Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 1. Berjumpa Kawan Lama

Sore itu seusai salat Asar, langit kota Mekah terlihat cerah dan indah. Aku melangkahkan kaki menuju eskalator yang akan membawaku ke lantai tiga.
Aku senang berada di sana. Menatap mereka, yang berjalan khidmat hingga tujuh kali mengelilingi Ka'bah berlawan arah jarum jam. Memandang mereka, yang entah berapa kali bangkit dan bersujud, larut dalam doa-doa panjang. Melihat mereka, yang matanya tak lepas dari Al Quran yang terbuka di genggaman. Sungguh, aku merasakan kebahagiaan menikmati wajah-wajah yang juga penuh kebahagiaan.

Saat-saat seperti ini seringkali tiba-tiba kurindui. Seperti dua hari yang lalu, entah kenapa aku merasa begitu rindu untuk kembali ke sini, ke rumah-Nya yang mulia. Dan pagi tadi, aku sudah menjejakkan kaki kembali di tempat yang menjadi destinasi impian umat muslim di seluruh penjuru dunia. Masjid Al Haram.

Untuk sampai di sini memang bukan sesuatu yang sulit bagiku, yang sudah hampir empat tahun ini menyandang predikat sebagai mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Perjalanan Madinah-Mekah yang hampir setara jarak Semarang-Jakarta tak butuh waktu tempuh yang lama. Tak sampai lima jam, dan aku pun kembali menatap Ka'bah di depan mata.

Rangkaian ibadah umroh telah usai kujalankan pagi tadi. Aku sengaja mengambil miqat tengah malam di Dzulhulaifah lalu melanjutkan perjalanan ke Mekah agar bisa melaksanakan umroh pagi hari saat suasana masih segar dan semangat. Thawaf, sa'i serta tahalul semua terlaksana dengan lancar.

Seusai umroh aku mandi, berganti baju dan menaruh barang. Semua kulakukan di tempat Zainal, kawanku saat dulu terkadang mengambil pekerjaan sebagai muthawif untuk jamaah umroh dari Indonesia maupun jirannya saat aku libur.
Aku tak pernah pulang, meski tiket gratis di genggaman. Aku lebih suka menjadi guide bagi para jamaah, meski itu kulakukan secara sembunyi-sembunyi dari petugas berwenang di Saudi karena visaku bukan visa untuk bekerja.

Aku baru saja melangkah lepas dari eskalator dan menginjakkan kaki di lantai tiga masjid seluas sekira 356.800m² ini, ketika kudengar seseorang memanggil namaku.

"Mas Yusuf."
Aku berhenti dan menoleh ke sekeliling mencari asal suara.

"Mas Yusuf kan? Masih ingat saya?"
Seorang laki-laki kurus tinggi berkulit sawo matang setengah berlari menuju ke arahku. Laki-laki itu mengulurkan tangan ke arahku, sementara aku mencoba mengingat sosoknya.

"Saya Harun, Mas. Dulu adik kelas waktu di pesantren. Mas Yusuf mungkin nggak kenal atau nggak ingat sama saya, tapi saya ingat betul sama Mas Yusuf. Kan Mas Yusuf dulu terkenal di pondok. Pintar, hafalannya bagus, suaranya merdu. Ah, pokoknya artisnya pondok deh."
Harun, laki-laki itu, memperkenalkan dirinya sambil memujiku setinggi langit. Aku tersenyum, dalam hati mengucap istighfar berkali.

"Masya Allah. Kelihatannya agak berlebihan kamu, Harun." Aku tersenyum sambil menjabat tangannya erat, lalu memeluknya bersahabat.

"Alhamdulillah bisa ketemu Mas Yusuf di sini. Tapi bener kok, Mas, njenengan itu menginspirasi banyak adik kelas di pondok, termasuk saya. Gara-gara njenengan, banyak yang ingin mengikuti jejak njenengan untuk belajar agama Islam ke Universitas Islam Madinah atau universitas lain di luar negeri." Lagi-lagi Harun memujiku.

Lalu kami duduk sambil mengobrol akrab di tepian lantai tiga Masjidil Haram, menghabiskan sore dengan tawa canda dan kenangan masa-masa menuntut ilmu di pesantren kami dulu. Lalu lalang orang tak mengganggu keasyikan kami membahas banyak hal.

Harun adik kelas saat di pesantren, dia dua tingkat di bawahku. Sekarang menuntut ilmu di Kairo. Berkali-kali disampaikannya ucapan terima kasih kepadaku karena sudah menjadi inspirasi sehingga dia menjadi seperti sekarang ini.
Masya Allah. Semua itu kehendak Allah, aku hanya beruntung tertunjuk menjadi perantara atas kehendak-Nya.

"Mas Yusuf, sekali lagi terima kasih banyak ya. Saya senang sekali bisa berjumpa njenengan, apalagi di tempat yang luar biasa ini. Jangan putus silaturahim ya, Mas." Harun berpamitan setelah kami mengobrol lebih dari satu jam.

Sore hampir habis, kami mesti bersiap untuk menyambut maghrib yang sebentar lagi tiba. Kami bertukar kontak dan berjanji untuk menjaga silaturahim setelah perjumpaan ini.

"Oh ya, Mas. Kemarin saya lihat Ayya di Madinah. Eh, betul ya namanya Ayya?" Harun bicara lagi.
Rupanya Harun ini memang senang bicara dan bercerita. Tapi kata-katanya kali ini membuatku tersekat. Sungguh, aku terkejut dengan apa yang baru saja dia sampaikan. Terutama karena mendengar satu nama yang tak kusangka justru datang dari Harun.
***

Siapa sih Ayya? Kenapa Yusuf kaget mendengar nama Ayya?
Tunggu lanjutannya yaaa 😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro