Part 19. Segalanya Berubah Seketika
Waktu menjelang isya ketika aku sampai di rumah megah keluarga Ayya. Wajah-wajah tegang kutemui di sana. Ibu, Bu Rusmi, juga Tuan Thariq yang terutama. Tapi aku tak melihat Ayya maupun Zainal diantaranya.
"Assalamualaikum, Yusuf. Alhamdulillah kau memenuhi permintaan kami." Tuan Thariq memelukku erat. Ada kelegaan meski ketegangan masih tergurat pula di wajahnya.
"Waalaikumussalam." Kusalami satu per satu mereka bertiga. Memeluk ibu dengan bahagia.
"Bagaimana kabarnya, nak Yusuf?"
"Alhamdulillah sehat, Bu." sahutku pendek, menyambut jawaban Bu Rusmi.
"Apa yang bisa saya bantu sehingga saya harus ke sini tanpa bisa menawar waktu?" tanyaku lagi. Sengaja kupasang wajah dan nada datar pada kalimatku.
Ibu menatapku tajam, aku tak bisa menerjemahkan arti tatapan ibu.
"Ayya. Tolong temui dia." Tuan Thariq mencoba mengimbangiku. Datar dan tenang. Tapi tak bisa menyembunyikan rasa tegang.
"Ayya kenapa, Tuan? Kenapa saya harus menemuinya?"
"Ayya, dia..., dia berubah pikiran."
"M-maksudnya?"
"Begini, Yusuf. Dari sejak datang dia menunjukkan gelagat yang kurang bahagia. Sering menyendiri dan mudah emosi. Pagi tadi kami mencoba mengajaknya bicara, Alhamdulillah dia mau mengatakan apa penyebabnya."
"Lalu apa hubungannya dengan saya?" Aku masih tak menemukan korelasi sikap Ayya dengan bantuan yang diperlukan dariku.
"Dia tak mau menikah dengan Zainal. Dia maunya..., kamu."
Jedhuarrr. Bagaikan tersambar petir di siang bolong, aku terkesiap. Ini tidak mungkin!
"B-bukankah dia telah menerima pinangan dari Zainal beberapa waktu lalu?"
"Ya begitulah kenyataannya. Alhamdulillah kami tau sebelum hari H, jadi bisa kita usahakan solusinya. Sekarang kau temuilah dia. Jika memungkinkan, besok pagi pernikahan Ayya tetap dilangsungkan. Denganmu."
"Allahu akbar. Ini apalagi ya Allah?!"
"Bagaimana dengan Zainal, Tuan? Saya tidak mungkin menikahi Ayya dan menyakiti sahabat saya."
"Zainal insya Allah baik-baik saja. Kami sudah bicara padanya dan memberikan jalan keluar yang bisa diterima. Sekarang tinggal kamu dan Ayya. Kami mohon, temuilah dia dulu, Yusuf."
Kupandang wajah ibu, meminta pertimbangan dan persetujuan. Kurasa ibu tahu, meski semua itu tak terkatakan. Ibu mengangguk, meyakinkan aku dengan senyuman
"B-baiklah, Tuan. Akan saya coba bicara dengan Ayya." Hatiku bergemuruh tak karuan.
"Thariq, biar dia makan dan salat dulu. Kurasa perut yang cukup dan air wudhu bisa membuat pikirannya lebih jernih," saran ibu.
Ibu memang paling mengerti aku.
Maka aku pun makan ditemani ibu, lalu mengambil wudhu dan menjamak maghrib dengan isyaku. Setelahnya, Tuan Thariq mempersilakan aku untuk masuk ke ruang kerjanya. Sejuknya pendingin udara sedikit mengurai ketegangan dalam diriku. Ia keluar, memanggil putrinya. Perempuan yang empat tahun belakangan mengganggu hati dan pikiranku.
Tak berapa lama, Ayya masuk dengan wajah menunduk. Tuan Thariq menyuruhnya duduk di hadapanku, dan dia meninggalkan kami berdua di sana. Sebenarnya tak benar-benar berdua, karena vertical blind yang menghalangi pandangan dari balik kaca nan lebar dengan ruangan di luar telah dibiarkan terbuka.
Sekarang hanya ada aku dan Ayya. Juga sebuah meja kayu yang menjadi pembatas antara kami berdua. Aku berdehem, berusaha mengusir canggung. Hingga nyaris lima menit, hening masih betah berlama-lama bersama kami. Tentu saja tak bisa dibiarkan begini.
Kuhela napas panjang, lalu melepasnya perlahan. Kusebut asma-Nya, mengumpulkan kekuatan.
"Assalamualaikum, Ayya. Kamu kenapa, adikku?"
"Waalaikumussalam," jawabnya pelan. Lebih pelan dari desau angin yang menyelinap melalui lubang udara.
"Dan Ayya bukan adiknya Mas Yusuf," katanya lagi. Kali ini lebih keras. Suaranya parau, mungkin ia habis menangis cukup lama.
"Apa yang membuatmu sedih sampai suaramu hampir hilang begitu?"
"Kamu!"
"Hemm, baiklah. Mas udah tau permasalahanmu dari ayah dan ibumu. Kenapa? Kenapa kau berubah pikiran dan menginginkan aku? Zainal lebih segalanya dari aku, Ayya. Bersamanya kau akan bahagia."
"Bahagia bukan sekadar tentang siapa yang ada di samping kita, Mas. Buat apa di samping kita kalau tak ada di hati kita."
"Baiklah. Aku tak akan mendebatmu. Sekarang beritau aku, kenapa? Kenapa harus aku?"
"K-karena ak-aku..., aku ingin di dekat ibu, Mas. Selama ini ibu selalu bersamaku, kalo aku menikah dengan orang lain, nanti siapa yang akan merawat dan menemani ibu?"
"Tentang itu, tak perlu menjadi pikiranmu. Suatu hari nanti aku akan menikah, dan istriku yang kelak akan menemani dan merawat ibu. Insya Allah."
"Tapi itu yang Ayya nggak mau, Mas. Ayya..., cemburu."
"Aku bisa memahami, Ayya. Hampir dua puluh tahun, hanya ibu yang membersamaimu, maka ketika ada seseorang yang menggantikan kedudukanmu di dekat ibu, aku paham jika kau cemburu."
"Tapi dia juga yang nanti akan menemani dan merawat Mas Yusuf," Ia menyusut hidung, kemudian menghalau air yang mulai menggenang di kelopak matanya.
"Ya tentu saja begitu."
"Emm, Ayya ng-nggak m-ma--u."
"M-maksudmu?"
"Ayya cemburu sama perempuan itu Mas. Karena perempuan yang nantinya akan merawat dan menemani ibu, dia juga yang akan merawat dan menemani Mas Yusuf, juga anak-anak Mas Yusuf." Pertahanannya tak lagi kuat, dia menangis, terisak-isak di depanku.
Aku diam membisu. Tak perlu mencerna kata-kata Ayya, karena aku sudah tahu pasti apa maksudnya. Ia menangis bukan karena cemburu pada perempuan yang akan menemani ibu, ia cemburu karena perempuan itulah yang kelak juga akan menemani aku dan anak-anakku. Ia cemburu karena aku.
"Baiklah. Maafkan aku, Ayya. Maafkan aku yang pengecut, tak berani mengatakannya, hingga kau yang harus memulai semua ini.
"Aku tak akan membiarkanmu cemburu pada perempuan yang kelak akan menemani dan merawat ibu, Ayya. Karena aku akan menjadikanmu seseorang yang mengambil peran itu. Menemani ibu, menemani aku, juga anak-anak kita kelak.
"Sudah, jangan menangis lagi. Bersiaplah. Besok kita akan menikah!"
Aku berdiri. Meninggalkan dia di ruang kerja ayahnya. Sendiri. Aku merutuki diri. Malu. Pada diriku sendiri, juga pada Ayya. Tapi tidak pada-Nya, karena aku tau, memang beginilah skenario yang telah ditulis oleh Sang Maha.
Entah apa yang ada di hatiku sekarang ini, aku sampai tak tahu harus apa dan bagaimana. Antara kaget, sedih, merasa bersalah, tapi juga bahagia. Yang kuinginkan sekarang hanya berdua, bersama ibu.
Begitu membuka pintu, Tuan Thariq dan Bu Rusmi menjadi orang yang pertama kulihat. Mereka menyambutku dengan tatapan penuh harap.
"Bagaimana, Yusuf?"
"Insya Allah besok pagi saya akan menikahi Ayya. Tapi untuk malam ini, tolong ijinkan saya untuk bersama ibu saya. Dan besok pagi sebelum ijab qabul dilaksanakan, saya ingin menemui Zainal barang sebentar."
"Terima kasih, Yusuf. Kebahagiaan Ruqayya adalah kebahagiaan kami. Jika bahagianya adalah kamu, maka kamu jugalah yang menjadi kebahagiaan kami." Bu Rusmi memelukku, air matanya membasahi kemeja hitam yang kukenakan.
Aku pamit, menggamit lengan ibu yang menantiku dengan senyum menyejukkan. Dan malam itu, aku akan tidur berdua bersama ibu. Mungkin ini terakhir kalinya, sebelum statusku berubah menjadi suami.
"Bu, apa ibu mengatakan sesuatu pada Ayya?" tanyaku dengan hati-hati.
"Nggak, Le. Demi Allah, ibu nggak bilang apapun sama Ayya. Ibu saja kaget waktu kemarin tau bagaimana sebenarnya perasaan Ayya. Entah sejak kapan."
"Tapi Yusuf enggak enak sama Zainal, Bu. Yusuf merasa bersalah, merasa menjadi pengkhianat."
"Apa Thariq nggak cerita ke kamu to, Le?"
"Cerita apa?"
"Zainal. Thariq memintanya tetap menikahi putrinya, tapi bukan Ayya."
"Maksud Ibu?"
"Shafeeya dan Hafsha kan masih sendiri. Kecuali Sumayya, karena dia masih kuliah, belum mau menikah sebelum menyelesaikannya."
"Hah, Zainal disuruh nikah sama keduanya gitu, Bu?"
"Hush! Ya nggak gitu to. Kamu mau nikah kok dadi rodo rak pinter to, Le? Masih kaget po piye?" goda ibu mengundang tawaku.
"Ketika ditanya, Shafeeya dan Hafsha keduanya bersedia. Mereka kan nggak ada yang pacar-pacaran koyo kebanyakan wonge dewe to, Le. Gimana kata bapaknya mereka menurut."
"Lha terus yang mau dinikahi Zainal siapa?" Aku penasaran dong.
"Shafeeya."
"Oh."
"Nah, Thariq inget sama satu lagi temenmu yang ternyata juga suka sama Ayya. Yang dulu pernah ikut ke sini juga. Dia ditanya, mau nggak nikah sama Hafsha. Kalo mau ya hari ini harus sampai di Jeddah."
"Tunggu tunggu..., maksudnya Harun kah, Bu?"
"Iyo."
"Allahu akbar! Lha Harun mau nggak?"
"Yo gelem lah. Siapa yang nggak mau dinikahkan sama bocah ayu, baik, pinter, terjaga, sholihah. Cinta ki urusan keri. Wong paling mereka sama Ayya juga baru sebatas naksir dan berharap, bukan yang jatuh cintanya rada berat kayak kamu!"
Duh, kalimat terakhir ibu membuatku tersipu.
"Berarti besok Tuan Thariq menikahkan tiga putrinya sekaligus?"
"Iyo, tadi sore si Harun udah dateng kok dari Mesir."
"Allahu akbar!"
Aku lega. Kalut yang tadi ada karena desakan rasa bersalah pada Zainal perlahan sirna. Sungguh, aku salut pada Tuan Thariq, yang bisa menyikapi semua dengan lapang dada, bahkan memberi jalan keluar yang membuat lebih banyak pihak berbahagia. Insya Allah.
Sekarang yang ada di hatiku hanya satu, aku ingin secepatnya mengungkapkan semua cinta yang sudah kupendam lama. Akan kuluapkan semua cintaku pada Ayya. Akan kubanjiri dia dengan cinta. Tentu saja besok, setelah aku resmi menyandang gelar suami baginya.
***
Alhamdulillah, so far sudah bahagia. Tinggal nunggu ijab qobulnya. Semoga semua berjalan lancar ya, Yusuf.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro