Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8

Yuhuuu! Double update nih😘😘😘

Yooook, vote terus komen sebanyak-banyaknya😘😘😘

Karena udah double update, yuukkk komen yang banyak ya🤗🤗🤗😘❤️

#Playlist: HIVI! - Satu-Satunya

Keadaan Sani berangsur pulih setiap harinya. Ini sudah hari ketiga. Lebam di wajahnya mulai berkurang. Bengkak di bawah matanya sudah mulai kempes.

Setiap hari Angan menjaganya. Pagi-pagi sekali Angan berangkat ke kantor law firm. Angan sudah mengurus kasus pemukulan yang dilakukan mantannya. Dia sempat mengatakan untuk tidak memperpanjang. Dia sendiri tidak tahu akan dipukuli setelah melihat mantannya datang ke kampus. Mantannya menyalahkan dirinya tidak diterima bekerja di perusahaan idamannya karena catatan kriminal. 

Dia masih ingat kata-kata mantannya sebelum memukulinya. Mantannya bilang, dia tidak akan menemui laki-laki baik seperti mantannya. Ingin rasanya dia mengatakan di depan mukanya kalau dia menemukannya yang jauh lebih baik.

Sani mulai bosan. Padahal dia tidak masalah kuliah dengan wajah penuh luka. Anggap saja pesta halloween yang terlalu cepat. Sayangnya Angan melarang. Katanya dia harus istirahat total. 

Pintu kamar terbuka. Sani melihat jam dinding. Jam menunjukkan pukul empat sore, sudah waktunya Angan pulang.

"Hai, Calon Istri. Kangen nggak sama Kakak Angan?" sapa Angan sambil senyam-senyum.

"Gaya banget kakak-kakak segala. Geli," celetuk laki-laki di belakang Angan.

"Ah, lo berisik. Rusak momen aja." Angan berdecak kesal karena sahabatnya resek.

Sani melihat laki-laki di belakang Angan. Dia pikir hanya satu ternyata ada dua. Sudah begitu tampan-tampan. Mata Sani yang tadinya buram karena bosan melihat kamar mendadak senang seperti dapat lotre. Maklum dia suka sama yang tampan-tampan. Senang menikmati ciptaan Tuhan.

"Wah... nyesel gue bawa lo berdua. Calon istri gue nggak kedip liat kalian," ucap Angan. Suaranya menyiratkan kecemburuan setelah sadar Sani hanya memandangi kedua sahabatnya.

"Kita emang lebih ganteng sih dari lo. Wajarlah jadi tontonan," celetuk salah satunya.

Angan buru-buru menutup mata Sani dengan telapak tangannya. "Jangan liatin mereka. Nanti berubah jadi batu."

Kedua sahabat Angan tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini mereka melihat Angan cemburu dan panik. Biasanya juga tidak peduli.

"Cie... cemburu. Biasanya nggak gini," ledek sahabatnya yang berambut cepak.

"Yang ini spesial pakai telor. Doyan liatin cogan. Bahaya kan kalo gue batal nikah gara-gara dia kepincut salah satu dari kalian," ucap Angan.

Sani menarik tangan Angan supaya tidak menutupi matanya. Dengan penuh siasat, dia melihat Angan sebentar sambil menggenggam tangannya. "Kak Angan lebih ganteng kok," rayunya.

Lalu, Sani kembali memandangi dua laki-laki tampan itu setelah Angan lengah. Kalau soal laki-laki rupawan, Sani tidak bolot. Banyak siasat.

Angan yang lemah hatinya dipuji-puji apalagi digenggam tangannya sama Sani langsung malu. Pipi dan telinganya merah bukan main. Hatinya seperti sedang salto di dalam sana.

"Asli gue baru liat Angan sebegininya. Mukanya sampai merah banget kayak habis ditamparin bolak-balik." Ledekan itu masih terdengar, tapi Angan tidak menggubris.

"Hai, Sani Cantik. Saya Hansen Subroto, sahabatnya Angan," ucap Hansen sembari mengulurkan tangan. Wajahnya tampan mirip aktor Hollywood Jacob Elordi.

Angan yang baru sadar akan siasat Sani buru-buru menepis tangan Hansen. "Dilarang jabatan tangan. Kuman," larang Angan galak.

"Hai, Sani. Nama saya Cerah Kusuma. Wajah dan senyum saya secerah nama, kan? Semoga jabatan tangan saya disambut ya. Jangan ditolak. Kapan lagi salaman sama kembarannya Adam Levine," sela Cerah Kusuma dengan jahilnya. 

Baru akan Sani menyambut uluran tangan tersebut, Angan sudah menepuk tangan Cerah dengan keras.

"Parah, parah. Tangan gue dipukul. Posesif lo, Angan," ledek Cerah.

"Jangan aneh-aneh. Tangannya Sani cuma milik gue. Nggak boleh jabatan sama tangan yang lain." Suara Angan terdengar posesif. Lebih dari itu, Angan menggenggam kedua tangan Sani supaya tidak menyalami kedua sahabatnya.

Baik Hansen maupun Cerah tertawa terbahak-bahak.

"Emangnya Sani udah nerima lamaran lo? Pede amat," tanya Hansen jahil.

"Belum diterima kan, Dek? Jangan diterima deh. Mending nikah sama Kakak Cerah aja," sambung Cerah sambil melempar kedipan genit pada Sani.

"Matanya kelilipan, Kak?" Sani tidak paham maksud kode barusan. Dia mengira Cerah kelilipan debu.

Angan tertawa terbahak-bahak. Gantian menertawakan sahabatnya itu. "Haha... kelilipan tuh mata lo," ledek Angan sekenanya.

Sani nyengir. Merasa bersalah sekaligus bingung.

"Lagian ngapain kedip-kedip sih, Cer? Yang bagusan tuh peluk langsung. Biar bisa liat asap keluar dari kepala Angan," ujar Hansen.

"Enak aja. Dilarang peluk-peluk. Langkahin dulu mayat gue kalo mau meluk Sani," sela Angan.

Cerah berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Ini anak bucinnya makin kronis."

"Selamat ya, Sani. Angan udah bucin sebucin-bucinnya nih. Biasanya dia nggak sebegininya. Kamu yang pertama, lho!" beber Hansen.

"Bucin sama siapa, Kak?" tanya Sani bingung. Detik berikutnya dia nyengir. Baru sadar Hansen menyebutkan dirinya. "Oh, iya, iya. Bucin sama aku," ucapnya malu.

Sebelum ke rumah sakit, Angan sudah memberitahu Hansen dan Cerah kalau Sani unik. Tidak menyebutkan secara gamblang, kini keduanya mengerti unik yang Angan sebutkan.

"Kamu belum kasih jawaban iya untuk Angan, kan?" tanya Hansen.

"Kayaknya udah, Kak," jawab Sani ragu. Dia lupa sudah mengatakan iya atau belum.

"Kapan? Perasaan saya belum nerima jawaban iya," celetuk Angan.

"Jangan dikasih, San. Suruh jumpalitan aja dulu. Kerjain Angan deh. Jangan dikasih iya semudah membalik telapak kaki," kata Cerah.

"Emang bisa Kak membalik telapak kaki dengan mudahnya?" tanya Sani polos.

"Bisa sih kayaknya," jawab Cerah ragu.

"Aduh, lo kalo ngomong nggak dipikir dulu. Sani kasian kena tipu-tipu lo," kata Hansen.

"Coba lo peragain biar Sani yakin telapak kaki bisa dibalik semudah membalik telapak tangan," suruh Angan bermaksud mengerjai Cerah.

Sani mengamati Angan, Cerah, dan Hansen. Dia seperti melihat dirinya saat bersama Sweety dan Mila. Kedua sahabatnya Angan ramah-ramah. Dia pikir akan ada jarak karena canggung. Ternyata mudah beradaptasi. Tidak ada canggungnya.

"Om?" panggil Sani sembari menggerakkan tangannya yang masih digenggam oleh Angan.

Angan yang kala itu sedang mengerjai Cerah langsung mengalihkan pandangan. "Ya, Sani?"

"Saya bersedia," ucap Sani.

"Bersedia ngapain?" tanya Angan bingung.

"Bersedia apa hayo?" goda Sani.

"Bersedia nikah sama saya?" tebak Angan. Kepala Sani mengangguk pelan. "Astaga... kok jadi bolot gini. Kirain bersedia apaan."

Sani terkekeh. Sejak kemarin dia memang ingin bersandar pada Angan. Laki-laki itu terlihat tulus. Dia hanya ingin memiliki sosok yang bisa dijadikan tempatnya berlindung dan merasa nyaman. Angan adalah jawaban yang tepat.

"San, kamu beneran, kan?" tanya Angan ragu.

"Bohongan sih, Om. Tadi bercanda," jawab Sani bercanda.

"Yah... kok gitu? Jawaban seriusnya kapan?" Angan memasang wajah memelas sambil mengerucutkan bibir seperti anak kecil minta mainan.

Sani melepas genggaman tangan Angan darinya, lalu menaikkan tangan kirinya demi menunjukkan cincin di jari manisnya.

"Ich liebe dich, Angan." 

Angan terkejut. Hatinya senang bukan main. Secepat kilat Angan memeluk Sani dengan erat.

"Makasih, Sani. Saya cinta sama kamu juga. Banget. Kebangetan malah," bisik Angan bahagia.

"Cie... Angan akhirnya akan melepas keperjakaan nih," goda Hansen.

Cerah bertepuk tangan pelan. "Akhirnya ada yang pecah telor juga nih trio jomlo kita."

Angan yang kesal karena diganggu kedua sahabatnya langsung melempar dompet ke arah mereka. Alhasil kedua sahabatnya malah semakin jahil.

"Susah kalo sultan kerjaannya lempar dompet. Mana isinya banyak bener. Gue belanjain nih," canda Cerah.

"Gue mau ambil kartu tanpa limitnya Angan aja," sambung Hansen ikut bercanda.

Angan tak mau menggubris. Anggap saja kedua sahabatnya sudah meninggalkan ruangan. Pokoknya dia mau memeluk Sani sepuasnya. Dia bahagia bukan main! Akhirnya dia bisa dicubit-cubit sama Sani selamanya.

🎵🎵🎵

"Lagi kerjain apa, Om?" tanya Sani ketika menyadari Angan sibuk berkutat dengan laptopnya di meja seberangnya.

"Ini ngurus kasus pemukulan kamu. Kenapa kamu belum tidur?" Angan melihat Sani sekilas kemudian kembali melanjutkan ketikan yang tertunda.

"Boleh nggak kalo saya batalin soal tuntutannya?" tanya Sani takut-takut.

"Batalin? Kenapa?" Angan menahan jari-jarinya di udara karena pertanyaan itu.

"Saya rasa nggak perlu dipenjara lama, Om. Sebentar aja cukup. Saya nggak mau hancurin masa depan dia. Kasian dia susah cari kerja."

"Hati kamu terbuat dari apa sih, Sani? Baik banget. Padahal dia mukulin kamu nggak mikirin seberapa sakitnya untuk kamu dan dampak ke depannya. Kamu malah masih mikirin masa depan dia. Kalo susah cari kerja itu salah dia. Seharusnya tau nggak bisa asal mukul orang. Emangnya kamu samsak dipukulin gitu. Dia kan laki-laki," cerocos Angan dengan nada kesal.

"Nggak apa-apa, Om. Saya nggak mau aja melanjutkan ini. Saya udah maafin kok. Saya mau hidup tenang tanpa diganggu siapa-siapa. Kalo saya penjarain dia lagi, beberapa tahun ke depan bisa aja dia samperin terus mukulin saya lagi. Saya takut." Sani menunjukkan tatapan memohon saat melihat Angan.

Angan menutup laptopnya, berjalan mendekati Sani, lalu duduk di bangku yang berada di samping ranjang Sani.

"Kamu beneran mau lepas mantan kamu gitu aja? Nanti dia nggak akan jera."

"Bener, Om. Saya mohon cukup sampai sini aja masalahnya."

Angan menghela napas berat. Tidak rela melepas mantannya Sani begitu saja tanpa merasakan dinginnya jeruji besi dalam waktu yang lama. Namun, dia tidak bisa menolak saat Sani menatapnya dengan tatapan memohon.

"Dia datang ke kampus untuk nyalahin saya nggak bisa kerja di perusahaan impiannya karena catatan kriminal. Saya nggak mau catatan kriminal dia bertambah. Siapa tau dia bisa berubah nanti. Semua orang pasti akan berubah, kan?"

"Nggak juga. Ada yang makin parah dan nggak berubah. Belum tentu mantan kamu berubah."

Sani menarik senyum tipis. "Saya yakin dia pasti berubah. Saya percaya semua orang akan berubah pada waktu yang tepat. Entah sekarang atau nanti."

"Oke. Saya ikuti mau kamu. Saya akan jagain kamu dari manusia nggak beradab kayak dia. Jangan takut lagi ya, Sani. Kamu bisa mengandalkan saya." Angan mendaratkan tangannya di atas punggung tangan Sani, lalu mengusapnya lembut sambil tersenyum.

"Makasih, Om." Sani ikut tersenyum. "Oh, iya. Saya punya satu permintaan."

"Apa, Sani?"

"Om mau jadi guru privat saya? Ngajarin saya beberapa mata kuliah yang kurang saya pahami?"

"Mau. Asal ada bayarannya."

"Kirain bakal gratis," cibir Sani.

Angan terkekeh. "Bayarannya kita nge-date setiap akhir minggu. Jangan lupa senyumin saya juga."

Sani mengangguk.

Angan menggenggam tangan Sani dengan erat. "Ingat ya. Kamu nggak perlu berusaha keras untuk diterima atau disukai orang lain. Tetaplah jadi Sani yang seperti ini. Saya selalu mencintai kamu apa pun keadaannya, Sani."

"Iya, Om."

"Ada lagi yang kamu inginkan?"

Sani menggeleng.

"Kalo gitu saya ada."

"Apa, Om?"

"Kalo ada apa-apa cerita sama saya. Berlindunglah sama saya. Jadikan saya tameng kamu dalam keadaan apa pun. Jadikan saya sandaran di kala kamu sedih, terpuruk, atau merasa insecure. Jadikan saya tempat ternyaman ketika kamu butuh tempat cerita. Apa bisa?"

Sani mengangguk.

"You deserve happiness and universe, Sani. I'll give you everything. Saya harap kamu tetap tersenyum setulus ini, bukan berpura-pura menutupi luka," lanjut Angan dengan tatapan serius ketika mata beradu dengan mata Sani.

Seumur hidup Sani tidak diperlakukan dengan baik. Orangtuanya hanya peduli kedua kakaknya. Menjadikan mereka bayang-bayangnya supaya dia bisa mengikuti. Namun, dia selalu tertinggal.

Kini, dia punya Angan. Sosok yang menerima apa adanya. Memberinya seluruh hal yang tidak pernah dia minta. Menyuguhkan hal indah yang tidak pernah dia raih ketika bersama keluarganya. Sani bahagia.

"Omong-omong, saya..." Sani berhenti bicara. Suaranya tergantikan dengan suara kentut yang terdengar sangat kencang. Berulang kali seperti sendawa tanpa henti.

"Maaf, Om." Sani nyengir.

"Udah biasa dikentutin kamu. Tapi kentut kamu yang ini spesial banget. Hidung saya sampai ngambek hirup udara," ledek Angan setengah tertawa.

Sani nyengir lagi. "Hehe... i lup yu, Om."

🎵🎵🎵

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘😘❤️

Follow IG, Wattpad dan Twitter: anothermissjo

Angan versi anak band😍🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro