Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

Yuhuuu! Update lagi😘😘🤗

Yoook vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya❤️❤️

Di saat orang-orang sibuk mengobrol dan bermain bola voli, Sani yang langganan mampir ke lapangan bola voli sedang transaksi jual beli brownies kukus dan donat.

Setiap tiga kali dalam seminggu Sani buka pre-order brownies dan donat buatannya. Jika Mila pintar memasak makanan dan cookies, maka Sani bisa buat brownies dan kue-kue lainnya. Dia membawakan pesanan yang dibeli teman-temannya dari berbagai fakultas. Setiap kali jualan Sani bisa mendapat untung sampai delapan ratus ribu karena yang dia jual banyak.

Sani datang ke lapangan voli untuk mengantar pesanan Elvi dan Saras. Dua perempuan dari jurusan yang sama dengannya itu sedang duduk manis di sana.

"Gue mau satu lagi dong browniesnya, San. Lo masih pegang satu lagi tuh di paperbag," pinta Elvi pada Sani.

"Maap, Cintaku. Yang ini nggak dijual." Sani menyisakan sekotak brownies dan dua donat yang dibungkus plastik untuk Angan. Katanya laki-laki itu mau menjemputnya.

"Donat aja deh. Masih ada, kan? Sumpah... gue tuh suka ngemil di rumah dan buatan lo nagih," pinta Elvi setengah merengek.

"Nggak dijual juga, Beb."

"Pelit bener. Mau lo bawa pulang lagi? Tumben. Biasanya ludes gitu," tanya Saras.

"Mau gue kasih orang, Beb. Besok kalian pesen lagi aja ya. Besok gue buka orderan. Oke?" Sani mengacungkan ibu jarinya.

"Ya udah deh," kata Elvi akhirnya.

Saras menyenggol bahu Elvi berulang kali ketika melihat seorang laki-laki mengenakan kemeja putih dan celana jins biru serta sepatu sneakers datang mendekat. Sani yang kala itu sadar dengan reaksi Saras segera menoleh ke belakang.

"Sopirku datang juga," sapa Sani saat Angan berdiri di sampingnya. Dia menepuk pundak Angan sambil melihat teman-temannya. "Ini sopir baru gue, Gaes. Gue balik duluan ya. Dadah!"

"Sopir ketemu gede tuh," ceplos Elvi.

Saras menyenggol bahu Elvi, membuat temannya itu nyengir dan diam setelahnya.

"Jangan lupa besok pesen!" Sani mengabaikan kalimat Elvi dan menarik ujung lengan kemeja Angan supaya segera berlalu dari sana.

Angan mengikuti Sani meskipun ditarik-tarik seperti narik tali balon. Ada yang Angan lihat berbeda dari Sani. Perempuan itu kelihatan lebih ceria dari biasanya. Mungkin ada hal menarik. Dia tidak sabar mendengar kabar menariknya itu.

Mereka masuk ke dalam mobil. Setelah bokong menyentuh jok masing-masing, Sani menyerahkan paperbag kepada Angan.

"Ini untuk Om yang baik hati. Hadiah karena udah bantuin saya kerjain tugas," jelas Sani.

"Padahal saya berharap dikasih hati kamu," canda Angan.

"Ini juga pakai hati, Om," balas Sani tanpa sadar.

"Beneran nih? Berarti spesial ngasih hati?"

Sani baru sadar akan ucapannya. "Nggak, Om. Maksudnya saya bikin pakai hati untuk semua. Ini saya sisain dagangan saya buat Om."

"Yah... penonton kecewa. Kirain beneran kasih hati buat saya doang." Angan pura-pura memasang wajah sedih.

"Jangan pasang muka sedih, Om. Masa saingan sama bocah."

Angan pun tertawa geli. Susah juga dia bercandain Sani. Pasti ada saja balasannya yang bikin dia tertawa.

"Ya udah, saya buka ya. Penasaran kamu dagang apa."

Angan mengambil isi dari dalam paperbag. Menemukan brownies kukus di dalam kotak berukuran persegi panjang dan dua plastik bergambar lucu yang diisi donat bertabur meses cokelat. Senyum di wajah Angan merekah sempurna.

"Kamu buat sendiri brownies sama donatnya?" tanya Angan sambil menaikkan pandangan melihat Sani.

"Iya, Om. Dijamin top markotop. Kalo Om suka, besok beli ya."

Angan terkekeh. "Bisa banget ya marketingnya. Oke, saya cicipin ya."

Angan memotong browniesnya dengan pisau plastik yang tersedia di atas kotaknya. Dia mengambil sepotong dan melahapnya pelan. Baru mengunyah, Angan terkagum-kagum akan rasa browniesnya. Dia paling picky soal kue-kue atau brownies. Kalau tidak enak maka dia akan mengatakan tidak enak. Brownies yang Sani berikan rasanya luar biasa. Bukan karena dia suka sama Sani atau bucin jadinya bilang enak. Rasanya memang seenak itu.

"Ini enak banget. Kamu pintar buat brownies ya," komentar Angan sambil mengambil sepotong lagi dan melahapnya.

Sani tersenyum senang. "Syukurlah Om suka. Teman-teman saya juga bilang enak, Om. Makanya mereka rutin beli. Paling nggak saya punya kelebihan satu yang menonjol."

"Kok kamu ngomongnya gitu?"

"Itu bener tau, Om. Walaupun saya nggak pintar secara akademis, seenggaknya saya punya hal yang bisa dibanggain. Contohnya bisa bikin brownies dan donat seenak yang orang-orang bilang," celoteh Sani sambil tersenyum.

"Kamu jual ini setiap hari? Orangtua kamu nggak kasih uang jajan? Atau, kamu mau nyari uang jajan hasil usaha sendiri?"

"Orangtua saya kasih uang jajan kok, Om. Lebih dari cukup malah. Tapi saya mau cari tambahan aja biar punya uang hasil usaha sendiri. Siapa tau jadi pebisnis, Om."

Sejujurnya Sani jualan untuk mendapat uang tambahan karena orangtuanya kasih uang jajan pas. Ada keperluan lain yang Sani butuhkan tapi orangtuanya tidak mau peduli. Uang jajannya dipotong karena dia harus menambah satu semester lagi. Itulah kenapa Sani rajin berjualan supaya dia bisa bayar untuk semesternya nanti. Jadinya tidak perlu menyusahkan orangtuanya yang terlanjur kecewa padanya.

Tak hanya sebatas uang jajan, mobil yang biasa Sani pakai hadiah dari awal masuk kuliah. Sudah berjalan hampir empat tahun dan belum dibelikan yang baru. Berbeda dengan kedua saudara kembarnya yang tiap tahun dibelikan mobil baru bahkan tinggal di apartemen mewah di Inggris. Sani tidak mau menuntut karena dia tahu diri tidak bisa memuaskan orangtuanya dengan nilai akademisnya yang pas-pas-an. Sani hanya ingin bersyukur masih diberi kesempatan kuliah.

"Besok Om mau beli browniesnya nggak?" tawar Sani sambil tetap mempertahankan senyumnya.

Angan terbilang tipe yang mudah peka terhadap sesuatu. Ketika Sani mengatakan alasannya berjualan, rasanya suara itu bergetar. Senyum di wajah Sani juga tidak setulus biasanya. Namun, dia tidak mau bertanya lebih jauh.

"Boleh. Saya beli browniesnya 55 kotak dan 55 donat. Bisa, kan? Oh, saya beli masing-masing seratus aja deh," kata Angan.

"Eh, jangan banyak-banyak, Om. Kalo mau pesen banyak pas hari libur aja. Pesenan yang 55 ini saya hitung buat besok. Pokoknya nggak bisa cancel ya, Om."

"Iya, Sani. Berarti hari Sabtu saya pesen masing-masing tiga ratus. Jangan lupa dibuat ya. Saya ambil secara langsung di rumah kamu."

"Oke, Om." Sejurus kemudian Sani sadar. "Bentar. Tiga ratus brownies dan tiga ratus donat, Om?" tanyanya kaget.

"Iya. Malah saya mau beli lima ratus. Tapi takut--"

Sani menyela kalimat Angan yang belum selesai. "Tiga ratus aja, Om. Lain kali baru lima ratus. Saya takut nggak sanggup karena tangan cuma dua. Kalo tangan ada seratus sih bisa aja pesen banyak, Om."

"Pakai asisten dong. Minta bantuan Sweety."

Sani mencibir, "Sweety mah bisanya bakar dapur, Om. Lebih baik saya kerjain sendiri aja daripada dapur saya kebakar."

Angan tertawa geli. "Masa sih? Separah itu ya?"

"Iya, Om. Popok tuh nggak bisa masak. Sahabat saya yang lain namanya Mila. Saya bisa bikin brownies, donat atau kue-kue jenis lain. Nah, Mila juaranya bikin makanan kayak ayam panggang, rendang, gitu deh. Terus..." Sani berceloteh ria menceritakan Sweety dan Mila. Menjabarkan baik dan buruknya kedua sahabatnya itu.

Angan senyam senyum sendiri selama memerhatikan Sani yang tengah bercerita. Semakin hari Sani semakin bisa diajak membicarakan hal lain. Ya, meskipun kadang ada saja bahan untuk dijadikan lawakan, tetapi dia senang. Walau tidak bertukar pesan, setidaknya Angan bisa berbincang langsung dengan Sani.

🎵🎵🎵

Di belakang Universitas Cinta Hati, ada kedai kopi yang biasa didatangi para mahasiswa maupun dosen. Angan mendatangi kedai kopi tersebut karena ingin bertemu dengan Rasa. Setelah sudah duduk lima belas menit, Rasa bilang masih ada jam kuliah. Akhirnya Angan terpaksa menunggu sepupunya selesai kuliah. Dia ingin menanyakan Sani pada Sweety tapi tidak enak.

"Kak Angan? Eh, bener nggak?" Suara nyaring yang cukup familier itu memaksa Angan menaikkan pandangan.

"Eh, Sweety," sapanya balik.

"Sendirian aja, Kak? Nungguin Sani ya?"

"Nggak. Saya nungguin Rasa. Tadi malah mau nanya sama kamu soal Sani, tapi nggak enak."

"Oh, iya. Tadi liat Sani keliling anter pesenan brownies sama donat." Sweety menarik kursi di depan Angan, meletakkan kopi pesanannya di atas meja. "Saya boleh duduk di sini kan, Kak?"

"Boleh kok. Kamu udah dudukin juga."

"Iya juga." Sweety tertawa malu. Sikap seenaknya memang natural seperti Sani.

"Sani rajin kumpulin uang ya. Saya takjub sama dia," ucap Angan.

"Sani mah urat malunya udah putus, Kak. Lagian dia kumpulin uang buat bayar kuliahnya semester depan," ceplos Sweety. Sedetik kemudian dia buru-buru meralat, "Bukan, bukan. Maksudnya buat jajan."

"Saya percaya ucapan pertama. Orangtuanya Sani nggak bayarin dia kuliah?" Suara Angan terdengar lebih serius dari biasanya. Dia penasaran.

"Aduh, mulut gue kebiasaan." Sweety menepuk-nepuk bibirnya pelan karena keceplosan. Rasanya mau pergi saja. "Uhm... saya ada kelas, Kak. Kayaknya nggak bisa nemenin ngobrol nih," ucapnya beralasan.

"Bener kata Anatomi ya. Kamu hobi menghindar." Angan memakai siasat lain untuk membujuk Sweety. Salah Anatomi sendiri curhat dan menjelaskan sedetail-detailnya kalau Sweety suka kabur waktu pedekate dulu.

"Pak Ana bilang gitu?" Sweety mulai terhasut.

"Iya. Kalo kamu mau tau ceritanya, ceritain sama saya soal Sani tadi," ucap Angan.

"Kak Angan bisa banget ya bikin jiwa kepo saya muncul. Ya udah, saya ceritain tapi jangan bilang sama Sani. Janji?"

"Janji."

Sweety berdeham, membersihkan tenggorokkannya supaya suaranya lebih jelas. "Orangtuanya Sani tuh memperlakukan dia nggak adil. Soalnya kedua kembarannya Sani kuliah di Oxford, sedangkan Sani di kampus swasta sendiri. Terus nilainya Sani pas-pas-an makanya orangtuanya sering bilang kecewa sama dia. Sani merasa bersalah karena dia harus nambah satu semester lagi jadinya dia mau cari uang untuk bayar semesternya dia. Orangtuanya beneran pilih kasih. Sani nggak dibeliin mobil baru sedangkan dua kembarannya dikasih mobil baru tiap tahun. Kalo ada apa-apa kayak mobil butuh ke bengkel gitu, orangtuanya nggak mau bayarin. Heran. Padahal Sani anak kandungnya juga tapi kayak anak tiri. Kasian liatnya."

Angan baru tahu Sani yang lucu itu mengalami ketidakadilan dari keluarganya sendiri. Ternyata Sani bohong sama dia soal uang jajan yang cukup. Dadanya ikut sesak mendengar ceritanya.

"Berarti kalo ada keperluan apa-apa, Sani nggak dibantu orangtuanya? Dia pakai uangnya sendiri hasil jualan?" tanya Angan tambah penasaran.

"Iya, Kak. Aku sama Mila suka bantu promosi biar jualannya laku. Lumayan kan kalo dia dapat untung dua juta perbulan, bisa jadi pas semester depan uangnya udah terkumpul."

Angan manggut-manggut.

"Tolong jagain Sani ya, Kak. Sani keliatan kuat dari luar, tapi dia sering nangis dan insecure. Dia hidup dalam bayang-bayang kedua kembarannya yang sempurna jadinya dia selalu tertekan. Padahal saya sendiri tau Sani udah berusaha tapi nggak pernah cukup untuk orangtuanya. Waktu itu Sani pernah nangis karena orangtuanya bilang kecewa karena dia nggak bisa kayak kedua kembarannya," lanjut Sweety.

"Iya, Sweety. Makasih udah kasih tau saya semua ini." Angan tersenyum tipis. Hatinya jadi tidak tenang.

"Nah, gantian, Kak. Pak Ana cerita apa aja," tagih Sweety.

"Nggak banyak sih, Anatomi cuma--"

"Om!" Suara nyaring Sani menginterupsi obrolan yang masih berlanjut.

Sani menghampiri Angan. Dia hendak membeli kopi dan tak menyangka melihat Angan di sana. Begitu berdiri di samping meja Angan, dia melihat ada Sweety.

"Ow ow... kamu ketauan. Selingkuh nih, Popok. Aduin Pak--"

Sweety memotong kalimat Sani yang belum selesai. "Enak aja! Nggak ada selingkuh. Ini cuma ngobrol. Udah ah, gue mau masuk kelas."

"Idih... ngambek. Gitu amat, Popok."

"Biar lo ngobrol sama Kak Angan." Sweety bangun dari tempat duduknya sembari mengambil kopinya. "Lain kali aja cerita ya, Kak. Sampai ketemu lagi. Titip Sani biar dia nggak malu-maluin."

"Iya, Sweety. Hati-hati."

Setelah Sweety pergi, barulah Sani duduk. "Bahas apaan Om sama Popok?" tanyanya.

"Kepo ya?" goda Angan.

"Kepo mah yang terbang cantik, Om."

Angan terkekeh pelan. "Itu mah kupu-kupu. Jauh juga. Tadi saya bahas kamu."

"Bahas saya? Pantes telinga saya panas. Ternyata diomongin kalian."

Angan menatap Sani lebih serius. Dia teringat cerita Sweety. Tak sedikitpun Sani menunjukkan sisi sedihnya. Bahkan selalu riang setiap saat.

"Gimana jualannya? Kata Sweety kamu habis antar brownies dan donat," tanya Angan.

"Lancar, Om. Pesanan Om udah saya bawain tuh di mobil."

"Mau saya bantuin jualan nggak?"

"Nggak usah, Om."

"Bener nggak mau?"

"Emang Om punya trik apa biar brownies saya laku?"

Angan tersenyum lebar. "Saya punya banyak trik jitu. Atau, gini aja. Besok kamu bawa seratus brownies ke kampus dan dalam sehari saya bantu jualin sampai habis. Gimana?"

"Lumayan juga."

"Tapi seandainya saya berhasil, kita pedekate. Kamu buka blokirnya. Setuju nggak?"

Sani tergiur. Biasanya sehari dia cuma laku tiga puluh sampai lima puluh. Kalau Angan benar-benar bisa menjual seratus dalam sehari, maka luar biasa. Dia bisa untung banyak.

Tanpa pikir panjang dia menjawab, "Oke. Setuju."

Angan menyunggingkan senyum senang. "Asyik nih bisa pedekate sama kamu."

"Bentar, Om. Tadi bilang pedekate?" Sani yang baru sadar langsung kaget.

"Iya. Kamu udah setuju tadi."

Sani tidak begitu dengar soal pedekate. Yang dia fokuskan hanya laku seratus dalam sehari. Ya ampun... dia terjebak karena ucapannya sendiri!

"Jadi nggak sabar nih besok. Siap-siap buka blokirnya ya, Sani," goda Angan.

🎵🎵🎵

Jangan lupa vote dan komentar kalian😘😘😘🤗❤️

Follow IG, Wattpad dan Twitter: anothermissjo

Angan waktu malu-malu seneng🙈🙈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro