Chapter 10
Yuhuuu! Update lagi😍😍😍
Yokk vote dulu baru komen sebanyak-banyaknya🤗🤗🤗😘❤️
Makasih untuk komen2 kalian yang banyak😘😘 komen yang banyak lagi ya? hehe 😁
Bisa seribu gak ya ini komen?🤔🤭
Note: Sanu kembaran laki-laki Sani (Kakak Pertama) Sedangkan Sana kembaran perempuan Sani (Kakak Kedua)
#Playlist: Tim Halperin - Always Be My Baby
•
•
Di hari spesial ini, Sani berpakaian dress rapi. Kedua kakaknya pulang setelah berulang kali Sani membujuk. Sani ingin kedua kakaknya tahu bahwa dia akan menikah dengan Angan.
Orangtuanya tampak terkejut ketika tahu laki-laki yang datang ke rumahnya adalah Angan. Ayahnya pasti tahu kalau Tina Junied yang ramai itu adalah hakim terkenal pada masanya. Ada kasus pembunuhan yang melambungkan nama Tina sebagai hakim. Kini, Tina tak lagi menjadi hakim. Wanita itu sudah pensiun.
Sani duduk bersampingan dengan Angan. Menyantap makan malam mereka dengan tenang dan sesekali membahas hal seputar sehari-hari.
"Gaya berpakaian Sana lebih elegan dan mewah ya. Sani keliatannya lebih suka gaya yang biasa gitu," sindir Tina setelah menyadari perbedaan dress yang dipakai Sani dan Sana.
Sani menjawab, "Iya, Ma. Aku lebih suka yang simple."
Sebenarnya Sani tidak punya banyak dress yang bagus. Dia bisa menghitung ada berapa banyak dress yang dimiliki dibandingkan puluhan dress milik kakaknya. Orangtuanya lebih sering membelikan dress untuk Sana ketimbang dirinya.
"Pas nikah nanti gaunnya harus mewah. Mama akan pesan jasa desainer terkenal supaya gaunnya keliatan cantik. Mama beliin yang paling mahal buat kamu, Sani," ucap Tina semakin menyindir.
"Makasih, Ma." Sani hanya bisa tersenyum.
"Oh, ya. Saya liat ada mobil baru di garasi. Kata Sani itu pemberian Pak Javas. Apa betul?" tanya Elesia.
"Betul, Bu Elisia. Saya belikan untuk Sani karena mobilnya keliatan udah nggak layak dipakai. Saya ingin Sani merasa aman dan nyaman," jawab Javas ikut-ikutan menyindir.
"Oh, begitu ya." Elisia tertawa kecil menanggapinya. "Soal menikah, kapan tepatnya ingin melangsungkan pernikahan?"
"Secepatnya, Tante. Dua atau tiga bulan dari sekarang. Saya udah menyiapkan semuanya jadi Sani nggak perlu repot mikirin apa-apa. Pelaksanaannya juga di gedung hotel ayah saya, jadi nggak perlu pusing nyari gedung. Soal seragam yang sama, saya akan segera kirimkan untuk semua keluarga Jayantaka," jawab Angan dengan nada tegas.
Baik Elisia maupun Derry saling melempar pandang. Mereka tersenyum kikuk. Beberapa saat masih tidak percaya tiba-tiba Sani akan menikah dengan salah satu keturunan Junied itu.
"Berarti setelah menikah, Sani akan menetap di rumah orangtuanya Angan? Atau, kalian memilih menetap di rumah sendiri?" tanya Elisia.
"Di rumah sendiri, Tante. Saya udah siapin rumah untuk ditinggali setelah menikah. Lagi pula nggak akan lama juga menetap di sini. Setelah Sani lulus nanti, saya akan membawa Sani ke luar negeri. Saya mau kuliah lagi jadi Sani harus ikut," jawab Angan.
"Angan mau kuliah lagi? Hebat ya. Pinter banget," puji Derry.
"Biasa aja, Om. Sani justru lebih hebat." Angan melihat pada calon istrinya sambil tersenyum, kemudian kembali melihat calon mertuanya. "Sani bisa buat brownies dan donat yang enak. Dia pintar dagang juga. Itu yang menurut saya lebih hebat."
"Kamu bisa aja. Sani pasti beruntung banget punya kamu," kata Elisia.
"Nggak, Tante. Saya yang beruntung punya Sani. Kalo saya nggak ketemu Sani, saya akan menikahi orang yang salah. Sani anaknya sangat baik," ucap Angan dengan bangganya.
"Seenggaknya kamu pintar. Jadi akan lebih mudah bagi Sani belajar dari kamu," sambung Derry.
Tina menyela, "Kastara nggak sepintar Angan, lho! Tapi dia selalu berusaha sampai bisa menjadi jaksa seperti sekarang. Menurut saya nggak perlu pintar yang penting mau berusaha. Itu aja udah cukup. Justru saya bangga sama Kastara karena selalu berusaha. Bangga juga sama Angan, tapi dia mah pintarnya natural jadi nggak gimana-gimana."
Di ruang makan itu ada pula Kastara Wastu Junied––kakak pertama––yang berprofesi sebagai jaksa penuntut umum. Di samping Kastara, ada pula Puri Euforia Junied––kakak kedua––yang berprofesi sebagai pramugari.
Baik Kastara maupun Euforia hanya mendengarkan obrolan penuh sindiran ini. Mereka sudah mendengar celotehan ibunya soal perbedaan perlakuan orangtua Sani. Mereka tidak mau menambah sindiran. Cukup orangtuanya dan Angan saja.
Sebelum semakin kacau, Sani menyela, "Mama Tina nggak mau coba udang tepung?"
"Boleh, Sayang." Tina menjawab sambil tersenyum. Ketika Sani menuangkan udang untuknya, dia melanjutkan, "Kalian pasti senang ya punya anak seperti Sani. Baik, lucu, pintar buat brownies, dan sopan. Saya beruntung banget punya calon menantu seperti Sani."
"Saya senang sekali waktu tau Angan ingin menikahi Sani. Cantiknya bukan hanya fisik aja, tapi hatinya juga. Soalnya terakhir kali Angan kenalin perempuan tuh pintar banget tapi nggak ada attitude sama sekali. Saya lebih setuju dengan Sani," sambung Javas mengikuti sang istri, menyindir habis-habisan.
"Bapak Javas dan Bu Tina bisa aja," balas Elisia sambil memaksakan senyum.
"Ayo, Pa dan Mama. Makan yang banyak. Nanti Sani sajikan brownies setelah ini," ucap Sani demi menetralkan suasana yang dirasa mulai meresahkan.
Tina dan Javas segera paham maksud Sani. Mereka tidak melanjutkan sindiran itu. Mereka mengangguk setuju dan menikmati makan malam.
Setelah cukup lama berkutat di meja makan kini tiba saatnya keluarga Angan pulang.
"Mama," panggil Sani.
Tina yang hendak masuk ke dalam mobil menoleh. "Ya, Sayang?"
Sani mendekati Tina, lalu memeluknya dengan erat. "Hati-hati di jalan ya, Ma. Makasih udah datang."
Tina terharu mendengarnya. Dia mengusap kepala Sani berulang kali dan berakhir mengecup kedua pipinya. "Sama-sama, Sayang. Mama juga senang bisa berkunjung ke sini. Besok ketemu ya. Sampai besok, Calon Mantuku."
Sani mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Ma."
"Kamu nggak mau meluk saya sekalian?" celetuk Angan.
"Nggak usah, Nak. Cuekin aja itu anak. Mama pulang ya." Tina mengusap kepala Sani sekali lagi sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.
Mobil yang dikemudikan sopir pribadi Javas itu mulai meninggalkan pekarangan rumah orangtuanya Sani.
"Kamu akrab banget ya sama calon mertua kamu," ucap Elisia dengan nada sinis.
Sani menyunggingkan senyum. "Iya, Ma. Soalnya Mama Tina baik banget sama aku."
Elisia mengabaikan ucapan putrinya dan berbalik badan untuk segera masuk ke dalam rumah.
"Kok mau sih Angan sama lo? Apa udah ditidurin ya?" ejek Sana dengan nada sinis.
"Jaga ya ucapan lo. Gue bukan lo yang suka berbuat kayak gitu," balas Sani tak kalah sinis.
"Maaaa! Sani bilang aku murahan. Katanya aku jalang," adu Sana pada ibunya dengan nada berpura-pura sedih. Suaranya keras supaya ibunya dapat mendengar.
Elisia yang tadinya hendak masuk ke dalam rumah mendadak menghampiri Sani dan menatap tajam. "Kamu bilang apa, Sani?"
"Aku nggak bilang gitu, Ma. Aku––"
Satu tamparan keras menghentikan ucapan Sani. Kontan, Sanu yang berada di samping Sana langsung kaget. Derry sama kagetnya.
"Ma! Nggak perlu kayak gitu. Sani nggak ngatain Sana," omel Sanu.
Elisia mengabaikan ucapan putranya. Tatapan menyalangnya tertuju pada Sani. "Bicara yang sopan sama kakak kamu. Berani banget kamu ngatain kayak gitu. Jangan mentang-mentang kamu bisa nikah sama Angan terus kamu menghina kakak kamu ya."
"Tapi Sani nggak ngomong kayak gitu. Sani––"
"Cukup! Mama nggak mau dengar. Kamu emang keterlaluan. Mama nggak tau apa yang kamu ceritakan sama keluarganya Angan sampai mereka nyindir-nyindir kayak gitu. Tapi Mama tau kamu ngejelekin keluarga kita. Baguslah kamu menikah dengan cepat. Mama udah muak liat kamu. Bikin bangga nggak, nyusahin doang bisanya," potong Elisia setengah berteriak.
Sani diam menahan sakit di pipinya. Tidak mau bicara karena takut ditampar lagi.
Detik berikutnya Elisia berjalan masuk ke dalam rumah, lalu disuruh Derry setelahnya.
"Lo gila ya, Sana. Bisa-bisanya lo bohong. Sani sampai ditampar karena lo," maki Sanu pada Sana.
Sana menarik senyum miring. "Bodo. Gue mau masuk. Dadah, Adik Bodoh." Lalu, dia melenggang pergi.
"Sana! Minta maaf sama Sani!" suruh Sanu berteriak.
Sana balas berteriak. "Nggak mau. Gue nggak salah."
"Sana! Minta maaf!"
Sanu terus mengejar Sana, berusaha menarik adiknya supaya minta maaf tapi Sana menolak. Sementara itu, Sani masih diam di tempat.
Ponselnya bergetar. Sani mengangkat panggilan Angan. "Halo, Om?"
"Kamu baik-baik aja?" tanya Angan.
"Baik kok, Om. Udah sampai mana, Om?"
"Nengok sebelah kiri. Saya di depan gerbang rumah kamu. Saya mau ambil pouch Mama yang ketinggalan di meja."
Sani menoleh ke samping kiri, mendapati Angan melambaikan tangannya. "Bentar, Om. Saya ambilkan dulu. Tunggu situ ya. Saya lari kilat nih."
Dia memutus sambungan sepihak dan bergegas masuk ke dalam rumah mengambilkan pouch milik Tina. Setelahnya Sani berlari mendekati gerbang dan membuka pintu gerbangnya.
"Ini pouch Mama. Berarti tadi balik lagi ya, Om?" tanya Sani.
Angan marah. Melihat Sani ditampar rasanya seperti ditampar juga. Hatinya sakit. "Mama kamu keterlaluan ya. Masa nampar kamu begitu."
"Mana ada. Om salah liat kali. Mama lagi usap pipi saya tau, Om. Katanya selamat soalnya akan menikah sebentar lagi." Seperti biasa Sani menampilkan senyum.
"Sani, tolong. Saya liat sendiri kamu ditampar. Hati saya sakit liat kamu diperlakukan kayak gitu. Saya nggak pernah dengar kamu jelekin orangtua atau keluarga kamu sedikitpun. Tapi saya selalu tau dari orang atau secara langsung. Berhenti bilang semua baik-baik aja. Ini tuh nggak baik-baik aja." Angan tidak bisa memendam kekesalannya.
Sani memeluk Angan, menepuk-nepuk punggungnya. "Utututu... Om Angan lagi ceramah. Saya baik-baik aja kok. Lebih baik Om pulang. Hati-hati di jalan, Om."
"Saya akan minta nikahnya dipercepat. Saya nggak mau kamu diperlakukan kayak gitu lagi. Urusan resepsi bisa menyusul yang penting kamu tinggal sama saya," ucap Angan.
"Iya, iya, terserah Om aja." Air mata Sani jatuh. Dia buru-buru menyekanya selagi memeluk Angan. Pokoknya Angan tidak boleh melihatnya menangis lagi. Dia tidak mau Angan membenci keluarganya.
🎵🎵🎵
Cincin tersemat di jari manis sebelah kanan. Statusnya telah berubah menjadi Mrs. Junied. Sesuai ucapan Angan dua minggu lalu, mereka menikah dulu. Sah secara agama dan hukum. Urusan resepsi sedang diurus supaya bisa diselenggarakan bulan depan.
Ini pertama kalinya Sani keluar dari rumahnya dan menetap di rumah baru. Sudah begitu hanya berdua dengan Angan.
"Kamu diem aja. Kenapa? Jangan bilang nggak senang karena udah nikah sama saya," tanya Angan.
"Kayaknya mulai menyesal deh, Om," canda Sani.
"Bercandanya kamu sama serius kok susah dibedain ya."
"Ini seratus rius, Om."
Angan memasang wajah cemberut di depan Sani. "Kok jahat sih?"
Sani mencubit gemas kedua pipi suaminya. Tak disangka Angan bisa menunjukkan wajah yang lucu dan menggemaskan.
"Lucunya, Suamiku."
"Bentar, bentar. Kamu bilang apa?" Angan buru-buru mengambil ponselnya, menekan aplikasi voice recorder. "Coba ulangin lagi. Mau dijadiin nada dering."
"Ulangin apaan, Om?" tanya Sani bingung.
"Aduh, please... ulangin kata-kata yang tadi," rengek Angan dengan wajah memohon.
"Kata-kata apa sih?"
"Aduh, Saniiiiiii... itu lho kata-kata yang tadi. Suamiku itu."
"Suamiku?" Sani mengernyit. "Suamiku doang?"
"Kenapa sih giliran saya mau minta ulang, kamu malah nggak paham? Tadi langka tau. Ah, sebel!" gerutu Angan cemberut.
"Oh, lucunya, Suamiku? Itu, Om?" Sani akhirnya baru sadar. Dia pikir disuruh memanggil 'suamiku' saja.
Wajah Angan berubah cerah. Senyumnya mengembang seperti mata yang berbinar-binar tidak sabar untuk merekam kalimat Sani.
"Iya, itu! Ayo, ulang. Please... please... please... ulangin, Sayangku," mohon Angan setengah merengek.
"Lucunya sayangku seratus kali."
"Jangan begitu. Yang bener dong."
"Harusnya saya dikasih hadiah nih karena udah bikin Om senang."
"Iya, saya kasih pulau pribadi nanti. Ayo, ngomong dulu." Angan masih merengek seperti anak kecil sembari menarik-narik lengan piyama yang dipakai istrinya.
"Sini hapenya." Sani mengambil alih ponselnya Angan, kemudian dia menekan perekamnya. "Suamiku lucu. Banget banget banget. Gemesin. Pokoknya gumush!"
"Aduh... nggak sanggup." Angan mempertemukan wajahnya dengan tempat tidur. Dia menenggelamkan wajahnya di bantal sambil menggerakkan kakinya karena excited. Baru dipuji begitu saja dia sudah bahagia setengah mati.
Sani tertawa terbahak-bahak. Ternyata bucin suaminya sudah kronis. Baru dipuji saja sudah sebegininya.
"Om, jantungnya sehat nggak nih?" goda Sani.
"Nggak sih. Mau copot." Angan sudah menarik diri. Dia menatap Sani kembali, masih dengan wajahnya yang merah padam.
"Ini hadiah buat Om karena udah baik banget sama saya." Sani mengecup pipi kanan Angan cukup lama.
Angan tak menduga bakal dikecup. Alhasil wajahnya semakin merah. Rasa senangnya kian bertambah. Bucinnya lebih meningkat lagi.
Sambil menyentuh dadanya, Angan berkata, "Aduh, jantung saya beneran mau lepas."
🎵🎵🎵
Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗❤️
Follow IG: anothermissjo
Coba mana nih yang mau dicium Om Angan?🙈🙈🙈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro