Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 23. Berdua Dengannya

Lagi-lagi aku sedikit minder ketika memasuki hotel yang letaknya tak jauh dari pintu 25. Beberapa kali mendampingi jamaah, tapi tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di hotel ini. Satu dari sekian hotel mewah yang terletak di ring satu Masjid Nabi.

Tak begitu kupedulikan lobi hotel yang megah, juga setiap petugasnya yang ramah. Bergegas menuju lift, dan memencet angka sesuai lantai tempat kamar yang ditempati Ayya berada. Tujuanku hanya satu, istriku.

Tiba di depan pintu, ada ragu menyelinap. Rasa bersalah dan malu sama-sama mengendap. Kuurungkan niatku mengetuk pintu. Aku duduk sekenanya, mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sebuah pesan untuk dia yang di dalam sana.

[Ayya, aku di depan pintumu. Tak membawa apa-apa, hanya rindu]

Aku bahkan belum sempat bernapas, tapi centang abu-abu telah berubah menjadi biru. Dan belum sempat bangun dari dudukku, suara terbukanya pintu lebih dulu menerobos gendang telingaku.

Perempuan cantik berpashmina ungu muda berdiri di hadapanku. Aku tergesa berdiri, menariknya masuk dan mengunci pintu. Segala rasa yang tadi berjejalan mendadak hilang begitu saja. Rasa bersalah, malu, marah, cemburu, semua terkalahkan oleh rindu.

Kupeluk dia yang kini sepenuhnya menjadi milikku sendiri. Menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi. Dan malam kami beberapa hari lalu pun terulang kembali.

***

Puncaknya malam telah berlalu, sepertiga malam yang kedua hampir usai. Kami belum tidur, namun telah menyelesaikan qiyamul lail.

Kamar yang kami tempati sungguh teramat nyaman, bahkan kantuk pun sepertinya enggan datang. Mungkin mereka turut sibuk menikmati fasilitas di ruangan ini hingga terlupa menyerang kami.

Dominasi warna coklat muda dan merah marun memanjakan mata. Dari jendela, dua menara masjid menjulang seakan menyapa. Kugeser sofa, menghadapkannya ke jendela. Dari baliknya, suasana malam di kota Nabi yang selalu menenteramkan hati terekam di netra kami. Di atas sofa merah, aku merangkul pinggang Ayya, yang menyandarkan kepalanya pada bahu kiriku.

"Ay, maafkan aku ya."

"Untuk apa?"

"Untuk sikapku sore tadi."

"Nggak ada masalah, kan Mas udah di sini buat aku."

"Jujur saja, aku cemburu, Ay."

"Mas Zainal?"

"Hemm. Tapi itu tadi. Sebelum aku sadar, tak seharusnya ada perasaan seperti itu."

"Kenapa enggak? Ayya suka kok dicemburuin sama Mas. Berarti Mas beneran cinta sama aku."

"Enam tahun menunggu, dan kamu masih meragukan perasaanku?" Kucubit hidungnya yang lancip, dia tertawa.

"Ay, maafkan aku."

"Untuk apa lagi?"

"Untuk tak bisa memberimu fasilitas seperti yang diberikan oleh keluargamu. Nantinya kamu harus siap hidup sederhana denganku."

"Baba punya rumah di Madinah, dan dia mau kita nempatin rumah itu. Mas suka mobil apa? Baba mau kasih juga buat kita."

"Kalau seandainya aku menolak semua kebaikan keluargamu, apakah kamu tetap mau mengikutiku?"

Dia diam.

Sejak dulu, ekonomi menjadi masalah buat kami. Sepulang dari Saudi dengan membawa Ayya, ibu bekerja seadanya untuk hidup kami. Sebenarnya ibu memiliki tabungan dari Tuan Thariq dan Ibu Rusmi, tapi ibu menggunakan sehemat mungkin dan hanya untuk keperluan Ayya. Ibu sendiri sebenarnya tak begitu yakin akan bisa bertemu kembali dengan ayah dan ibu Ayya, itulah sebabnya ibu terpaksa mengajak Ayya hidup prihatin di desa kami. Ternyata jalan hidup membawa kami semua pada keadaan saat ini.

Sejatinya aku tak enak hati, antara minder tapi juga harus menegakkan harga diri. Aku laki-laki, meski tak punya banyak harta, tentu saja aku ingin membahagiakan istriku dari hasil keringatku sendiri.

Di sisi lain, aku merasa sedikit tak tega. Ayya, yang dari kecil hidup pas-pasan bersama kami, qodarullah mempunyai kesempatan untuk berkumpul kembali dengan keluarganya yang --ternyata-- kaya raya. Si anak hilang itu dihujani dengan segala kemewahan yang tak pernah dia dapatkan hampir seumur hidupnya.

Dan aku datang, cuma punya cinta yang sudah terpendam sekian lama. Lalu berniat membawanya menjauh dari segala fasilitas nomor satu yang baru saja akrab dengan hari-harinya. Sungguh, aku merasa ini tidak adil baginya.

Dia masih diam.

"Oh, mungkin sebaiknya kau tetap tinggal di Jeddah, aku tetap di sini. Aku akan ke sana sepekan sekali. Kurasa itu jauh lebih adil buat kamu, Ay."

"Enggak. Ayya nggak mau!" sahutnya secepat kilat.

"Bahkan kalaupun harus kehilangan semua fasilitas nomor satu, Ayya tetap memilih untuk sama Mas Yusuf."

"Nggak apa-apa, Ay. Aku sudah biasa berjauhan dengan keluarga. Kalau harus berjauhan lagi sementara, tentu bukan masalah yang berarti buatku, Ay. Apalagi jarak kita sekarang tak lagi sejauh Saudi-Indonesia."

"Tapi Ayya nggak mau. Sekarang aku seorang istri, mana bisa jauh dari suaminya?"

"Oke. Setidaknya sampai aku dapat rumah untuk tinggal kita berdua ya. Tak harus besar kan Ay?"

"Nggak lah. Bahkan kalaupun rumah kita nanti cuma cukup buat tidur aja, Ayya tetap maunya sama Mas."

"Kamu manja banget sih. Masalahnya kalau cuma cukup buat tidur nanti aku nggak bisa ke mana-mana, suruh nemenin kamu tiduran melulu." Kucubit hidungnya lagi, dia balas mencubit perutku. Kami tertawa bersama. Sungguh, dunia serasa milik berdua.

"Kapan kita mau cari rumahnya?"

Satu pertanyaan yang belum siap kujawab tapi sudah kuduga akan kudapat. Aku yang memulai obrolan tentang ini, tentu saja aku harus pula menyiapkan jawaban untuk pertanyaan yang terkait dengan ini.

Masalahnya tabunganku yang memang tak banyak telah pula menipis. Mengerjakan skripsi ditambah dadakan menikah tentunya cukup mengurasnya hingga hampur habis. Sedangkan menyewa tempat tinggal di sini jelas tak semurah di desa kami.

"Eh, emm, itu emm soal itu biar jadi urusanku saja. Besok pagi kau kuantar dulu ke Jeddah. Kasih aku kesempatan untuk menyelesaikan urusan kampus. Setelahnya aku akan mencari info tentang flat atau apartemen yang bisa kita sewa. Baru aku akan menjemputmu untuk ikut melihat dan memberi pertimbangan mana yang akan kita pilih."

Ah, kenapa harus gugup segala?

Aku terpaksa mencari alasan, meski memang demikian yang sejak sebelumnya kurencanakan.

"Mas masih punya tabungan?"

"A-ada. Ada. Masih ada. Kau tak perlu khawatir."

Ah, gugup lagi. Aku baru sadar, menyandang status suami ternyata tak semudah yang ada dalam bayangan. Merasa tak berhasil membahagiakan istri karena keterbatasan materi ternyata bisa sebegini menyakitkan.

Atau mungkin aku yang terlalu meragukan istriku sehingga kekhawatiran ini menghinggapi?

Astaghfirullahaladziim. Ayya sudah sebaik ini, mengikhlaskan semua kemewahan dunia demi mengabdi padaku sebagai seorang istri. Tak adil jika aku masih menyimpan keraguan pada kesiapannya.

"Apa tabungannya kurang? Kalau Mas tetap nggak mau menempati rumah baba, Mas bisa pakai mahar yang kemarin Mas kasih buat Ayya." Dari bibir merah istriku, sebuah niat baik terucap. Di hatiku, sekeping duri tertancap. Kuhela napas panjang, mencoba mengusir kegalauan dalam sekejap.

"Nggak, Ay. Terima kasih banyak. Itu hakmu. Sekalipun aku tak mampu, aku tak akan mengambilnya untuk keperluanku." Naluri qawwam-ku terlukai, namun aku tak sakit hati pada perempuan dalam pelukanku ini.

"Tapi itu keperluan kita, Mas. Bukan keperluan Mas saja."

"Tidak akan begitu kalau aku tak berkeras dengan kemauanku, Ay. Itu mauku. Aku yang akan berusaha untuk menyelesaikannya. Kamu nggak usah mikirin itu. Insya Allah akan ada jalan untuk setiap niat baik. " Meski yakin Ayya benar-benar tak mempermasalahkan ini, tetap saja ada yang nyeri di hati.

"Justru karena itu hakku, maka aku boleh menggunakannya untuk apa saja. Dan aku ingin menggunakannya buat keluarga kita. Boleh ya, Mas?"

"Sudah larut, Ay. Kita tidur." Kupaksakan untuk menutup perbincangan kami malam ini.

Aku bangkit. Menarik gorden coklat muda hingga menara masjid Nabi tak lagi tertangkap oleh netra. Ayya masih membeku di sofa. Untuk yang satu ini aku tak ragu, kugendong ia menuju tempat peraduan kami berdua.

Ayya tertawa, melingkarkan tangannya di leherku. Tak sedikit pun rasa gentar tergaris di wajahnya, akan hidup yang akan kami jalani setelah ini. Hanya raut bahagia, seolah hanya dengan bersamaku ia tak lagi menginginkan yang lainnya.

Kami merebah bersisian, jemari kami saling bertautan. Sebuah cerita panjang tentang penantianku padanya mengalir begitu saja.

Enam tahun bukan waktu singkat bagi sebuah penantian. Sedangkan yang kutahu rasa itu adalah sesuatu yang diharamkan. Semua begitu sulit, hingga kadang aku berkeluh pada-Nya tentang setiap rasa sakit. Meski berusaha membuang jauh, nyatanya rasa cinta itu tak jua merapuh. Sampai akhirnya satu per satu kisah terurai, dan atas seizin-Nya, cintaku berlabuh pada dermaga di mana aku ingin melempar sauh.

Ayya menangis, terharu atas penderitaan yang telah bertahun menemaniku. Sedang aku tertawa. Apalah artinya setiap derita, jika  pada akhirnya berujung bahagia. Sesungguhnya hikmah hanya Dia berikan pada mereka yang bersedia bersabar, serta bertahan pada skenario-Nya. Skenario terbaik, untuk setiap ciptaan-Nya.

"Tidurlah, besok pagi aku akan mengenalkanmu pada sosok seorang ayah. Yang sudah kurindukan, bahkan jauh sebelum aku menantimu. Ia meminta kita menemuinya, hendak membawa kita pada satu tempat yang masih dirahasiakannya."

"Tempat apa? Di mana?"

Aku menggeleng. Memang tak kutahu jawabannya.

"Harusnya Mas tanya." Istriku merajuk, manja.

"Hanya sampai besok pagi, dan kita akan tahu tempat yang dimaksudnya. Masa iya, menunggumu enam tahun saja aku bisa, tapi cuma menunggu sampai besok pagi aku kebanyakan tanya?"

Dia tertawa. Kukecup keningnya, lalu kami bersepakat untuk menutup malam ini dengan syukur sebanyaknya.

***
Note: gambar saya ambil dari akun instagram dallahtaibahotel

***

Dear kalian yang sudah nungguin Yusuf dan Ayya.

Akhirnya mereka berdua kembali menyapa. Maafkan ya kalau banyak kekurangan pada ceritanya. Soalnya nulisnya langsung di-up aja. Biasanya berulang saya baca edit baca edit dulu sebelum akhirnya menyapa teman-teman semua. Yang ini enggak. Hehe... Semoga kalian tetap suka ya.

Jangan lupa tinggalkan vote dan komennya ya. Saya suka lho baca komentar dari teman-teman semua.

Baiklah.
Terima kasih dan sampai jumpa.

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro