Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17. Tak Perlu Menyalahkan Diri Sendiri

Tak biasanya langit Madinah menurunkan rintik airnya di tengah musim yang belum beranjak menuju dingin. Aku menatapi butir-butir yang jatuh tanpa bisa dihitung jumlahnya, yang pada setiapnya terbawa pula keberkahan dari Sang Maha.

Pesan Zainal kemarin pagi melintas kembali. Ia menawariku untuk ikut serta bersilaturahim ke kediaman Tuan Thariq di Jeddah.

Musim haji baru saja usai, bahkan jamaah haji Indonesia yang terbang di gelombang dua masih banyak yang berlalu lalang di masjid Nabi. Hanya saja Zainal memang telah menyelesaikan pekerjaannya mendampingi jamaah haji khusus, yang mendaftar dan langsung berangkat di tahun yang sama. Yang biayanya bisa buat bikin rumah gedongan di desa tempat kelahiranku. Selangit.

Maka tak heran pula jika pundi-pundi dinar milik Zainar makin segar seperti anggur dari Thaif. Itu pula yang membuatnya mantap untuk mendatangi Tuan Thariq, berniat melamar salah satu anak gadisnya. Siapa lagi kalau bukan Ruqayya. Ya, Ayya. Perempuan yang sejak empat tahun lalu menghuni sudut terdalam hatiku.

[Assalamualaikum, Bro.
Alhamdulillah kerjaanku sudah kelar dan aku bisa mulai fokus mikir yang lain2.
Insya Allah malam nanti aku dan beberapa orang yang mewakili keluargaku akan silaturahim ke keluarga Tuan Thariq. Aku mau melamar adikmu.
Jadi aku berharap kau bisa ikut juga bersama kami.]

[Waalaikumussalam,
Maaf, Bro. Kau tau kan urusan tugas akhirku belum juga terselesaikan. Jadi aku belum bisa nemenin. Lagi pula aku takut baper dan pengen nyusul. Trus gimana nasib skripsiku? Sukses, Bro.
Barakallah.]

[Haha, iyo wis. Padahal kakak & adike Ayya akeh lho, tur ayu2 pisan. Kamu iso milih salah siji. Nek perlu sisan dilamar bareng. *emoticon tertawa berjajar dua]

[*emoticon tertawa berjajar lima]

Kubaca kembali chat kami kemarin pagi. Hari ini mungkin Zainal officially menyandang status calon suami. Calon suami dari...

"Astaghfirullah, Yusuf. Sudah nggak usah dipikirin. Kalo memang dia bukan jodohmu, mau dipikirin terus juga percuma. Lebih baik ikhlaskan, lalu lupakan."

Ya ya ya, apa yang dikatakan hatiku memang ada benarnya juga.

Tapi ya namanya manusia, tetap saja rasa penasaran itu ada. Hatiku tentu saja bertanya, "kira-kira Ayya menerima lamaran Zainal apa enggak ya?" Dan entah kenapa akutak mau berlama-lama dalam pertanyaan, maka kuputuskan untuk langsung bertanya pada Ayya.

Kupandangi sekali lagi rinai gerimis yang tersisa dari balik jendela asrama. Sebelum kukirim pesan kepada Ayya.

[Assalamualaikum, Ayya.
Apa kabarmu? Juga ibu. Semoga semuanya sehat ya.
Oya, bagaimana persiapanmu untuk pindah ke Jeddah, apakah semuanya lancar?]

Ah, terdengar sangat basa-basi ya? Kali ini aku agak menyesal telah membelikan HP untuk ibu. Bukan apa-apa, aku jadi harus basa-basi begini untuk sekadar menghubungi Ayya, karena sejak ibu pegang HP sendiri, aku dan Ayya memang hampir tak pernah berkomunikasi.

[Oh ya, selamat ya. Kudengar Zainal sudah menyampaikan pada Tuan Thariq mengenai keseriusannya denganmu. Apakah kamu menerimanya?]

Sent. Lalu buru-buru kuhapus pesan terakhirku. Pesan yang terkesan aku terlalu mau tahu apa yang bukan urusanku.

Tut tut... Nada dering pesan masuk terdengar. Kuilirik bilah pemberitahuan di layar. Ayya.

[Kenapa dihapus? Telat. Aku sudah baca.]

[Maaf. Kupikir pertanyaanku terlalu mencampuri urusanmu. Tolong lupakan saja.]

[Jadi Mas Yusuf memang sudah tak ingin tau ttg urusanku? Apakah Mas Yusuf tak lagi menganggapku sebagai adik? Kenapa sejak ibu punya hp Mas Yusuf tak pernah lagi menghubungi aku?]

[Maaf, Ayya. Kita memang bukan siapa-siapa. Maka aku hrs menjaga jarak denganmu. Aku harus menjaga perasaan seseorang yg kelak menjadi suamimu. Dan itu adalah sahabatku.]

[Baiklah. Jika demikian aku akan menerima Mas Zainal.]

Degh. Banyak pertanyaan yang mampir di benakku. Mungkinkah Ayya belum memberi jawaban atas lamaran Zainal? Apakah gara-gara pesanku tadi Ayya jadi malah menerima Zainal? Apa sebenarnya Ayya ingin meminta pertimbangan dariku? Apa Ayya menerima Zainal karena kecewa dengan sambutanku? Ah, entahlah!

Aku menyugar rambutku dengan kasar. Ada yang mendadak nyeri. Aku merasa kacau. Kututup tirai hingga gerimis hilang dari pandangan, lalu kutinggalkan meja beserta buku-buku yang terserak di sana. Wudhu.

"Mas Yusuf nggak ikut kajian?" tanya Imron, satu-satunya teman seruanganku di asrama yang berasal dari Indonesia.

"Enggak, Im. Aku absen dulu. Lagi ngelu."

"Iyo, Mas. Keliatan kok kaya orang patah hati. Tapi mana mungkin ya, Mas Yusuf jatuh cinta wae gak pernah, masa tiba-tiba patah hati." Imron tertawa menggodaku. Aku cuma tersenyum, kecut.

"Aku juga orang biasa, Im. Orang normal. Bisa jatuh cinta, sekaligus patah hati," ujarku. Tentu saja cuma dalam hati.

Usai berwudhu aku membuka mushafku, membacanya untuk mengusir galau sekalian menanti waktu asar tiba.

Tut tut... Lagi, sebuah pesan masuk. Aku hanya melihat sekilas, mengintip siapa gerangan pengirimnya. Zainal.

Kulanjutkan aktivitasku berkarib dengan kalam-Nya. Mencoba mengusir jauh-jauh keingintahuan akan isi pesan yang baru saja kuterima.

Dan aku bertahan tak membaca pesan itu, hingga bulan telah menunjukkan sabitnya. Imron bahkan telah kembali dari Nabawi, membawakan sebungkus sayur asem dari Qarat, rumah makan Indonesia di dekat pintu 16 masjid baginda Nabi. Meski tak semantap sayur asem bikinan ibu, tapi tetap saja membuatku bahagia. Bahagia karena dikelilingi orang-orang baik yang selalu menganggapku layaknya saudara.

"Jazakallah khair, Im."

"Waiyyak, Mas. Buat hiburan, mana tau kusutnya karena kangen masakan ibu di rumah?" Imron tertawa lepas.

"Ngerti wae kamu, Im." Aku ikut tertawa. Lalu menikmati sayur asem di balkon sempit asrama, bersama Imron yang khusyuk dengan kitabnya, juga beberapa helai jemuran basah yang baru saja ditaruh oleh pemiliknya.

"Aku masuk dulu ya, Im. Meh sinau." pamitku usai mangkok di tanganku tandas tak bersisa.

"Halah, sinau opo, Mas? Awakmu wis pinter ngono. Paling melanjutkan kekusutan hati yang mungkin akan terurai hanya jika bertemu Ukhti yang kepadanya kau akan melabuhkan hati."

"Omonganmu, Im. Kaya wis tau weruh rasane." Kami berdua lagi-lagi tertawa.

Sampai di kamar, kuambil HP yang masih anteng di antara buku-buku yang sebagian terbuka. Mencoba tetap tenang, aku membuka pesan dari Zainal. Pesan yang aku bisa menduga apa isinya.

[Assalamualaikum, Bro.
Alhamdulillah, hari ini aku resmi jadi calon adik iparmu. Syukron jiddan ya, Akhi.]

Aku tersenyum sendiri. Tak ingin menyesali obrolanku dengan Ayya siang tadi. Juga tak ingin menyalahkan diriku sendiri.

"Ya Rabb, untuk kesekian kalinya, ijinkan saya untuk benar-benar mampu melupakannya."

***

Adakah yang ingin bertanya pada Yusuf, gimana rasanya patah hati berkali-kali karena orang yang sama? Eaaa...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro