Bab 6b
Pameran lagi-lagi sukses besar, Pendar mendapatkan bonus yang cukup banyak. Meskipun masa pameran hanya berlangsung beberapa hari, tapi uangnya cukup untuk menambah penghasilan. Pendar sedang mempersiapkan diri untuk menjadi SPG di event yang lain. Beberapa agen pencari kerja menghubunginya dan ia belum memutuskan ingin menerima yang mana.
Di sela waktu luangnya, ia mempersiapkan kuliah yang akan memulai sementer baru. Tahun terakhirnya di perguruan tinggi, setelah sarjana ia bisa mencari pekerjaan yang lain.
"Kalau lo ntar jadi sarjana, nglamar aja di tempat Pak Rainer." Deswinta memberi usulan. Saat itu mereka sedang berkumpul bersama di sebuah kafe kecil yang letaknya tidak jauh dari kampus. Kafe yang menyediakan kopi dan minuman kekinian itu selalu penuh dikunjungi para mahasiswa.
Pendar menggoyang gelas plastik berisi kopi dingin, sebelum menyesapnya. "Nggak tahu, ya? Kalau gue ngelamar di sana, takut dibilang pakai orang dalam."
Sella mencocol kentang goreng dengan saos. "Apa bedanya emang? Cari kerja susah, kalau ada orang yang bisa bantu, napa ditolak?"
Deswinta mengangguk. "Nah, benar itu. Nggak selamanya kita bisa jadi SPG. Enak kalau punya pekerjaan tetap. Gue aja, nggak nolak bantuan ortu kalau memang ada."
Pendar memikirkan perkataan dua sahabatnya. Memang benar apa yang dikatakan mereka, kalau ada orang yang bisa membantu, tidak seharusnya menolak. Ia cukup yakin kalau Rainer akan membantunya, mengingat hubungan baik mereka selama ini. Tapi, ia tidak tahu apakah ilmu yang didapatkannya di bangku kuliah sesuai dengan pekerjaan di kantor Rainer.
"Heh, malah bengong. Mikirin Om?" cecar Deswinta.
Pendar mengangguk malu-malu. "Nanti malam kami ada janji makan malam."
Deswinta dan Sella terbelalak, keduanya memajukan kursi dan bertanya serius. "Hah, mau makan di mana? Restoran mana?" tanya Deswinta.
Sella tersemyum. "Barangkali hotel, sekalian mau chek in."
"Apaan sih, kalian. Kita cuma mau makan pecel ayam pinggir jalan. Aku yang traktir."
Deswinta memutar bola mata, sedangkan Sella mendesah kecewa. Keduanya bertukar pandang dengan tidak mengerti.
"Om lo itu kaya rayaaa, masa makan di piggir jalan." Deswinta berucap jengkel. "Emangnya nggak bisa bawa lo ke tempat yang mewah dikit?"
"Takut gue yang bingung kalau ke tempat mahal. Tahu sendiri kalian, tempat mahal biasa ada aturan untuk para pengunjungnya."
"Tapi, lo cantik!" ujar Sella ringan.
Pendar meleletkan lidah. "Apa hubungannya makan sama cantik?"
"Eh, masa nggak tahu? Orang cantik mau ngapain aja dimaklumi. Keadilan sosial bagi good looking pokoknya."
Pendar tidak tahu, dari mana Sella mendapatkan quote seperti ini. Masalahnya, bergaul dengan Rianer mengandalkan kecantikan saja tidak cukup. Ada banyak hal lain untuk pertimbangan. Ia ingat wajah mantan istri Rainer yang cantik, anggun, dan juga sama-sama berasal dari lingkungan orang kaya. Tapi, tidak menjamin kalau hubungan pernikahan mereka bisa langgeng. Apalagi dengan dirinya, yang justru tidak punya apa-apa? Bagaimana harus memelihara cinta biar tetap mekar dan berkembang? Pendar selalu punya prinsip, bahkan saat jatuh cinta sekalipun, realistis itu perlu.
"Hai, kalian ngumpul di sini? Gue ada berita bagus."
Marsel datang, dengan brosur di tangan. Meraih minuman Deswinta, menandaskannya dengan tidak peduli meskipun melihat gadis itu melotot.
"Ini, buat kalian satu-satu."
Mereka menerima brosur dan membacanya. Isinya berupa ajakan untuk ikut pemilihan putra dan putri kampus. Pendar meletakkan brosur dan menghela napas panjang.
"Dari tahun ke tahun selalu ada ginian. Ngapain ikut?"
Marsel menggeleng. "Justru ini kesempatan bagus. Bukan sekedar putra dan putri kampus yang cantik-cantik doang. Tapi, yang menang bakalan ada kesempatan magang di perusahaan Good and Food Official, tahu bukan apa dan siapa pemilik perusahaan itu?"
Ketiganya tercengang saat mendengar perkataan Marsel. "Yang bener lo?" tegas Sella.
Marsel mengangkat tangan. "Swear! Kalau bohong, gue rela nikah sama Deswinta."
"Mau lo!" Deswinta menyela sambil mencebik. "Tapi, ini kesempatan bagus buat Pendar. Kalau gue sama Sella, tinggi kayaknya sedikit kurang. Bukan berarti kita berdua pendek. Pendar paling tinggi, tubuh paling langsing, dan juga cantik. Selain itu, otaknya paling encer di antara kami. Gue dukung Pendar daftar ini!"
Sella mengangguk. "Yes, gue juga setuju."
Pendar tertawa lirih. "Napa bukan kalian aja yang ikut daftar, atau kita daftar barengan gimana?"
Deswinta menggeleng. "Pendar, kalau lo daftar, pasti butuh tim sukses. Udah, kami bertiga jadi tim sukses lo aja."
"Nggak, kita bertiga bisa punya kesempatan yang sama untuk maju!"
Kali ini Sella yang menjawab. "Yang dibilang Deswinta itu benar, otak kami nggak secemerlang lo. Lagian, ya, kalau jadi putri kampus, nggak boleh yang sekedar cantik, tapi juga pengetahuan luas. Gue sama Deswinta, ngaku kalau malas belajar."
"Benar, kami malas belajar."
"Karena itu, lo aja yang ikut."
"Kita semua dukung lo!"
Atas desakan teman-temannya, Pendar mengatakan akan memikirkannya nanti. Ia sendiri tidak tahu, apakah punya waktu untuk ikut kontes-kontes begitu, sedangkan harus tetap bekerja demi biaya kuliah dan juga hidup sehari-hari. Belum lagi keluarganya yang terus menerus minta uang kiriman.
"Gue siap jadi sopir kalian. Kemanapun kalian mau pergi, gue anterin!" Marsel berujar ceria, mengedipkan sebelah mata pada Deswinta. "Ya, nggak, Sayang?"
"Napa lo ngedip-ngedip? Kelilipan?"
"Iya, mataku kelilipan ragamu. Hatiku, terisi cintamu!"
"Gombal!
Marsel berteriak saat Deswinta mencubiti pinggangnya. Pendar dan Sella bertukar tawa, selalu menyenangkan melihat keduanya bercanda. Deswinta mungkin enggan menerima cinta Marsel, tapi semua orang tahu kalau hubungan keduanya sangat dekat, bahkan melebihi pacaran.
**
Rainer mengedarkan pandangan ke sekeliling lounge, mengamati sekilas pada orang-orang yang berada di sana, hingga matanya tertuju pada sosok perempuan cantik yang duduk di meja sofa dekat jendela. Perempuan itu memejamkan mata, menikmati musik yang dimainkan oleh seorang pianis. Ada minuman di tangannya, dan seolah tidak terpengaruh oleh hiruk pikik lounge. Rainer merapikan dasinya sebelum mendatangi perempuan itu.
"Andrea ...."
Sapaannya membuat perempuan itu membuka mata, menatapnya dari atas ke bawah tanpa malu-malu dan tersenyum lebar.
"Rainer, apa kabar? Silakan duduk."
Rainer mengambil posisi di depannya.
"Mau minum apa? Pesan sendiri bisa?"
Rainer mengangguk, memanggil pelayan dan memesan cocktail tanpa alkohol.
"Wow, minuman pilihanmu agak di luar dugaan."
"Malam masih ada janji, kurang bijak kalau aku mabuk."
Andrea tertawa lirih, mengangguk kecil. Menegakkan tubuh, ia menatap Rainer dengan penuh minat. Ia sudah pernah beberapa kali bertemu Rainer, tapi baru kali ini bicara secara pribadi berdua. Ternyata, Rainer jauh lebih tampan saat dilihat dari jarak dekat.
"Wow, Rainer, kamu ternyata sangat tampan dan tubuhmu atletis."
Raier mengernyit, mendengar pujian dari Andrea yang terang-terangan. "Bukannya kita sudah pernah bertemu. Kenapa kamu seperti sedang takjub?"
"Karena selama ini jarang memperhatikanmu secara serius. Baru kali ini aku benar-benar mengamatimu, setelah papaku bicara soal akuisisi."
Andrea tersenyum sambil menepuk-nepuk stelannya yang mahal, berupa celana panjang dan blazer hitam. Ia selalu menyukai segala sesuatu yang simple dan praktis, terutama untuk bekerja. Ia punya uang untuk tampil feminin, barangkali membeli pakaian kerja yang trendy. Namun, baginya itu tidak efektif dan tidak menunjukjan jati diri yang sebenarnya. Ia adalah salah satu pewaris Ultima Group, sudah seharusnya berpenampilan tangguh agar orang percaya. Ia merawat tubuh dan wajahnya dengan baik, membayar mahal seorang dokter gizi untuk membantunya mengontrol kalori yang masuk ke tubuh. Penampilannya dengan rambut yang dipotong pendek, mungkin terkesan biasa saja. Tapi, otaknya sangat bisa diandalkan.
Rainer menerima minuman dari pelayan, meneguk perlahan. "Sepertinya kita salah pengertian soal ini. Dari awal aku sudah bilang, tidak berminat soal akuisisi."
Andrea mengernyit. "Kenapa? Kamu bisa dapat keuntungan kalau kita melakukan itu. Lagi pula, syarat yang diajukan papaku mudah."
"Memang mudah, kecuali syarat pribadi."
"Ah, begitu. Kamu keberatan soal menikah denganku? Memangnya sudah kamu pikirkan kalau kita menikah akan seperti apa?"
Rainer menggeleng. "Sorry, aku nggak minat pernikahan bisnis."
Andrea memajukan posisinya, menatap tajam tanpa senyum. "Bagaimana kalau aku tertarik? Kamu tampan, cukup kaya, dan bisa diandalkan mengelola perusahaan. Menikah denganku, sama saja seperti mendapatkan sepertiga dari Ultima Grup. Apa menurutmu yang kurang dari aku? Wajahku cukup cantik, aku bisa kerja, dan kaya raya. Bukankah kita berdua sangat cocok?"
Rainer tergoda untuk mengguncang bahu Andrea dan menyadarkan perempuan itu, kalau dalam berumah tangga, syarat-syarat yang disebutkan justru bukan hal penting. Ia tidak berminta menikah dengan perempuan kaya, dan tanpa cinta, karena pada akhirnya justru membuatnya tidak bahagia
"Andrea, satu hal yang harus kamu tahu. Kita nggak cocok," ucapnya tegas.
Andrea tetap tersenyum manis. "Pikirkan dulu, jangan buru-buru menolak."
"Sorry, udah aku pikirin masak-masak."
"Bagaimana kalau kita coba untuk nge-date berdua?"
"Aku kurang minat, lagi pula kita nggak ada waktu untuk itu."
"Kalau begitu, aku menunggumu sampai ada waktu, Rainer. Jangan menghindariku terlalu lama."
Keluar dari lounge, pikiran Rainer tertuju pada Pendar. Mereka ada janji untuk makan pecel lele bersama dan sekarang waktu hampir menujukkan pukul sepuluh malam. Semoga gadis itu masih menunggunya. Ia tidak menyangka, kalau bicara dengan Andrea ternyata menguras tenaga dan waktu. Perempuan itu terus mendesak soal pernikahan dan membuat dirinya kewalahan.
Tiba di depan kos-kosan, Pendar Sudah menunggu di depan gerbang. Rainer membuka kaca dan berniat turun untuk membantu membuka pintu tapi Pendar lebih dulu bergerak cepat.
"Aku masuk sendiri, Om."
Mereka duduk berdampingan, dengan bibir bertukar senyum. Rainer seolah menemukan dunianya kembali melalui cahaya mata Pendar yang berkilau saat menatapnya.
**
Obrolan Gaje
Sella: Akhirnya, muncul juga gue di bab ini.
Deswinta: Muncul sedikit tapi lumayanlah, dari pada nggak.
Marsel: Asalkan yayangku senang, aku juga senang.
Leoni: Tanteee? Mulai kapan aku nikah sama om gadis itu?
Mike: Susah kalau orang bucin, dipanggil 'om' malah senang.
Pendar: Ikut kontes, kira-kira bisa nggak, ya?
Rainer: Nggak peduli sama keadaan di luar sana, asalkan ada Pendar, semua bisa diatasi. (Bucin maksimal)
Andrea: Aku akan mengejar Rainer, bukan jamannya lagi perempuan menunggu sambil malu-malu.
Perempuan bergaun biru di pameran: Seorang SPG bisa dapat laki-laki kaya dan tampan, apalagi gue? Minimal bintang film atau direktur. (Mengibaskan rambut ke belakang dengan penuh percaya diri, lalu terpeleset dan jatuh di lantai mall yang licin. Sakit nggak, malu iya)
**
Cerita ini lebih ke drama dari pada komedi, jangan terlalu berharap lucu, ya? Kalau pun ada obrolan hati, untuk cerita roman yang ringan, sebisa mungkin emang ada obrolannya. Biar seru aja!
Di Karyakarsa udah bab 13.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro