Bab 7a
Pendar datang ke rumah Rainer dalam keadaan murung. Gadis kecil itu duduk di ruang tamu sambil bersedekap. Rambutnya yang basah menutupi wajah dengan air menetes-netes membasahi bagian depan kaosnya. Duduk di sofa dengan tenang, menunggu hingga Rainer selesai dengan pekerjaannya.
Rainer mendongak dari atas laptop, menatap gadis itu dengan heran. Tidak biasanya Pendar begitu pendiam, biasanya bibir mungil itu akan terus bicara dan bercerita memaksa Rainer untuk mendengarkan tentang teman-teman di sekolah, tetangga, atau pun hal remeh soal anime yang tayang di televisi. Melihat Pendar murung, Rainer merasa ada yang salah.
"Pendar, aku punya susu coklat di kulkas. Kalau kamu mau minum."
Rainer bicara dari tempatnya, menatap gadis itu yang sekarang menghela napas panjang lalu menggeleng.
"Aku bukan anak kecil lagi, Om. Masa, iya, minum susu coklat!"
Rainer mengangkat sebelah alis. Seingatnya, Pendar suka minum susu yang berperasa coklat atau strawberry, tumben amat hari ini menolak. Dengan alasan yang tidak masuk akal. Apa hubungan minum susu dengan umur? Tidak ingin berdebat, ia mencoba cara lain.
"Ada bolu keju di kulkas juga. Barangkali kamu mau."
Sama seperti tadi, kali ini Pendar juga menggeleng. Gadis itu tetap diam sambil menekuri lantai, membuat Rainer bertanya-tanya ada masalah apa. Apakah terjadi sesuatu yang serius dan membuat Pendara yang ceria menjadi murung?
Bangkit dari kursi kerja, Rainer meraih toples berisi permen coklat. Duduk di samping Pendar dengan toples terbuka di antara mereka. Ia mengambil satu permen dan menggigitnya.
"Ada apa? Kenapa murung?"
Pendar menghela napas panjang. "Aku galau, Om."
"Karena?"
"Lusa ambil rapot di sekolah, tapi keluargaku nggak ada yang bisa datang. Mama harus kerja, Papa sakit, Nenek udah tua. Ambil sendiri, nggak boleh. Katanya harus ada orang tua atau wali."
Pendar mengambil satu butir permen dan memakannya. Rainer bangkit dari sofa, menuju kamar dan kembali dengan handuk kecil.
"Keringkan rambutmu."
Pendar mengambil handuk, mengelap rambut dalam diam.
"Kalau kamu mau, biar aku yang datang ke sekolah. Bantu kamu ambil rapot."
Pendar yang sedari tadi menunduk, kali ini mendongak dengan penuh harap. "Be-benar, Om?"
Rainer mengangguk. "Iya, kalau kamu mau. Nggak masalah harusnya kalau aku yang datang. Nanti aku ijin sama nenekmu."
"Mau Om, tentu saja mau. Yang penting ada wali atau orang tua datang."
Melihat wajah gadis itu kembali berbinar, membuat Riner dilanda kebahagiaan. Rasanya aneh melihat Pendar yang suka tertawa mendadak murung. Ia rela melakukan apa pun untuk memunculkan senyuman di wajah mungil itu.
"Lusa'kan?"
"Iya, lusa. Jam 10 pagi."
"Baiklah, aku datang nanti. Ngomong-ngomong, kalau kamu nggak mau susu coklat kasih aja ke—"
"Siapa bilang aku nggak mau?" Pendar melesat, meninggalkan Rainer yang belum menyelesaikan ucapannya. Mengulum senyum, ia merasa tidak sia-sia membeli susu coklat dan bolu keju. Sementara ia bekerja, Pendar makan dan minum di sofa sambil membaca komik. Tertawa cekikikan dan mengisi rumah besar yang ditempati Rainer dengan tawa.
Entah mulai kapan Rainer tidak tahu, selalu mengharapkan kedatangan gadis itu. Seolah ada semangat yang dibawa Pendar setiap kali datang ke rumahnya. Gadis itu tidak pernah minta uang, atau jajan tapi Rainerlah yang suka rela memberikan makanan apa pun yang disukainya. Kulkas yang biasanya kosong dan hanya terisi air mineral, kini penuh oleh cemilan, susu, dan permen. Melihat Pendar tertawa di rumahnya, adalah hal yang paling menyenangkan untuk dilihat.
Di hari pengambilan rapot, Pendar mengatakan pada semua teman sekelasnya kalau hari ini yang akan mengambil miliknya adalah si om. Ia bercerita dengan menggebu-gebu tentang betapa bahagianya dia karena Rainer akan datang.
"Om Rainer ini, tetangga lo itu'kan?" Salah seorang temannya bertanya. Mereka berempat duduk di teras kelas, melihat para orang tua murid yang mulai berdatangan.
Pendar mengangguk, menatap jalanan dengan cemas. "Iya, benar."
"Oh, yang lo taksir itu?"
Pendar menutup mulut. "Ssst, berisik kalian." Ia menoleh ke sekeliling, takut ada yang mendengar. "Ngapaian, sih, ngomong gitu keras-keras?"
Salah seorang teman mengernyit. "Emang beneran cakep Om lo itu? Masa, ada Justin lewat sambil ngelirik kita, lo cuek aja."
Pendar melongo. "Emang kenapa kalay Justin lewat? Gue nggak kenal sama dia."
"Dasar aneh, lo. Selerasnya sama om-om."
"Biarin aja, wew. Nggak minat gue sama Justin, kalian ambil sono!"
Percakapan mereka terhenti saat dari arah jalanan masuk sepeda motor besar. Pengandaranya laki-laki berjaket dan bercelana hitam. Saat laki-laki itu memarkir motor, suara gumaman terdengar nyaring di koridor kelas.
"Wah, siapa itu datang pakai motor?"
"Bokap siapa, woii! Keren gitu!"
"Motor, sih, bagus, Sayang aja kalau yang naik bapak-bapak beruban."
"Nggak apa-apa, yang penting motornya cakep!"
Pendar tidak terlalu memperhatikan pengendara motor yang sedang mencari tempat parkir. Matanya fokus ke jalanan karena menunggu Rainer yang tidak juga datang. Saat si pengendara membuka helm, desah kekaguman terdengar kali ini bahkan lebih riuh dari sebelumnya.
"Cakepnyaaa!"
"Kayak bintang film."
"Wah, idola sekolah tewas semua ama dia."
"Kakak siapa itu? Ayo, ngaku. Gue mau nomor hapenya!"
Pendar melongo, tidak bisa berkata-kata saat melihat wajah di balik helm ternyata Rainer. Tadinya ia mengira, Rainer akan memakai mobil butut kesukaan untuk datang ke sekolah. Ternyata pemuda itu naik motor yang ia tidak tahu, dari mana mendapatkannya. Pendar berdiri dan menyibak kerumunan. Ada banyak ponsel milik teman-temannya dengan kamera terarah pada pemuda itu. Ia setengah berlari menghampiri Rainer dengan senyum terkembang.
"Om, keren banget, ih!" pujinya tanpa basa-basi.
Rainer tersenyum, menepuk motornya. "Kamu suka?"
Pendar mengangguk dengan mata berbinar kagum. "Suka semua. Suka sama Om dan juga motornya," celetuknya tanpa banyak mikir. Tidak melihat Rainer yang tertegun, Pendar berjongkok dan mengamati motor besar dengan serius.
Rainer berdehem. "Di mana ruang gurunya?"
"Di ujung koridor. Bukan ke ruang guru tapir uang temu. Ayo, aku antar, Om!"
Hari itu, pertama kalinya Pendar menjadi pusat perhatian saat melangkah berdampingan dengan Rainer menuju ruang guru. Semua mata tertuju pada mereka, tidak terkecuali para orang tua dan wali murid yang sudah menunggu di ruang temu.
Pendar membiarkan Rainer masuk sendirian, karena murid tidak diperbolehkan ikut. Saat meninggalkan ruang temu menuju kelasnya, sepanjang koridor tak hentinya menerima pertanyaan tentang Rainer. Siapa namanya, kerja atau kuliah di mana, berapa nomor ponselnya. Sampai di kelas, teman-temannya tak kalah heboh. Mereka mengerubunginya dan mengajukan banyak pertanyaan. Pendar mengangkat tangan dan berujar lantang.
"Seperti yang tadi gue bilang, dia itu om gebetan gue. Nggak ada yang boleh deket-deket, titik!"
Mengabaika protes teman-temannya, Pendar kembali duduk di teras dengan senyum merekah, membayangkan penampilan Rainern yang luar biasa menawan. Laki-laki itu seperti model yang baru keluar dari majalah otomotif. Tampan, berwibawa, dengan motor besar.
Tidak sampai satu jam, Rainer keluar dari ruang temu bersama para orang tua murid yang lain. Dari samping motor, ia melambai pada Pendar dan gadis itu berlari kecil menghampiri.
"Rapotmu udah dapat, dan kata wali kelas bisa langsung pulang bareng kamu."
Pendar terperangah. "Beneran, Om? Bisa pulang naik motor?"
Rainer mengangguk, menatap Pendar dengan rok seragamnya. "Gimana mau naik motor kalau pakai rok?" tanyanya.
"Ah, gampang itu. Tunggu, ya, Om."
Pendar melesat ke kelas dan datang lagi membawa tas ransel. Masih memakai seragam yang sama, kali ini ada celana olah raga sebatas lutut di balik rok biru. Tersenyum pada Rainer sambil mengembangkan roknya.
"Gimana? Bisa'kan naik motor."
Rainer mengangguk, mengambil helm yang sudah dipersiapkan untuk Pendar. Membantu gadis itu memakaikannya. Motor melesat meninggalkan halaman sekolah dengan Pendar berada di boncengan Rainer. Gadis itu memekik kegirangan saat motor meliak liuk di jalanan dengan angin menerpa tubuh serta wajah. Sensasi yang sangat berbeda ia rasakan.
Rainer tidak langsung membawa Pendar pulang. Membelokkan motor menuju restoran fast food. Ia memesan burger, kentang, dan minuman bersoda. Duduk berhadapan di meja kecil, Rainer tersenyum saat melihat Pendar makan dengan lahap. Gadis itu memakan semua yang dibelinya.
"Om, banyak yang ngelihatin kita. Kayaknya, mereka naksir Om semua," bisik Pendar sambil meneguk sodanya. Ia melihata bagaimana pengunjung perempuan mengarahkan pandangan mereka pada mejanya. Semua pasti karena Rainer.
"Siapa bilang mereka naksir aku?" elak Rainer.
"Lah, terus? Nggak mungkin cewek naksir cewek?"
"Oh, itu karena mereka lihat kamu lucu. Pakai rok dobel sama celana olah raga."
Pendar mencebik. "Mana ada begitu dibilang lucu?"
"Kalau nggak percaya tanya aja mereka."
"Om, aneh, sih."
"Jadi aku yang aneh."
"Dibilangin banyak yang naksir, nggak percaya."
Rainer tertawa terbahak-bahak, menatap gadis yang mencebik kebingungan. Ia bisa merasakan tatapan ingin tahu para perempuan di sekitarnya, tapi sama sekali tidak membuatnya tertarik. Pandangan dan perhatiannya hanya tertuju pada gadis berseragam SMP dengan senyum paling tulus yang pernah ia lihat.
**
Di Karyakarsa sudah bab 15
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro