Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9b

Di lantai dasar, Rainer merokok sambil mendengarkan laporan dari Mike dan Leoni perihal Herman dan kos-an. Tanpa banyak perintah, dua asistennya mengerti bagaimana menjalankan tugas.

"Saya mengantar Herman ke terminal bus terdekat, memberi ongkos seperlunya. Sebelumnya, saya mengancam akan menculik anaknya dan menjual ke rumah bordil kalau dia macam-macam dengan Pendar."

Rainer mengangguk. "Hanya itu?"

Mike menggeleng. "Nggak, Pak. Saya mematahkan satu tangannya."

"Bagus!"

Pujian dari Rainer membuat Rainer tersenyum puas. Kali ini giliran Leoni yang bicara.

"Barang-barang Pendar sudah saya bawa. Pelayan akan membereskannya. Tentang rumah kos itu, saran saya mending dibeli saja, Pak. Soalnya pemiliknya terlilih utang rentenir."

"Dari mana kamu tahu?" tanya Rainer pada asisten perempuannya.

"Saya bertemu dengan pemilik kos, komplen dengan keamanan mereka yang payah. Pemilik memanggil anak laki-lakinya yang telah mengijinkan Herman memasuki kamar Pendar. Dari pertengkaran mereak saya tahu, anak pemilik kos menyukai Pendar, dan ibunya terlilit utang karena judi."

Rianer mematikan rokok dan membuang putung ke dalam asbak kristal. "Menurutmu, tempat itu bagaimana potensinya?"

"Bagus, Pak. Berada di pinggir jalan yang cukup ramai. Pak Rainer bisa memugar sedikit, menambah pengurus, dan kalau mau bisa dibangun satu lantai lagi. Lebih baik kalau kos khusus untuk perempuan, demi menghindari hal yang tidak diinginkan."

"Oke, berikan aku data-data kos. Nanti setelah aku pelajari dan hitung untung ruginya, baru aku kabari kamu, mau beli atau nggak."

Leoni mengangguk. "Baik, Pak."

"Sudah malam, kalian pulang dan istirahat. Besok jemput aku jam sepuluh saja."

Mike bertukar pandang bingung dengan Leoni.

"Besok kita ada acara apa, Pak?" tanya Mike.

"Ke kantor?" Rainer menjawab heran.

Leoni berdehem. "Pak, besok libur."

Rainer tersenyum lebar. "Ah, lupa. Baguslah kalau besok libur. Ingat, kalian jangan ganggu aku kalau nggak ada hal yang penting-penting amat. Besok aku sibuk!"

Baik Leoni maupun Mike tidak ada yang berani bertanya tentang kesibukan bossnya. Karena biasanya Rainer selalu menganggu mereka bahkan di hari libur sekalipun. Jarang-jarang bossnya itu istirahat atau pun tidak bekerja di waktu libur. Mereka bertukar pandang sekali lagi, kali sambil tersenyum kecil. Kedatangan Pendar di rumah ini, menyelamatkan mereka untuk menikmati hari libur yang bebas.

Rainer mengangkat wajah saat melihat Mira menuruni tangga. "Tuan, Nona Pendar sudah tidur."

"Mungkin dia kelelahan."

"Sepertinya begitu, Tuan. Dia bahkan tidur dengan kondisi rambut setengah basah. Semoga nggak masuk angin."

"Kamu selimuti dia?"

Mira mengangguk. "Sudah, Tuan. Tidak akan kedinginan."

"Bagus, biarkan dia istirahat. Jangan bangunkan sampai dia terbangun sendiri. Barang-barang Pendar ada di ruang tamu, kamu minta beberapa pelayan untuk merapikan dan taruh di kamarnya besok."

"Iya, Tuan."

Rainer menaiki tangga dengan hati senang. Kehadiran Pendar di rumah ini, membuat semangatnya naik. Setelah berhari-hari kelelahan karena pertemuan bisnis yang panjang dan alot, akhirnya ia mempunya sesuatu yang membuatnya bahagia. Tiba di depan pintu kamar Pendar, Rainer tersenyum sambil mengusap permukaan kayu. Membayangkan sosok seorang gadis yang tergolek di atas ranjangnya.

"Pendar, akhirnya kamu berada di sampingnya. Tujuh tahun aku menunggu kesempatan ini."

Rainer menggumamkan rasa senangnya, sebelum masuk ke kamarnya sendiri untuk mandi dan tidur. Ia pun merasa lelah karena seharian melakukan perjalanan jauh.

Keesokan harinya, Pendar sempat linglung saat bangun dan mendapatinya berada di ruangan yang asing. Ia meraih ponsel dan melihat jam. Hampir pukul sebelas siang, dengan banyak pesan dari teman-temannya dan beberapa panggilan tak terjawab. Rupanya, ia tidur terlalu lelap sampai tidak mendengar ponselnya berbunyi.

Ia bergegas turun dari ranjang, untuk mencuci muka dan gosok gigi. Kaget saat mendapati barang-barang pribadinya untuk perawatan wajah terjajar rapi di meja samping westafel. Kalau begitu, pakaianya pasti sudah ada di sini. Benar dugaannya, saat membuka lemari ada setumpuk pakaiannya di dalam, berikut beberapa yang digantung. Menghela napas panjang, Pendar menyadari kalau dirinya tidur bagai orang mati, sampai tidak menyadari aktivitas di sekitarnya.

Ia mandi lalu berganti pakaian dengan minidress bunga-bunga, menguncir rambut, dan memoles wajah dengan bedak tipis-tipis sebelum membuka pintu kamar. Pendar berjengit kaget saat mendengar sapaan dari seorang pelayan berseragam.

"Selamat pagi, Nona. Tuan Rainer menunggu Anda di meja sarapan."

Pendar mengangguk, mengikuti pelayan itu menuruni tangga dan menuju ke sebuah ruangan dekat kolam renang. Rainer duduk di depan meja kotak, memakai kaos putih dan celana sedengkul. Penampilannya sekarang, persis seperti yang diingat Pendar saat dulu masih di kontrakan. Terlihat santai, segar, dan tampan. Hanya saja, sekarang semakin matang.

"Pendar, enak tidurnya?"

Pendar mengambil tempat di seberang Rainer. "Iya, Om. Maaf, tidur kelamaan."

"Ngapain minta maaf. Kamu lelah, sudah sewajarnya kalau kamu tidur lama."

Mira datang membawa baki berisi jus jeruk, sepiring sarapan berupa salad buah, sandwich isi tuna, dan telur mata sapi di atas piring putih besar.

"Silakan dinikmati, Nona. Kalau ada yang kurang, bisa panggil saya atau pelayan lain."

Pendar tersenyum. "Terima kasih, Bu. Ini cukup."

"Makan yang banyak, biar cepat pulih dan ada tenaga."

Pendar menggigit sandwichnya, menatap Rainer yang menyesap kopi. "Tenaga untuk apa, Om? Apa aku harus bersih-bersih rumah ini buat bayar sewa?"

Rainer mendengkus, dan hampir saja menyemburkan kopinya. "Nggak usah sampai begitu, Pendar. Kamu bisa membayar sewa dengan cara lain."

"Contohnya apa, Om? Kerja di kantor?"

"Itu bisa nanti. Yang mudah aja dulu, banyak kok." Rainer bangkit dari kursi, mengitari meja dan berdiri di belakang Pendar. Ia menunduk, mengecup pipi gadis di depannya sambil berbisik. "Ciuman contohnya."

Sandwich Pendar jatuh dari genggaman. Rainer bukan hanya mengecup pipi, tapi juga rambutnya. Laki-laki itu mengurung tubuhnya dari belakang dan dengan berani melayangkan ciuman di lehernya. Membuat bulu kuduk Pendar bergidik.

"Om, ba-banyak yang lihat," bisiknya.

Rainer menunduk, kepalanya sejajar dengan Pendar. "Maksudmu pelayan?" bisiknya. "Kalau sampai ada yang berani datang kemari, aku akan memecat mereka. Sudah, makan yang banyak. Aku nggak ganggu kamu."

Masalahnya, Pendar sudah terlanjut terganggu. Sepertinya Rainer terobsesi dengan lehernya. Laki-laki itu mengecup tengkuknya sekali lagi sebelum kembali ke kursinya. Sisa sarapan Pendar tak tersentuh, karena ia mendadak merasa kenyang.

"Jangan dipaksa kalau nggak ada rasa untuk makan. Aku kerja sebentar, kamu bisa lihat-lihat rumah. Sore nanti, aku akan mengajakmu ke suatu tempat."

Setelah Rainer pergi, Pendar melangkah perlahan menyusuri kolam renang, singgah di gazebo dari kayu yang unik dan mewah, meneruskan pengamatan sampai ke bagian depan kolam yang tersambung ke garasi. Ia ternganga, melihat koleksi mobil Rainer. Total ada tujuh dan semuanya mobil merek terkenal dan mahal. Dering ponsel di tangan membuatnyab terlonjak, Ia menerima panggilan dari Deswinta.

"Ya."

"Pendar! Lo masih hidup?"

"Iyalah, kalau mati gimana bisa terima telepon."

"Tunggu, di sini ada Marsel sama Shinta. Kami kuatir karena tadi pagi ke kos dan ternyata kamar lo kosong. Ferdi bilang lo dibawa pergi orang. Siapa yang bawa lo? Ada masalah apa di kos? Bukan video, buruan!"

Pendar mengubah panggilan dari telepon menjadi panggilan video. Seketika, muncul wajah Sella dan Marsel.

"Gue baik-baik aja. Emang udah keluar dari kos."

Sella menutupi layar dengan sebagian besar wajahnya sambil mengernyit. "Tunggu, kenapa di belakang lo ada banyak mobil? Lo di mana?"

Pendar melirik ke arah garasi. "Oh, mobil Om."

"Hah, lo ada di rumah Pak Rainer?" tanya Marsel.

"Iya."

"Mulai kapan?" Deswinta muncul.

"Baru semalam. Tahu nggak? Rumah Om sama lo deketan, Deswinta. Sama sama di komplek Permata. Bedanya ini di bagian dalam, di Jalan Nusa."

Hening sesaat karena Deswinta melongo dan tak lama gadis itu menjerit. "Pendaaar! Lo gilaaa, yaa! Om lo itu kaya banget-banget! Rumahnya pasti gede, ya, kan? Ngaku lo!"

Sella menyingkirkan Deswinta dari layar ponsel. "Gue nggak mau tahu. Kasih alamat si om sekarang. Minta ijin sama dia kalau kita mau datang. Bilang, kita kuatir sama lo!"

"Eh, gue baru bangun. Sarapan aja belum habis."

"Nggak mau tahu!" sahut Deswinta. "Tanya si om sekarang, kalau nggak kita cari tahu sendiri. Jalan Nusa, atas nama Rainer Sinclair."

"Jangan gitu, kalian bikin gue malu."

Marsel mumcul, dengan wajah tersenyum. "Nggak gitu, Pendar. Kita sebagai sahabat-sahabat lo, cuma mau mastiin kalau lo baik-baik aja. Nggak dianiaya, disakiti, apalagi dijual Pak Rainer. Paham, ya?"

Sebenarnya, apapun yang dikatakan Marsel, Pendar sama sekali tidak percaya. Ketiga temannya jelas-jelas ingin memeriksa rumah Rainer, dengan dalih ingin menemuinya. Dengan ragu-ragu, Pendar mengirim pesan pada Rainer, bertanya apakah boleh mengundang teman-temannya datang. Jawaban Rainr membuat Pendar tercengang.

"Rumah ini, rumah kamu juga, Pendar. Lakukan apa yang kamu mau."

Sembari menunggu teman-temannya datang, Pendar berpikir bagaimana caranya menjual sebagain rumah ini demi biar dapat uang. Bukankah Rainer bilang ini rumahnya juga? Harusnya bisa ia jual dan beli lagi yang kecil. Pendar tersenyum dengan kekonyolannya.

**

Obrolan Hati.

Deswinta: Perumahan Permata bagian dalam, nggak ada orang biasa tinggal di sana. Bisa kaliab bayangkan seberapa kaya si om.

Sella: Kalau gue jadi Pendar, udah gue jebak si om biar hamil trus nikah!

Marsel: Deswinta, Sayang. Jangan tergiur uang dan kekayaan si om. Hati dan cinta tulus gue jauh lebih berharga dari itu semua.

Mike: Kalau Pendar tinggal di rumah Pak Rainer, apa berarti tiap weekend kita libur? (Bersorak dalam hati, membayangkan pantai, gunung, dan tempat wisata untuk dikunjungi)

Leoni: Kalau keseringan libur, aku takut jadi cepet pikun karena kurang mikir. (Tipe workaholic)

Pendar: Semoga Om nggak eneg sama teman-temanku yang norak-norak itu. Ngomong-ngomong, rumah ini kalau dijual, laku berapa, ya?

Rainer: Pendar, dari pada kamu sibuk mikir jual rumah, mending sekalian kamu minta uang sama aku.

Herman: Semua orang bahagia, Pendar, trus laki-laki kaya itu. Kenapa hanya aku yang menderita. Tubuh luka-luka, tangan patah, diancam lagi. Huaaa! (Menangis di dalam bis, meringkuk di atas kursi)

.

.

.

.

Bab 21 sudah tayang di Karyakarsa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro