Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16b

Pendar menatap gedung berlantai sepuluh di depannya. Mereka baru saja memasuki tempat parkir VIP. Benar kata Justin, datang bersama pemuda itu memberikan kemudahan padanya.

"Pendar, kita sampai. Ayo, turun!" Justin berucap riang, saat mematikan mesin mobil.

Pendar membuka sabuk pengaman, merogoh tempat bedak dan memoles make-upnya. Tidak terlalu menor tapi juga tidak berkeringat. Akan memalukan kalau ia bertemu orang dalam keadaan wajah berminyak.

"Pendar, kamu selalu cantik. Mau pakai lipstik atau nggak, tetap cantik," puji Justin dengan suara mendamba.

Pendar mendengkus. "Geli tahu, jangan sembarangan ngerayu."

"Tapi beneran, lo cantik."

"Iya, iya, makasih. Ayo, masuk. Gue bisa telat."

Kehadiran Justin mempermudah semua. Mereka melenggang masuk tanpa melalui proses pemeriksaan yang rumit dan juga tanpa meninggalkan kartu tanda pengenal. Justin mengajaknya langsung ke lantai lima dan memintanya menunggu di ruang tamu.

Pendar menatap sekeliling ruang tamu yang ditata rapi dengan bunga palem dalam pot. Sofa besar dengan meja kayu panjang mendominasi ruangan. Ia tidak tahu fungsi dari bunga palem itu, kecuali tentu saja untuk mempercantik ruangan. Menurutnya, itu sedikit berlebihan.

"Pendar? Lo udah datang?"

Pendar mendongak, menatap gadis cantik yang baru saja memasuki ruangan. "Erica?"

Erica tersenyum. "Iya, ini gue. Lo pasti nggak nyangka gue ke sini'kan? Barusan dapat kabar dari dosen kemarin kalau gue bakal nemenin lo magang di sini."

"Oh, gitu. Baru tahu gue."

Erica melambaikan tangan, duduk di seberang Pendar. "Santai aja. Lo nggak tahu itu biasa. Gue aja baru tahu kemarin."

Pendar tersenyum. "Bagus, deh. Ada teman buat belajar."

"Menurut lo, susah nggak kerja di sini?" selidik Erica.

"Nggak tahu. Kita berdua sama-sama awam."

"Bener juga. Tapi, Pak Marcello beneran tampan, ya?" Erica terkiki dengan wajah memerah.

Pendar tidak menjawab, bagi orang lain mungkin Marcello tampan, tapi menurutnya tetap Rainer yang paling menawan. Ia memang sesayang itu pada laki-laki yang sudah ditunggunya selama tujuh tahun. Kehadiran Marcello bukan apa-apa baginya. Tanpa sadar Pendar tersenyum, mengingat bagaimana pagi ini Rainer mengecup bibirnya sebelum berangkat bekerja. Mereka seperti sepasang suami istri sungguhan, hanya saja berpisah kamar.

Suara langkah kaki membuat kedua gadis itu bangkit dari kursi. Marcella muncul diikuti oleh seorang perempuan kurus tinggi dengan rambut digelung rapi.

"Selamat datang di kantor ini, Pendar dan Erica."

Dengan ramah Marcello menyalami keduanya.

"Perkenalkan ini sekretarisku, Febri. Dia akan membantu kalian tentang apa saja yang akan kalian lakukan di sini. Erica, kamu akan berada di bagian karyawan bersama staf yang lain."

Erica mengangguk. "Baik, Pak."

Marcello mengalihkan pandangan pada Pendar. "Kamu, di bagian pemasaran. Febri akan membantumu, Pendar."

Pendar tersenyum. "Baik, Pak."

Febri maju, menatap bergantian pada keduanya. "Ikuti aku."

Erica dibawa masuk ke area karyawan. Disediakan satu meja dan kursi untuknya. Gadis itu duduk dengan wajah berseri-seri, menerima sambutan dari karyawan lain yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang.

Pendar dibawa masuk ke ruangan yang lebih kecil. Ada sekitar sepuluh orang di dalamnya. Di dinding tergantung slide proyektor, dengan beragam diagram tertera di sana. Sepuluh orang itu tidak punya meja sendiri-sendiri seperti halnya karyawan tempat Erica. Mereka duduk mengelilingi meja kayu panjang yang membujur di tengah ruangan dengan masing-masing orang menghadap laptop.

"Ini adalah tim kamu, Pendar. Banyak belajar dari mereka."

Pendar mengangguk dengan canggung. Tersenyum ramah pada tiap orang di ruangan dan diberi anggukan singkat dari mereka. Sepertinya, ruangan ini orang-orangnya sangat serius dan juga sibuk.

"Mulai besok kamu di sini, sekarang ikut aku ke ruangan direktur."

Pendar mengikuti Febri menyusuri lorong berkarpet hingga tiba di ruangan yang sangat luas. Berdinding kaca dan memantulkan sinar matahari yang lembut, Pendar melihat Marcello berdiri sambil bertelekan pada meja kayu besar.

"Pendar, senang melihatmu."

"Terima kasih atas kesempatannya Pak Direktur." Pendar menjawab sopan, menyadari kalau dirinya ditinggal berdua dengan Marcello di ruangan.

"Jangan panggil Pak Direktur. Kesannya formal sekali. Bagaimana kalau panggil kakak? Biar lebih akrab?"

Pendar terbelalak. Bagaimana mungkin ia memanggil Marcello dengan sebutan kakak, mereka tidak ada hubungan darah maupun keluarga. Kurang ajar sekali kalau sampai ia melakukannya.

"Ma-maaf, saya rasa itu nggak sopan, Pak."

Marcello tergelak. "Benar juga. Nanti karyawanku pada bingung. Padahal, kamu teman Justin. Harusnya kamu sama kayak dia, manggil aku kakak. Ngomong-ngomong, Justin baru saja pulang. Kamu bisa ikut mobilku nanti kalau takut nyasar."

Sekali lagi Pendar dibuat tidak mengerti oleh kebaikan yang ditawarkan Marcello untuknya. Ia datang sebagai pegawai magang, bukan sebagai teman Justin. Tidak seharusnya diperlakukan dengan begitu baik dan berbeda dengan yang lain.

"Maaf, Pak. Saya sudah janji dengan teman. Nanti dia jemput."

Marcello tersenyum. "Nggak masalah. Mulai besok, bilang sama temanmu nggak usah repot-repot, kasihan kalau jauh-jauh jemput kamu."

Kali Pendar memilih untuk diam. Urusan antar jemput besok, sebaiknya nanti saja dipikirkan. Sekarang lebih penting untuk bekerja dulu. Ternyata, ia ditempatkan di bagian pemasaran hanya formalitas. Pekerjannya lebih banyak membantu Febri untuk mengatur jadwal direktur. Pendar melakukan semuanya dengan gembira, karena ini pertama kalinya ia bekerja secara formal.

**

Rainer termenung di dalam jok belakang kendaraan yang akan membawanya pulang. Pikirannya berkecamuk pada kejadian tadi siang. Chandra jelas menekannya, terutama tentang lamaran yang diberikan laki-laki itu untuknya. Sedikit menjengkelkan tapi tak urung membuatnya heran. Mereka berani melakukan apa pun untuk bisnis, bahkan menjual jiwa dan kebahagiannya sendiri.

"Apa yang kurang dari anakku? Aku rasa kita sepakat kalau Andrea cukup cantik?" tanya Chandra.

"Memang," jawab Rainer diplomatis.

"Andrea pintar bekerja, mengatur bisnis, dan semua hal yang menyangkut perusahaan."

Kali ini Rainer punya jawaban yang tepat. "Masalahnya, saya sudah pernah gagal dalam berumah tangga sekali. Tidak mungkin saya korbankan perasaan saya sekali lagi untuk cinta."

Chandra melambaikan tangan. "Halah, cinta macam apa itu? Bagi kita orang bisnis, hubungan masyarakat yang paling penting."

"Kalau begitu kita berbeda prinsip. Lagi pula, kalau memang Andrea dan Pak Chandra menginginkan hubungan bisnis, kenapa harus saya? Di luar sana banyak pebisnis muda yang mungkin dengan senang hati akan menerima tawaran Anda."

"Masalahnya, Andrea menyukaimu."

"Maaf, tapi bukankah Pak Chandra baru saja mengatakan untuk tidak melibatkan cinta dalam rumah tangga? Kenapa harus bicara tentang rasa suka?"

Setelah itu, Rainer meninggalkan Chandra sendiri. Laki-laki tua egois, yang terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan. Ia tidak suka ditekan dan Chandra salah kalau berniat mengalahkannya. Sebelum pergi dari pertemuan itu, asisten Chandra mendatanginya dan menyodorkan map tebal berisi tawaran proyek yang bernilai jutaan dollar. Sungguh menggiurkan kalau saja ia tipe orang seperti itu. Sayangnya, ia tidak ingin diperbudak orang lain.

"Kata Pak Chandra, sebaiknya Pak Rainer ambil dulu dokumen ini dan pelajari. Kalau memang cocok, mari berkabar!"

Sang asisten meninggalkan dokumen proyek itu di tangan Rainer. Sekarang, map dokumen itu tergeletak di sampingnya. Rainer melirik sekilas dan menghela napas panjang.

Tiba di rumah, ia mengernyit saat mendengar gelak tawa yang sedikit nyaring dari biasanya. Turun dari mobil ia bergegas masuk dan mendapati Pendar berada di ruang makan bersama beberapa pelayan. Mereka terlihat sedang membuat sesuatu dan itu menyenangkan.

"Kalian sedang apa?" tanyanya.

Para pelayan buru-buru bangkit dari kursi, mengangguk hormat lalu bergegas pergi. Pendar tersenyum, ada tepung di pipi dan dagunya.

"Om, baru pulang?" Ia memperlihatkan adonan di tangannya. "Tadi lihat resep pangsit isi daging di internet. Aku mau coba-coba bikin, ternyata susah bungkusnya."

Rainer mendekati Pendar, mengusap tepung di dahi dan pipi gadis itu. "Kenapa repot-repot bikin? Kita bisa beli?"

Pendar meleletkan lidah. "Aku pingin sesekali repot, buat Om."

"Beneran?"

"Iyalah."

Rainer menatap Pendar dengan intens. "Cuci tanganmu. Ke kamarku sebentar, aku perlu bantuanmu."

"Hah, sekarang?"

"Iya, sekarang. Penting sekali."

"Okee, ditunggu."

Pendar bergegas ke westafel untuk mencuci tangan dan mengelap sampai kering. Ia meminta pelayan membereskan meja makan yang berantakan. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan dilakukannya di kamar Rainer? Apakah laki-laki itu memerlukannya untuk mengetik sesuatu. Berdiri di depan pintu yang tertutup, Pendar menggigit bibir bawah. Dadanya berdebar tak menentu karena baru pertama kali masuk ke kamar Rainer. Menyingkirkan rasa gugup, ia mengetuk.

Pintu membuka, Rainer mengulurkan tangan untuk menariknya masuk dan sebelum Pendar sempat bertanya, laki-laki itu sudah menghimpitnya ke pintu dan melumat bibirnya. Pikiran Pendar mendadak kosong karena serbuan panas di mulut dan belaian tangan Rainer di pinggang dan bahunya.

**

Deswinta: Masa gue jadi sad girl di cerita ini?

Sella: Sad girl masih mending, punya pasangan. Lah, guee? Nggak ada satu pun yang naksir perasaan dari awal cerita sampai sekarang.

Marsel: Sepertinya gue juga jadi sad boy.

Justin: Aku rela antar jemput Pendar ke kantor.

Marcello: Pendar ....

Rainer: Pendar ... jangan malu-malu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro