Bab 5b
Pendar memikirkan sikap Rainer. Tidak tahu apa anggapan laki-laki itu padanya. Apakah Rainer selalu bersikap baik dan mesra pada perempuan yang dekat dengannya, atau hanya padanya? Pendar merasa dirinya di ujung bimbang.
Setelah kendaraan Rainer menghilang di ujung jalan, Pendar masuk ke halaman yang sepi. Di ujung tangga, ia tertegun saat melihat Ferdi berdiri dalam balutan baju tidur two piece motif strawberry warna merah jambu. Pendar berusaha untuk tidak tertawa, merasa kalau baju itu terlalu menggemaskan untuk dipakai Ferdi, yang wajahnya sudah tumbuh kumis dan janggut. Rupanya, bagi ibu kos, anak laki-laki selamanya akan menjadi anak, tidak peduli berapa pun umurnya.
"Pendaaar, kamu pulang pagi?" Ferdi menyapa dengan suara yang lirih dan penuh takjub, menatap Pendar dari atas ke bawah. "Naik apa kamu?"
Pendar tersenyum. "Biasa, diantar teman." Langkahnya terhenti karena terhalang tubuh Ferdi. "Eh, tolong. Minggir dong."
Ferdi memiringkan tubuh sambil menggeleng. "Pendar, kamu kerja terlalu giat. Sampai-sampai jam segini baru pulang."
"Yah, namanya juga anak rantau. Harus kerja buat makan."
Seperti biasa, Ferdi mengikuti langkah Pendar hingga sampai di depan kamar kos. Pendar membalikkan tubuh, mengerling pada pemuda itu.
"Kamu ngapain ngikut, sih?"
"Nggak, cuma mau mastiin kamu selamat tiba depan kamar. Ngomong-ngomong bingkisan apa itu?"
"Oh, dari boss."'
"Boss kamu laki-laki?"
Pendar mengangguk. "Iya."
"Tampan nggak?"
Pendar teringat pada Didi dan menggeleng. "Nggak, sih, biasa aja."
Ferdi menghela napas lega dan berucap sambil tersenyum semringah. "Oh, syukurlah. Aku pikir boss kamu muda dan tampan, makanya kamu betah kerja sama dia."
Tawa lirih keluar dari mulut Pendar, memutar kunci dan membuka pintu. "Boss memang udah tua dan biasa aja, tapi bis bossnya baru beda."
"Beda gimana?"
"Ehm, kaya raya, tampan, rupawan, dan single." Tidak memberi kesempatan untuk Ferdi menjawab, Pendar buru-buru menutup pintu. "Nite!"
Ferdi tertegun, mulutnya yang membuka membentuk huruf 'O' untuk beberapa saat, sebelum akhirnya sadar dan meneguk ludah. Ia memiringkan kepala, memikirkan perkataan Pendar. Kalau big boss ternyata kaya raya dan masih muda, apakah itu berarti Pendar tertarik padanya? Ferdi mendadak gundah. Ia terbangun berniat minum lalu kembali tidur, siapa sangka bertemu Pendar yang baru pulang. Tadinya, ia berniat untuk mengajak gadis itu kencan esok siang, malah akhirnya hati kecilnya merasa sakit.
Ferdi membalikkan tubuh, menuruni tangga menuju kamar orang tuanya. "Aku tahu, aku memang nggak kaya, Pendar. Tapi, orang tuaku punya kos-kosan, dan wajahku juga nggak jelek. Tega kamu bandingin aku sama bossmu. Hiks!"
Ia menghentakkan kaki dengan kesal, tiba di depan pintu dan berteriak. "Maaaa! Aku kesal!"
"Berisik banget lo!" Teriakan sang mama membungkam mulutnya.
**
Selama beberapa hari berikutnya, Pendar lebih banyak di rumah. Ia tidur dan bangun saat matahari sudah terik. Memesan makanan secara online, dan menghabiskan waktunya untuk membaca buku. Di hari kedua menganggur, Sella dan Deswinta datang, menyeretnya keluar kamar dan memaksanya ke salon. Di hari itu, berakhir dengan dirinya menggunting rambut dan creambath. Setelah itu, ia kembali ke kamar dan sama seperti sebelumnya, menghabiskan waktu berkutat dengan buku-buku.
Rainer menelepon setiap malam. Laki-laki itu mengatakan sedang ada di luar kota dan akan kembali dalam beberapa hari. Rainer juga menanyakan apakah dirinya menginginkan oleh-oleh? Dengan bercanda, Pendar mengatakan ingin cincin berlian. Rainer menanggapi secara serius gurauannya.
"Cincin berlian itu kecil untukku. Masalahnya, kamu siap nggak kalau pakai cincin dari aku?"
"Pakai tinggal pakai, apanya yang nggak siap, Om?"
"Harus kamu ingat, Pendar. Aku ngasih nggak sekedar cincin, tapi berikut gaun dan mahar."
Pendar terdiam, akhirnya mengerti maksud perkataan Rainer. Tidak ingin memperpanjang masalah, ia mengucapkan selamat tinggal dengan cepat lalu menutup panggilan.
Terduduk di atas ranjangnya yang sempit, Pendar meraih boneka kecil dan memeluknya. Boneka ini dulu didapatkan Rainer untuknya. Boneka yang selalu dibawa kemanapun ia pergi, menjadi temannya di kala gundah. Ia memikirkan Rainer dan semua perkataan laki-laki itu. Apakah Rainer serius dengan ucapannya? Pendar bahkan tidak berani berharap.
"Om, silakan menikah. Aku akan mengucapkan selamat dengan lantang. Tapi, Om harus tahu satu hal, kalau terjadi apa-apa nanti, masih ada aku. Om, aku tunggu dudamu."
Pendar pernah mengatakan semua omong kosong itu, saat Rainer menikah. Di depan laki-laki berpakaian pengantin lengkap. Saat itu, hatinya yang terluka ingin berteriak dan mengatakan semua perasaan. Toh, setelahnya mereka tidak bertemu lagi. Semua menjadi kenyataan, setelah menikah, Rainer menghilang dan tidak pernah kembali lagi. Meninggalkan dirinya dengan rasa malu dan luka di hati.
Rainer kembali, dengan status duda. Pendar tidak tahu, apakah masih bisa dirinya berharap? Membalikkan tubuh dan berbaring miring menghadap dinding, Pendar berusaha memejamkan mata.
Setelah tiga hari menganggur, Pendar kembali bekerja di hari Kamis. Kali ini, ia menjaga stand untuk make up dan perawatan rambut di lantai dasar mall. Ada banyak pengunjung yang datang, rata-rata adalah kaum hawa. Stand pamerannya selalu penuh pengunjung, dan ia melayani dengan sabar. Pameran kali ini, ia tidak bersama dua sahabatnya, karena mereka bekerja dengan wedding organize, menjadi pagar ayu.
Menatap antrian yang mengular di depannya, Pendar tersenyum sambil menyapa ramah. "Selamat, datang. Ada yang bisa aku bantu, Kakak?"
**
Melintasi lobi bandara yang ramai dengan koper di tangan, Rainer memberikan perintah-perintah pada dua asistennya. Mereka baru saja bertemu klien besar yang akan bekerja sama dalam bisnis pengembangan jaringan telekomunikasi. Pembicaraan yang alot selama beberap hari akhirnya membuahkan hasil yang baik. Sebuah kendaraan besar yang mewah sudah menunggu mereka.
"Mike, kita mampir ke suatu tempat dulu sebelum kembali ke kantor."
Mike yang duduk di jok depan bersama sopir mengangguk. "Baik, Pak. Kita mau kemana?"
"Casabella mall."
Mike bertukar pandang dengan Leoni dengan kaget. Tidak bisanya sang boss pergi ke mall di hari kerja. Bukankah masih banyak pekerjaan menunggu? Belum lagi jadwal meeting yang padat.
"Ingin makan siang di mall, Pak? Apa perlu saya pesankan tempat dulu?" tanya Leoni.
Rainer menggeleng. "Nggak usah. Aku hanya ingin pergi ke sana. Nanti kalian juga akan tahu. Ngomong-ngomong, bagaimana pembicaraan dengan PT. Ultima?"
Leoni menggeleng dengan wajah muram. "Belum mendapatkan kesepakatan, Pak. Direktur utama PT. Ultima menyetujui beberapa klausula dari kita. Tapi, beliau juga menyertakan beberapa syarat, salah satu di antaranya sangat pribadi."
Rainer melirik asistennya. "Pribadi? Untuk siapa?"
"Anda, Pak."
Rainer berdecak, menangkupkan jari jarinya di depan dada. "Sepertinya aku tahu apa maksudmu, ini pasti berhubungan dengan anak perempuan dari direktur bukan?"
Leoni mengangguk dengan enggan. "Benar, Pak."
"Baiklah, aku mengerti."
Rainer terdiam, menatap bagian depan kendaraan sambil melamun. Merasa tidak habis pikir dengan tindakan para pelaku bisnis yang mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Ia sudah pernah melakukannya sekali dan gagal, kali ini tidak akan pernah mengulanginya.
Anak dari direktur PT, Ultima, adalah seorang perempuan cantik berusia hampir tiga puluh tahun. Perempuan itu belum menikah, dan menghabiskan waktunya untuk berbisnis. Rainer menghargainya sebagai sesama pelaku bisnis, tapi tidak lebih dari itu. Ia lebih rela tidak mendapatkan proyekj kerja sama dari pada harus mengorbankan hati, terlebih sekarang sudah ada Pendar. Susah payah ia mencari gadis itu, Sudah bertemu, dan tidak akan pernah ia lepaskan lagi.
"Pak, kita sudah sampai." Teguran Mike membuyarkan lamunan Rainer.
"Ayo, kita turun."
Mike dan Leoni tidak membantah saat mengikuti Rainer melintasi lobi mall yang ramai. SEkarang adalah hari Sabtu. Sudah sewajarnya, mall penuh dengan pengunjung. Rainer tidak masuk ke restoran seperti sangkaan Leoni, melainkan melangkah ke tengah lobi dan kini berdiri di antara para perempuan yang mengantri di depan stand kecantikan.
"Pak, apa ada sesuatu yang menarik dari stand ini?" tanya Mike.
Rainer mengangguk. "Tentu saja."
Leoni melirik bossnya. "Apakah Anda berminat membuka bisnis produk kecantikan, Pak?"
Kali ini Rainer tertawa lirih. "Menurutmu bagaimana, Leoni. Apakah aku harus melakukan itu?"
Pertanyaan mereka dijawab dengan pertanyaan lain oleh Rainer, membuat Leoni dan Mike saling pandang dan menggeleng putus asa. Akhir-akhir ini sikap boss mereka memang agak aneh. Sering melamun, kadang-kadang tersenyum sendiri dengan ponsel di tangan. Kalau tidak mengenal Rainer yang sangat tegas dan keras dalam berbisnis, mereka akan mengira kalau bossnya sedang berbalas pesan cinta. Tentu saja mereka menyingkirkan kemungkinan itu, karena tidak mungkin Rainer begitu.
Antrian bergerak cepat, saat stand menambah dua meja PSG untuk melayani pengunjung. Hingga tiba giliran Rainer dan Pendar membuat SPG stand, terkagum bingung kala melihat mereka berdua.
"Om, kenapa ada di sini?"
Panggilan Pendar yang sangat akrab pada Rainer, membuat Mike dan Leoni tercengang. Mulai kapan boss mereka punya ponakan yang sudah besar? Bukannya ponakan Rainer masih SD?
"Pendar, asistenku ingin mencoba produk make up kamu," jawan Rainer.
Pendar terbelalak. "Beneran, Om?"
"Iya, ini dia orangnya."
Rainer menunjuk Leoni yang kaget sampai tidak bisa bicara. Leoni menunjuk dirinya sendiri dan berkata dengan tergagap.
"Sa-saya, Pak?"
"Iya, Leoni. Udah, kamu duduk aja. Nikmati waktumu dan biarkan wajahmu dirias cantik."
Melihat Leoni ragu-ragu, Rainer menunjuk kursi kosong di sebelah meja Pendar. Ada seorang SPG yang memegang kuas dan palet make-up. "Sana, duduk!"
Mau tidak mau, Leoni menuruti perintah bossnya. Ia duduk dengan canggung, memejamkan mata dan mengucapkan doa-doa saat merasakan sapuan kuas di wajah.
**
Obrolan Hati.
Deswinta : Gue mulai nggak suka sama penulisnya.
Sella: Sama. Kita masa muncul cuma sekilas di narasi, ke salon doang lagi.
Marsel: Kalian enak, muncul biar pun dikit. Lah gue, disebut aja kagak.
Ferdi: Gimana caranya jadi boss yang muda dan kaya raya? Bisnis apa yang bisa cepat kaya? Ternak lele bisa nggak , ya?
Leoni: Sumpah, di make up itu jauh lebih menakutkan dari pada ketemu klien besar. Aduuh, mukaku!
Mike: Si gadis cantik dan om-nya yang masih muda. Ehm ....
Pendar: Om!
Rainer: Ya, Pendar! Mau bayar pajak lagi?
Tukang ngamen: Sedikit lagi, bibir mereka ketemu. Ah sial, gara gara kami datangnya kecepetan, gagal lihat ciuman secara live!
.
.
.
Di Karyakarsa bab 10
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro