Bab 1b
Pendar meneguk ludah, menatap Rainer dengan mata membulat. "A-apa kabar, Om, eh, ma-maksudku Pak Rainer."
Masih dengan senyum di bibir, Rainer mengamati Pendar dari atas ke bawah lalu menganggukkan kepala dengan mantap. "Bagus, kamu sudah dewasa sekarang. Sudah waktunya untuk kita menikah."
"Apa? Me-menikah?" Pendar masih tidak mengert, tapi melihat senyum di bibir Rainer, ia tahu sedang dipermainkan. Ia melirik sekeliling, di mana orang-orang sedang menatap tajam padanya dan bergumam kecil. "Pak, sebaiknya cepat pergi. Aku mau pulang cepat."
Entah apa yang lucu, Rainer tertawa terbahak-bahak. Sikapnya yang di luar kebiasaan membuat para eksekutif yang mengikutinya, terheran-heran. Seorang pimpinan yang biasa bersikap dingin dan tegas, mendadak menjadi riang dan penuh tawa di depan seorang gadis yang diakui sebagai calon istri. Mereka tidak tahu, apakah Rainer sedang merencanakan April mop. Bukankah sekarang sudah bulan Mei?
"Pendar, kenapa kamu masih malu-malu? Kita sudah mau menikah."
Wajah Pendar memerah dan panas seketika. Ia merasa Rainer sudah gila. Tujuh tahun tidak bertemu, siapa sangka mengubah laki-laki baik menjadi aneh.
Dengan berani, Rainer mengusap lembut kepala Pendar. Menatap pada manajer yang masih berdiri kaku di tempatnya dan berujar nyaring.
"Pak Didi, aku nitip calon istriku di sini. Tolong, jaga!"
Didi, sang manajer mengangguk dengan wajah pucat. "Iya, Pak."
"Aku pergi dulu, Sayang. See you!"
Rainer meninggalkan Pendar diikuti oleh banyak orang. Pendar menatap kerumunan yang menjauh dan terduduk sambil mengusap wajah. Tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Mulai kapan Rainer menjadi calon suaminya? Mereka sudah tidak bertemu bertahun-tahun lamanya. Apakah laki-laki itu mengalami kecelakaan, lalu gegar otak dan menjadi gila? Ia sungguh tidak mengerti.
"Lo nggak bilang mau kawin sama Pak Duda!" Deswinta datang dan menepuk punggungnya dengan keras.
Pendar menggeleng. "Kita saling kenal, tapi nggak mau nikah."
"Bohong lo!"
"Buat ap ague bohong?"
"Mana gue tahu. Nggak mau tahu, pokoknya lo harus cerita semuanya sekarang. Marsel sama Sella lagi otewe jemput kita."
Di hadapan tiga sahabatnya, Pendar diberondong banyak pertanyaan tentang Rainer. Kapan bertemu, kapan mau menikah? Dan Pendarn menjelaskannya dengan susah payah. Sahabatnya tidak ada yang percaya kalau ia hanya sekedar kenal dengan Rainer, itu pun sudah tujuh tahun yang lalu.
"CLBK, kalian. Enak banget lo, balikan sama mantan yang kaya raya," celetuk Sella, mengunyah sate ati. Mereka makan bubur ayam gerobakan yang berada di pinggi jalan masuk komplek.
"Udah gue bilang, nggak ada yang jadian!" sergah Pendar.
Deswita mengangguk kecil. "Nggak masalah, sih, kalau kalian mau jadian juga. Pak Rainer duda, lo masih gadis. Wajar itu."
"Aah, bodo ah!"
Sella menyenggol Deswita dengan ujung sikunya. "Ngomong-ngomong, pasti nggak imbang ntar."
"Apanya?" tanya Deswita.
"Pertarungan di ranjang, Pak Rainer udah jago, sedangkan Pendar, ciuman aja belum pernah."
Pendar tersedak bubur, sementara teman-temannya tergelak. Marsel menyodorkan teh hangat sambil menyengir jahil. "Kalau lo butuh tuntutan buat belajar sex, bilang ama gue. Ntar gue download-in dari yang semi sampai yang paling ancur! Gue ada!"
Pendar melotot. "Lo ngomong lagi, gue gebuk!"
"Oh, takut. Tapi, bener, ada juga yang bisa ajarin lo step per step." Marsel menggerakkan alisnya dan seketika tawa kembali pecah.
Pendar berusaha makan dengan tenang, di tengah gempuran ledekan teman-temannya. Ia menyimpan sendiri segala tanya yang mengendap di dadanya tentang Rainer. Sebuah kebetulan yang aneh, kalau ia bisa bertemu lagi dengan cinta pertamanya yang sudah tujuh tahun tidak bertemu. Status Rainer kini telah menduda. Apa yang terjadi dengan pernikahannya? Kenapa bercerai? Apakah laki-laki itu punya anak? Pendar menyimpulkan, untuk tidak menganggap serius perkataan Rainer.
Ternyata, harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Keesokan harinya, saat Pendar mencapai lantai ruang pameran, banyak mata menatapnya. Ia berusaha bersikap tenang, dan mengatakan pada diri sendiri kalau sedang geer. Sesampainya di ruang ganti sudah ada Sella di sana, bersama beberapa SPG lain. Sahabatnya itu menarik lengannya ke pojok dan berbisik.
"Lo nggak ngrasa ada aura-aura pembunuhan?"
Pendar memberanikan diri melirik ke sekeliling tempat ganti dan bisa merasakan pandangan setiap orang yang tertuju padanya. Ia menghela napas, membalas bisik Sella.
"Siapa targetnya?"
"Elo! Siapa suruh mau kawin sama Pak Rainer."
"Damn! Gue yang repot jadinya!"
Sella menepuk pundak Pendar. "Bertahanlah, bestiee."
Pendar mendesah. "Ngomong-ngomong, pameran masih kesisa berapa hari lagi?"
"Seminggu, napa? Udah nggak betah?"
Pendar mengangguk. "Iya."
"Jangan takut, hadapi mereka. Ingat, belakang lo ada Pak Duda yang tampan, kaya raya, dan berkarisma. Aduh, gue jadi pingin ketemu."
Percuma bicara dengan Sella, sama sekali tidak membantu Pendar. Selama satu hari itu, Pendar merasakan tatapan aneh setiap orang padanya. Ada yang sinis, ada yang ingin tahu. Semua terjadi karena Rainer. Bahkan saat istirahat, ia mendengar perkataan para SPG lain yang diucapkan dengan lantang dan jelas-jelas ditujukan padanya.
"Kalau kita punya pacar CEO, mana mungkin masih jadi SPG."
"Jelaslah, minimal jadi nyonya atau paling nggak, manajer."
"Mungkin bukan pacar, tapi itu, you know-lah."
"Ah, teman tapi mesra?"
"Bukan, teman tapi tidur bersama!"
Mereka tergelak, dengan tatapan sinis ke arahnya. Pendar merasa makan siangnya menjadi hambar dengan nasi sekeras batu. Ia menutup kotak nasinya, membuang ke tempat sampah dan bergegas ke toilet untuk merapikan make-up. Memantut diri di depan cermin dan memoles bibir dengan lipstik, Pendar bergumam pada diri sendiri. Ia membutuhkan uang ini untuk biaya hidup. Tidak boleh menyerah. Barangkali, sampai akhir pameran Rainer tidak akan pernah datang lagi. Dengan begitu, hidupnya kembali tenang.
Ternyata, keadaan sedang tidak berpihak padanya. Pukul delapan malam, Didi datang menghampiri. Sang manajer mengatakan kalau Rainer menunggunya di pintu selatan gedung dan ingin mengantarnya pulang. Pendar hendak menolak tapi Didi berujar cepat.
"Kalau nggakn nurut, nanti potong gaji, Pendar. Udah, ikut aja. Kapan lagi pulang bareng sama ayang beb." Didi mengerling dan meluncur pergi, meninggalkan Pendar yang tercengang.
Ada apa dengan orang-orang ini? Pikir Pendar bingung. Didi yang biasanya selalu berwibawa dan galak, mendadak menjadi laki-laki penuh humor. Teman-teman SPG yang biasa selalu ramah, kini berubah sinis. Semua karena Rainer.
Sella sudah pulang lebih dulu, digantikan oleh Deswinta. Saat jam pulang tiba, ia meminta maaf pada sahabatnya karena tidak bisa pulang bersama.
"Om Rainer mau antar gue pulang."
Deswinta mengangkat sebelah alis. "Om?"
Pendar mengangguk. "Iya, Om. Dari dulu gue manggil dia begitu."
"Oh, gue jadi pingin juga punya om om ganteng dan sexy gitu."
Pendar memutar sebelah mata. "Marsel mau lo kemanain?"
"Ih, siapa juga pacaran sama dia?"
"Halah, ngeles mlulu kayak bajaj. Awas aja kalau ujung-ujungnya lo bunting duluan!"
Deswinta mencubit pinggang Pendar dan membuat gadis itu menjerit. "Sakiit!"
"Lagian, mulut nggak bisa dijaga."
"Lah, Marsel sendiri yang bilang dia banyak video anu-anu, takutnya lo juga nonton trus pengen."
Lagi-lagi Pendar menjerit saat cubitan kedua mampir di pinggannya. Setelah Deswinta puas menganiaya, berpamitan pulang lebih dulu. Pendar merapikan barang-barangnya dan memasukkan dalam tas. Ia melangkah perlahan, menahan dada yang berdebar keras. Setiap langkah menuju pintu samping terasa berat. Seandainya bisa, ia ingin kabur saja. Tapi, ancaman potong gaji membuatnya terdiam.
Seharusnya, Rainer tidak bisa memotong gajinya sembarangan. Bukankah ia tidak melakukan kesalahan? Apakah menolak pulang bersama CEO itu pantas mendapatkan hukuman? Masalahnya, posisi Rainer sekarang adalah bossnya. Seorang boss akan menggunakan segala cara untuk menekan pegawainya, termasuk dengan memotong gaji. Pendar mendesah, berjalan di antara kerumunan yang hendak keluar menuju teras samping.
"Pendar! Di sini!"
Berteriak padanya dari samping mobil mewah warna silver, Pendar menatap laki-laki yang bertahun-tahun lalu menjadi obyek mimpi-mimpinya. Rainer muda menjelma menjadu laki-laki matang, kaya raya, dan sexy. Itu yang harus diakui oleh Pendar. Menghela napas panjang, ia menghampiri Rainer.
"Om, eh, Pak, selamat malam."
Rainer tersenyum. "Kamu dulu manggil aku apa?"
"Om."
"Dulu nyaman nggak manggil gitu?"
Pendar mengangguk. "Nyaman."
"Nah, tetap panggil gitu. Aku selamanya akan jadi om kamu. Ayo, masuk!"
Rainer membantunya membuka pintu, Pendar masuk dan duduk di jok depan. Ia letakkan tas di bawah kursi dan berusaha mengendalikan gugupnya.
"Sini, pasang sabuk pengaman."
Pendar mematung, saat Rainer mencondongkan tubuh ke arahnya. Rambut laki-laki itu menyapu wajahnya saat jemari Rainer meraih kait dan membantunya memasang sabuk. Aroma parfum yang lembut tapi maskulin menguar dari tubuh yang dibalut jas mahal.
"Oke, sudah! Duduk yang benar."
Rainer kembali duduk sempurna, dengan Pendar seolah kehilangan napas.
"Kita makan malam dulu, bagaimana kalau cari sate pakai lontong? Kamu dulu suka makan itu."
Melihat Pendar yang mematung, Rainer bertanya sekali lagi.
"Pendar, kamu nggak mau makan sate?"
Pendar tersadar dan mengangguk. "Mau, Om. Apa saja, terserah."
Kendaraan melaju kencang meninggalkan gedung pameran, menembus lalu lintas yang cukup padat. Rainer melirik gadis yang menunduk di sebelahnya. Rambut Pendar yang hitam dan panjang, diikat kuncir kuda, menampakkan bentuk wajah yang tirus. Bibir tipis, mata bulat, dengan kulit yang putih.
"Pendar ...."
Pendar mengangkat wajah, menatap Rainer. "Iya, Om."
Rainer tersenyum. "Kamu cantik sekali. Tidak sia-sia aku menunggumu tujuh tahun."
Pendar bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, dan wajahnya memanas. Menunggu tujuh tahun? Apakah Rainer sedang membohonginya?
**
Obrolan hati ( Catatan penulis : Entah kenapa untuk cerita roman, aku suka pakai extra part obrolan hati para tokoh dalam cerita. Semoga kalian suka. Obrolan hati di setiap part B)
Sella: Gue punya tekat, mau cari om-om juga.
Deswinta: Gue juga mau om-om kalau kayak Pak Rainer.
Marsel: Ini gue bingung mau seneng apa sedih? Seneng karena Deswinta nggak bisa naksir Pak Duda. Tapi, kok seleranya jadi om-om???
Pendar: Jangan tanya apa-apa, gue nggak ngerti apa-apa. Cinta pertama datang, dari tampan jadi berkarisma. Hati mungil gue nggak bisa terima dengan mudah!
Rainer: Pendar, tujuh tahun bukan waktu singkat. Akhirnya, aku menemukanmu.
Didi: Nggak peduli boss atau orang biasa, kalau lagi naksir cewek, emang suka aneh!
Para SPG: Hari ini kami deklarasikan perang sama Pendar!
.
.
.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah ada bab 2
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro