Part 5. Kutunggu Kau di Dzulhulaifah
Jam tiga dini hari aku terbangun. Segera meloncat ke kamar mandi, kemudian bersiap ke masjid.
Kusambar tas yang dari semalam belum sempat kubuka lagi.
Buru-buru kulangkahkan kaki menuju masjid. Hendak kucurahkan keluh dan kesahku pada Sang Pemilik Hidup. Satu-satunya dzat yang kepada-Nya kuadukan segala beban rasa.
Adzan pertama baru saja rampung, aku pun larut dalam curhat serta doa-doa panjang dengan satu tema yang sama.
Ah, biarlah. Karena memang hanya kepada-Nya tempat paling tepat untuk kita mengadu. Tak ada yang perlu Ditutup-tutupi. Tak ada yang perlu disembunyikan. Apapun itu.
Puas mengadu, kuambil satu diantara tumpukan mushaf di rak keemasan yang berjejer memanjang. Kubuka asal saja. Kulirik halamannya, 81. Kuhela napas panjang, kubaca perlahan, hingga rasanya aku terseok ketika sampai di ayat terakhir halaman tersebut. Ayat yang kuhafal di luar kepala, namun membuatku tertatih setiap kali membacanya.
An Nisa: 23.
Waalaikumsalam.
Mas Yusuf? Ini Mas Yusuf kan?
Alhamdulillah. Ibu kangen sekali sama Mas. Sekarang kami di Madinah.
Selepas Subuh kutengok ponsel yang sedari tadi belum kusentuh. Beberapa pesan terlihat di layar, hanya pesan dari Ayya yang kubaca.
Mendadak aku ingin punya sayap agar bisa terbang ke Madinah secepatnya. Aku berpikir dan mengambil keputusan dalam waktu singkat.
Kuputuskan setelah ini aku akan tawaf wada', lanjut ke Misfalah mengambil tas di kontrakan Zainal, lalu menuju Madinah dan langsung menemui ibu di hotel.
Aku tak boleh kehilangan waktu dan kesempatan. Bagaimanapun juga, aku merindukan ibu. Sangat rindu.
"Bro, aku mau ke Madinah. Ibuku masih di sana. Ini aku mau tawaf wada' dulu. Habis wada' aku ke tempatmu ambil tas. Trus langsung cabut ke Madinah. Kamu di rumah apa di hotel?"
Kutelpon Zainal mengabarkan rencanaku.
"Kebetulan aku lagi pulang ini. Insya Allah sebelum jam delapan aku ke hotel. Biar tasmu aku yang bawakan. Kamu tunggu saja di hotel. Mandi-mandi dulu kek, dandan yang ganteng biar ibumu seneng kalo ketemu nanti. Jangan lupa makan yang banyak, kalo keliatan kurus nanti dikira pemerintah Saudi gak ngasih jatah bulananmu. Hahaha." jawab Zainal setengah meledekku.
Zainal memang baik. Teramat baik. Aku sungguh beruntung menemukan seorang sahabat sepertinya.
Tak menunggu lama, segera kulaksanakan tawaf wada', meski sebenarnya hatiku masih ingin berada di kota nan mulia ini.
Tapi sisi hatiku yang lain juga merindu pada satu tempat yang juga istimewa, ialah pelukan ibuku.
Tawaf wada' kali ini kurasa berbeda dengan yang sudah-sudah. Aku tak kuasa menahan air mata. Entah karena beban yang cukup lama terpendam dan mendadak harus kembali terbuka. Entah karena kerinduan mendalam pada ibu yang tak lama lagi akan menemukan penawarnya. Entah pertemuan kembali dengan Ayya yang sejujurnya tak kuinginkan kejadiannya. Entahlah.
Yang pasti, aku merasa bersyukur karena ketika kegelisahan menyapa, aku sedang berada di rumah-Nya. Mungkin karena itulah aku merasa berat saat harus berpisah dan berpamitan. Sedangkan bebanku belum jua terselesaikan.
Kususuri sepanjang jalan Ajyad menuju hotel tempat jamaah Zainal berada. Sembari melangkah, mataku tak lepas menatap aspal. Bayangan ibu dan Ayya terpantul di sana, seakan melompat ke sana ke mari mengikuti langkahku.
Kamar mandi adalah tempat pertama yang kutuju begitu masuk ke kamar hotel. Aku sengaja mandi air dingin sepuasnya. Rasa segar menjalar. Aku pun makin tak sabar. Di mana ibu berada, akan aku kejar. Meski berarti aku harus bertemu Ayya dan mati-matian menahan debar.
"Nah gitu, mukamu keliatan lebih fresh. Jangan lupa makan, baru berangkat." suara Zainal menyambutku keluar dari kamar mandi.
Rupanya dia datang ketika aku sedang mandi.
"Siap, Bos." sahutku sembari tersenyum.
"Mau naik apa ke Madinah?" tanya Zainal.
"Entah. Mungkin pake Saptco." jawabku sedikit tidak yakin.
"Nggak kelamaan tuh? Naik taksi aja lebih cepet." Zainal memberi saran.
Dan untuk kali ini, sepertinya aku akan mengikuti sarannya.
"Iya, aku ikut saranmu aja deh.Mana tasku, aku mau berangkat sekarang." sahutku tanpa basa basi.
"No no no. Makan dulu, baru berangkat. Nanti aku susulkan tasmu ke ruang makan."
Rasanya aku terharu. Zainal bukan hanya sahabat. Ada kalanya dia seperti seorang kakak yang begitu perhatian pada adiknya. Tidak seperti aku pada ....
Ah, kenapa dia lagi.
Aku menepis bayangan Ayya yang kembali melintas tanpa diminta.
Kulirik Al Fajr di pergelangan tangan kananku. 07.12 waktu KSA.
Tergesa kuselesaikan makanku saat mataku menangkap sosok Zainal menenteng tas ranselku.
Sempat terbersit di benakku,
'Gimana kalo Zainal kujodohkan saja dengan Ayya, siapa tau bisa menghentikan perasaan yang tak seharusnya ini kepada dia.'
"Nih tasmu. Hati-hati di jalan. Salam untuk ibu dan adikmu ya." pesan Zainal padaku.
"Insya Allah. Kalo mereka belum ke Mekah, besok aku kenalin ya. Siapa tau jodoh sama adikku."
Aku berucap, berharap Zainal tak menemukan getir dalam nada bicaraku.
07.48 waktu KSA. Aku sudah duduk manis di dalam taksi abal-abal alias tak resmi. Sebenarnya aku nggak begitu yakin juga, tapi pria separuh baya yang duduk di belakang setir itu menawariku dengan sopannya. Dan kulihat di dalam mobil sedannya sudah ada dua orang yang perawakan dan wajahnya hampir mirip denganku. Sama-sama ras Melayu. Maka aku pun tak berpikir panjang lagi, segera kuiyakan penawaran Si Bapak taksi gelap ini.
Benar dugaanku, dua orang bermuka Melayu itu ternyata orang Indonesia, mereka berasal dari Riau dan Palembang yang sedang menuntut ilmu di kota Mekah. Kami pun terlibat obrolan yang cukup menyenangkan hingga tak terasa perjalanan kami sudah terlalui sekira dua setengah jam, hampir setengah dari total jarak yang akan kami tempuh menuju Madinah. Aku keasyikan ngobrol sehingga lupa pada kerinduanku. Lupa juga pada segala kegelisahan dan ketergesaan yang tadi melanda. Bahkan lupa mengecek ponselku, mana tahu ada kabar lagi dari Ayya.
Maka kukeluarkan ponselku. Dan benar, ada satu pesan dari Ayya tertangkap di layarnya.
08.13
Mas Yusuf mau ke sini kapan? Siang nanti bakda dhuhur kami berangkat ke Mekah.
Qodarullah. Aku buru-buru hendak menuju Madinah karena khawatir terlewat kesempatan bertemu ibu dan adikku. Dan ternyata siang nanti keduanya akan menuju ke Mekah, kota yang baru sekelebat kutinggalkan.
Huft... Aku menarik napas panjang. Mencoba berpikir dengan jernih agar bisa mengambil keputusan, hendak melanjutkan perjalanan atau kembali ke Mekah.
Baiklah. Tolong infokan padaku nama travelnya. Aku dari Mekah menuju Madinah. Memaksakan bertemu di Madinah mungkin tak akan bisa.
Kutunggu kau di Dzulhulaifah.
Kubalas pesan Ayya dengan keputusan yang terlintas begitu saja di kepala. Ada canggung terbaca di sana.
***
Yaaahh, Yusuf masih belum ketemu Ayya dan Ibu.
InsyaAllah di part selanjutnya yaaa 😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro