Part 9. Tak Hanya Aku
Ibu membetulkan posisi duduknya. Setelah dirasa nyaman, ibu memulai ceritanya tentang siapa sebenarnya Ayya.
"Dia teman Ibu. Teman yang selalu bersama Ibu sejak kami masuk penampungan TKW di Jakarta. Perasaan senasib membuat kami dekat satu sama lain. Meski baru saling kenal, kami merasa seperti saudara. Beruntung, kami dipekerjakan pada majikan yang sama.
Sebenarnya kami bertiga, satu orang lagi ditempatkan di keluarga yang lain, masih kerabat dengan keluarga majikan Ibu dan Ibu Ayya sehingga sesekali kami masih bersua." ibu memulai ceritanya.
"Kami bertiga berasal dari kota yang berbeda-beda. Ibu Ayya bernama Rusmi dari Sukabumi, sedangkan satu lagi bernama Retno dari Kendal.
Ibu Ayya paling muda diantara kami bertiga. Kulitnya kuning langsat, hidungnya mbangir, matanya bening dengan bulu mata yang lentik. Cantik."
"Kami, Ibu dan Ibu Ayya, semakin dekat seperti kakak beradik. Karena kami selalu bersama-sama. Susah senang kami bagi berdua."
"Madam kami sangat baik, begitu juga keluarganya. Dia hanya punya satu anak, namanya Thariq. Waktu kami datang, Syareefa, istri Thariq, baru sekitar delapan bulan melahirkan bayi kembar, keduanya perempuan. Dan waktu itu dia sedang hamil lagi anak mereka yang ketiga. Di rumah itu, Ibu dan Rusmi selain mengurus rumah juga mengurus bayi kembar serta Jiddah, ibunya Madam. Suami Madam sudah meninggal."
"Thariq hampir seumuran dengan Ibu, umurnya 25 tahun. Istrinya yang belum lama dinikahi masih saudara jauh, umurnya awal 30-an tahun. Seperti kebanyakan orang Arab, mereka menikah karena perjodohan."
"Thariq sangat baik, seperti halnya Ummu dan Jiddahnya. Juga Syareefa. Dia memperlakukan kami seperti keluarga. Tapi lama-kelamaan, Thariq jatuh cinta pada Rusmi."
Serombongan burung dara terbang menghampiri kami. Mereka berhenti dan berjingkat genit di sekitar kami.
Ibu sejenak menghentikan ceritanya. Dari dalam tas dikeluarkannya tumbler berisi tumbukan biji jagung yang sengaja dibawanya dari Indonesia. Kata ibu, sejak sebelum berangkat ibu sudah berniat untuk berbagi dengan para merpati.
Aku tersenyum melihat ibu. Dalam hati tak sabar mendengar kelanjutan cerita tentang kisah ibu yang nantinya akan bermuara pada keberadaan Ayya, pujaan hatiku yang ternyata bukan adikku.
Ah, aku begitu lega dan bahagia mengingat ini semua.
"Lalu..." aku memancing ibu melanjutkan ceritanya. Sementara para merpati menikmati tumbukan jagung ibu dengan riang gembira.
"Puncaknya ketika Syareefa melahirkan anaknya yang ketiga.
Hmm, Kamu tau sendiri kan Nak bagaimana laki-laki yang sudah beristri, kemudian istrinya melahirkan dan memasuki masa nifas. Sedangkan di dalam dirinya telah pula hadir cinta pada orang ketiga. Dan orang itu ada di dekatnya. "
"Eh, jadi Ayya ...." aku tak sanggup melanjutkan kalimatku. Prasangka buruk memenuhi benakku.
"Bukan. Mereka tak seperti yang Kamu pikirkan, Nak." ibu seperti bisa membaca prasangkaku.
"Thariq meminta Rusmi untuk menikah dengannya, meskipun hanya menikah secara agama. Tapi Rusmi menolak, dia tak sampai hati pada Syareefa yang sudah begitu baik kepada kami."
"Lalu ...." aku menyela.
"Syareefa sendiri yang akhirnya meminta Rusmi untuk menikah dengan Thariq."
"Masya Allah." hanya itu yang bisa kukatakan.
"Tak lama Rusmi hamil juga."
"Ayya?" aku menyela lagi dengan tanya.
"Ya. Dan sebulan setelah Ayya lahir, gantian Syareefa hamil lagi. Qodarullah ketika melahirkan anak keempat, Syareefa mengalami pendarahan cukup hebat. Alhamdulillah Syareefa dan bayinya selamat, hanya saja Syareefa menjadi lumpuh setelahnya."
"Innalillahi." gumamku lirih.
"Dan tak berapa lama kemudian nenek meninggal sehingga Ibu memutuskan untuk pulang ke Indonesia karena Ibu tak bisa membiarkanmu sendirian.
Saat itulah Rusmi mengambil keputusan yang Ibu tau sangat berat, karena harus mengorbankan perasaannya, juga anaknya, Ayya.
Dia menitipkan Ayya untuk Ibu rawat di Indonesia karena dia ingin merawat Syareefa dan keempat anaknya. Rusmi ingin membalas segala kebaikan dan kesabaran Syareefa yang sudah mau menerimanya sebagai istri Thariq dan memperlakukannya dengan sangat baik." mata ibu terlihat menerawang dan berkaca-kaca, mungkin mengingat masa-masa itu.
"Apakah Ibu Ayya tidak punya keluarga di Sukabumi, Bu?" tanyaku lagi.
"Rusmi sudah tak punya orangtua. Keluarga masih ada, tapi dia meminta Ibu yang merawat Ayya. Dia merasa lebih dekat dan lebih percaya pada Ibu daripada dengan kerabatnya." Ibu menjelaskan.
Aku membayangkan diriku pada posisi Ayya. Sungguh, dadaku sesak terasa.
Subhanallah, ternyata selama ini aku jauh lebih beruntung dari Ayya.
"Rusmi dan Thariq yang akan menemui Kami malam nanti. Itulah kenapa Ibu menyuruh Ayya untuk beristirahat dulu. Karena bukan hanya fisik yang harus dia persiapkan, tapi hatinya yang tentunya harus lebih dikuatkan." ibu berkata lagi.
"Bagaimana ceritanya Ibu bisa berhubungan kembali dengan Ibu Ayya, Bu?" tanyaku ingin tahu.
"Dua tahun yang lalu Syareefa meninggal dunia setelah hampir delapan belas tahun hidup dalam kelumpuhan."
"Innalillahiwainnailaihirojiuun."
"Dan tiga bulan yang lalu Retno pulang. Selama di sini dia tidak pernah bekerja di tempat lain, hanya di rumah saudaranya Thariq. Maka sebelum pulang dia sempat berpamitan pada Rusmi. Saat itulah Rusmi menitip pesan untuk Ibu dan Ayya. Alhamdulillah alamat Ibu tidak berubah, sehingga Retno bisa bertemu kembali dengan Ibu. Sampai akhirnya Kami di sini hari ini."
Aku terharu mendengar cerita ibu. Kekaguman dan rasa sayangku kepada Ayya semakin mendalam. Rasanya aku ingin melindungi dan membahagiakannya setelah semua yang dia lalui dalam hidupnya.
"Bagaimana dengan Ayya, Bu? Bagaimana dia menerima ini semua ketika Ibu memberitahukan cerita yang sebenarnya?" aku bertanya dengan dada yang terasa sesak.
"Semuanya terjadi begitu saja. Retno tak bisa menyembunyikan tangisnya ketika bertemu dengan Ayya. Dia memeluknya dan menangis dengan heboh. Ayya sampai bingung. Pada akhirnya seharian itu Kami bertiga bicara dalam keharuan dan air mata."
"Ayya bisa menerima semuanya, Bu? Tidakkah dia merasa dibuang atau tidak disayang?"
"Itulah luar biasanya Ayya. Dia menerima semuanya dengan ikhlas. Sebaliknya, dia merasa sangat bersyukur karena mempunyai banyak keluarga, meskipun kemudian dia bilang bahwa dia tidak mau meninggalkan Ibu." ibu menyusut air yang kembali menggenang di pelupuk matanya.
"Masya Allah." lagi-lagi hanya itu yang bisa kukatakan.
"Nanti malam Ayya akan bertemu dengan Ibu dan Ayahnya, Ibu harap Kamu bisa mendampingi Kami. Ibu sudah banyak lupa bahasa Arab. Siapa tau Rusmi pun banyak lupa bahasa kita." kata ibu sambil tertawa kecil.
Aku begitu bahagia mendengar tawa ibu. Kurengkuh ibu ke dadaku dan memeluknya erat. Kuciumi kepala ibu yang berada tepat di bawah daguku dengan rasa sayang yang luar biasa.
Terima kasih ya, Allah. Terima kasih atas segala limpahan cinta-Mu untuk hidupku
Pandanganku terasa kabur karena mata yang membasah. Kubiarkan bulir beningnya menganak sungai di pipiku. Aku bahagia.
Aku masih memeluk ibu, ketika adzan Dhuhur berkumandang mengiringi kebahagiaan kami.
....
Allahu Akbar Allahu Akbar
Laa ilahaillallah
Ya Rabb, sungguh Engkau Maha Besar. Tiada daya dan kekuatan selain dari-Mu. Dan tiada Tuhan yang pantas disembah kecuali Engkau.
***
Usai salat Dhuhur, ibu memintaku mengantar sampai di depan kamar hotel. Ibu ingin turun ke ruang makan bersama Ayya. Aku mengikuti kemauan ibu. Lalu bergegas pergi setelah ibu sampai di depan pintu. Aku merasa belum siap bertemu Ayya setelah mendengar cerita ibu yang panjang lebar. Tak tahu harus berkata apa. Lagipula aku tak yakin Ayya mau bicara denganku.
Kulangkahkan kaki menuju food court di Makkah Clock Royal Tower. Perutku mendadak rindu biryani dengan kambing dan segelas orange juice. Meski porsinya besar, aku optimis bisa menghabiskannya.
Food court masih dua lantai di atas ketika di benakku sekelebat melintas ide yang bagiku cukup nekad dan gila.
Bagaimana kalo nanti malam aku sekalian melamar Ayya. Mumpung ada orangtuanya. Kan kami halal untuk menikah. Aku sudah menunggu sekian lama, buat apa menunggu lebih lama lagi.
Nanti menjelang maghrib aku akan menjemput ibu untuk ke masjid dan akan kusampaikan niatku pada ibu. Begitu rencanaku.
Aku tersenyum sendiri dan merasa sangat bersemangat.
Bahkan saat memesan makan dan minum pun senyum masih tersungging di wajahku. Aku menikmati makanku kali ini, sampai rasanya aku lupa pada rasa kenyang.
Bip bip bip... Bip bip bip..
Nada dering tanda pesan masuk terdengar dari dalam tas slempangku. Kubaca barisan pesan yang masuk setelah sebelumnya membersihkan tangan dengan cairan antiseptik yang selalu kubawa. Terbaca nama Zainal di pesan terbaru. Ada pula nama Harun beberapa baris di bawahnya.
Zainal.
Bro, gimana nih? Insya Allah aku siap jadi adik iparmu. Melihat kualitas kakaknya, aku tidak merasa perlu untuk mengenal lebih jauh adiknya. Aku yakin nggak jauh beda. Kapan adikmu siap, aku siap.
Ada desir yang aneh di hatiku. Rasanya nyeri, seperti ditusuk-tusuk dengan jarum jahit. Celekit-celekit.
Aku menghela napas. Mencoba menenangkan hati sebelum kulanjutkan membuka pesan dari Harun.
Assalamualaikum Mas Yusuf.
Mohon maaf jika saya lancang.
Setelah bertemu dengan Mas Yusuf, juga bertemu Dik Ayya sebelumnya. Bolehkah saya memohon ijin untuk mengenal Dik Ayya lebih jauh?
Astaghfirullahaladzim
Senyum yang tadi menghias wajahku mendadak sirna. Hanya istighfar berkali yang bisa kulakukan.
"Ya Rabb, apakah ini berarti tak hanya aku yang mengharapkan cinta dari Ayya? Pelajaran hidup apalagi yang ingin Kau tunjukkan kepadaku? Kenapa terasa bertubi-tubi datangnya?
Namun jikalau semua ini untuk kebaikanku, aku rela Ya Allah. Sungguh, aku rela."
Bergegas kutinggalkan food court ini. Tak lupa kutaruh selembar lima real di bawah gelas untuk petugas yang membersihkan sisa makananku.
Kulangkahkan kaki menuju Al Haram, hendak ngadem sembari memandang Ka'bah, lalu merebahkan diri sejenak di atas karpet hijau di bawah putaran kipas angin yang menyejukkan. Berharap bisa meredakan kecamuk di hati dan pikiranku.
***
Jadi Zainal dan Harun pun jatuh cinta sama Ayya?
Trus gimana dengan Yusuf?
Nantikan kelanjutan kisahnya yaaa 😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro