Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4b

Rainer tertegun, saat mendapati papanya duduk di ruang tamu dengan cerutu di tangan. Ia bisa mendengar suara mamanya bicara dengan pelayan dari ruang tengah. Merasa heran karena orang tuanya datang tanpa memberitahunya.

"Papa? Sudah lama?"

Sanjaya menggeleng. "Belum lama. Duduklah, mamamu membawa makanan."

"Aku sudah makan, Pa."

"Tumben. Biasanya kamu lupa soal makan."

"Tadi sama teman."

Rainer mengenyakkan diri di samping papanya, tak lama mamanya keluar membawa piring lebar dengan sushi di atasnya.

"Makan dulu. Pasti lapar."

Rainer menggeleng. "Sudah kenyang, Ma."

"Tumben." Hanah menatap anaknya dengan kaget.

Sanjaya menjentikkan cerutu dan mematikan api. "Itu yang aku katakan tadi. Tumben jam segini sudah makan. Tapi, sekarang bukannya jam sebelas malam?"

"Setengah dua belas," sahut Rainer. "Mama dan Papa ngapain datang malam-malam ke rumah?"

Hanah meletkan sushi di atas meja, mengamati anaknya. Beberapa hari tidak bertemu, ia merasa ada yang berbeda. "Rainer, proyekmu goal?"

Ranier menggeleng. "Proyek apaan, Ma?"

"Nggak tahu, wajahmu kelihatan senang soalnya. Nggak biasa juga lihat kamu semringah begini. Biasanya pulang kerja kusut, sampai-sampai mama pikir kamu butuh istri baru buat mendampingi."

Rainer tergelak malu, teringat kecupan bersama Pendar dan dirinya menggila karena itu. "Nggak usah begitu, Ma. Memangnya orang senang harus berhubungan sama proyek?"

"Lah, makanya mama tanya. Kamu di otaknya cuma ada kerja sama kerja, kalau nggak karena proyek, apalagi?"

"Memang itu yang penting sekarang."

Rainer mengambil sepasang sumpit dan makan satu buah sushi. Ia bisa merasakan tatapan kedua orang tuanya. Pasti ada hal penting yang akan mereka sampaikan. Dugaannya tidak salah.

"Celine, akan menikah lagi bulan depan," ucap Hanah.

Rainer mengangguk. "Aku sudah tahu, Ma. Dapat undangannya."

"Oh baguslah. Kamu berencana datang?"

"Tentu saja. Kami nggak ada masalah. Cerai secara baik-baik. Dia akan menikah, tentu saja aku harus datang."

Sanjaya berdehem. "Apa kamu tahu siapa suaminya?"

"Feris Adiwijaya, direktur PT. Adiwijaya Group."

"Kamu tahu semua tentang Celine?" celetuk Hannah.

"Aku bukan tahu semua, hanya sebagian. Tapi, Celine memberikanku undangan pernikahannya dengan tangannya sendiri. Datang langsung menemuiku dan bercerita. Itu saja."

Sanjaya bertukar pandang pandang dengan istinya. Mereka kembali mengamati anaknya dengan serius.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Sanjaya. "Apa kamu nggak tertarik mengakhiri masa dudamu?"

Rainer mengangguk. "Tertarik, tapi tidak sekarang."

Hannah tercengang. "Serius? Kamu punya keinginan begitu?"

"Iya, Ma. Kenapa kaget begitu?"

Hannah mengulum senyum, tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Biasanya, Rainer selalu menolak setiap kali ia bicara soal jodoh atau pasangang. Anaknya itu akan menjawab ketus kalau proyek dan pekerjaan jauh lebih penting dari pada cinta.

Pernikahan Rainer hanya bertahan dua tahun. Sebuah pernikahan singkat tanpa anak. Meski begitu, hubungan antara Rainer dan Celine masih terjalin dengan baik. Perceraian sama sekali tidak menyisakan permusuhan. Setelah menduda, Rainer menghabiskan banyak waktunya untuk bekerja. Hannah sempat kuatir kalau anaknya berkubang dalam bisnis dan tidak memikirkan cinta. Sepertinya ada yang berbeda dan itu membuatnya senang.

"Mama senang kalau kamu punya kekasih. Cepat-cepat nikahi dia, biar kami nggak kuatir."

Rainer memeluk mamanya singkat. "Iya, Ma. Pasti aku nikahi dia. Kalian tunggu saja."

Rainer memikirkan Pendar dan bayangan tentang pernikahan membuat senyumnya terkembang. Kalau suatu saat ia akan mengakhiri masa menduda, Pendar adalah perempuan yang tepat untuknya. Semoga saja, gadis itu merasakan hal yang sama padanya.

**

Hari terakhir pameran, untuk kali ini Deswinta dan Sella juga bekerja satu hari full. Dikarenakan pengunjung yang membludak. Mereka sibuk melayani pelanggan, memberi penjelasan, dan membantu bagian penjualan. Pendar berharap, dengan suksesnya pameran ia bisa mendapatkan bonus. Mamanya sudah merengek ingin minta uang. Alasan demi pengobatan sang nenek. Pendara berharap, bisa punya pekerjaan yang stabil dan bisa merawat neneknya di sini.

"Eh, ada gosip," bisik Sella saat mereka istirahat minum. "Katanya, Pak Rainer mau datang malam ini."

"Mau nutup pameran?" tanya Pendar.

"Bisa jadi, atau sekedar kangen sama lo."

"Itu lebay, sih."

"Tapi, Pendar. Kalau gue jadi lo, dikejar sama laki-laki kaya yang tampan kayak gitu. Dengan senang hati masuk ke pelukannya dan naik ke ranjangnya."

Pendar menjitak jidat Sella dan gadis itu menjerit. "Otaknya tolong dijaga, ya?"

Sella mengusap jidatnya. "Emangnya apa yang salah? Lo sendiri apa nggak pernah kepikiran gimana rasanya dipeluk dan dicium Pak Rainer?"

Pendar merasa wajahnya memanas, teringat akan kecupan Rainer beberapa hari silam. Ia meneguk minum dalam jumlah besar dan meninggalkan Sella sendiri.

"Pendar! Tungguin gue!"

Pendar menepuk pipinya, obrolan tentang pelukan dan ciuman membuat imajinasinya melayang tak tentu arah. Tentu saja ia pernah dikecup Rainer, dan sentuhan ringan di bibirnya itu cukup membuat tubuhnya melayang. Seandainya waktu itu Rainer tidak menahan diri, barangkali akan beda cerita. Pendar bergidik, berusaha mengeyahkan pikiran kotornya tentang ciuman.

Pengunjung terus berdatangan hingga menjelang tutup. Pendar bahkan nyaris tidak punya waktu makan, hanya minum dan makan cemilan sekadarnya untuk mengganjal perut. Ia melayani banyak pembeli dengan jumlah transaksi yang meningkat pesat di banding hari-hari sebelumnya. Pameran biasa tutup pukul sembilan, kali ini milor sampai jam setengah sebelas karena banyaknya antrian.

Pukul sebelas, antrian sudah selesai dan stand benar-benar ditutup. Rainer datang bersama Mike, mengumpulkan para karyawan dan SPG di stand yang sudah kosong.

"Terima kasih untuk kerja kerasa kalian. Tahun ini, penjulana jauh melebihi target."

Setelah menberikan sepatah dua patah kata, Rainer membagikan bingkisan untuk mereka semua, termasuk Pendar, Sella, dan Deswinta.

"Pendar, lapar nggak?" bisik Sella saat mereka melangkah lunglai ke ruang ganti.

Pendar mengangguk. "Lapar, tapi malas juga mau makan. Udah malam."

"Ajak Om lo makan, pasti mau dia," celetuk Deswinta.

Pendar menunjukkan ponselnya. "Nggak usah disuruh, emang dia mau traktir makan."

"Ciee, ciee, yang pacaran sama duda," ledek Sella.

"Ssst!" Pendar meletakkan telunjuk di depan bibir. "Hati-hati, ada mereka."

Ruang ganti ramai, semua SPG berceloteh tentang bingkisan dari Rainer. Beberapa mengatakan dengan suara keras kalau Rainer menjabat tangan mereka.

"Pak Rainer tanya, umurku berapa?"

"Trus?"

"Aku bilang baru 25 tahun."

"Eh, Pak Rainer tanya aku dong, rumah di mana? Jauh nggak."

"Sama aku beda lagi, berapa lama jadi SPG."

"Aargh, kalian bisa ngrasa nggak? Kalau cara bicara beliau bikin meleleh."

"Tampan lagii!"

Pendar menghela napas panjang, melirik diam-diam ke arah kerumunan itu. Ia menyibukkan diri untuk merapikan barang-barangnya agar tidak ada yang tertinggal, karena besok tidak lagi ke sini. Tawa di belakangnya semakin keras, Pendar berusaha mengabaikan.

"Jangan ngambek, Pak Rainer hanya basa basi," bisik Deswinta.

Pendar tersenyum. "Gue tahu, kok."

"Susah kalau punya gebetan kaya dan tampan, banyak yang naksir." Sella menimpali.

Semua yang mereka katakan itu benar, Rainer memang laki-laki di luar jangkauannya. Tidak peduli pada masa lalu mereka akrab, kenyataannya nasib berkata lain. Rainer dengan kehidupannya yang mapan, sedangkan dirinya terseok.

Pendar dengan enggan melangkah ke parkiran Selatan. Diikuti oleh Sella dan Deswinta. Mereka berdua sengaja ingin mengantar Pendar bertemu Rainer. Ketiganya berhenti di dekat pilar saat melihat Rainer bicara dengan asistennya di samping mobil sport kuning. Pendara berujar dalam hati, setiap kali bertemu Rainer pasti dengan kendaraan yang berbeda.

Rainer melambaikan tangan, mereka menghampiri dengan malu-malu.

"Pendar, aku akan mengantarmu pulang. Mobil ini hanya bisa untuk dua orang. Kalian berdua, bisa ikut Mike."

Rainer menunjuk asistennya. Sella dan Deswinta menggeleng bersamaan.

"Nggak usah, Pak. Kami dijemput kok. Cuma mau ngantar Pendar," ujar Sella ceria.

Pendar mengernyit. "Emangnya Marsel jemput?"

Deswinta mengangguk. "Yuup, jemput kami. Udah, lo baik-baik aja sama Pak Rainer. Ingat minta traktir makan, seharian perut lo kosong.

"Daah, Pendar. Daaah, Pak Rainer." Sella berpamitan dengan ceria.

Keduanya menyempatkan diri untuk mengagumi dan mengusap mobil Rainer, setelah itu bergegas ke parkiran utama, sudah ada Marsel yang menunggu. Rainer berpamitan pada Mike sebelum membuka pintu mobil untuk Pendar.

"Rekapitulasi penjualan kamu email saja esok hari," pesan Rainer sebelum masuk ke mobil.

Mike mengangguk. "Baik, Pak."

Saat kendaraan sport kuning melaju perlahan meninggalkan area parkiran, berbagai pertanyaan terlintas di benak Mike. Siapa gadis yang diantar pulang oleh Rainer? Mulai kapan bossnya kenal dengan seorang SPG. Gadis itu memang sangat cantik, tapi bukan berarti tidak ada yang lebih cantik lagi.

Mike menghela napas panjang, mengingatkan diri sendiri untuk tidak terlalu ikut campur urusan bossnya. Rainer sudah menduda sangat lama, kalau bisa menikah lagi tentu akan sangat baik, terserah siapa pasangannya.

**

Obrolan Gaje

Sanjaya: Siapa gadis yang sedang didekati Rainer?

Hannah: Anakku lagi jatuh cinta. Akhirnya, setelah sekian lam. (Ibu Hannah tidak tahan ingin melihat wajah calon mantunya)

Deswinta: Mobilnya Pak Rainer keren banget, kalau nggak gengsi pingin foto aku.

Sella: Mobilnya Pak Rainer keren banget, sayang kursinya cuma dua.

Pendar: Semua orang bicara mobil dan kekayaan, aku mikir ciuman. Hadeuh!

Rainer: Haruskah aku mengajari Pendar cara berciuman?

Marsel: Tunggu! Kenapa di bab ini aku nggak nongol?

Para SPG: Pak Rainer, terima kasih atas atas bingkisan. Kami siap diajak kencan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro