Bab 14b
Hari Sabtu, Rainer pergi dari siang. Ada pertemuan yang harus dihadiri dan akan pulang sore hari. Pendar memanggil teman-temannya untuk membantunya berdadan. Selama ini, ia cukup mahir merias wajah. Sebagai SPG professional, keahlian dalam make up sangat diperlukan. Namun, malam ini adalah pesta penting dan ia tidak mau tampil buruk dan membuat Rainer malu.
Reaksi Sella dan Deswinta saat pertama kalia masuk ke kamarnya membuat Pendar malu. Keduanya mengagumi perabotnya yang bagus dan mahal, ranjangnya yang besar serta kamar mandinya yang mewah.
"Kamar lo, setara sama hotel bintang lima," decak Sella kagum.
"Emang, iya?" Pendar balik bertanya. "Nggak pernah ke hotel soalnya."
Deswinta mengusap bahu Pendar. "Makanya, sesekali kencan ke hotel sama Pak Rainer, biar tahu rasanya menginap di hotel bintang lima."
Pendar tercengang. "Ngapain nginap di hotel? Rumah ini aja bagus."
"Iya, juga. Kali aja pingin suasana yang berbeda. Di rumah kalian hanya ciuman, barangkali di hotel bisa saling tubruk di ranjang!"
Pendar memukul sisi kepala temannya. "Ngawur lo!"
Sella meleletkan lidah. "Bilang aja lo nggak berani lebih dari ciuman."
Pendar menggeram. "Dasar sesat!"
Marsel menunggu di teras samping selama para cewek berada di atas untuk berdandan. Pemuda itu sibuk mengambil foto deretan mobil sport milik Rainer. Marsel sendiri berasal dari kelurga kaya, tapi tidak sekaya Rainer. Seperti kebanyakan anak laki-laki, tidak tahan saat melihat mobil yang bagus.
Ia sedang mengusap bagian depan Ferari kuning saat Rainer muncul. Marsel tersenyum malu-malu dan memuji koleksi mobil Rainer dengan wajah semringah.
"Mobil-mobil yang keren, Pak. Bener-bener hebat, terutama Audi. Gila, sporty banget!"
Rainer tersenyum. "Kamu bisa mencobanya, kalau lain kali datang lagi."
"Beneran, Pak?"
"Tentu saja. Kita bisa ikut convoy. Nanti kalau ada kegiatan di klub, aku akan mengajakmu dan Pendar."
"Sella dan Deswinta boleh ikut, Pak?"
"Bukannya kalian satu kesatuan?"
"Ah, benar juga."
Marsel sekali lagi mengusap mobil Audi silver. Mengagumi bodinya yang kokoh.
"Justin memang anak orang kaya, tapi aku nggak yakin kalau keluarganya membolehkannya punya mobil sport mahal. Tapi, mobil terakhir yang dibelinya saat pameran cukup mahal, sih. Jangan tanya soal Andri, biar pun ketua senant sepertinya bukan dari keluarga kaya raya. Mereka jelas kalah dibandingkan Pak Rainer."
Rainer mengernyit mendengar perkataaan Marsel. "Kenapa aku harus dibandingkan dengan mereka?"
Marsel mendongak dan nyegir kuda. "Karena mereka naksir Pendar. Setiap hari selalu ribut untuk cari perhatian. Nggak heran kalau Pendar lama-lama sebal."
Rainer mengingat tentang cerita Pendar, di mana ada dua cowok yang selalu bertengkar. Tapi, gadis itu tidak mengatakan kalau keduanya sedang berebut cinta. Rainer menghela napas, merasa kasihan pada dua cowok itu. Terserah bagaimana cara mereka mendapatkan Pendar, gadis itu akan menjadi miliknya untuk selamanya.
Saat Pendar menuruni tangga dengan gaun warna kuning keemasan sebatas mata kaki, Rainer menatapnya tak berkedip. Gaun itu berbentuk lurus dari bahan lembut dengan satu lengan di bagian kiri. Ada pita besar yang menyangga gaun di bagian pinggang. Pendar menyanggul rambutnya ke atas dan menunjukkan leher yang jenjang. Rainer mengibaratkan Pendar seperti bunga yang baru mekar.
"Bagaimana, Pak?" tanya Deswinta dengan senyum terkembang. "Cantik bukan sahabat kami?"
Rainer tersenyum. "Dari dulu Pendar selalu cantik."
Pendar tersenyu malu sementara teman-temannya bersuit menggoda. Rainer berterima kasih pada Deswinta dan Sella, atas bantuan mereka. Sebagai imbalan, ia memberikan masing-masing satu kotak coklat mahal yang diterima mereka dengan senang hati. Marsel pun mendapatkan satu kotak bagiannya sendiri.
Rainer menggiring Pendar menuju mobil dan mereka meluncur di jalanan yang cukup padat.
"Semoga aku nggak bikin malu, Om." Pendar meremas tangan dengan kuatir.
Rainer tersenyum, meraih tangan Pendar dan menggenggamnya. "Nggak akan. Penampilan kamu udah cantik dan stunning banget. Malu bagaimana? Yang ada aku merasa bangga."
"Tapi, belum pernah ke pesta."
"Bukannya sering jadi teman kencan orang?"
"Memang, biasanya cuma makan atau temani kondangan. Pokoknya, aku berusaha biar nggak salah kata dan salah langkah."
"Tenang, kita mau ke pesta bukan perang."
Menurut Pendar nggak ada bedanya antara perang sama pesta, sama-sama membuatnya takut. Baru pertama kali ia menghadiri pesta mewah begini dan kakinya menahan gemetar. Peritnya seakan jungkir balik menahan gugup.
Saat kendaraan memasuki rumah besar berlantai tiga yang disanggap pilar-pilar besar di bagian teras, kegugan Pendar makin tak tertahan. Ia menatap rumah orang tua Rainer dan merintih. Bagaimana tidak, rumah itu terlihat bagaimkan istana kecil. Jenis rumah yang selalu dilewatinya saat dalam perjalanan berangkat atau pulang kerja dan hanya bisa menatap dengan kagum.
"Ayo, masuk!"
Pendar menerima uluran tangan Rainer, mengikuti langkah laki-laki itu. Tidak heran kalau Rainer memintanya memakai gaun, karena dilihat dari banyaknya kendaraan yang terparkir di halaman dan di pinggir jalan depan rumah, tamu yang datang pasti tidak sedikit.
Mereka menaiki undakan, disambut dua pelayan dan diarahkan ke halaman samping. Pendar mengerjap saat melihat para tamu pesta dengan pakaian yang glamour, berada di sekitar kolam diiringi musik dari piano besar yang dimainkan seorang laki-laki berjas hitam.
"Rainer, datang juga kamu."
Seorang perempuan cantik, berumur kira-kira lima tahun lebih tua dari Rainer menyapa mereka. Perempuan itu memakai gaun putih tanpa lengan dan menunjukkan kulitnya putih.
"Sis, selamat. Kenalkan ini Pendar."
Pendar mengangguk dan merasa agak canggung saat perempuan itu memeluk dan mengecup pipinya.
"Ya ampun, kamu cantik sekali Pendar. Pantas saja jadi puteri kampus. Kenalkan, aku Nayara, kakanya Rainer."
Pendar mengangguk sambil tersenyum, menyukai keramahan Nayara. "Kak, ma-maksih udah diundang."
Nayara tertawa lirih. "Terus terang, aku mengundangmu karena ingin tahu, secantik apa kamu sampai-sampai adikku tergila-gila. Hahaha."
Keterusterangan Nayara membuat Pendar malu. Ia melirin Rainer dan laki-laki itu seolah tidak tergoda dengan kata-kata sang kakak. Nayara pamit untuk menyapa tamu yang lain, Pendar membiarkan Rainer menggandeng tangannya, membaur bersama tamu yang lain. Mereka menghampiri Hanah yang sedang mengobrol dengan tamu di dekat meja prasmanan panjang.
"Aih, cantik sekali calon Pendar," puji Hanah dengan wajah berbinar. "Gaun itu cocok untukmu."
"Te-terima kasih, Nyonya."
"Aduh, Pendar. Panggil mama, bukan nyonya."
Pendar masih tercengang, saat Rainer memperkenalkan pada kerabat yang lain. Ada sepupu laki-laki kembar bernama Dalfa dan Dalfi. Kedaunya masih kuliah dan saat tahu Pendar sebaya dengan mereka, keduanya berebut ingin mengajak Pendar mengobrol. Tatapan tajam dari Rainer menghentikan aksi si kembar. Rainer juga mengenalkan Pendar pada anak Nayara, bocah perempuan berumur sepuluh tahun yang sangat kritis dan pandai bicara, bernama Angelica. Bocah itu tak hentinya mengkritik Rainer yang dianggap tidak pernah menempati janji.
"Om bilang mau ngajak aku berenang?"
"Iya, Sayang. Om sibuk sekali. Nanti kapan-kapan kita pergi sama Kak Pendar."
"Janjji, ya?"
"Janji."
"Mau berenang kemana, Om?" tanya Pendar. Ia menyukai Angelica yang cantik dan menggemaskan.
"Palingan ke hotel atau cari resort yang privat. Gampang itu," jawab Rainer.
Angelica mengernyit, menatap Pendar dan Rainer bergantian dengan bola matanya yang besar.
"Kak Pendar emangnya ponakan Om juga?" tanyanya.
Rainer menggeleng. "Bukan, Sayang. Teman dekat."
"Kok manggilnya om juga?"
Pendar tertawa lirih, mendengar pertanyaan Angelica. Gadis itu berhenti bertanya setelah Rainer memberikan penjelasan. Dari Angelica, berlanjut ke kerabat lain yang ternyata jumlahnya tidak sedikit. Pendar memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mengenali wajah, menghapal nama dan juga silsilah.
Suami Nayara adalah laki-laki keturunan Belanda. Laki-laki itu mengajak Rainer bermain kartu dan ditolak dengan halus.
"Kamu pasti haus. Tunggu di sini, biar aku ambilkan minum."
Pendar mengangguk, duduk di sofa panjang yang berada di sisi lain kolam. Dari tempatnya duduk, bisa melihat suasan pesta yang meriah. Ia bisa mendengar Angelica bicara dengan sang papa. Melihat si kembar sedang adu cepat makan coklat-berharap mereka tidak sakit perut-serta mendengar tawa Hanah yang sedang mengobrol dengan para tamu. Semua terlihat gembira. Pendar cukup lega karena ternyata pesta tidak seburuk dugaannya.
Pendar menatap Rainer yang sesekali menyapa orang-orang yang dikenalnya. Laki-laki mengambil minuman, sambil mengobrol dengan beberapa orang sekaligus. Saat obrolan selesai dan Rainer berniat kembali ke sofa tempat Pendar menunggu, di tengah jalan dihadang seorang perempuan amat cantik dengan gaun hitam sedengkul. Perempuan itu bukan hanya cantik tapi juga sexy. Pendar tidak mengenalnya tapi dari tempatnya duduk bisa mendengar sapaannya.
"Rainer, Sayang. Long time no see!"
Rainer tersenyum dan tidak bisa mengelak saat perempuan itu memeluknya.
"Aku kangen sekali sama kamu, Rainer. Kenapa kamu susah sekali ditemui."
Pendar terperanjat sampai tidak bisa bicara. Siapa perempuan itu? Kenapa berani sekali memeluk Rainer di tengah keramaian?
**
Obrolan Hati
Sella: Ada tokoh baru.
Deswinta: Penulisnya suka banget masukin tokoh baru, bukanya yang ada aja. Kalau gini porsi kita muncul jadi kurang.
Marsel: Coklatnya enak (Tidak peduli dengan protes kedua temannya)
Nayara: Pantas saja Rainer bucin. Pendar cantik sekali.
Pendar: Siap perempuan itu, Om.
Rainer: Pendar, jangan salah paham. Aku bisa jelaskan.
Si kembar berencana untuk mengajak Pendar menari kalau Rainer lengah. Mereka bertaruh satu sama lain, tentang siapa yang lebih dulu bisa mendapatkan nomor hape Pendar.
.
.
.
.
Tersedia di google playbook. Link di papan percakapan atau cari langsung di playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro