Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 13. Bapak ...,

"Jadi, siapa namanya? Perempuan yang membuat hatimu resah gulana?" dia mengulang lagi pertanyaannya.

"Ruqayya." jawabku pelan.

Dia tertawa, lalu kembali bicara.

"Dan siapa namamu, wahai anak muda?" kali ini namaku yang ingin dia tahu.

"Yusuf." sahutku singkat.

Dia kembali tertawa. Digeser duduknya mendekat padaku.

"Untuk menikah dengan Ruqayya, kau tak harus bernama Utsman. Dan bukan pula karena kau Yusuf, maka kau harus menikah dengan Zulaikha."

Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Kali ini aku benar-benar tak paham yang dikatakannya.

"Tak perlu risau pada hati, karena ia telah ada yang menggenggam. Yang berkuasa pula membolak-balikkan. Yusuf dan Zulaikha, Utsman dan Ruqayya, mereka telah berjodoh dan menjadi kisah yang diabadikan sejarah. Tapi kau tak berada di jaman yang sama, bukan pula orang yang sama. Jika memang dia jodohmu, maka apa yang sulit bagi-Nya untuk menjodohkan Yusuf dengan Ruqayya. Dan bukan dengan Zulaikha."

Rasanya aku mulai mengerti maksud  dari perkataanya.

Ya, dia benar juga. Aku sedikit lega. Aku memang tak perlu risau memikirkan hati yang sudah ada penggenggamnya. Alih-alih mendekati yang berkuasa atas hatinya, aku justru sibuk bergelut dengan perasaan yang mempermainkan. Mempermainkan diriku sendiri, hingga lupa kemana seharusnya aku mendekati.

Aku tersenyum, sembari mencoba berkompromi dengan otakku yang masih tetap berat mengingat siapa dia. Berkali membatinkan istighfar, memohon ampunan dan kemudahan dalam ingatan. Ingatan akan sosok di hadapanku ini.

"Maaf, siapakah Anda sebenarnya?" Akhirnya aku tak tahan untuk tak bertanya.

"Rupanya begitu gulananya engkau, wahai Anak Muda. Hingga kemampuanmu menghafal kalam-Nya tak berimbang dengan kemampuanmu mengingat rupa. Padahal baru beberapa hari lalu aku menurunkanmu di Dzulhulaifah." jawabnya, masih sambil tertawa.

"Ah, ya ya. Masya Allah." sahutku singkat.

"Bapak. Maafkan, saya nyaris lupa. Sedang apa Bapak di sini?" lanjutku dengan antusias. Kuambil tangannya dan kugenggam kuat.

Mendadak aku begitu bersemangat. Kejadian tempo hari berkelebat. Ingatanku langsung melekat. Dia bapak sopir taksi gelap yang tempo hari menepuk bahuku bersahabat dan memelukku erat.

"Jadi, apakah perempuan itu tau tentang hatimu?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah mengajukan pertanyaan yang lebih berat.

Aku menggeleng. Dia tertawa.

"Tak perlulah dia tau, yang terpenting kau tau, kemana meminta jodohmu." Dia menasihatiku.

"Sayyidina Ali menyimpan cinta bertahun lamanya. Meski nyaris menghentikan harap ketika dua manusia mulia yang lebih senior dan lebih dalam segalanya, menurut Ali, meminang wanita yang diam-diam dicintainya. Tapi apa? Keduanya sama, mendapat penolakan. Justru pada Ali penerimaan itu didapatkan. Dan pada akhirnya kita semua tau, dalam diamnya Sayyidah Fatimah, rasa yang sama ia simpan."

"Tapi aku tak yakin, dalam diamnya dia menyimpan rasa yang sama untukku," ujarku sambil menertawakan diriku sendiri.

"Kau ingat kisah cinta Thalhah ibn Ubaidillah?" tanyanya.

Aku mengangguk. Kutunggu dia melanjutkan bicara, tapi rupanya dia tak hendak melakukannya.

Aku teringat pada ayat yang tadi dia minta untuk kubaca. Yang bahkan tadi sempat kupikir dia berniat menyindir. Padahal aku sendiri yang mendadak merasa tersindir.

Memoriku tergeret jauh pada berabad lampau. Thalhah ibn Ubaidillah bukan sembarang manusia dalam tinta sejarah. Allah bahkan telah menjamin surga untuknya. Namun dalam urusan cinta, dia tak kuasa menolak rasa yang jatuh pada perempuan yang tak seharusnya dicintai. Sang Maha Cinta telah terang-terangan melarangnya. Pada akhirnya cinta itu hanya tersimpan rapat, lalu pada sang putri nama itu tersemat.

Aku tak lebih mulia dari Sang Ibn Ubaidillah. Jika dia saja bisa mengikhlaskan cintanya, bahkan berkorban untuk kekasih dari seseorang yang dicintainya, maka bagaimana bisa aku tak mengikuti jejak mulia dari generasi terbaik sepanjang masa.

Hatiku terasa lebih ringan.

"Seandainya aku punya anak perempuan, tak kubiarkan kau melajang lebih lama. Begitu matahari terbit hari ini, aku akan menikahkanmu dengannya. Tapi aku hanya berdua, tak ada buah hati di antara kami. Jadi, hanya doa yang bisa kuberikan untukmu." Dia tersenyum.

Belum sempat kutanya lebih banyak lagi, dia telah beranjak dari duduknya. Menepuk bahuku, lalu menjabat erat tanganku.

"Yusuf, tetaplah di jalan-Nya. Semoga Allah masih memberi kesempatan kita untuk bersua."

Aku mengangguk, keharuan menyelinap di rongga dada ketika menatap punggung yang mulai menjauh. Mendadak mataku menghangat, aku rindu pada sosok seorang ayah.

"Bapak ...." panggilku lirih.

Dia berhenti, menoleh ke arahku. Tapi, rasanya tak mungkin dia mendengar suaraku.

"Namaku Abdullah," katanya setengah berteriak, lalu kembali melangkah menuju anak tangga.

Nama yang sama dengan mendiang ayahku. Aku bangkit dan bergegas mengejarnya.

"Bapak," tangisku pun tumpah di bahu lelaki tua itu.

Lalu, bersama kami menyusuri anak tangga, setapak demi setapak, menuruni gunung yang mulia, tempat pertama kali Dia turunkan kalam-Nya, sebagai petunjuk bagi kita.

Pak Abdullah, yang kupanggil Bapak, selepas habis airmataku di bahunya, mengantarkanku menuju pusat kota Mekah. Mengisi perjalanan dengan nasehat-nasehat yang membuatku semringah. Kemudian melepasku dengan kehangatan seorang ayah. Menyisipkan rasa ringan untukku mengayun langkah.

***

Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur empuk di kamar nan mewah ini. Kubuka tirai jendela agar dapat leluasa memandang Masjid Al Haram di depan sana.

Ya, malam ini kuputuskan untuk mengikuti saran ibu, menempati kamarnya di lantai 23 Movenpick Hajar Tower. Tak jadi kuhabiskan sepenuh malamku di Jabal Nur. Meski begitu, aku merasa nyaman. Lelah hati dan raga rasanya menghilang. Mungkin pelukan seorang ayah yang tadi kudapatkan menjadi salah satu penyebabnya.

Aku bangkit dan duduk. Memandang rumah-Nya yang tak pernah mengenal sepi.

Alhamdulillah, segala puji hanya untuk-Mu Ya Rabb. Terima kasih, telah melepaskan penat atas segala pikir dan rasa yang kemarin hari terasa memberat. Sungguh, berat yang Kau berikan tak pernah sebanding dengan nikmat yang tak henti Kau curahkan. Kuatkan aku Ya Rabb, teguhkan aku di jalan-Mu.

Kupandang sekali lagi Al Haram di bawah sana, sebelum kurebahkan kembali tubuhku, dan mematikan lampu.

Bismika Allahumma ahya wa amuut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro