Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18b

Orang tuanya sudah setuju ia menikah dengan Pendar. Kakaknya pun tidak ada masalah. Harusnya, memang tidak ada lagi yang menghalangi mereka untuk bersatu. Meski begitu, Rainer tetap akan bersabar sampai Pendar menemui orang tuanya dan meminta restu pada mereka. Tidak lama lagi, dan keduanya akan bersama selamanya.

"Pendar, apa aku pernah bilang sama kamu?"

"Soal apa, Om?"

Rainer menatap intens sambil tersenyum manis. "Kalau aku mencintaimu."

Pernyataan itu, terdengar sangat indah di telinga Pendar. Jauh lebih indah dari apa pun. Dengan hati berbunga-bunga, Pendar menjawab pelan.

"Aku juga, Om."

**

Di sebuah apartemen besar, atau bisa dikatakan penthouse, seorang laki-laki berdiri di balkon lantai delapan sambil merokok. Pukul dua belas malam dan ia masih terjaga. Selain memikirkan pekerjaan juga banyak masalah lain. Akhir-akhir ini ada banyak masalah di perusahaan yang membuatnya sedikit kewalahan. Rasa jenuh, bercampur lelah menguasaiya. Untunglah, ia terbiasa dengan tekanan dan bisa mengatasi masalah tanpa harus mengalami stress berlebihan.

Ia menatap jalanan di bawahnya, di mana lampu-lampu jalanan berpendar temaram. Ingatannya tertuju pada seorang gadis dengan senyum manis dan wajah rupawan. Dibandingan dengan temannya, Erica, memang kecantikan Pendar lebih lembut. Tapi, justru itu yang menarik hatinya. Gadis itu tidak pernah berusaha untuk mendapatkan perhatiannya, tampil apa adanya, dan berusaha untuk tidak menonjol. Entah kenapa justru hal itu yang menarik baginya.

Pendar, hati Marcello tergelitik dari pertama melihatnya. Ia senang saat tahu gadis itu akan magang di tempatnya. Mengesampingan rasa malu, ia membuat Pendar berada dekat dengannya. Kalau bukan karena sang adik, bisa jadi ia akan memberanikan diri mengajak Pendar berkencan.

"Aku nggak tahu, apa niatmu sama Pendar, Kak. Tapi, aku ingetin sekali lagi kalau aku naksir dia. Dari semenjak aku SMP udah suka sama dia. Awas aja kalau mau nikung!"

Bisa saja ia mengabaikan ancaman Justin. Bahkan orang normal pun akan bisa melihat, siapa yang layak mendampingi Pendar. Tapi, sebagai seorang kakak ia harus tahu diri, terutama menghadapi adiknya yang manja.

Justin dari dulu terbiasa dimanja oleh kedua orang tuannya. Karena sewaktu baru lahir sampai menjelang dewasa selalu sakit-sakitan. Akibatnya, adiknya itu tidak pernah mengenyam didikan keras dan cenderung egois agar semua keinginannya dituruti. Ia terbiasa mengalah, tapi untuk kali ini entah kenapa merasa sulit. Baru kali ini ia tertarik dengan seorang gadis, setelah sekian lama sendiri. Terakhir kali ia terlibat hubungan serius dengan seorang perempuan, berujung konflik panjang sampai ke pengadilan. Siapa sangka, perempuan yang ia cintai tida lebih dari seorang manipulator. Tega menggunakan segala cara untuk mendapatkan hartanya.

Marcello mengisap habis rokoknya dan berbisik di udara terbuka. "Pendar, nama yang unik. Semoga suatu hari aku bisa menjadikanmu milikku."

Tentu saja, Marcello bisa melakukan itu kalau sudah menyingkirkan Justin lebih dulu. Adiknya itu, ibarat lalat yang menganggu dan harus dikurung.

**

Perang dingin antara Marsel dan Deswinta masih terjadi, membuat Pendar dan Sella serba salah. Mereka tidak mengerti bagaimana mendamaikan keduanya. Marsel merasa tidak bersalah soal Nina. Ia berkata dengan jujur sudah menolak gadis tu tapi sepertinya penolakannya tidak mempan.

"Dia ngajak jalan, gue nggak mau. Dia ngasih hadiah, gue tolak!"

"Kemarin napa lo clubbing ama Nina?" cecar Sella. Malam Minggu kemarin ada banyak teman yang menjadi saks mata kalay Marsel dan Nina jalan berdua di sebuah klub malam.

"Nggak sengaja ketemu di sana, sumpah! Deswinta lagi marah sama gue. Lo sama Pendar juga nggak ada yang bisa diajak jalan. Apa salahnya gue jalan sendiri?"

"Jadi bener? Soal lo ciuman sama Nina?"

Pendar melongo, menatap Marsel yang sekarang menunduk. "Tunggu? Apa tadi yang dibilang Sella? Lo ciuman sama Nina?"

Marsel menunduk makin rendah, mengacak-acak rambut dan mendesah. Wajah tampannya memelas. "Nggak sengaja, itu karena kami lagi mabuk."

"Brengsek!" Sella memaki keras.

Pendar berdecak, menggelengkan kepala tidak mengerti. "Bisa-bisanya lo, Marsel. Apa yang ada di otak lo? Pantesan aja Deswinta nggak mau lagi ngomong sama lo!"

Marsel mendesah. "Gue khilaf, tapi kalian harus percaya kalau gue sama Nina nggak ada apa-apa!"

"Mana ada orag ciuman nggak ada apa-apa? Ludah kalian udah kecampur. Bisa-bisanya lo bilang nggak ada apa-apa. Besok-besok, kalian chek in bilang juga cuma teman?" sergah Sella panas.

Pendar tetap diam, mendengarkan perdebatan dua temannya. Ia memikirkan bagaimana perasaan Deswinta sekarang. Gadis itu memang selalu jutek terhada Marsel, tapi hanya di permukaan. Semua orang bisa melihat kalau Deswita sebenarnya juga sayang sama Marsel.

"Nggak akan chek ini kami, percaya, deh!" Marsel menghiba.

"Gue nggak akan percaya. Apalagi Deswinta!"

Pendar melihat bayangan Deswinta melintas. Sahabatnya itu sepertinya sengaja menghindari mereka. Ia meraih tas dan berujar cepat pada Sella.

"Itu Deswinta, kita ke sana!"

Sella mengangguk. Saat melihat Marsel ikut bangkit, ia membentak. "Lo tetap di sini. Kita aja yang pergi!"

"Tapi—"

"Lo tetap di sini, Marsel!"

Perkataan Pendar membuat Marsel menutup mulut dan kembali duduk dengan wajah lesu. Pendar menggandeng Sella melintasi halaman kampus yang panas dan menyusul Deswinta yang melangkah cepat di depan mereka.

"Deswintaa!"

Sella berteriak, mendengar namanya dipanggil, Deswinta menghentikan langkah. Pendar menghampiri dan memeluknya dengan erat.

"Lo baik-baik aja?"

Deswinta mengangguk, berusaha untuk tersenyum meskipun terlihat wajahnya sedikit sendu. "Kalian udah tahu masalah Marsel?"

Pendar mengangguk, menggandeng Deswinta dan Sella ke bawah pohon yang teduh. Mereka berdiri berhadapan, di bawah bayang-bayang dedaunan untuk menghindari panas. Deswinta memalingkan wajah, menghela napas panjang.

"Sebenarnya, gue bingung dengan perasaan gue sendiri. Ngerasa kalau sama Marsel itu nggak ada hubungan apa-apa, tapi sakit hati juga pas tahu kalau dia ciuman sama cewek lain. Apa gue salah?"

Pendar menggeleng. "Nggak, lo nggak boleh salahin diri sendiri."

Sella mengangguk. "Jangan salahkan diri sendiri. Emang Marsel aja yang brengsek. Nggak bisa jaga diri. Tergoda sama Nina yang murahan itu."

Deswinta menatap kedua temannya. Matanya berkabut. Ada kesedihan yang coba ditutupi untuk tetap terlihat tegar.

"Harusnya gue nggak boleh marah. Kita juga nggak ada hubungan apa-apa. Tapi. Tetap aja merasa sakit."

Pendar tidak tahu lagi bagaimana menenangkan sahabatnya. Ia mengerti kesedihan Deswinta akan cinta. Deswinta mungkin tidak pernah berterus terang kalau menyukai Marsel, tapi perasaannya bisa dilihat dengan jelas. Deswinta yang mungkin saja terlihat cuek, pada dasarnya sangat perhatian dengan Marsel. Berdiri dan membela paling depan kalau ada orang-orang yang menjahati Marsel. Pendar merasa sedih untuk sahabatnya.

"Bestiee, jangan sedih lama-lama. Hari ini Pendar nggak kerja, gue juga lagi free. Kita happy-happy!" teriak Sella.

Pendar tidak bisa menolak saat kedua sahabatnya mengajak ke klub. Sebelumnya ia sudah meminta ijin pada Rainer. Sepanjang malam mereka habiskan waktu dengan menari dan bersenang-senang. Deswinta mabuk tentu saja, begitu pula Sella. Saat pulang, Pendar yang kewalahan menghadapi dua temannya yang mabuk, terpaksa menelepon Rainer. Laki-laki itu datang bersama asistenya, Mike.

Mike mengantar Sella pulang, sedangkan Rainer dan Pendar membawa Deswinta. Sepanjang jalan, Deswinta tak hentinya menangis dan memaki Marsel. Berterika tentang cinta yang menyakitkan.

"Lo bilang, lo paling cinta sama gue. Lo bilang, akan nunggu gue sampai hati gue luluh. Saat gue udah siap untuk menerima, lo malah sama si perek itu! Marsel, sialan lo! Bener-bener sialan!"

Pendar bertukar pandang prihatin dengan Rainer. Mereka membiarkan Deswinta menumpahkan unek-uneknya. Pendar berharap, saat Deswinta bangun keesokan hari, sahabatnya itu akan menjadi lebih segar dan terbuka pikirannya.

Selepas mengantar Deswinta pulang, hati Pendae berkecamuk tak menentu. Persahabatan mereka kini retak, dan ia tidak yakin akan sama seperti sebelumnya.

"Om, menurutmu Deswinta bakalan tetap terima Marsel nggak?" tanya Pendar saat mereka berada di jalan menuju rumah.

"Menurut kamu bagaimana?"

Pendar menggeleng. "Nggak tahu. Tapi, kalau dilihat dari sifat Deswinta, sepertinya nggak. Apalagi Marsel udah ciuman segala macam sama Nina."

"Diterima atau nggak, semua tergantung dari usaha Marsel," tutur Rainer lembut. "Kalau Marsel tahu diri, ia mestinya mengerti bagaimana meluluhkan hati Deswinta."

Pendar menghela napas panjang. "Semoga saja."

"Kamu sendiri gimana? Berharap Deswinta maafin Marsel?"

"Aku dukung apa pun keputusan yang bikin Deswinta bahagia."

"Sahabat yang baik."

Pendar menyalakan radio mobil, suasana seakan ikut mendukung kesedihan mereka karena lagu-lagu yang diputar semuanya melow. Memang tidak pernah ada yang mudah dengan cinta, saat hati berubah tidak seorang pun siap menerimanya. Pendar memikirkan dirinya, Rainer, dan juga Deswinta yang terbelit dalam persoalan cinta.

**

Obrolan hati:

Celine: Pendar gadis yang baik, Rainer. Semoga kamu nggak bikin dia kecewa.

Marsel: Gue emang bego! Tapi-tapi, aargh!

Marcello: Senin nanti, aku akan mengajak Pendar makan siang bersama.

Justin: Mulai senin nanti, gue akan jauhin Pendar dari kakak gue!

Deswinta: Cintaaa, oh, cintaaa! Deritamu tiada akhir!

Pendar: Cinta itu sejenis luka yang ingin kita rasakan dengan sengaja.

Rainer: Hubungan cinta tiap orang beda-beda, Pendar. Marsel bukan aku, begitu pula sebaliknya.

Terjadi insiden di mobil yang dikendarai Mike. Laki-laki itu terpaksa menghentikan kendaraannya di tepi jalan karena Sella yang mabuk ingin muntah. Selesai muntah, gadis itu tertawa sambil menari, dengan terpaksa Mike menyeretnya ke mobil.

Mike tidak dapat menahan rasa geli saat Sella yang mabuk terus menerus menyentuh wajah, bibir, dan juga lehernya. "Tampaan! Mau ciuman sama aku nggak?"

Awalnya Mike tidak terpengaruh, tapi saat kendaraan berhenti tidak jauh dari rumah Sella, semua keadaan menjadi kacau. Sella merangkul dan mengecup bibirnya, Mike membalas tanpa sengaja dan malam itu mereka bergumul di jok belakang mobil yang sempit.
.
.
.
.

.
.
Dear semua, ini adalah bab terakhir yang saya update. Terima kasih sudah mengikuti kisah ini. Sebagai gantinya, akan di update lebih sering Cinderella Pulang Pagi.

Yang ingin membaca versi lengkap bisa membeli buku di olshop, Karyakarsa, dan Playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro