Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 7. Cemburu

Kami berada di atas bus menuju ke Mekah. Ayya di seat semula, ibu duduk bersamaku di seat agak belakang. Kapasitas bus besar di sini rata-rata untuk 50 orang, sedangkan jumlah jamaah rata-rata 45 orang, jadi hampir pasti ada sisa seat yang bisa menampungku untuk menumpang.

Aku sudah meminta ijin kepada Mas Ahmad, juga Hannan.
Mas Ahmad adalah Tour Leader rombongan jamaah ini. Orangnya ramah, supel, sabar dan baik. Senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya membuatnya tampak lebih muda. Kukira usianya baru awal 30-an, ternyata sudah mendekati kepala empat, bahkan sudah punya anak yang duduk di bangku SMP.
Sedangkan Hannan adalah muthawif yang mendampingi Mas Ahmad selama di KSA. Kebetulan aku pernah dua kali bertemu ketika ikut kumpul-kumpul dengan Zainal dan kawan-kawannya, termasuk Hannan.
Kepada mereka kusampaikan bahwa aku ingin menemani ibuku selama di Mekah. Kukatakan pula bahwa aku siap membantu selama mereka berada di KSA. Membantu apapun itu, yang penting aku diijinkan untuk bisa menghabiskan banyak waktu bersama ibu. Alhamdulillah mereka berdua tidak keberatan.

Ibu duduk di sisi kanan bersisian jendela. Menyandarkan badannya dengan nyaman. Mengaitkan lengan kirinya pada lengan kananku, serta menggenggam erat dan mengelus jari-jemariku dengan kedua tangannya.
Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya, hanya kulihat beberapa kali tangannya menghapus air yang menggenang pada kedua matanya. Hingga akhirnya beliau tertidur, mungkin saking lelahnya.
Kupandang wajah ibu yang makin menua. Berharap tangis yang barusan ada adalah tangis bahagia.

Bro, aku balik ke Mekah. Malam ini ikut umroh sama Ibuku. Ketemu di Movenpick ya. Nanti kukabari lagi.

Kuketik pesan untuk Zainal dalam perjalanan kembali menuju Al Mukarromah.

Siap, Bro. Aku perlu ikut umroh nggak nih? Kamu kan mendampingi Ibu, siapa tau adikmu butuh pendamping juga. Hahaha.

Zainal membalas pesanku dengan bercanda. Meski kupaham, tak urung ada cemburu menyusup di hati. Aku tersenyum kecut membacanya.

Modus kau ya!!

Balasku singkat.

Lho aku serius. Aku free ini. Sekarang lagi di Jeddah ngantar jamaah pulang. Tiga hari ke depan baru bawa jamaah lagi.

Zainal membalas lagi.

Oke. Lihat nanti. Bolehlah kalo mau nemenin umroh, tapi awas aja kalo mau modusin adikku.
Kusertakan emoticon bogem mentah.

Hahaha..
Zainal membalas dengan tertawa.

Astaghfirullah..
Sekejap aku tergeragap. Kutepis rasa cemburu yang melintas makin deras, serta sedikit gusar yang nyaris melanda. Teringat bahwa statusku saat ini adalah muhrim, sedang berihram.

Yang kulakukan kemudian adalah menyusul ibu. Tidur. Melupakan sejenak segala kegalauan.
***

Waktu di Mekah menunjukkan pukul 20.27 ketika kami menginjakkan kaki di lobi Movenpick Hotel & Residences Hajar Tower.

"Assalamualaikum ya, Akhi." seseorang menepuk pundakku dari belakang. Zainal. Suaranya aku hafal.

Rupanya dia sudah menunggu di lobi Movenpick sebelum kami sampai di sini. Temanku satu ini memang selalu gercep, gerak cepat.

"Ckckck... Selalu gercep ya." ujarku, disambut senyum cengengesan darinya.

"Kok gak pake ihram?" tanyaku lagi.

"Iya, kan aku cuma mau menemani." sahutnya tanpa dosa.

"Ah, modus kau pasti." aku menoyor jidatnya. Dia tertawa.

Kugeret lengannya menuju ibu dan Ayya.

"Ibu, kenalkan ini Zainal sahabat Yusuf di Mekah. Kalo ke sini Yusuf pasti numpang di tempat dia." kuperkenalkan Zainal pada ibu.

Dia mencium tangan ibu takzim. Lalu menggeser badannya mendekat ke Ayya.

"Mbaknya pasti adiknya Yusuf ya? Saya Zainal. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Iya, saya Ayya." Ayya menjawab, matanya menatap ke arah Zainal, senyum tersungging di wajah cantiknya, kedua tangannya ditangkupkan di depan mukanya.

Aku yang salah tingkah. Cemburu itu lagi-lagi mengganggu. Apalagi melihat Ayya memandang Zainal, sedang sejak bertemu saja dia belum sekalipun memandangku. Tertangkap basah memandang pun dia tergesa menundukkan kepala dalam-dalam.

Astaghfirullah..
Aku tersentak sadar,  dalam hati berkali mengulang istighfar.

"Ehem ehem... " aku berdehem. Zainal tersenyum meringis.

"Ini kunci kamar Ibu dan Mbak Ayya. Lantai 23, twin, view Haram." Hannan menghampiri kami, menyerahkan kartu yang berfungsi sebagai kunci, serta menyebutkan kamar yang akan ditempati ibu dan Ayya.

"Nanti dibantu Mas Yusuf atau Mas Zainal ya, Ibu, Mbak Ayya." sambung Hannan lagi.

"Baik. Terima kasih, Mas Hannan." Ibu dan Ayya menjawab berbarengan.

Berempat kami menuju lantai 23. Zainal yang memandu kami, karena aku sendiri baru sekali ini menginjakkan kaki di salah satu hotel mewah di Komplek Abraj Al Bayt ini. Dan aku cukup terkagum saat memasuki kamarnya. Fasilitas di dalamnya begitu mewah untuk ukuran kemampuan finansial keluarga kami.

Berbagai pertanyaan berkelebat di benakku.

"Apa saja yang sudah terjadi selama empat tahun kami tak berkomunikasi? Bagaimana Ibu dan Ayya bisa berangkat ke Tanah Suci dengan fasilitas VIP seperti ini?"

"Kita mau nunggu di lobi apa tetap di sini?" pertanyaan Zainal mengagetkanku.

"Kita turun aja deh nunggu di lobi." sahutku sambil menghampiri ibu.

"Ibu, masih ada waktu satu jam sebelum melaksanakan umroh, Ibu istirahat dulu saja. Yusuf tunggu di lobi dengan Zainal." saranku pada ibu.

Sekilas kulirik Ayya, aku menangkap matanya sedang menatapku. Buru-buru ditolehkan kepalanya ke arah jendela, berpura-pura mengamati Masjid Al Haram yang terlihat dari tempat kami berada. Aku hanya menghela napas melihat tingkahnya.

Aku berjalan menuju pintu, tak kuhiraukan Zainal yang menungguku. Aku tak siap seandainya memergoki dia sedang mencuri pandang ke arah adikku.
***

01.13 waktu Al Fajr di pergelangan tangan kananku. Alhamdulillah rangkaian ibadah umroh telah terlaksana dengan lancar.
Keberadaan Zainal, meski tak berihram, cukup membantu. Tawaf dan Sa'i berlangsung khusyuk karena doa-doa yang diucapkan terdengar dari depan tengah dan belakang barisan. Semua jamaah terlihat puas, raut wajah mereka menunjukkan rasa bahagia.

Kami berjalan berempat di sesela rombongan jamaah. Kugandeng ibu. Sementara Ayya dan Zainal masing-masing di samping ibu dan di sampingku. Tiba-tiba Zainal pindah tempat, dia mengambil posisi paling pinggir di sebelah Ayya.

"Saya di sini nggak papa ya, Mbak. Kasian kalo perempuan di pinggir sendiri." ijinnya, disambut anggukan dan senyum Ayya.

"Bro inget, Bro. Jangan modus ya!" aku mengingatkan. Kuacungkan bogemku ke arahnya. Dia tertawa. Terdengar pula tawa kecil Ayya.

Ah, meski kutahu Ayya adikku, tapi aku aku tak bisa menepis cemburu yang diam-diam makin menjadi. Serasa ada yang nyeri di dalam dadaku.

"Mbak Ayya kuliah kah? Di mana?" Zainal mulai bertanya macam-macam.

Eh, mungkin bukan pertanyaan macam-macam, tapi ada rasa tak suka menyelinap di hatiku. Aku saja belum sempat ngobrol apapun dengan Ayya, belum tahu kabar apa saja yang terjadi selama aku pergi. Lha kok dia malah tanya-tanya segala macam pada Ayya. Huh.

"Panggil Ayya saja, Mas.
Saya belum kuliah. Insya Allah saya ingin melanjutkan belajar di sini." Ayya menjawab singkat.

"Melanjutkan di sini? Di Mekah maksudnya?"

Deg...
Aku yang berusaha mencuri dengar percakapan keduanya diantara riuh rendah suara jamaah yang lain mendadak kelu. Berharap aku salah dengar. Tapi meski agak samar aku yakin yang kudengar benar.

Beruntung, Hannan datang dan bertanya sesuatu pada Zainal. Mereka terlibat percakapan hingga lobi Movenpick tampak di hadapan.

Aku dan Zainal mengantar ibu dan Ayya sampai ke kamar. Kuambil ranselku, kemudian pulang ke kontrakan Zainal di Misfalah.

"Huft, capek. Aku mau tidur dulu." setengah mengantuk aku berkata pada Zainal.

"Eits, ganti dulu lah. Jangan tidur pake ihram di sini. Horor aku. Hahaha.."

Zainal memang suka bercanda. Kali ini aku ikut tertawa ngakak.

"Aku juga horor kali, Bro."

Buru-buru aku bangkit ke kamar mandi. Cuci muka dan mengganti baju. Kantukku mendadak lenyap, tapi tetap melek aku juga tak nyaman. Aku sedang tak ingin ngobrol apapun dengan Zainal. Tak kupungkiri, ada cemburu menyisip di sini, di hatiku.
Maka aku paksakan diriku untuk berpura-pura tidur. Hingga letih raga dan hati yang sejatinya telah terakumulasi akhirnya membuatku benar-benar jatuh dalam pulas.
***

Deg-degan nggak sih sama 'manuver' Zainal? Hehe..
Atau mungkin inilah yang akan 'menyelamatkan' Yusuf dari perasaan yang seharusnya tak boleh ada?

Ketemu lagi di part 8 yaaa 😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro