Part 6. Maafkan Aku, Ibu
Sekira jam 1 siang waktu KSA, sampailah aku di Dzulhulaifah. Bapak taksi gelap yang ternyata baik hati itu membantu mengambilkan tas ranselku dari bagasi mobilnya. Kuucapkan terima kasih dan kuberikan senyuman lebar atas kebaikannya. Tiba-tiba dia memeluk dan menepuk bahuku.
"Kamu anak baik, semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya padamu." demikian yang dikatakan bapak itu kepadaku.
Aku terharu. Kupandangi dia hingga masuk kembali ke mobilnya. Dibukanya kaca jendela sedan itu, lalu dilambaikan tangannya kepadaku. Dua mahasiswa dari tanah Sumatra pun melakukan hal yang sama.
Alhamdulillah. Segala puji hanya untuk-Mu Ya Allah, yang telah mempertemukan aku dengan orang-orang baik.
Kubalikkan badan dan kupandangi masjid yang baru beberapa hari lalu kukunjungi untuk mengambil miqat. Disinilah aku sekarang, menunggu orang-orang yang sejak masa kecilku telah menghuni hatiku.
Inilah Masjid Dzulhulaifah. Masjid ini terletak di jalan antara Madinah dengan Mekah, tepatnya di daerah Dzulhulaifah, sekitar 11km dari Masjid Nabawi.
Meski demikian, sebagian besar jamaah umroh lebih mengenalnya sebagai Masjid Bir Ali atau Abyar Ali, karena pada masa dahulu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah menggali banyak sumur (bir) di tempat ini.
Sesaat kemudian, kulangkahkan kaki menuju halaman masjid yang begitu luas dan asri oleh pohon-pohon kurma yang menjulang memberi keteduhan. Masjid yang berdiri gagah di Lembah Aqiq ini lekat dengan ciri khas lorong panjangnya yang berdiri berjajar dengan lengkungan-lengkungan menyerupai tapal kuda khas arsitektur Bangsa Mor. Sebuah menara yang menampakkan keunikan berdiri kokoh disana, menjulang dengan bentuk menyerupai pilinan atau spiral menambah kekhasan bangunan ini. Tamannya yang indah, kental dengan nuansa Mudejar seperti yang terhampar di Alhambra, Granada. Semua dibuat nyaris simetris, dengan banyak tumbuhan hijau yang memanjakan mata.
Aku mendekat ke arah taman, meletakkan ranselku asal saja di bawah salah satu pohon palem, lalu duduk begitu saja di sebelahnya. Semilir angin membawaku pada kenangan akan Sang Kekasih, ialah Baginda Rasulullah SAW.
Di lokasi yang kini berdiri masjid nan gagah inilah, dulu Rasulullah pernah beristirahat di bawah sebuah pohon sejenis akasia.
Di tempat ini pulalah beliau mengambil miqat sebelum melanjutkan perjalanan untuk melaksanakan umroh ke kota Mekah.
Itulah mengapa jamaah umroh yang berangkat dari Madinah menjadikan masjid ini sebagai miqat. Begitu pula dengan ibu, juga ... Ayya.
Dari dalam tas slempang, ponselku bergetar. Dan lamunanku pun buyar.
13.11
Kami berangkat sekitar jam setengah dua. Bus kami warna abu-abu tua. Di kaca depan ada tulisan Bus 2 Madinah Iman Wisata.
Pesan dari Ayya kubaca. Tak kubalas.
Tergesa aku menuju ke toilet. Mandi ihram dan mengganti bajuku dengan dua lembar kain putih sebelum aku masuk ke dalam masjid.
Usai tahiyatul masjid dan mengqosor Dhuhur serta Asar, aku memohon kepada-Nya. Memohon kekuatan agar aku bisa menahan diri dari hal-hal yang menjadi larangan saat sudah berihram nanti.
Kemudian kulanjutkan dengan dua rakaat salat sunnah dan berniat ihram.
Kulirik jam tanganku, 13.48.
Tak menunggu lama, aku bangkit dan setengah berlari menuju gerbang Dzulhulaifah. Menunggu bus abu-abu dengan tulisan seperti yang Ayya sebutkan.
Hatiku mulai berdebar. Ada ketegangan di sana. Rasanya campur aduk. Ada rindu luar biasa yang mungkin sebentar lagi akan terobati. Ada sedih tak terkira mengingat saat-saat berpamitan pada ibu nyaris empat tahun lalu. Ada pula desiran seperti saat pertama aku merasakannya, yang hampir 6 tahun berlalu tapi rasanya masih saja sama.
Astaghfirullah... Aku merapal istighfar sesudahnya. Dan tak berjeda, hingga kulihat beberapa bus berwarna abu-abu tua menuju ke arahku.
Suasana yang belum begitu ramai membuat aku tak kesulitan mengenali dan menemukan bus yang membawa ibu dan Ayya.
Bus nomor 2, Madinah Iman Wisata.
Aku berjalan sedikit cepat, mataku melekat pada bus yang terus melaju menuju parkiran hingga dia berhenti. Aku mendekat setengah berjingkat dan berhenti sekitar 15 meter dari badan bus. Kuamati satu per satu jamaah yang turun dari kedua pintu. Berkali menghela napas, menutup mulut dan mengusap muka, begitu terus bergantian. Sementara tanganku terasa basah oleh keringat. Dan badanku pun gemetaran. Istighfar masih belum lepas dari bibirku.
Astaghfirullahaladziim..
Jantungku serasa berhenti berdetak melihat seorang gadis berusia awal dua puluh tahun, berkulit putih bersih, berhidung mancung, berperawakan sedang dengan gamis dan kerudung lebar serba putih. Gadis itu turun dari pintu bus bagian depan, berhenti tepat di bawah pintu, lalu membalikkan badan dan membantu menyambut seseorang turun dari bus. Seorang perempuan berusia hampir separuh baya dengan baju dan kerudung berwarna senada dengannya.
Napasku tertahan. Itu Ayya. Dan ibu.
Kedua mataku terasa memberat. Seperti bendungan yang airnya berjejalan dan berebutan, berlomba-lomba untuk bisa keluar lebih dahulu.
Ingatanku melayang pada hampir empat tahun yang lalu. Wajah ibu yang penuh ketegaran dan keikhlasan ketika melepaskanku di depan pintu.
"Pergilah, Nak. Kembalilah jika waktunya sudah tiba. Selama itu kita tak harus berjumpa, karena Ibu yakin, kita selalu bersama dalam doa-doa kepada-Nya."
Kata-kata ibu kali itu terngiang-ngiang di telingaku.
Aku tak lagi kuat menahan kerinduan, apalagi sosok yang kurindukan saat ini berada tepat di hadapan.
"Ibu.." suaraku terdengar serak.
Setengah berteriak kupanggil ibuku seraya berlari menuju kepadanya.
Kulihat ibu berhenti, matanya mencari panggilan dariku. Lalu membalikkan badan ketika mata kami bertatapan.
Ibu hanya diam di tempatnya. Kedua tangannya terbuka, seolah bersiap menyambutku. Sedangkan matanya telah basah, bahkan mungkin sejak Ayya mengatakan bahwa aku akan menemuinya.
Aku tak datang ke pelukan ibu, melainkan jatuh memeluk kedua kakinya. Tangisku pecah di sana.
"Ibu, maafkan aku. Maafkan Yusuf, Ibu. Maafkan Yusuf." tergugu. Berkali kusampaikan permintaan maaf pada ibu.
Ibu setengah berjongkok, dibimbingnya aku untuk berdiri dan memeluknya.
"Ibu, maafkan Yusuf, Bu. Maafkan Yusuf." hanya kata itu yang sanggup kukatakan. Kuulang-ulang dengan kedua mata membasah
Kami berpelukan, dalam kerinduan yang begitu dalam.
Sementara di belakang ibu terdengar isak, yang semakin lama semakin banyak. Kupikir Ayya, tapi ternyata bukan hanya dia. Beberapa jamaah satu rombongan ibu menangis di sekeliling kami. Entah, mungkin Ayya atau ibu pernah menceritakan tentang aku pada mereka, atau mungkin mereka tak mengetahuinya, hanya saja pertemuan kami ini sesuatu yang dramatis bagi mereka. Aku tak begitu memikirkannya.
Ibu melepaskan pelukannya. Lalu tersenyum kepada teman-teman jamaah yang menyaksikan kami. Dengan senyum tersungging ibu berkata,
"Ini Yusuf, anak saya. Sudah hampir empat tahun kami sama sekali tak berjumpa." kebahagiaan terpancar di wajah ibu.
Satu per satu mereka berlalu, melanjutkan prosesi yang biasa dilakukan di Masjid Abyar Ali ini.
Kali ini aku menatap ke arah Ayya, tepat ke matanya. Si empunya mata bening yang kali ini tampak sembab itu sedang memandangku. Dia tergeragap dan menunduk tergesa. Lalu mundur beberapa langkah ke belakang, jari jemarinya saling meremas. Tampaknya dia gelisah.
Aku mendekati sosok itu. Sosok yang hampir enam tahun ini menghuni sudut hatiku. Desiran itu terasa menjadi, tapi aku bertahan dan mencoba tak peduli.
"Ayya, apa kabar? Kamu sudah besar ya, sudah hampir dua puluh satu tahun. Maafkan Mas Yusuf ya. Terima kasih sudah selalu menemani Ibu." kataku canggung. Cuma itu yang terlintas di kepalaku.
Kuulurkan tanganku. Aku ingat, dulu Ayya selalu mencium tanganku dengan takzim setiap kali kami bersalaman.
Itu dulu, sebelum rasa itu datang menghampiriku. Karena semenjak kejadian itu, mungkin bisa dihitung berapa kali aku bersalaman dengan adikku ini. Jangankan bersentuhan, bertatap mata saja menjadi hal yang sebisa mungkin aku hindari.
Gadis itu mundur lagi, menjauh dariku beberapa langkah. Masih menundukkan kepala, tapi kali ini ujung jilbab yang menjadi sasaran remasan jemarinya. Tak sedikit pun pertanda dia akan menyambut uluran tanganku
"Alhamdulillah, baik. Ayya baik, Mas." jawabnya lirih, nyaris tak tertangkap oleh pendengaranku.
"Kamu kenapa begitu? Marah sama Mas Yusuf?" aku mencoba melembutkan suaraku, menepis canggung yang masih menyeruak.
"Sudah, ngobrolnya nanti lagi. Kami mau salat dulu." ibu menengahi. Matanya menatapku hangat. Kemudian menggandeng tangan Ayya, menyusul mereka yang telah lebih dulu menuju bangunan masjid.
Aku hanya terpaku, memandangi punggung keduanya dengan hati penuh tanya.
"Ada apa dengan Ayya? Kenapa dia tak mau memandangku? Kenapa dia terlihat takut-takut padaku? Kenapa dia menjaga jarak dariku? Kenapa dia tak mau menyambut uluran tanganku? Mungkinkah dia marah karena kepergianku? Mungkinkah dia kecewa karena sosok kakak yang tak ditemukannya dalam diriku. Aku bahkan meninggalkannya begitu saja dengan Ibu. Tanpa kabar, dengan sadar."
Masih banyak 'kenapa' serta 'mungkinkah' lainnya yang menari-nari di benakku. Menuntutku untuk menguji sabar lebih lama lagi.
***
Ayya kenapa yaaa?
Marah? Kecewa? Sebel? Sedih? Shock? Terharu? Atau....
Tunggu di part selanjutnya yaaa 😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro