Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3. Ujian Tambahan

Apakah ini yang namanya cinta?
Mungkinkah aku jatuh cinta?
Tapi kenapa Ayya, dia adikku.

Aku tak tahu, tapi juga tak mampu untuk mencari tahu kepada orang lain dengan bertanya. Aku hanya bisa menyimpan rapat-rapat perasaan itu.
Aku tak lagi nyaman berada di rumah. Lebih tepatnya berada di dekat Ayya.

Semenjak itu, bukan sepuluh dua puluh kali aku merapal istighfar dalam sehari. Mungkin beratus, bahkan beribu kali. Sejak saat itu pula, aku tak pernah terlewat menjalankan salat taubat di setiap penutup malamku. Tak pernah pula aku absen dalam sujud panjang di pembuka hariku untuk meminta-Nya menghapus nama Ayya dari hatiku.

Ya Rabb, ujian macam apa yang Kau kehendaki untuk kulalui, hingga aku harus jatuh cinta pada adikku sendiri.

Bertahun aku menarik diri dari Ayya, juga ibu. Berbagai alasan kubuat agar aku tak harus pulang ketika libur panjang datang. Pun tak harus berlama di rumah saat Idul Fitri tiba.
Sungguh, aku begitu tersiksa.
Sudahlah jatuh cinta pada adikku sendiri, tak pula bisa kubagi penderitaan ini pada orang lain. Dan tentu saja harus kutahan pula rindu yang teramat sangat pada ibu.

Ya Rabb, ampuni aku. Ampuni aku atas perasaan yang seharusnya tak muncul dalam diri ini.

Entah berapa puluh ribu kali aku memohon ampunan. Tapi rasa itu tak juga beranjak menjauh, apalagi menghilang. Aku bahkan sempat protes kepada Sang Maha Cinta, karena telah meletakkan cinta pada tempat yang tak seharusnya. Hingga akhirnya aku menyerah. Aku berserah. Lalu memutuskan untuk menjauh dan melupakan semampuku.

Aku menyibukkan diri dengan hafalan Al Quran, dengan belajar lebih banyak dari teman-temanku. Bahkan berusaha keras untuk bisa mendapatkan beasiswa ke luar negeri setelah lulus dan menyelesaikan masa pengabdianku nanti. Aku harus menjauh dari Ayya, meski itu berarti aku harus pula menjauh dari ibu.

Hingga hari yang tak pernah kuharapkan, meski kutahu akan tetap datang, itu benar-benar datang menyapa.

"Yusuf, kamu nggak pernah bilang punya adik cantik." Kata Wahid waktu itu.

"Maksud kamu?" Aku balik bertanya.

"Itu, anak-anak pondok putra pada kasak kusuk katanya ada adikmu diantara santri putri baru." Wahid menjelaskan.

Sedangkan aku hanya diam. Dalam hatiku menjerit,
"Ya Rabb, saat yang begitu ingin kuhindari akhirnya menghampiriku juga."

Ingatanku kembali terseret pada hari di mana ibu mengajak Ayya ke pesantren ini untuk melihat lingkungan yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai jenjang Aliyah nanti. Sekaligus menjemputku untuk berlibur di rumah.
Saat-saat pertama aku merasakan desiran aneh ketika bersentuhan dengan Ayya.

Aaaarrgghhhh... Rasanya aku ingin berteriak.

Aku tahu, sangat tahu, bahwa Ayya mau melanjutkan mondok di tempat yang sama denganku. Awalnya aku pun mendukung niat ibu ini, tapi tidak setelah kejadian itu. Aku tak lagi menginginkan ini. Bahkan kalau saja bisa, aku ingin ibu berubah pikiran.
Berbagai alasan kuberikan, sampai akhirnya yang aku bisa hanya 'minimal aku tak harus mengurus ini itu untuk pendaftaran Ayya'. Rasanya aku sudah mentok.
Tapi apa dayaku, yang kemudian aku bisa hanya diam dan berdoa. Itu pun aku tak bisa memaksa-Nya mengabulkan doaku.
Dan memang, doaku kali ini belum dikabulkan lagi.

"Heh, malah ngelamun. Kuatir ya adikmu digodain anak-anak sini? Hahaha." Wahid meledekku.

Sedangkan aku masih sibuk berkutat dengan pikiran dan perasaanku sendiri.

Ya Rabb, ujian tambahan apalagi yang hendak Kau berikan padaku.
Ratapku dalam hati.

Sesudah Ayya menjadi adik kelasku di pesantren yang sama, aku mencoba meminta Pak Kyai agar memindahkan aku untuk pengabdian ke luar pondok. Aku beralasan ingin mencari pengalaman yang berbeda karena hampir seluruh hidupku sudah kuhabiskan di tempat ini. Tapi Pak Kyai tidak mengabulkan permintaanku karena menurut beliau alasanku tidak bisa diterima. Justru karena aku cukup lama tinggal di sini, maka aku termasuk yang dianggap paling tahu dan paling tepat mengabdi di sini.
Sedangkan untuk mengatakan alasan yang sebenarnya, tentu saja tidak mungkin kulakukan. Apa kata beliau kalau tahu aku yang penghafal Al Quran, yang santri terbaik, yang calon penerima beasiswa ke Universitas Islam Madinah, yang notabene punya cukup ilmu tentang agama, tapi jatuh cinta pada adiknya sendiri. Jatuh cinta pada seseorang yang jelas-jelas adalah mahram bagiku, orang yang haram untuk kunikahi.
Astaghfirullah...

Hari-hari selanjutnya adalah penderitaan yang lebih bagiku. Tak bisa kuhindari frekuensi bertemu dengan Ayya yang tentunya jauh lebih banyak dari sebelumnya. Belum lagi aku harus bersikap biasa saja di depan begitu banyak orang di sekelilingku yang hampir semua tahu kalau Ayya adalah adikku.
Rasanya tak sabar untuk segera menyeberang samudra menuju Madinah dan menjauh dari segala rasa ini, selamanya.

Dan sore ini, setelah hampir empat tahun aku berkutat dengan kesibukanku di Madinah, Harun datang dan membawa kabar yang tak pernah aku harapkan.

Hampir empat tahun sudah aku menjauh dari Ayya. Selama itu pula aku harus menahan kerinduan pada ibu. Meski rasanya tidak adil, tapi aku yakin ibu mengerti. Bahkan mungkin ibu tahu, ada yang kurisaukan di dalam hati.
Dan sepanjang itu juga, tak sedikit pun aku berkabar berita, meski rindu pada mereka begitu meletup-letup di jiwa.

Namun aku musti jujur mengakui, bahwa meski telah begitu lama, tapi perasaanku kepada Ayya rasanya tak sedikit pun berbeda.
***

Sedih nggak sih kalo ngebayangin jadi Yusuf?
Doakan yaaa biar endingnya happy 😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro