24. Kenangan dan Kebaikan
Restoran hotel telah ramai meski waktu baru menunjukkan bakda subuh. Wajah Melayu banyak terlihat, sebagian besar adalah jamaah umroh dari Indonesia, juga Malaysia.
Aku mengajak Ayya ke salah satu sudut yang kosong. Menanyainya hendak makan apa, biar aku saja yang mengambil untuknya. Tapi dia tidak mau dan lebih memilih mengambil makanan sendiri. Hanya mengajukan satu syarat, aku harus bersamanya.
Aku mengiyakan. Kutaruh sajadahku sebagai penanda bahwa meja ini telah kami duduki. Ayya turut pula meninggalkan tas kecilnya yang berisi mukena dan tempat minum.
"Mau makan apa, Ay? Kontinental, oriental, atau Arab?"
"Ayya mau makanan Indonesia saja, Mas."
"Nggak ada yang spesifik makanan Indonesia, Ay. Kamu kan bukan jamaah umroh. Yang lain saja ya, tuh lihat, banyak pilihan."
"Ayya pengin makan sayur asem sama tempe goreng."
Aku tertawa. Aneh-aneh saja. Menikah belum ada sepekan, sudah macam orang ngidam.
"Kamu bukan ngidam kan, Ay?"
"Dih, Mas nih ngawur ya." Dicubitnya pinggangku, aku kegelian.
"Ya sudah, kita ke Qarat saja. Semoga ada sayur asem. Biarpun nggak seenak bikinan ibu."
Kugandeng tangannya untuk kembali ke meja.
"Mas Yusuf nggak apa-apa? Kalau lapar Mas makan dulu aja."
"Nggak, Ay. Gimana mau makan kalau istri cuma ngelihatin saja? Malah grogi nanti aku."
Dicubitnya sekali lagi pinggangku. Rupanya aku harus siap setiap saat menerima cubitannya. Tak apa, anggap saja itu sebagai ungkapan sayang.
Kami berjalan menuju restoran bermenu makanan Indonesia di dekat pintu 16 Masjid Nabawi. Sayur asemnya cukup enak. Tak hanya itu, menu di sana cukup bervariasi. Terbilang lumayan kalau hanya untuk menuntaskan kerinduan akan oseng-oseng, bakso, atau tahu dan tempe goreng.
Sepanjang perjalanan, Ayya banyak bercerita. Rupanya istriku ini cerewet juga kalau sudah merasa dekat. Aku jadi ingat masa kecilnya, waktu ibu baru saja membawanya dari Jeddah. Aku tersenyum sendiri, menyadari bahwa aku telah menyayanginya sejak dia masih sekecil itu. Dan sekarang, dia menjadi pendamping hidupku.
Genggaman tanganku semakin kuat. Membuat Ayya berhenti, lalu menoleh padaku.
"Kenapa? Sakit?" Kulonggarkan lagi cengkeraman jari-jariku padanya. Dia menggeleng.
"Ayya deg-degan deh, Mas."
"Kenapa?"
"Suka. Ayya merasa kalau Mas Yusuf nggak mau kehilangan Ayya."
"Memang begitu adanya, Ay. Sampai sekarang masih seperti mimpi. Aku khawatir, ketika bangun ternyata kamu bukan milikku."
"Hemm, Mas belajar ngegombal dari mana? Bukannya nggak pernah kenal perempuan selain Ayya?"
"Eh, sembarangan ya. Kalau cuma kenalan ya banyak Ay. Mahasiswi Indonesia di Saudi nggak sedikit lho, beberapa teman dan adik kelas di pondok dulu juga ada yang di sini. Ada satu yang temanmu, namanya.... Auw. Aduh. Ampun Ay."
Aku memang sengaja menggodanya. Rupanya ia tidak terima. Cubitannya kali ini sakit, tak seperti yang sebelum-sebelumnya. Hatiku berdesir-desir tak keruan. Begini ternyata rasanya dicemburui.
"Kamu cemburu ya?"
"Iya. Ayya nggak suka Mas bicarain yang kayak gitu. Ayya nggak suka Mas ngomongin si teman Ayya itu."
"Kenapa? Kalian nggak ada masalah kan?"
"Dulu iya, nggak ada masalah. Tapi sekarang ada."
"Kok begitu?"
Dia berhenti dan duduk di salah satu bangku semen di trotoar. Aku ikut berhenti, sedikit merasa bersalah.
"Iya, karena aku tahu persis kalau dia suka sama Mas Yusuf. Dia bahkan bela-belain bisa kuliah di sini, salah satunya karena Mas Yusuf. Dulu aku mendukung, tapi sejak Mas memelukku malam itu, aku nggak suka kalau ada perempuan lain yang juga suka sama Mas Yusuf."
Sungguh, tentang perasaan temannya Ayya padaku, aku baru tahu soal ini. Tadi aku memang hanya menggoda Ayya, sebab kenyataannya aku tak punya teman perempuan. Aku tak nyaman berada di dekat mereka, kaum hawa. Itu hanya akan membuatku teringat pada Ayya, yang kemudian membuatku merasa berdosa. Waktu itu aku belum tahu kalau dia dan aku bukan saudara seibu.
Kuambil jemarinya, lalu kuraih pinggangnya, dan mengajaknya berdiri.
"Kita pulang ke hotel saja, ya. Aku ingin memelukmu secepatnya."
Ayya tersenyum lebar. Jantungku mendadak berdebar. Cinta memang bisa menjungkirbalikkan keadaan.
-----
Kulirik Al Fajr di atas nakas, enam menit menuju pukul tujuh. Ayya masih lelap di pelukanku, perlahan kulepaskan. Kukecup sekilas bahu kirinya yang putih mengkilat, kemudian menutupnya dengan selimut agar Ayyaku tak kedinginan.
Aku mandi. Setelahnya menghubungi pihak hotel untuk mengantarkan sarapan ke kamar. Tak begitu lama, petugas hotel mengetuk pintu. Aku baru saja menyelesaikan dua rakaatku.
"Jazakallahu khair ya, Akhi," kataku pada pria berwajah hindi itu.
Sekotak cokelat galaxy almond kusodorkan padanya. Dia tertawa, mengucap terima kasih, dan berkata bahwa anaknya pasti senang menerimanya.
Hendak kubangunkan Ayya, tapi tak tega. Ia terlihat begitu bahagia dalam lelapnya. Akhirnya kuambil gawai, mencari nama Pak Abdullah, dan menghubunginya. Jam setengah sembilan, kami membuat kesepakatan. Ia ingin mengajakku dan Ayya ke sebuah tempat.
"Ay, bangun, Sayang." Akhirnya aku membangunkan Ayya. Terpaksa.
Ia membuka mata. Hendak bangkit tapi tak jadi. Ayya tersipu, menyadari bahwa hanya selimut yang membalut tubuhnya saat itu.
"Mau makan dulu apa mandi dulu?"
"Mas?"
"Aku kenapa?"
"Mas udah mandi?"
"Iya, sudah."
"Makan?"
"Belum."
"Kalau begitu aku mau makan dulu sama Mas. Tapi tolong ambilkan itu." Ia menunjuk bathrobe yang tergantung di lemari. Kuambilkan, lalu membantunya mengenakan.
Sarapan kami pagi ini cukup roti panggang dengan olesan sesuai selera. Ayya memilih madu, aku lebih suka mentega asin. Dua gelas minuman yang berbeda tersaji pula di meja. Ayya memilih susu, satu gelas lagi adalah orange juice favoritku.
Ia membuka pembicaraan, tentang rumah di Madinah. Topik yang belum siap untuk kubahas lagi.
"Aku belum tahu, Ay. Ini saja urusan skripsi belum selesai, kamu malah ke sini. Aku nggak bisa fokus kalau ada kamu di sini. Maunya dekat-dekat kamu terus." Aku mencoba sedikit merayu.
"Terus, Mas nggak suka, gitu?"
"Aku nggak suka kalau fokusku untuk kamu terbagi. Sore nanti kita ke Jeddah. Pekan depan kita berjauhan sementara sampai urusanku selesai. Tahanlah. Insya Allah hanya sebentar saja. Setelahnya kita bisa lebih sering bersama."
"Terus S2-nya Mas, gimana?"
"Aku belum tahu. Setelah ini aku baru bisa mengurusnya. Masih agak panjang tahap yang harus dilewati. Mungkin aku akan mencari kerja di sini, atau...." Sengaja tak kulanjutkan kalimatku.
"Atau apa?"
"Atau mungkin..., kita pulang dulu ke Indonesia."
"Beneran, Mas?!" Ia setengah berteriak. Membuatku tersentak dan merasa tak enak. Mungkin dia keberatan, sebab belum lama berkumpul kembali dengan keluarganya di sini.
"Maaf, Ay. Kalau kamu keberatan, kita di sini saja. Di manapun tempatnya, yang penting kita selalu berniat baik, insya Allah semua akan baik."
"Nggak kok. Sama sekali nggak keberatan. Ayya malah senang kalau pulang ke Indonesia. Ayya lebih senang di sana. Di rumah ibu. Di kampung kita."
Masya Allah. Betapa aku merasa sangat lega. Sesuatu yang sebenarnya kupendam sejak pertama status kami meningkat menjadi suami istri, akhirnya terucap juga. Dan reaksi Ayya sungguh di luar yang kusangka.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Ay. Ana uhibbuki, ya Zawjati." Aku mendekat, mengecup keningnya, dan memeluknya erat.
"Setelah ini kita bersiap ya. Nanti jam setengah sembilan kita ketemu Pak Abdullah. Biar segera terjawab rasa penasaranmu."
Ayya tertawa kecil. Aku jadi gemas. Kuhadiahkan pada pipi kirinya satu cubitan yang cukup keras. Ia meringis. Lalu membalas dengan cubitan di pinggangku. Kami menutup sarapan dengan satu sesi ciuman hangat. Ia lalu meninggalkanku untuk membersihkan diri.
Ya Rabb, betapa kehidupan pernikahan begini indahnya.
-----
Pak Abdullah menunggu di lobi. Aku segera mencium tangannya begitu kami bertemu. Kemudian mengenalkan Ayya pada pria paruh baya yang sudah kuanggap sebagai bapak.
"Ini Ruqayya, Abi Abdullah." Ayya menangkupkan kedua tangannya di dada dan menganggukkan kepalanya dalam. Ia menemukan ketulusan pada sepasang netra yang sedang menatapnya.
"Hemm, jadi ini yang membuat Yusuf berpaling dari Zulaikha, sampai berlari ke puncak Jabal Nur untuk menenangkan dirinya."
Pak Abdullah dan aku terkekeh. Ayyaku tersenyum malu-malu.
Tanpa banyak basa-basi, Pak Abdullah mengajak kami untuk segera berangkat. Ke mana tujuannya, ia masih merahasiakan pada kami.
Sedan putih milik Pak Abdullah gunakan melaju menjauhi masjid Nabi. Ya, mobil inilah yang aku tumpangi ketika akan menjemput ibu dan Ayya setelah hampir empat tahun kami sama sekali tak berjumpa atau sekadar berkabar berita. Jalan yang kemudian kami lalui membuat aku mulai tahu ke mana kami akan pergi.
"Dzulhulaifah?" tanyaku pada Pak Abdullah. Lagi-lagi ia terkekeh.
"Kau tahu, Anakku? Dzulhulaifah menjadi saksi perjalanan haji Rasulullah. Di sana, di bawah sebuah pohon, beliau pernah berteduh dalam perjalanan menuju Mekah. Di sana pula, sahabat Ali bin Abi Thalib RA menggali banyak bir (sumur), hingga kemudian dikenallah tempat itu sebagai Bir Ali
"Rasulullah melakukan miqat di sana. Peristiwa yang kemudian menjadi ketetapan untuk setiap jemaah haji dan umroh yang berangkat dari Madinatun Nabi, Madinah Al Munawarah.
"Setiap umroh atau haji, insya Allah adalah sebuah kebaikan. Maka setiap yang dilakukan di sana, adalah sebuah niat untuk suatu kebaikan. Ibadah. Mengabdi kepada Allah."
Aku manggut-manggut, kalau hanya tentang itu tentu aku sudah tahu. Pak Abdullah memang suka mengaitkan sesuatu dengan kisah sejarah. Aku yakin, ada sesuatu yang akan ia sampaikan berikutnya.
Memasuki area parkir Masjid Abyar Ali. Pak Abdullah memilih satu tempat untuk berhenti. Ia memutar badannya, menghadap ke arah kami yang duduk di baris belakang.
"Aku teringat pada pertemuan pertama kita, Yusuf. Kau menumpang mobil ini untuk menemui ibumu, yang hampir empat tahun tak pernah kau temui. Juga adikmu, yang kutahu saat ini telah menjadi seseorang yang kepadanya kau sebut sebagai zaujati.
"Ketahuilah, bahwa perempuan itu senang dengan kenangan. Mereka begitu menyukai mengenang sesuatu yang indah dan berarti bagi hidupnya. Turunlah. Ajaklah istrimu mengingat pertemuannya denganmu. Aku tunggu kalian di sini."
Masya Allah. Aku tak terpikir sama sekali tentang hal-hal seperti ini. Kedua netra Ayya bahkan sudah basah. Iya mengangguk berulang kali, membenarkan apa yang baru saja diucapkan oleh Pak Abdullah.
Kami turun. Pak Abdullah memelukku, dan sekali lagi mengucapkan selamat atas pernikahan kami. Aku sungguh amat terharu. Kupeluk kembali tubuh sepuh itu setelah ia melepas peluknya padaku. Ia tertawa, menepuk bahuku, memberi semangat yang membuat mataku menghangat.
Aku dan Ayya meninggalkannya. Menyusuri setiap sisi masjid Dzulhulaifah yang bersih dan nyaman. Kutunjukkan padanya tempat di mana aku berteduh di bawah pohon kurma, di hari saat aku hendak menuntaskan kerinduan pada ibu, yang selalu membersamaiku dengan doanya.
Hari di mana aku kembali melihatnya, dan mendapati bahwa ia berubah padaku. Kukira ia kecewa sebab aku tak bisa menjadi kakak yang baik untuknya. Ternyata dia mengetahui sesuatu yang aku belum tahu.
Rabbi, betapa Maha Baik Engkau kepadaku. Semuanya bukan tersebab kesabaranku, tapi semata hanya sebab rahmat-Mu.
"Mas Yusuf nangis?" Ayyaku bertanya. Aku mengangguk saja. Kurasa ia tahu kenapa, karena ia tak lagi bicara apa-apa.
Lebih dari setengah jam, aku mengajaknya kembali ke mobil. Ia mengiyakan. Pak Abdullah kembali membawa kami pergi. Kali ini aku tak tahu, akan ke mana ia membawa kami. Hingga mobil kembali berhenti di depan sebuah komplek pemakaman.
Tak ada yang turun, Pak Abdullah hanya memandang pada kejauhan sambil tersenyum.
"Satu bulan lalu aku kehilangan istriku. Dia pergi, tanpa satu pun keturunan yang Allah berikan kepada kami. Tapi tak sepertiku yang pernah bersedih karena ini, dia tak pernah bersedih hati. Selalu bahagia. Kutanya, kenapa? Bagaimana bisa? Katanya, sebab Allah selalu memberi hal-hal baik yang bisa memberinya kebahagiaan setiap kali mengenangnya.
"Itulah kenapa, Yusuf, kukatakan padamu bahwa perempuan senang dengan kenangan. Yang baik-baik, yang indah-indah, yang memberi arti dalam hidupnya. Tetaplah dalam kebaikan, Anakku, agar setiap yang mengenalmu merasa bahagia ketika mengenangmu."
Pak Abdullah mengucap shalawat, menyambungnya dengan rangkaian kalimat thayyibah. Kami pun berlalu. Ia membawa kami ke rumahnya yang sederhana. Dan baru kami tahu, ternyata ia bukan orang biasa. Ia seorang ahli ilmu, yang memilih mengemudi taksi setelah selesai masa tugasnya.
"Aku senang bertemu banyak orang, sebagai diriku sendiri. Bukan sebagai seseorang, yang ketika orang lain tahu kedudukan yang pernah menjadi milikku, kemudian menunduk dan menghormati. Aku senang mengobrol, berbicara, dan berbagi cerita tentang banyak hal. Seperti yang pernah kita lakukan saat kau menumpang taksiku menuju kota ini."
Ia menjamu kami, seperti halnya kami adalah bagian dari hidupnya.
***
Hai, ketemu lagi setelah hampir setahun. Aku baru sadar kemarin, waktu membaca kembali komentar-komentar di part terakhir sebelum ini.
Alhamdulillah, senang bisa kembali.
Tapi mohon maaf, karena aku nggak baca edit lagi. Pokoknya langsung publish aja. Saking semangatnya. Hehe..
Please, kalau ada yang salah, typo, dsb, tolong kasih tau yaaa.
Terima kasih :)
Masjid Bir Ali atau Dzulhulaifah.
Sumber foto: Google
Masjid Bir Ali atau Dzulhulaifah.
Sumber foto: Google
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro