Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 20. Sejak Pertama Menangis di Pelukanmu

Cuaca Jeddah cerah pagi itu, secerah cuaca hatiku, seakan musim semi berpindah ke dalam sana. Dan makin cerah, ketika aku akhirnya bertemu sahabatku Zainal, sekaligus Harun.

Yang kulakukan pertama tentu saja meminta maaf pada Zainal. Tapi entah terbuat dari apa hatinya, ia tetap bersikap seperti biasa, akrab dan perhatian. Tak sedikit pun tertangkap di dirinya rasa marah, sebal, kesal, bahkan cemburu. Sepertinya setiap yang dia lakukan modalnya adalah tawakaltu'alallah, menyerahkan semua hanya kepada Allah, sehingga ia tak mudah sakit hati atas apapun kejadian yang menimpanya.

Ah, padanya aku semakin merasa bukan apa-apa.

Aku sungguh merasa sangat beruntung dikelilingi orang-orang baik. Termasuk calon mertuaku, Tuan Thariq, yang tak memandang manusia dari suku, asal, harta ataupun nasab. Juga tak diributkan dengan adat istiadat. Yang terpenting adalah sesuai syariat.  Alhamdulillah.

"Udah siap, Mas?" tanya Harun padaku.

"Insya Allah. Kamu?"

"Insya Allah siap, Mas. Pokoke nderek kersaning Gusti wae." Kutepuk bahunya tanda setuju.

Rasanya semua terjadi secara tiba-tiba. Harun dan Zainal yang dulu antri menjadi 'adik iparku', nyatanya detik ini ada di depanku sebagai calon kakak-kakak iparku. Aku yang kemarin bersiap patah hati, detik ini justru bersiap menjadi suami dari yang sebelumnya kupikir akan mematahkan hati. Qodarullah wa ma sya'a fa'ala.

***

Kami bertiga melangkah menuju ruang keluarga Tuan Thariq. Ruangan besar itu telah ditata sedemikian rupa untuk akad nikah tiga putri Tuan Thariq. Para kerabat pun telah memenuhi hampir seluruh ruangan tersebut, tentu saja hanya yang laki-laki saja. Sedangkan kerabat yang perempuan, termasuk ibu, ada di ruangan lain bersama pengantin perempuan.

Petugas pencatat pernikahan dari institusi terkait di Saudi juga telah hadir, mungkin mereka sempat terkejut karena mempelai yang didaftarkan sebelumnya berubah. Bahkan ada tambahan dua pasang mempelai lain yang mendadak akan menikah juga di saat yang sama.

Aku sendiri tak mengerti bagaimana urusannya dengan mereka, apakah pernikahan akan langsung tercatat sesuai prosedur dalam hukum negara, atau hanya secara agama dulu saja. Karena jujur aku tak membawa dokumen apapun. Hanya kemarin setelah aku berkata akan menikahi Ayya, beberapa dokumen diminta dan aku mengambilnya dari file di emailku.

Tuan Thariq dan Zainal telah memulai prosesi ijab qabul. Kemudian akan dilanjutkan dengan Harun, terakhir adalah aku.

Jantungku berdegup sekian kali lebih cepat, namun aku mencoba untuk tetap tenang. Meski baru semalam kalimat qabul kuhafalkan, aku yakin akan bisa melafalkannya dengan baik dan tenang.

"Ya Yusuf bin Abdullah, uzawwijuka 'ala ma amarallahu min imsakin bi ma'rufin au tasriihim bi ihsanin.

"Ya Yusuf bin Abdullah, ankahtuka wazawwajtuka mahtubataka binti Ruqayya...," suara Tuan Thariq tersendat. Ia berhenti, menahan isak.

Ali yang duduk tak jauh darinya menyodorkan sehelai sapu tangan, ia menepuk bahu ayahnya, lalu menggeser duduknya mendekat dan berbisik sesuatu pada laki-laki yang sedari kecil terpisah dengan salah seorang anak perempuannya. Entah apa, namun sejurus kemudian sang ayah kembali menemukan ketenangan. Ia menghela napas, panjang.

"Ya Yusuf bin Abdullah, ankahtuka wazawwajtuka mahtubataka binti Ruqayya bi mahri alf wa khomsu miah riyal wa khomsatu jaraamun min dzahaba wa mushaf Al Quran naqdan."

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkuri naqdan." Aku melafalkan kalimat qobul dengan tenang namun tegas. Ada haru menyeruak.

Lega dan bahagia. Semua beban yang menghimpit seakan lepas. Hatiku terasa lapang, luas.

Alhamdulillah. Masyaa Allah laa quwwata illa billah.

***

Siang berselang, sore menjelang, saat akhirnya aku bersama dengan Ayya. Hanya kami berdua.

Sejujurnya aku bingung hendak berkata apa, juga hendak melakukan apa. Cuma menyungging senyum dalam bahagia yang seolah tak ada habisnya. Memperhatikan setiap gerak gerik istriku yang sedang membereskan diri dari berbagai assesoris yang menempel di tubuhnya. Aku diliputi kecanggungan.

"Mas Yusuf kenapa sih senyum-senyum sendiri? Tolong bantu Ayya lepasin kalungnya ya. Geli." Ia mendekat dan duduk di sebelahku. Mengangkat bagian belakang kerudung hingga terlihat tengkuknya yang putih dan jenjang. Aku menelan ludah. Melepas pengait kalung dengan susah payah tersebab gemetar.

"Ayya tuh nggak kuat pake kalung. Geli. Takut gatel juga. Soalnya nggak pernah pake," katanya sambil tertawa kecil. Aku merasa nggak enak hati.

"Maaf ya, Ayya. Maafkan ibu. Maafkan kami."

"Kenapa Mas Yusuf ngomong begitu?"

"Emm, ya karena ibu mungkin tak bisa membelikanmu kalung dan semacamnya hingga detik ini. Juga karena aku tak bisa memberimu mahar yang semestinya, sesuai dengan kedudukan keluargamu. Aku hanya punya seadanya, untuk seseorang seistimewa kamu."

"Mas Yusuf ngomong apa sih? Ayya nggak suka! Bahkan sekalipun Mas Yusuf cuma bawa mahar hafalan surat Al Fatihah pun Ayya akan tetap menerima." Dia lalu memelukku, menumpahkan tangis di dadaku. Aku balas memeluknya erat. Sangat erat. Rasanya tak ingin kulepaskan sampai kapanpun juga.

Mengendurkan pelukan, ia menatap mataku tajam. Menangkup kedua pipiku, lalu berkata, "Maafkan Ayya ya, Mas. Gara-gara Ayya, cita-cita yang Mas Yusuf punya mungkin jadi sedikit terganggu."

"Memangnya kau tau apa cita-citaku?"

"Nyelesein skripsi, trus lanjut kuliah S2. Dan mungkin, menikah dengan seseorang yang Mas Yusuf cintai." Ada cemburu di bening netranya saat mengatakan itu.

"Kamu ternyata sok tau juga ya." Kucubit kecil hidungnya yang mbangir.

"Sebenarnya, cita-citaku adalah...." Sengaja kugantung kalimatku.

"Apa?" rajuknya manja, mengundang desir-desir halus di dalam sana.

"Menikahimu!"

"Bohong. Mas Yusuf pasti bohong. Pasti cuma gombal. Ngerayu aja biar aku nggak merasa bersalah. Iya kan?"

"Ya sudah kalo nggak percaya. Anggap saja begitu juga nggak apa-apa." Aku pasrah saja.

"Iih, dilanjutin dulu kek rayuannya." Sekali lagi ia merajuk, lalu membenamkan wajahnya dalam pelukanku. Kuciumi pucuk kepalanya dengan penuh cinta.

Ah, ternyata perempuan memang demikian. Seperti yang sering kudengar, bahwa mereka suka digombalin, sekaligus bersikap jual mahal dalam waktu bersamaan. Duh, yo angel to yo!

"Ayya, sebenarnya sejak kapan kamu mau aku?" Ah, sungguh pertanyaan yang enggak banget. Tapi sudah terlanjur.

"Sejak pertama kali Ayya nangis di pelukan Mas Yusuf," jawabnya. Sederhana dan jujur.

"Kapan memangnya?"

"Iih, masa Mas Yusuf lupa sih. Jahat!" Dia melengos sebal. Aku jadi gemas.

"Tapi kan nggak di pelukanku, wong kamu yang meluk, aku enggak," godaku padanya.

"Hiih, Mas Yusuf jelek. Menyebalkan." Dia hujani aku dengan cubitan. Sekali lagi baru ku tahu, kalau ternyata cubitan perempuan tuh rasanya celekit-celekit ya? Nggak cuma di kulit, tapi juga di hati. Geli.

Kuraih tubuh semampainya, kupeluk dengan sepenuh jiwa.

"Ssstt, karena waktu itu memang harusnya belum boleh. Tapi kumaklumi, keadaan membuatmu demikian. Mulai sekarang aku janji, aku akan memelukmu setiap saat.

"Nah, sekarang kita bersih-bersih dulu ya. Biar nanti sebelum maghrib kita udah siap." Ayya mengangguk.

"Eh, Mas. Kita salat maghribnya di Masjidil Haram yuk," ajaknya tiba-tiba. Dan idenya berhasil membuatku kaget.

"Jauh amat. Lagipula besok aku harus pulang ke Madinah. Kau tau kan, lusa aku sidang skripsi?"

"Nggak apa-apa. Kalo perlu Ayya ikut ke Madinah. Kita berangkat besok pagi-pagi dari Mekah."

"Ayya, nggak usah macem-macem deh. Aku nggak mau kamu ada di Madinah pas aku sidang. Aku takut konsentrasiku terganggu. Kamu janji ya nunggu di sini saja sama ibu dan keluargamu. Ya?"

"Oke, Ayya janji. Tapi malam ini kita salat maghrib dan isya di Haram ya? Pokoknya Mas Yusuf harus bilang iya."

"Astagfirullah, ternyata istriku ini keras kepala juga."

"Iya deh, Mas coba bilang ke Tuan Thariq dulu. Tapi kalo enggak diijinkan kamu jangan ngeyel ya." Aku mengalah, dia mengangguk. Lalu memelukku sekali lagi. Ada riang di kilatan matanya, seperti anak kecil yang dikabulkan kemauannya.

***

Pada akhirnya, bukan hanya izin yang kami dapatkan, tetapi fasilitas nomor wahid yang bahkan tak pernah terlintas sedikit pun meski hanya dalam bentuk impian.

Dan di sinilah kami malam ini. Di ketinggian lantai 51 Makkah Clock Royal Tower, Fairmont Hotel. Memeluk Ayya dari belakang, sambil memandang tempat terindah yang ada di muka bumi. Melewati malam pertama, yang kami habiskan hanya berdua saja.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro