya sakit. Akan tetapi, rasa kecewa kini lebih mendominasi perasaannya. Ia tidak menyangka kalau sang ratu akan berbuat demikian pada Bretta dan calon anaknya. Ia tahu kalau selama ini Fioletta cemburu, tapi apakah harus sampai mencelakakan orang lain seperti itu?

-: ⚘ :- -: ⚘ :-


"Tidak. Aku tidak bersalah. Aku difitnah. Nenek sihir itu yang salah."

"Aku tidak bersalah. Anna berkhianat. Aku sendirian. Tidak ada yang percaya padaku."

"Hahaha, aku dikhianati oleh Anna."

"Frost jahat. Dia lebih percaya perkataan orang lain daripada aku."

Siapapun orang yang melihat sang ratu saat ini pasti mengira kalau wanita itu sudah gila. Berbicara sendiri sambil menjambak rambut dan menggigiti kukunya. Barang-barang yang berserakan, sprei yang jatuh, dan pecahan kaca di mana-mana.

Kondisi sang ratu pun tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Lihat rambutnya yang acak-acakan, gaun yang kusut di mana-mana, luka sayat di telapak kaki akibat menginjak pecahan kaca. Benar-benar kacau. Namun kondisi fisik sang ratu tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Ia hancur, perasaannya hancur.

Tidak, Fioletta tidak menangis. Air matanya sudah kering. Ia pasrah. Jika sidang besok memang penentuan untuknya, ia pasrah. Ia akan menerima segala konsekuensinya meskipun bukan ia yang melakukan kejahatan itu.

Dengan tangan gemetar, Fioletta Verriz meraih kertas yang ada di atas nakas ranjang. Berikut tinta hitam yang menyertainya. Ia menuliskan seluruh perasaannya di kertas itu. Surat itu ia tujukan untuk Frost. Syukur kalau laki-laki itu menemukan dan membacanya. Apabila surat itu tidak sampai pada sang raja pun, ia tidak apa-apa.

Dear, my husband.

Maaf jika selama ini aku merepotkanmu. Yang datang hanya sebagai beban untuk mencari kebahagiaan. Aku memang bukanlah wanita yang sempurna. Aku tidak bisa memberikanmu keturunan seperti Lady Brettavia.

Namun satu hal yang harus kamu tahu ... Aku sangat mencintaimu. Aku sungguh sangat mencintaimu, Frost.

Kau harus percaya, aku tidak meracuni Lady Bretta. Aku memang membencinya, tapi aku tidak mungkin sampai mencelakai orang lain. Aku sangat tahu batasanku. Apalagi ada sang calon pewaris di perut istri keduamu.

Aku membencinya, karena aku menganggap dia adalah sang penggoda yang telah merusak rumah tangga kita dengan hadir sebagai orang ketiga di antara kita.

Aku membencinya, Frost. Aku sangat membencinya.

Aku berbicara bukan sebagai seorang ratu, tapi seorang istri yang merasa tersakiti saat suaminya menikah lagi. Aku berbicara sebagai seorang istri yang cacat karena kekuranganku yang tidak bisa memiliki anak.

Kata mereka, kekuranganku itu adalah kutukan untuk kerajaan ini. Aku hanya tersenyum dan menerimanya karena yang mereka katakan itu memang benar. Aku tidak bisa memiliki anak. Kalaupun bisa, rasanya akan sangat mustahil.

Jadi, jika ini memang hari terakhirku di sini, aku ingin kau bahagia dengan Lady Bretta, Yang Mulia. Sayangilah dia, cintailah dia. Karena aku, Ratu Fioletta telah merestuinya.

Salam hangat, Fioletta Verriz.

Fioletta melipat kertas itu dan menyimpannya di bawah bantal. Lantas merebahkan diri di atasnya dan menunggu sidang untuknya pada keesokan hari. Karena siapapun tahu, bahwa hukuman untuk orang yang telah melakukan percobaan pembunuhan pada salah satu anggota keluarga kerajaan hanya ada dua. Hukuman mati atau diasingkan dan diusir dari istana.

Namun Fioletta berharap, ia lebih baik dihukum mati agar tidak lagi merasakan kenyataan hidup yang begitu pahit. Ia sudah tidak sanggup lagi. Ia bertahan di istana ini karena Frost. Tetapi jika laki-laki itu sudah tidak percaya padanya, maka untuk apa ia hidup?



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro