Part 2. Dia Adikku
"Oh ya, Mas. Kemarin saya lihat Ayya di Madinah. Eh, betul ya namanya Ayya?"
Kalimat Harun menyentak hatiku.
"Eh... Iya, itu. Eh maksudnya Ayya yang mana ya?"
Aku merutuk dalam hati menyadari kegugupan yang mendadak muncul.
"Itu yang adiknya Mas Yusuf, yang dulu masuk pondok kita juga. Dulu kan dia terkenal juga di pondok putra, terkenal karena adiknya Mas Yusuf. Hahaha." Harun bicara lagi.
Rupanya Harun ini memang senang bicara dan bercerita. Tapi kata-katanya kali ini membuatku tersekat. Sungguh, aku terkejut dengan apa yang baru saja dia sampaikan.
"Oh, iya. Ayya adikku. Kamu ketemu di mana? Dia ngapain?" Aku bertanya. Hatiku bergemuruh tak karuan.
"Ketemu di Madinah, Mas. Dia Umroh juga. Saya nggak sengaja ketemu di halaman Nabawi dua hari lalu. Katanya dia pergi dengan ibu.
Lha apa Mas Yusuf nggak tahu?"
"Nggak. Eh, maksudnya iya aku tahu." aku menjawab, masih dengan gugup yang belum juga mereda.
"Oh iya, ini nomornya Ayya, kemarin saya sempat minta." Harun memberiku nomor ponsel Ayya tanpa diminta.
Dia mencari nomor Ayya di layar ponselnya, lalu menunjukkan kepadaku. Aku mencatatnya sambil susah payah menyembunyikan gemetar yang mendadak menyerang tubuh dan tanganku.
"Eh, Mas Yusuf kan kakaknya, pasti sudah punya lah ya nomornya Ayya. Lupa saya. Hahaha." Harun menyadari kekonyolannya dan menertawakan dirinya sendiri.
Sedang aku bersyukur dalam hati, dia menyadari kekonyolannya setelah aku selesai mencatat nomor ponsel Ayya. Karena aku memang nggak punya, nggak tahu, apalagi menyimpan nomor Ayya.
"Nggak apa-apa, Harun. Sekalian ngecek, mana tahu nomornya ganti.
Syukron, Harun. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan, ya." Aku buru-buru meninggalkan Harun setelah mengucapkan terima kasih kepadanya. Tak ingin dia melihat ada yang mendadak berubah pada diriku.
Ah, pertemuan dengan Harun benar-benar mengacaukan pikiranku. Juga hatiku. Benakku penuh sesak dengan kenangan tentang Ayya, adikku. Ya, dia adikku.
Berkali-kali kurapal istighfar sembari menahan kecamuk di dalam dadaku.
Ayya. Dia adikku.
Dulu, ketika umurku masih satu tahun, aku sudah harus menerima nasib menjadi anak yatim. Lalu ibu meninggalkanku di desa dengan nenek untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita di Arab Saudi. Tiga tahun kemudian ibu terpaksa pulang karena nenek meninggal dunia dan tidak ada yang merawatku saat itu. Tapi ibu tidak sendiri, dia membawa seorang gadis kecil berusia hampir satu tahun. Namanya Ayya. Kata ibu dia adalah adikku. Aku sendiri tidak banyak bertanya karena waktu itu aku belum tahu tentang banyak hal, apalagi urusan orang tua. Bahkan sampai aku besar, aku tak pernah bertanya pada ibu tentang Ayya. Siapa ayahnya? Di mana keberadaannya? Kenapa ibu yang harus merawatnya seorang diri? Dan banyak hal lagi. Aku takut menyakiti perasaan ibu.
Tapi aku sangat menyayangi Ayya, mungkin karena dia satu-satunya saudaraku. Meski demikian, aku hanya sempat dua tahun menjalani peran sebagai seorang kakak sepenuhnya bagi Ayya, karena saat umurku enam tahun ibu memasukkan aku untuk menuntut ilmu di pesantren. Dan sejak saat itu aku hampir tidak pernah bertemu dengan Ayya, juga ibu. Hanya saat liburan saja aku pulang, itu pun tidak selalu.
Aku masih ingat. Sangat ingat.
Umurku menjelang tujuh belas tahun waktu itu. Aku baru saja naik kelas tiga di jenjang Aliyah. Sedangkan Ayya naik kelas tiga di salah satu SMP Negeri di kota kecamatan tempat rumah kami berada. Ibu menjemputku untuk menghabiskan liburan di rumah. Ini tidak biasanya, karena aku terbiasa pulang sendiri sejak masuk Tsanawiyah.
"Tumben Ibu jemput Yusuf? Harusnya nggak usah nggak apa-apa, Bu. Kan Yusuf sudah biasa pulang sendiri. Lagipula kasihan Ibu, repot dan capek." tanyaku waktu itu.
"Ibu bukan sekadar mau menjemput kamu, tapi sekalian mau mencari info. Insya Allah tahun depan Ayya mau masuk ke sini juga." jawab ibu.
"Ibu kan bisa minta tolong atau tanya-tanya ke Yusuf. Insya Allah Yusuf cukup banyak tahu tentang pesantren ini."
"Iya, tapi Ibu ingin Ayya sekalian melihat dan masuk ke dalam biar tahu dulu. Selama ini kan Ayya hampir nggak pernah masuk ke pesantren ini, terutama ke pondok putrinya."
"Iya, Bu. Insya Allah Ayya nanti akan betah kalau sudah di sini."
Aku tak mau berdebat lebih panjang lagi dengan ibu. Toh aku juga senang ibu menjemputku. Aku merasa istimewa, walaupun sedikit merasa seperti anak manja.
Dari pondok, kami pulang naik bus kecil yang penuh sesak, aku membantu Ayya untuk naik ke atas bus setelah memastikan ibu mendapatkan posisi berdiri yang cukup aman. Entah kenapa, ketika tanganku bersentuhan dengan tangan Ayya untuk menariknya naik ke atas bus, ada yang berdesir di dalam dadaku. Aku tak tahu apa itu. Yang aku tahu, selama hampir tujuh belas tahun hidup di dunia, dan hampir lima tahun memasuki masa baligh, baru kali itu aku merasakan rasa yang demikian.
"Ah, mungkin karena lama hidup di dalam lingkungan pesantren hingga aku jarang bertemu apalagi bersentuhan dengan lawan jenis."
Aku menepis prasangkaku sendiri.
Tapi ternyata saat di rumah pun tak berbeda. Aku merasakan debaran yang aneh setiap kali memandang atau berdekatan dengan Ayya.
"Mungkinkah ini yang namanya jatuh cinta? Tapi Ayya kan adikku."
***
Iiih, masa iya sih Yusuf jatuh cinta sama Ayya? Kan nggak boleeehh.
See you next part, yaaa.
(sambil mikir lanjutannya entar gimana 😅)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro