Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 12. Siapa Dia?

"Dik Ayya, ayo masuk. Tuh lihat, semua nunggu kamu." Zainal yang pertama buka suara ketika kami sampai di depan Ayya,  juga mereka semua.

"Eh iya." Ayya menjawab singkat.

Senyum tak beranjak dari bibirnya. Begitu pun dia, tak beranjak dari tempatnya berdiri. Baru setelah aku sampai di dekatnya, dia bergerak mengikuti kami. Tepatnya mengikuti aku.

Ada gejolak menyapa hatiku. Berbagai prasangka berkelebat di pikiran. Kege-eran yang tadi melanda serasa menemukan pembelaan untuk membenarkan semuanya.
Jangan tanya bagaimana perasaanku. Meski seperti biasa, harus kutahan agar tak nampak mencurigakan.

Kami semua berkumpul di ruang keluarga Tuan Thariq yang sangat luas. Sofa-sofa empuk berukuran besar mengelilingi tiga sisi meja yang juga berukuran lebar. Satu sisi yang lain dialasi permadani tebal yang menghampar. Bantal-bantal yang empuk dengan berbagai ukuran menumpuk tersebar. Di ujung permadani tersisa beberapa meter yang menampakkan lantai marmer, lalu beberapa anak tangga membatasi ruang keluarga dengan ruang terbuka yang kontur tanahnya lebih rendah. Di sana terdapat kolam renang dengan beberapa kursi santai di sepanjang pinggirnya. Keberadaan taman menambah cantik semuanya. Suasana segar dan santai namun tetap hangat terpancar dari sekeliling rumah ini.

Lagi-lagi kami harus menyaksikan episode penuh keharuan, ketika Ayya untuk pertama kalinya bertemu dengan saudara-saudara tirinya. Nampaknya mereka semua sudah terkondisikan satu sama lain sehingga tak terlihat ada canggung di sana. Semua bahagia. Termasuk para cameo seperti kami bertiga.

Kami turut berkenalan dengan saudara-saudara Ayya.
Kakak kembar Ayya hampir seusiaku. Mereka berdua sudah menyelesaikan pendidikan di universitas dan sekarang keduanya mengajar. Yang sulung bernama Shafeeya, dia mengajar di salah satu Sekolah Dasar milik pemerintah Arab Saudi di Jeddah. Sedangkan Hafsha, kakak keduanya, mengajar di sebuah Sekolah Dasar Internasional di Jeddah. Kakaknya yang ketiga, bernama Sumayya, masih menyelesaikan kuliah di Fakultas Pendidikan. Dan Ali, adik Ayya sekaligus anak laki-laki satu-satunya Tuan Thariq, baru masuk kuliah tahun pertama. Dia yang digadang-gadang akan meneruskan ayahnya sebagai seorang arsitek nantinya. Sumayya dan Ali sama-sama kuliah di Jami'at Al Malik Abdul Aziz, Jeddah.

Keluarga Tuan Thariq memang orang baik. Semua baik. Tak ada yang membeda-bedakan latar belakang dan sebagainya. Semua menyambut kami penuh kehangatan dan keterbukaan. Bahkan dengan ibuku pun mereka menunjukkan keakraban yang tak sedikit pun terasa dibuat-buat. Shafeeya dan Hafsha dengan riang menunjukkan foto-foto masa kecil mereka ketika digendong ibu. Begitu pun jiddahnya Ayya, bernostalgia akan masa 2,5 tahun saat dulu ibu berada di sini. Suasana kekeluargaan terasa sangat kental.

Menurutku, keluarga Tuan Thariq memang beda dengan keluarga Arab kebanyakan. Lebih seperti keluarga di Indonesia yang tak berjarak saat berkumpul keluarga besar. Mungkin pengaruh Bu Rusmi cukup besar di keluarga ini. Kebaikan dan pengorbanannya untuk keluarga ini pantas membuatnya dicintai.

Semua anaknya hormat pada orang tua, sopan pada orang baru, juga tak terlihat sama sekali kesan sombong meskipun mereka orang berada.

Aku yang lama tak merasakan kehangatan berkumpulnya keluarga merasa sangat bahagia. Rasa haru menyeruak di antara berbagai rasa di hatiku.

Makin lengkap bahagiaku, karena selama di rumah Tuan Thariq, Ayya selalu mendekat kepadaku. Entah, mungkin kejadian semalam membuat dia merasa memiliki seseorang yang melindungi dan mengerti dia. Sebagai kakaknya tentu, bukan yang lain. Aku tak mau menyimpan terlalu banyak kege-eran. Berat.

Obrolan yang terjadi selanjutnya pun mengalir hangat dan penuh keakraban.

Cukup banyak hal yang kami bicarakan. Terutama membahas Ayya yang akan pindah untuk tinggal dan menuntut ilmu di negeri ini. Juga ibuku yang akan turut pula menyertai, sebab Ayya tak mau berpisah dengannya. Ayya dan ibu akan pulang dulu ke Indonesia, mengurus dokumen dan segala sesuatu yang dibutuhkan. Usai pelaksanaan ibadah Haji, Ayya dan ibu akan kembali untuk tinggal di sini.

"Biar saya bantu untuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan Dik Ayya dan Ibu Sajidah. Insya Allah banyak teman saya di Indonesia yang berkompeten untuk mengurus dokumen semacam ini." Zainal angkat bicara.

Seperti biasa, Zainal menawarkan diri untuk membantu segala keperluan Ayya. Jaringannya tersebar luas pula di Indonesia. Hikmah kebaikan dan silaturahim yang selalu terjalin baik dengan para jamaah yang pernah dia dampingi. Masya Allah.

"Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Zainal. Jika demikian, saya serahkan Ruqayya kepadamu." kata Tuan Thariq penuh semangat. Wajahnya terlihat semringah.

"Lho, serius ini Tuan? Ruqayya diserahkan pada saya? Secepat ini?" canda Zainal mendengar kalimat terakhir Tuan Thariq.

Kami semua tertawa. Pun aku, meski mungkin sedikit sumbang. Kucuri pandang pada Ayya, dia pun sedang tertawa sambil menatap ke arah Zainal. Kucuri pandang pula pada Zainal, rupanya mereka berdua sedang saling menatap.

Aku tak hendak iri, apalagi cemburu. Karena aku sendiri memang tak memiliki banyak kesempatan dan kemampuan untuk membantu. Tugas akhir kuliahku belum juga usai. Setelahnya, aku pun berencana untuk mengajukan beasiswa ke strata selanjutnya di Universitas yang sama.

Hanya saja kutegaskan kembali pada diriku sendiri untuk berhenti melanjutkan perasaan pada Ayya. Paling tidak sekeluarku dari rumah ini aku, dan hatiku, harus lebih tahu diri.

Kalau memang tak berjodoh denganku, rasanya aku tak harus bersedih jika yang berjodoh dengan Ayya adalah Zainal. Setidaknya Ayya bersama seseorang yang sudah tak perlu diragukan lagi kepribadian dan terutama kesalehannya.

"Terima kasih, Bu Rusmi. Saya bahagia sekali hari ini, sudah lama tidak merasakan kumpul-kumpul keluarga seperti ini. Sampai jumpa lagi besok ya, Bu." pamitku pada Bu Rusmi sore itu.

Kucium takzim punggung tangan Bu Rusmi. Dipeluknya aku erat, lalu menangis. Ayya mendekat, dan turut menangis di belakang tubuh ibunya.

Sebenarnya Tuan Thariq dan Bu Rusmi meminta kami semua menginap. Tapi aku merasa kurang nyaman. Lagipula esok Harun harus kembali ke Kairo. Jadi aku bisa beralasan untuk menemani Harun kembali ke Mekah.

Sedangkan Zainal, dia memilih untuk menerima tawaran menginap di rumah Tuan Thariq karena kebetulan besok pagi jadwalnya menjemput jamaah di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah.

Bang Nasir kembali mengantarkan ke Mekah, hanya bertiga dengan aku dan Harun.

"Kalian ngobrol apa aja semalem sama orang tua Ayya?" tanyaku membuka pembicaraan dengan Harun.

"Nggak banyak sih, Mas. Cuma menceritakan profil diri. Curiculum vitae lah. Haha." tawa Harun mengakhiri jawaban.

"Maksudmu?" aku merasa tak paham.

"Itu, Mas Zainal kan orangnya kalo ngomong apa adanya banget. Dia bilang deh ke bapak ibunya Dik Ayya kalo kami berdua sama-sama menaruh hati sama Dik Ayya. Nah bapak ibunya ketawa, malah kami ditanggap suruh menceritakan profil diri masing-masing." Harun menjelaskan, lagi-lagi sambil terkekeh. Bang Nasir turut pula tertawa.

"Oh, gitu. Iya, Zainal sih selalu gercep. Gerak cepat pokoknya, kalo ada kesempatan, ya sikat aja jangan sampe lepas." aku ikut tertawa.

"Tapi semalem itu mungkin gak dimasukkan hati juga kali, Mas. Cuma buat ngisi waktu dan mengalihkan ketegangan aja. Kan memang semalem semuanya sama-sama tegang. Terutama Pak Thariq sama Bu Thariq." Harun bicara lagi.

Iya juga sih, aku menyetujui dalam hati. Tapi tetap saja aku merasa ciut. Kalaupun Tuan Thariq tak menanggapi serius, setidaknya dua kawanku ini sudah pasti masuk list untuk mengisi daftar calon mantu jika Ayya siap menikah nanti.

Ah, sudahlah.

Mobil pun mulai memasuki kota Mekah dan mengantarku ke daerah Misfalah. Di sana kami berpisah, dengan masing-masing berjanji untuk tetap menjaga silaturahim dan ukhuwah.

Sebenarnya ibu menyuruhku menempati kamarnya di Movenpick, tapi entah kenapa aku merasa tak nyaman. Aku memilih untuk ke kontrakan Zainal saja. Setidaknya ada beberapa penghuninya yang bisa jadi teman bicara.

"Assalamualaikum." salamku ketika sampai di pintu kontrakan Zainal.

"Waalaikumsalam." terdengar jawaban dari dalam, lalu pintu terbuka dan muncul Amir dengan senyuman.

"Aku nginep sini ya, Mir." ujarku tanpa basa-basi.

"Boleh. Tapi nanti malam nggak ada orang. Ya fajar lah maksudku. Malam sih aku masih di sini." Amir memberitahu.

"Memang kamu mau ke mana?" tanyaku pada Amir.

Tak kutanyakan keberadaan penghuni yang lain karena aku sudah tahu mereka hampir pasti sedang mendampingi jamaah. Penghuni kontrakan Zainal semua memiliki pekerjaan yang sama, juga status yang sama. Jomblo.

"Mau ke Jeddah jemput jamaah."

"Kamu bawa jamaah juga besok? Bareng sama Zainal kah?"

"Ya bawa jamaahnya Zainal itu. Aku sendiri sih sebenernya lagi rehat, tapi dimintai tolong bantu bawa jamaah Zainal."

"Bukannya jamaahnya cuma satu bus ya, Mir?" tanyaku lagi.

"Iya. Zainal berencana ijin hari kedua, katanya ada temen mau pulang ke Indonesia,nah dia mau ikut ngantar sampai Jeddah. Kalo jamaah diserahkan ke aku di tengah jalan kan gak lucu. Makanya aku diminta ikut dari awal, nanti di tengah-tengah setelah dia dari Jeddah baru aku selesai."

Penjelasan Amir sudah cukup membuatku paham siapa teman yang Zainal maksud. Kelihatannya dia benar-benar serius mendekati Ayya, sampai minta bantuan segala pada Amir.

"Oke, Mir, nggak masalah. Biar nanti malem aku jalan-jalan aja deh. Sekarang numpang istirahat dulu ya."

"Siap. Anggap di rumah sendiri. Jangan lupa piring gelas dicuci. Hahaha." canda Amir, kami berdua tertawa.

***
20.26 waktu kota Mekah.
Aku melangkah keluar dari Masjidil Haram menuju jalan Ajyad. Di salah satu deretan kios belakang Rayyana, kubeli anggur hijau dan air mineral untuk mencucinya. Juga dua bungkus Seven Days coklat untuk mengisi perutku kalau-kalau merasa lapar nanti. Lalu kusetop taksi sedapatnya dan meminta diantar ke Jabal Nur. Aku ingin menyendiri, merenung seperti Sang Nabi.

Di dalam taksi, iseng kulihat-lihat status update di aplikasi whatsapp. Kutemukan foto selfie Zainal bersama Tuan Thariq dan Ali. Di foto berikutnya, nampak dia begitu akrab bermain play station dengan Ali, lalu selfie bersama keluarga Ayya di meja makan. Segera kumatikan ponsel dan memasukkan ke dalam tas.

Taksi membawaku ke Jabal Nur sampai ke titik permulaan pendakian. Lima belas riyal kuserahkan dengan terima kasih mengiringi. Kemudian segera kulangkahkan kaki menapak tangga demi tangga menuju puncak di mana Gua Hira berada.

Aku tak hendak memasukinya, karena tak siang tak malam kutahu gua sempit penuh sejarah mulia itu selalu penuh sesak dengan mereka yang ingin menapaktilasi jejak Kekasih Hati. Aku hanya ingin sampai ke puncaknya, memilih satu titik yang cukup sepi, lalu merenung dan introspeksi diri. Aku malu, sudah beberapa hari ini terlalu larut dengan urusan dunia dan manusia, juga rasa. Hingga begitu kurangnya aku mendekat pada-Nya, serta menekuri ayat-ayat cinta-Nya. Sungguh, aku malu. Pada Sang Maha, juga kekasih-Nya. Pada Sang Pemilik Jabal, juga yang menerima wahyu di atasnya.

Kupilih satu titik untuk menyepi. Memandangi kerlip kota Mekah di malam hari. Indah, sungguh indah. Kuhela napas panjang, menerawang. Betapa hebatnya Kekasih Hati, dahulu kaki-kaki mulia itu melawan curam menuju kemari. Menyendiri,memikirkan umat, hingga tiba utusan-Nya yang membuat menggigil diri, dan meminta kekasih tercinta untuk menyelimuti. Zammiluni ..., zammiluni ....

Dada ini terasa nyeri.
Kulantunkan Al Alaq dengan dendang nan sumbang. Air mata dan kelu yang tiba-tiba membuat aku kehilangan irama. Kulanjutkan dengan Al Muzammil, aku berdebar gemetar.

Ya Rabb, ampuni aku. Betapa banyak waktu dan pikirku terkuras untuk urusan diri, lalu aku lari ke sini. Sedangkan kekasih-Mu pergi ke tempat ini untuk menerima tugas mulia, juga memikirkan umatnya.
Betapa telah terlewat malamku dengan sedikit mengingat-Mu, sedangkan siangku kuhabiskan untuk urusanku sendiri.

Tangisku tumpah tanpa suara meski hanya sepatah desah.

"Hai anak muda, rupanya kau penghafal Al Quran juga. Hapus air matamu, bacakan untukku ayat 53 surah Al Ahzab." seseorang terdengar bicara padaku.

Kuminta otakku berhenti berpikir keras mengingat siapa dia. Kulantunkan saja Al Ahzab 53 memenuhi permintaannya. Entah kenapa ayat itu yang dia pilih.

"Siapa namanya?" tanyanya seusai aku berhenti melantunkan ayat suci dan melamun sesaat.

"Maksudmu namaku?" aku tergeragap dan ganti bertanya.

"Bukan. Nama perempuan itu. Perempuan yang membuat hatimu resah gulana."

Aku mengernyit. Pikiranku tentang siapa gerangan pria setengah tua ini mulai beranjak meninggalkan logika.

"Aku pernah muda, seingatku pernah begitu pula ketika disapa dilema rasa dan cinta." dia berkata lagi.

Dan pikiranku pun kembali beroleh logikanya, bahwa dia pun manusia biasa. Karena malaikat tak pernah jatuh cinta.

"Jadi, siapa namanya? Perempuan yang membuat hatimu resah gulana?" dia mengulang lagi pertanyaannya.

Aku pun mengulang pertanyaanku pada diri sendiri.

Siapa dia  sebenarnya? Rasanya aku pernah mengenalnya? Tapi kapan? Di mana?

***

Kira-kira dia itu siapa yaaa?

Maaf yaaa kalo part ini kepanjangan deskripsi. Hehe..
Ditunggu vote dan komentarnya, butuh kritik, saran dan masukan nih.

Sampai jumpa di Part 13 😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro