Chapter 9
Yuhuu update lagi!😍😍😍
Yok vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya ya😘😘😘🤗❤️
Aku sangat sangat berterima kasih kalian mau ninggalin komen yang banyak❤️❤️❤️❤️
Pilih mana?
1) Sani x Angan
2) Sani x Jujur
#Playlist: Stephanie Poetri - I Love You 3000
•
•
Hari ini menjadi hari terakhir Sani di rumah sakit. Luka di wajahnya sudah hilang. Dia tidak sabar masuk kuliah. Tugas-tugas kuliahnya sudah dikerjakan atas bantuan Angan.
Selama hampir seminggu ini, tak ada kabar dari orangtuanya. Dia melihat update insta story kedua kakaknya. Di sana orangtua dan kedua kakaknya jalan-jalan bersama menikmati makan malam dan segala macam. Sani merasa terasingkan. Tak dianggap, tidak dipedulikan, dan tidak ditanyakan bagaimana kabarnya.
Keakraban mereka seolah-olah hanya untuk berempat. Sani seperti bukan siapa-siapa. Dia tahu keluarga Jayantaka memang agak berbeda dari keluarga lain. Keluarga Jayantaka mendahulukan pendidikan. Hampir semua nilai yang dimiliki para sepupunya sempurna. Sani menjadi satu-satunya yang nilainya pas-pas-an. Meski begitu ada sepupunya bernama Mint yang senasib dengannya. Ayahnya Mint lebih suka anak laki-laki. Jadi keberadaan Mint tidak dianggap. Jika Sani sering mengalami rentetan verbal yang menyakitkan setiap harinya, maka Mint diabaikan seolah tak pernah ada.
Tanpa sadar Sani meneteskan air mata. Kapan kira-kira orangtuanya sadar kalau dia sama hebatnya dengan kedua kakaknya? Kapan mereka sadar bahwa dia telah berusaha keras?
"Saniiiiiiii! Mama datang lagi! Yuyuuuy!"
Tina masuk ke dalam kamar dengan hebohnya. Tiba-tiba syok setelah mendapati Sani menangis. "Astagaaa! Siapa yang bikin kamu nangis, Nak? Angan nyakitin kamu? Iya?"
Tina bergegas cepat, duduk di pinggir ranjang sembari menyeka air mata yang meninggalkan jejak di pipi Sani.
"Nggak kok, Ma. Ini cuma kelilipan. Mas Angan baik," jawab Sani.
"Sani, kelilipan nggak menimbulkan air mata sebanyak ini. Kamu pasti mikirin sesuatu. Bener Angan nggak nyakitin kamu?" tanya Tina khawatir.
"Bener, Ma. Ini cuma kelilipan kok." Sani tidak mau jujur soal keluarganya. Pada siapapun dia akan menutupinya. Bahkan Angan tahu sendiri, bukan dapat cerita darinya.
"Jangan memikirkan hal yang nggak bikin kamu bahagia ya. Pikirkan aja hal-hal yang lebih baik. Mama ikut sedih liat kamu nangis. Hati Mama tuh kayak teriris liat calon mantu sedih. Mama khawatir," ucap Tina, masih menyeka jejak air mata Sani yang jatuh.
"Makasih, Ma." Sani merasakan sentuhan hangat seorang ibu. Bukan dari ibu kandungnya, tapi dari Tina.
"Apa pun yang kamu pikirkan semoga segera hilang. Lebih baik pikirin roti nih. Mama bawain roti cokelat dan stroberi buat Sani. Kata Angan, kamu suka roti cokelat dan stroberi. Mama suapin ya." Tina mengeluarkan roti cokelat dan stroberi dari dalam paperbag.
"Sebentar ya, Mama cuci tangan dulu. Nanti Mama suapin. Sekalian Mama mau kupasin buah untuk Sani." Tina bangun dari tempatnya, mengusap kepala Sani sebentar, lalu bergegas menuju kamar mandi.
Sani mengamati bawaan Tina yang diletakkan di atas nakas. Ada buah apel, jeruk, anggur, pokoknya beraneka macam buah dalam satu parsel. Ada roti, madu, dan vitamin yang turut memenuhi nakas. Tina membawakan banyak makanan untuknya.
"Yuk, mamam roti." Tina sudah kembali dan duduk di bangku yang berada di samping ranjang. Dia mengeluarkan roti cokelat dari bungkusnya dan memotong kecil untuk disuapi pada Sani.
"Aku makan sendiri aja, Ma."
"Mama suapin aja, Sayang."
Sani tidak mau membantah dan membiarkan Tina menyuapinya. Kapan terakhir kali dia mendapat perlakuan spesial seperti ini dari ibunya? Rasanya hampir tidak pernah. Terkadang dia iri dengan Mila dan Sweety karena masih diperlakukan baik dan diperhatikan ibunya, meski Sweety sempat kesepian karena orangtuanya jarang pulang. Paling tidak Sweety pernah merasakan kasih sayang itu. Sementara dirinya? Dia hanya menjadi bayangan.
Kakak kembarannya yang perempuan--Sana--mendapat lebih banyak perhatian. Pergi belanja bareng, dibelikan baju, disuapi, dan dibangga-banggakan. Sani hanya disuapi pembantunya. Padahal dia berharap bisa mendapat perlakuan yang sama. Namun, dia kembali berpikir. Mungkin karena dia tidak berprestasi di sekolah jadinya tidak diperlakukan spesial.
"Ma, makasih banyak." Air mata Sani menetes. Dia sedih setiap membayangkan perbedaan sikap ibunya Angan dan ibu kandungnya.
"Ya ampun, Nak. Kok nangis? Apa yang kamu pikirin?" tanya Tina.
"Nggak apa-apa, Ma." Sani menggeleng pelan. "Sani merasa bersyukur karena Mama begitu baik. Sani sempat takut Mama malu punya calon menantu kayak Sani."
"Kenapa harus malu? Kamu lucu dan baik. Apa yang bikin Mama malu?"
"Sani nggak tau Mas Angan udah cerita atau belum, tapi Sani nggak pintar secara akademis. Sani jauh banget dari mantan-mantannya Mas Angan yang serba hebat. Sani juga suka telat mikir. Sani takut Mama nanti malu karena punya menantu seperti Sani. Terlalu banyak kurangnya. Takut Mama kecewa," ucap Sani lirih. Suaranya bergetar. Air matanya terus mengalir.
Tina menggenggam kedua tangan Sani dengan erat, menatapnya hangat sambil tersenyum ramah. "Di dunia ini nggak ada yang sempurna, Sani. Mau kamu nggak pintar, mau kamu nggak bisa masak, nggak apa-apa. Setiap orang punya kekurangan dan kelebihan. Menurut kamu yang disebutkan itu adalah kekurangan kamu. Benar. Tapi kamu juga punya kelebihan. Kamu bisa buat brownies dan donat yang enak. Itu hebat, lho!"
Air mata Sani mulai berhenti. Iris hitamnya memandangi iris cokelat Tina dengan tatapan sendu.
"Angan bawa brownies dan donat buatan kamu ke rumah. Enak banget. Mama aja nggak bisa bikin brownies dan donat. Tapi kamu bisa. Angan juga bilang kamu rajin jualan. Dua hal itu kelebihan kamu. Kamu sehebat itu, Sani," lanjut Tina.
Sekali seumur hidup, Sani baru mendengar pujian dari sosok yang akan menjadi calon mertuanya. Dia sangat senang ada yang berkata seperti ini. Hatinya menghangat.
"Jangan bandingkan diri kamu sama mantan-mantannya Angan. Mereka nggak sebagus itu. Perlu juga kamu ingat bahwa kamu punya hati seluas samudera. Kamu baik, sopan, dan apa adanya. Angan nggak mungkin salah pilih orang untuk dinikahi. Dia tau kamu yang terbaik dari yang terbaik. Mama justru bangga punya menantu seperti kamu, Sani." Tina mengusap wajah Sani sambil tetap mempertahankan senyum ramahnya.
Tina sudah mendengar perlakuan buruk orangtuanya Sani dari Angan. Sebagai seorang ibu dan orangtua, dia marah bukan main. Rasanya dia ingin mengutuk orangtuanya Sani yang sudah pilih kasih. Hatinya pilu mendengar Sani memendam semua sendirian. Setelah mendengar cerita itu, Tina mendesak Angan untuk segera meminang Sani supaya bisa menjaga Sani.
"Mama..." Untuk kesekian kalinya air mata Sani tumpah ruah. Haru dan senang bercampur menjadi satu sampai air mata bahagia menjadi hal yang bisa diekspresikan.
"Sini peluk Mama dulu. Jangan nangis lagi ya." Tina mengusap air mata Sani, lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Sani nggak perlu khawatir soal apa pun. Mama dan Papa sangat menyukai Sani. Kami sangat senang Sani bisa menjadi bagian keluarga Junied. Kami bangga punya Sani. Kehidupan pasti akan lebih berwarna dengan adanya Sani. Mama sayang sama Sani."
Sani memeluk Tina begitu erat. Kata-kata Tina membuat hatinya senang. Kehangatan dan ketulusan Tina berhasil menciptakan rasa syukur yang amat besar. Luka di hatinya pelan-pelan terhapus dengan momen indah seperti ini. Sani sangat bahagia.
"Makasih banyak, Ma. Sani juga sayang sama Mama."
"Mulai sekarang lupakan hal-hal yang bikin Sani sedih atau terluka. Mari hidup bahagia, Sani," bisik Tina sembari mengusap kepala calon menantunya.
"Iya, Ma. Mari hidup bahagia."
🎵🎵🎵
Setelah satu minggu menetap di rumah sakit akhirnya Sani masuk kuliah lagi. Luka di wajahnya sudah tidak begitu terlihat. Sani mengakalinya dengan make up hasil bantuan Sweety.
Mata kuliah Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP baru saja selesai. Kepala Sani ngebul. Tidak ada yang masuk sama sekali di kepalanya. Semua terdengar seperti ucapan samar-samar.
"Gue sama sekali nggak paham apa yang dijelasin Pak Darmo," mulai Sani saat berjalan bersama Sweety dan Mila.
"Sama! Asli dah tuh dosen kumur-kumur kali ya," celetuk Sweety.
"Gue paham kok. Nanti gue kirimin catatannya ke kalian," sahut Mila.
"As always ya sobat gue yang satu ini otaknya seencer mesin penghitung uang." Sweety menepuk-nepuk pundak Mila dengan bangganya.
"Lo nelen buku berapa banyak, Mil?" tanya Sani.
"Mati dong ditelen. Dia mah nggak usah nelen buku juga udah pinter seperti biasa. Otak-otak kayak kita nih yang kudu makan buku," jawab Sweety sambil tertawa.
"Buku apaan ya yang harus gue telen duluan?" Sani bertanya dengan polos.
Sweety menepuk keningnya. "Sumpah... gue bercanda woi! Jangan dianggap serius mulu kenapa sih, San. Gue takut lo telen buku beneran."
Sani nyengir. "Gue malah berniat mau mandi buku."
Mila tertawa terbahak-bahak. Sementara Sweety menghela napas karena pasrah mendengar ucapan menyeleneh sahabatnya.
"Gue mau skip soal buku. Ini lo beneran jadi nikah sama Kak Angan? Berarti minggu depan ketemu orangtua lo dong?" tanya Sweety penasaran.
Sani mengangguk.
"Akhirnyaaaa! Gue turut senang, Sani!" kata Sweety heboh. Kemudian, dia menyenggol bahu Mila. "Eh, iya. Lo jadi nikah sama Pak Tebing nggak sih, Mil? Nikahnya kapan?"
"Nikahnya setelah lulus. Katanya biar gue fokus dulu," jawab Mila.
"Gue pikir batal, Beb," celetuk Sani.
Sweety memukul punggung Sani. "Hus! Sembarangan lo kalo ngomong."
"Jodoh mana ada yang tau, Popok. Gue sendiri nggak nyangka ketemu Om Angan. Ini rasanya kayak ketiban bulan," kata Sani.
"Bener juga sih. Tapi ya..." Sweety tak melanjutkan kata-katanya setelah menyadari ada Jujur di depan mereka. "Ngapain lagi tuh setan di situ?" tanya Sweety sewot.
"Hai, Sani. Boleh kita bicara?" sapa Jujur sambil tersenyum.
"Mau bicara apa? Aku lagi sariawan jadi males ngomong," balas Sani jutek.
"Bentar aja kok," bujuk Jujur.
Sweety menggeleng seolah menyuruh Sani untuk tidak menuruti permintaannya. Lain halnya dengan Mila yang mengangguk seperti menyuruhnya untuk bicara berdua. Akhirnya Sani mengikuti Mila.
"Oke deh," kata Sani akhirnya setuju.
Sani beranjak mengikuti Jujur dari belakang menuju tangga darurat. Tidak banyak orang yang berlalu lalang di sana. Sani berdiri berhadap-hadapan dengan Jujur.
"Mau bicara apa?" tanya Sani malas.
"Kenapa kamu nggak chat lagi? Kenapa udah nggak main ke ruang band?"
"Mau ngapain? Kita bukan siapa-siapa. Katanya kamu lagi pedekate sama Diana. Jadinya aku mundur."
"Siapa yang bilang? Aku cuma dekat sama kamu kok."
Sani menarik senyum. "Tau sendiri. Kamu yang ngaku waktu di ruang band. Aku denger. Terus kamu bilang aku mengecewakan. Jadi aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan. Soal aku nggak chat lagi, calon suamiku ngelarang aku chatting-an sama manusia yang nggak jelas," tegasnya.
"Calon suami?" Jujur terkaget-kaget.
Sani memamerkan cincin di jari manisnya. "Iya. Aku mau nikah sama pebisnis kaya raya. Setelah dipikir lagi ngapain pacaran sama anak kuliahan. Makan aja masih minta orangtua. Lebih baik aku sama yang udah mapan."
"Bentar. Kamu serius?" tanya Jujur masih tidak percaya.
"Sejuta rius. Udah ah, aku lapar. Kita nggak usah ketemu lagi. Toh, kamu udah bukan tipeku. Bye, Jujur." Sani membuka pintu darurat yang dapat dibuka karena dibatasi menggunakan kakinya.
Sebelum menutup pintu, Sani berkata, "Info aja sih, itu gigi kamu ada cabenya."
Jujur buru-buru mengambil ponsel supaya dapat berkaca. Belum sampai Jujur memeriksa giginya, Sani sudah pergi duluan.
Sani tertawa puas. Dia berhasil mengerjai Jujur soal cabai di gigi. Di samping itu, dia tidak menyangka bisa membuat Jujur speechless. Rasanya lega. Dia masih tak percaya bisa mengumpulkan keberanian bicara seperti tadi kepada Jujur.
Ponsel yang berada di saku celana jins Sani bergetar. Sani mengambil ponselnya dan membaca pesan masuk.
"Dasar buceeen!" ledek Sani bermonolog sendiri.
Sani membalas pesan Angan lebih dulu sebelum memasukkan ke dalam saku celana. Beberapa menit setelah memasukkan ponsel, Sani baru sadar akan sesuatu. Bagaimana Angan tahu dia bicara dengan Jujur?
"Wah... bahaya. Ada cepu. Pasti Sweety nih," ucapnya pelan.
🎵🎵🎵
Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗❤️
Follow IG, Wattpad, dan Twitter: anothermissjo
Muka Om Angan waktu tau Sani ngobrol sama Jujur😂😂😂
Angan be like: "Nggak like!"😤😤😤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro