Bab 2b
"Kalau nggak salah ingat, kamu dulu suka sate kambing bumbu kecap, pakai cabai dan bawang merah iris. Benar?"
Pendar ternganga takjub. "Om masih ingat?"
Rainer tersenyum misterius, memanggil penjual dan memesan tiga puluh tusuk sate kambing dengan dua lontong. Untuk minuman, memesan es jeruk peras, persis seperti yang dulu biasa mereka pesan. Rainer menatap Pendar lekat-lekat. Selain berubah makin cantik, ada banyak hal berbeda dalam diri Pendar. Keceriaan gadis itu seakan hilang dan digantikan oleh sesuatu yang sendu. Sinar mata yang dulu berbinar jenaka dan penuh semangat, kini seakan tertutup kabut. Rupanya, waktu yang berlalu mengubah banyak hal dalam diri Pendar.
"Bagaimana kabar orang tuamu? Terakhir aku ke sana, kalian sudah pindah."
Pendar mengedip, sekali lagi merasa takjub. "Om ke tempat kita dulu?"
Rainer mengangguk. "Iya, dua atau tiga tahu lalu. Kebetulan lagi lewat sana, trus mampir. Ternyata kalian sudah pindah."
"Kami pindah, satu tahun setelah Om nikah," ucap Pendar pelan.
"Kemana?"
"Ke kampung, ehm ... Papa meninggal dan kami bangkrut. Terpaksa jual rumah."
Pedagang datang mengantarkan pesanan, Rainer mengaduk sate dalam kecap dan menyodorkan pada Pendar. "Makan dulu, nanti baru cerita lagi. Jangan sampai ceritamu, bikin hilang selera makan."
"Eh, ini nggak kebanyakan, Om?" Pendar mengambil satu tusuk dan mulai memakannya. Rainer melakukan hal yang sama.
"Nggaklah, sate kambing bagus kesehatan."
"Bukannya bikin darah tinggi?"
"Tergantung, ada juga yang bagus untuk meningkatkan stamina."
Pendar mengangguk-angguk. "Oh, baru tahu kalau sate kambing buat stamina."
"Masa? Pengantin baru makan sate kambing biar bagus stamina di ranjang."
Pendar berhenti mengunyah, menatap Rainer dengan heran. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan laki-laki di depannya.
"Om, boleh tanya sesuatu?"
"Ya, Pendar."
"Jadi duda berat, ya?"
Rainer mengangkat sebelah alis. "Maksudnya?"
"Berat menahan rasa kesepian."
"Nggak, kenapa tanya gitu?"
"Omonganmu, mesum terus."
Rainer tergelak, suara tawanya terdengar nyaring. Sudah lama ia tidak segembira ini. Biasanya, tekanan pekerjaan membuatnya lupa, apa itu tertawa. Tidak salah memang mengajak Pendar makan malam. Gadis itu paling mengerti bagaimana cara menghiburnya.
"Cara bicaramu, kayak dulu masih 15 tahun. Padahal, sekarang kamu sudah berapa? Dua puluh dua?"
Pendar menggeleng. "Dua puluh tiga."
"Nah'kan, usia cukup buat menikah. Entah kenapa kamu malu-malu sekarang, padahal dulu kamu berani nelanjangin aku. Ingat, loh. Dulu, pas kamu masih 15 tahun!"
"Om, stop!" Pendar mengerang, dan Rainer kembali tertawa. "Om, itu'kan masa lalu. Bisa nggak jangan diingat lagi?"
Rainer menggeleng. "Tega kamu, Pendar. Padahal, cewek pertama yang lihat tubuh aku itu kamu. Bisa-bisanya kamu suruh aku lupain?"
Mereka terus mengobrol sambil makan sate sampai habis. Rainer menghitung, sepertinya Pendar nyaris habis 15 tusuk sendirian. Ia melihat wajah gadis itu perlahan memerah, tidak murung dan pucat lagi. Ia tidak tahu, apa yang telah terjadi selama tujuh tahun ini, hingga mengubah gadis yang dulu sangat ceria dan cerewet, menjadi pendiam. Ia akan mencari tahu perlahan-lahan. Kali ini, ia akan melakukan semuanya dengan benar. Tanpa ragu-ragu dan takut seperti dulu.
Saat membayar tagihan, pedagang yang sepertinya mengenak Pendar tersenyum kecil. Laki-laki berkulit sawo mata dengan rambut dikuncir itu menatap Pendar dan Rainer bergantian.
"Ah, Kakak ini sudah menikah ternyata. Selamat, ya? Pengantin baru memang harus banyak makan sate kambing," ucapnya dengan logat daerah yang khas.
Pendar terdiam, dan belum sempat menjawab Rainer sudah mengajaknya pergi.
"Om, kos aku dari sini udah dekat. Aku naik ojek aja." Pendar memberi saran, saat mereka selesai makan.
Rainer menggeleng. "Mana alamat, biar aku antar sampai depan kos."
"Nggak mau ngrepotin, Om."
"Terlambat Pendar. Dari dulu kamu udah ngrepotin perasaanku. Ayo, naik!"
Menatap lampu-lampu jalanan yang bersinar di kegelapan, Pendar meraba dadanya yang bergetar. Cara Rainer bercanda, terlihat begitu santai tanpa perasaan. Apakah laki-laki itu tahu bagaimana raa hatinya? Bertemu kembali dengan laki-laki yang selama ini mengisi mimpi-mimpi, ibarat mendapatkan duriah runtuh. Ia tidak ingin berharap, tidak berani berharap, dan semoga Rainer tidak membuatnya berharap lebih.
"Ini, Om kos aku."
Pendar menunjuk malu-malu pada bangunan berlantai dua, dengan dinding dan pagar warna abu-abu. Kos-annya memang tidak mewah tapi layak untuk ditinggali dan berada di pusat kota. Memudahkan untuk mencari tranportasi.
"Sebulan berapa di sini?"
"Delapan ratus ribu sudah sama listrik."
"Murah juga. Khusus cewek?"
Pendar menggeleng. "Nggak, campur. Yang khusus cewek agak jauh dari kampus. Terpaksa ambil yang ini."
"Mana ponselmu?"
"Buat apa?" Pendar bertanya sambil menyerahkan ponselnya.
Rainer meraih dan menyorongkan layar yang menyala. "Sidik jarimu."
Setelah terbuka, Rainer memasukkan rangkain nomor dan memberikannya pada Pendar. "Ada nomorku di sana. Dua nomor, satu untuk pekerjaan dan satu lagi untuk pribadi. Hubungi aku, kapan pun kamu longgar."
Pendar tersenyum. "Makasih, Om. Aku turun dulu."
Rainer terdiam, membiarkan Pendar membuka pintu. Sebelum gadis itu menutupnya, ia berucap kecil. "Pendar, kamu tahu aku sudah bercerai bukan?"
Pendar mengangguk kecil. "Iya, Om."
"Tapi, tubuhku masih sama seperti yang kamu lihat dulu. Nite, Pendar!"
Pintu tertutup dan kendaraan melaju meninggalkan Pendar yang berdiri bingung di depan gerbang kos. Apa maksudnya dengan tubuhnya yang sama seperti dulu? Memangnya apa bedanya duda dengan perjaka? Pendar kebingungan menafsirkan perkataan Rainer.
Melangkah lunglai memasuki lorong, ia mengabaikan beberapa panggilan iseng untuknya. Ia tidak ingin terlibat dengan penghuni kos laki-laki. Menaiki tangga, ia berpapasan dengan anak pemilik kos, seorang pemuda dengan rambut dicat cokelat. Pemuda itu cukup ramah, meski begitu Pendar tidak terlalu suka dengannya, karena sering memaksa untuk mengajaknya mengobrol.
"Pendar, pulangnya malam amat?" sapa Ferdi.
Pendar mengangkat bahu. "Sibuk."
"Yah, padahal aku mau ngajak kamu makan indomi di warung depan."
"Oh, sorry. Capek soalnya."
Pendar melewatinya tapi Ferdi tidak mau melepasnnya. "Pendar, kamu pasti capek. Mau aku buatih teh hangat?"
"Nggak, makasih."
"Cemilan mau nggak? Kita bisa sambil ngobrol."
Pendar buru-buru membuka pintu, menoleh enggan pada Ferdi. "Nggak bisa, besok harus bangun pagi. Daah!"
Tidak memberi kesempatan pada Ferdi untuk menjawab, Pendar melesat masuk dan menutup pintu dengan cepat. Menghela napas, ia merebahkan diri di atas ranjang. Saat mengamati langit-langit kamar, pikirannya tertuju pada Rainer. Seingatnya, istri Rainer sangat cantik dan kaya. Kenapa mereka bercerai? Kapan tepatnya Rainer menjadi duda? Ada masalah apa di rumah tangga mereka dulu? Memukul sisi kepalanya, Pendar bergumam keras.
"Jangan kepo, Pendar. Bukan urusan lo!"
Malam itu, Pendar tidur tidak nyenyak. Bayangan tentang Rainer dan pernikahan laki-laki itu keluar masuk dalam mimpinya. Hingga keesokan harinya, ia bangun dengan kepala terasa sakit.
Pagi-pagi, Deswita menelepon dan mengatakan akan menjemput. Ternyata, bukan hanya gadis itu yang ada di dalam mobil, melainkan ada formasi lengkap termasuk Sella dan Marsel. Pendar bingung melihatnya.
"Kalian tumben amat pagi-pagi nongol? Sella, lo bukannya shift sore?"
Sella mengangguk dengan mata berbinar. "Emang, gue mau ke kampus dulu, nebeng Marsel. Ngomong-ngomong, gimana sama Pak Duda?"
Pertanyaan Sella memicu pandangan ingin tahu dari orang-orang di dalam mobil. Pendar merasa tatapan mereka terarah padanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Ia melengos, tapi mereka tidak menyerah.
"Kalian ngapain aja semalam?" cecar Deswita. "nggak mungkin cuma bahas masa lalu'kan? Pegang tangan? Pelukan?"
Wajah Pendar memanas. "Apaan, sih?"
"Oh, nggak pelukan, nggak pegang tangan, jangan-jangan lumat-lumatan?" sela Sella.
Mereka tertawa dan Pendar memejam, perjalanan ini akan terasa sangat lama karena teman-temannya tidak akan membiarkannya lolos begitu saja tanpa bercerita. Ia berdecak kecil sebelum menjawab.
"Kami cuma makan sate, yang di warung langganan kita. Itu aja."
"Trus?" desak Sella. "Ngapain lagi?"
"Nggak ada, Om, eh, Pak Rainer nganterin aku pulang. Udah."
"Ciee yang punya om-om," ledek Marsel dari balik kemudi. "Om-om ketemu gede."
"Om-om bisa diajak anu-anu." Deswita menyahut nakal sambil mengedipkan sebelah mata.
"Om-om tajir yang bisa diporotin. Jangan lupa, kalau kalian tidur bersama ntar, minta mobil, ya?" saran Sella yang mendapatkan satu cubitan keras di pinggang. "Aduuh, Pendar! Sakit tahuu!"
"Biarin, lagian omongan kalian ngaco!"
"Mana ada kami ngaco, kami hanya menjelasakan keadaan sebenarnya. Tentang hubungan laki-laki dan perempuan pada seorang perawan!" Sella berkata tidak mau kalah.
Lagi-lagi mobil meledak oleh tawa. Saat Pendar turun diikuti oleh Deswita, wajahnya memerah menahan malu. Bisa-bisanya mereka menggodanya tentang sex segala macam.
"Pendar, kamu ke ruang ganti dulu. Aku mau ke minimarket bentar." Deswita bergegas ke minimarket yang terletak di samping gedung.
Pendar melangkh cepat ke ruang ganti, dan sedang mengeluarkan seragam dari dalam tas saat terdengar teguran.
"Pendar, kami mau ngomong!"
Pendar menegakkan tubuh dan mengernyit, melihat beberapa teman SPG mendatanginya. Apakah ia melakukan kesalahan? Kenapa mereka menatapnya seolah ingin menelannya?
**
Obrolan Hati
Sella: Gue curiga Pendar belum pernah ciuman.
Deswinta: Gue curiga, Pendar nggak ngerti cara ciuman.
Marsel: Semoga Deswita tahu, kalau aku jago ciuman (Nyengir sendiri, sambil menatap spion dan mengagumi wajahnya yang tampan)
Ferdi: Biasanya cewek cewek suka kalau diajak makan mie instan di warung burjo. Kok Pendar nggak mau? Apa lain kali tawari pecel lele?
Pendar: Om-om duda, kenapa kedengaranya kayak mesum banget.
Rainer: Aku akan mendekatimu pelan-pelan Pendar, sampai kamu nggak punya alasan untuk menolak.
Tukang Sate: Semoga pasutri baru tadi, cepat diberi momongan. Ah, kakak cantik udah nikah dan suaminya gagah pula. Satu malam berapa ronde mereka? (Tukang sate piktor!)
.
.
.
Di Karyakarsa hari ini bab 4
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro