Bab 3b
Dulu, saat mereka masih sama-sama tinggal di gang yang sama, Rainer sudah berbeda. Seorang diri bisa menyewa rumah besar dengan perabot lengkap, naik motor mahal, serta kuliah di universitas swasta elite. Ia tahu Rainer bukan anak orang sembarangan. Saat itu, ia tidak berpikir terlalu banyak. Ia lebih memikirkan bagaimana caranya bisa dekat dengan Rainer, atau mengajak pemuda itu nonton, dari pada memikirkan soal kekayaan.
Sekarang, kenyataannya justru menakutkan. Rainer bukan hanya pemuda kaya, tapi menjelma menjelma menjadi laki-laki jutawan. Dalam mimpi pun ia bahkan tidak berani berharap.
"Pendar? Ini kamu?"
Pendar memalingkan wajah ke arah datangnya suara dan tersenyum menyapa. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?"
"Ah, ternyata benar ini kamu. Apa kabar, Pendar?"
Pendar memiringkan kepala, menatap bingung pada pemuda tampan berambut pirang di depannya. Ia merasa pernah bertemu pemuda itu, hanya saja tidak tahu di mana.
Pemuda itu tersenyum ramah. "Kamu pasti lupa. Aku Justin, kita pernah satu sekolah dulu waktu SMP."
Pendar ternganga, menatap Justin dari atas ke bawah lalu tersenyum. "Ah, ya. Apa kabar?"
"Akhirnya, ingat juga. Padahal, dari sebelum masuk ke ruang pameran ini, aku udah ingat kamu."
"Maaf." Pendar menatap sekeliling, di mana ada staf kantor yang sedang mengawasinya. "Justin, aku sedang kerja. Bisa kita mengobrol nanti?"
Justin menggeleng. "Nggak mau, karena aku ingin ngajak kamu ngobrol soal mobil ini. Menurutmu, mobil ini cocok nggak buat kerja?"
Pendar mengerjap malu, lalu kembali menyunggingkan senyum. Membuka pintu mobil dan berujar lembut. "Tentu saja, cocok Justin. Sedan ini termasuk katagori city car yang irit bahan bakar."
Justi mengangguk, menunduk ke dalam mobil. Ia mendengarkan dengan tekun setiap penjelasan Pendar dan tidak menyela sedikitpun. Selesai menerangkan kurang lebih lima belas menit tanpa jeda, Pendar merasa aneh. Dengan posisi masih di dalam mobil, ia menatapp ke arah teman SMP-nya.
"Bagaimana? Kurang cocok buat kamu, ya?" tanyanya.
Justin menggeleng. "Nggak, cocok, kok. Aku suka. Lebih suka lagi kalau suatu saat nanti kamu mau naik mobil ini sama aku." Justin mengeluarkan dompet dan selembar kartu nama berikut pulpen. "Tulisin nomor ponselmu, bisa?"
"Eh, ini nggak ada hubungannya sama pribadi," tolak Pendar.
"Aku beli mobil ini, buat mastiin kalau ada masalah bisa ada orang buat dihubungi. Ayo, Pendar. Masa nggak mau ngasih nomor ke teman lama."
Pendar ragu-ragu sesaat, melihat Justin yang memandangnya dengan senyum ramah dan mata berbinar penuh harap, mau tidak mau ia menuliskan nomor ponselnya. Justin menerima kartu nama dengan senyum terkembang.
"Thanks, Pendar. See later. I'll call you!"
Justin bergegas ke arah kasir dan duduk di sana, menghadapi Didi. Pendar keluar dari mobil sambil berdecak bingung. Sebenarnya, bulan ini bulan apa? Kenapa banyak orang-orang dari masa lalunya muncul. Apakah di bulan ini ada perayaan tentang masa silam? Pendar tidak mengerti.
Di suatu sudut ruang pameran, Rainer berdiri menatap sekeliling. Tubuhnya yang tinggi menjulang, setengah tertutup oleh pintu. Ia sengaja datang diam-diam, mengamati keadaan terutama Pendar. Banyak para pegawai pameran yang tidak tahu kedatangannya, termasuk Didi. Malam ini ia mengganti jas dan kemeja dengan kaos polo dan celana jin. Memakai topi hitam serta kacamata, sepertinya sosoknya cukup tersamarkan, meski tidak sepenuhnya bisa menghilangkan kesan tampan dan maskulin dari dalam dirinya.
Ia mengernyit, saat seorang pemuda tampan berlama-lama di area Pendar. Mereka terlibat percakapan serius dan Rainer berusaha menghilangkan rasa cemburu serta kesalnya. Pendar sedang bekerja, tentu saja sebuah keharusan kalau bersikap ramah dengan pengunjung. Tetap saja, di matanya pemuda berambut pirang itu terlihat sangat tertarik dengan Pendar, meskipun pada akhirnya tetap membeli mobil.
Rainer menggeser posisi tubuh, saat dua SPG datang untuk minum. Mereka meletakkan botol air minum di atas meja pendek dekat tempatnya berdiri. Rainer mengernyit saat keduanya mulai bergosip.
"Lo lihat Pendar, nggak? Makin hari makin belagu?"
"Emang, mentang-mentang dekat sama Pak Didi."
"Tapi, Mela. Bener apa yang dibilang Deswita, kalau Pentar pakai pelet?"
Gadis yang bernama Mela mengangguk serius. "Gue yakin iya, kalau nggak? Mana mungkin gadis model dia bisa dapetin Pak Rainer?"
"Iya, juga. Ini dunia modern, masa masih ada dukun-dukunan?"
Mela mengusap bahu temannya. "Percaya, deh. Di belahan dunia yang lain, masih ada kayak gitu. Cum akita nggak tahu aja di mana tempatnya."
"Kita lihat saja nanti, bertahan berapa lama peletnya Pendar."
"Nggak akan habis kalau dia terus bayar sama dukun."
Selesai minum keduanya kembali ke posisi masing-masing, meninggalkan Rainer yang menepuk-nepuk telingannya. Apa yang barusan ia dengar? Pendar memeletnya? Teori aneh dari mana itu? Hari begini, masih ada orang yang percaya duku dan pelet, Rainer berdecak heran. Menatap jam di pergelangan tangan, 10 menit lagi pameran tutup. Sebaiknya ia kembali ke mobil dan menunggu Pendar di sana karena tidak ingin menimbulkan keributan.
Pendar menggeliat di depan loker pakaian. Kelelahan menyerangnya. Ia menepuk-nepuk leher untuk menghilangkan pegal. Membuka loker, ia mengambil ponsel. Mendapati ada beberapa pesan. Salah satu dari mamanya yang meminta kiriman uang, satu lagi dari Rainer.
"Aku tunggu di parkiran Selatan. Jangan sampai nggak datang."
Pendar menghela napas panjang, ajakan sekaligus ancaman dari Rainer membuatnya tidak habis pikir. Laki-laki itu rela tiap malam datang ke pameran hanya untuk mengantarnya pulang, apakah tidak terlalu merepotkan?
"Pendar, kita naik taxi online, yuk? Nggak sanggup kalau naik ojek. Jauh soalnya." Sella datang sambil mencebik. Wajah cantiknya cemberut menahan lelah.
Pendar menatap sekeliling lalu berbisik. "Gue nggak bisa bareng lo pulang."
Sella terbelalak. "Om kamu jemput?"
Pendar mengangguk dan hampir terjengkang saat Sella memeluknya.
"Akhirnya, gue bisa kenalan sama Om kamu itu. Nggak masalah kita nggak pulang bareng, yang penting kenalin gue sama dia."
Pendar tidak dapat menolak keinginan Sella. Ia membawa sahabatnya ke area parkir Selatan. Mereka celingak celinguk mencari sedan mewah warna silver, saat sebuah teguran datang dari mobil offroad biru.
"Pendar, di sini."
Pendar menoleh, dan hanya bisa menahan napas saat melihat penampilan Rainer. Terlihat begitu tampan dan memukai dalam balutan kaos, celana, topi, dan kacamata hitam. Sangat pas dengan kendaraan yang dibawanya.
"I-itu Om kamu?" tanya Sella dengan suara bergetar, saat mereka mendekati Rainer.
"Yuup, dia."
"Pendar, gue rasanya mau pingsan."
Pendar menoleh cepat ke arah sahabatnya. "Kenapa?"
"Cakeep banget! Ya Tuhan, mana boleh ada cowok sempurna kayak gini. Udah cakep, kaya, duda lagi."
Pendar tersenyum masam. "Adalah, itu buktinya depan kamu." Mereka tiba di depan Rainer dan Pendar memperkenalkan sahabatnya. "Om, ini Sella."
Rainer tersenyum kecil. "Halo, Sella."
Sella terdiam dengan tangan memegang pipinya. Melotot pada Rainer, ia berujar keras. "Arrgh, Pak Rainer. Boleh nggak aku jadi fans Anda?"
Rainer tercengang sementara Pendar berdecak kecil. "Tahan diri! Malu-maluin aja."
"Biarin, kapan lagi punya idola kayak Pak Rainer."
"Tetap aja."
Sella tersenyum cerah, menatap Rainer. "Pak, terima kasih sudah mau kenalan. Aku pulang dulu, tolong antar teman aku pulang dengan selamat, Pak. Daaah!"
Rainer melambaikan tangan. "Kamu nggak mau aku antar pulang sekalian?"
Sella menggeleng. "Nggak malam ini, Pak. Kalau bisa, sih, besok aja. Sekalian ada Deswita, dan kalau bisa tolong traktir kami makan, ya, Pak."
"Sella!" jerit Pendar.
Rainer tergelak, saat melihat Shella meleletkan lidah sebelum berlari ke arah lain. Rainer membuka pintu dan mendorong Pendar masuk. "Ayo, masuk."
Sama seperti kemarin, Pendar duduk di samping Rainer. Kali ini mengendarai mobil yang lain. Ia tidak tahu seberapa kaya Rainer sampai berganti-ganti mobil.
"Om, boleh tanya sesuatu?"
"Ada apa? Selama bukan tentang hukum dan politik negara, aku bisa jawab."
Pendar tersenyum kecil. "Nggak, ini masalah pribadi. Itu, mobil Om ada berapa, sih?"
Rainer mengangkat sebelah alis, menatap Pendar. "Aku curiga."
"Curiga kenapa, Om?"
"Jangan-jangan, yang dikatakan teman-teman kamu itu benar. Kalau kamu ke dukun buat melet aku, biar dapat mobil."
Pendar tercengang lalu menjerit kecil. "Om, mana ada begituuu?"
"Hanya menebak!"
"Tebakan ngaco!"
"Kenapa kamu marah? Kalau marah tandanya benar."
"Oom, minta dipukul, ya?"
"Nggak, kalau bisa dicium aja. Lebih enak dari pada dipukul."
"Om Raineeer!"
Suara Pendar bergema di dalam mobil, seiring dengan tawa Rainer yang menggelegar.
**
Obrolan Hati
Deswita: Wajah doang cakep, otak cuma setengah. Hari gini, percaya dukun!
Sella: Argh! Gue lupa minta foto Pak Rainer. Kapan lagi bisa pamer cogan bawa mobil mewah. Ah, gue bodoh emang.
Mike: Siapa cewek yang ditaksir Pak Rainer? Artis atau pengusaha? (Mike kebingungan karena selama ini bossnya tidak pernah terlibat pergaulan dengan lawan jenis)
Pendar: Om Rainer tahu nggak, apa hukumnya menggoda cewek yang ciuman aja belum pernah? Penjara seumur hidup!
Rainer: Pendar, kamu imut sekali. Apalagi kalau lagi malu-malu.
Justin: Pendar, sekian lama nggak ketemu makin sexy.
Dukun jadi-jadian di suatu tempat di antah berantah, menerima panggilan dari klien baru: Mbah, saya mau melet orang. Kalau bisa yang hasilnya paten, kami siap bayar tiga juta dan juga cari embun pagi dua puluh tetes! Kami juga rela berendam di sumur!
**
Di Karyakarsa sudah bab 6
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro