Bab 14a
Sebenarnya, Rainer tidak pernah punya masalah pribadi dengan Marcello. Masalah di antara mereka selalu tentang perusahaan dan persaingan bisnis. Hal wajar dalam dunia usaha. Beberapa tahun lalu mereka bahkan terbilang akrab, dengan rentang usia yang sepantar tidak ada sekat antara keduanya. Setiap kali bertemu, yang mereka bicarakan selalu soal bisnis dan juga rencana untuk membuat perusahaan baru. Sampai akhirnya terjadi sesuatu dan membuat hubungan keduanya merenggang.
Sebagai sesama pebisnis, jujur saja Rainer kagum dengan cara kerja Marcello yang cekatan, taktis, serta penuh dengan ide-ide brilian. Bisa dikatakan kalau Marcello adalah seorang perencana serta pengusaha ulung. Mereka akan tetap menjadi teman baik, terlepas dari persaingan dalam dunia bisnis. Seandainya saja, keduanya tidak larut dalam ego.
"Percayalah Pak Rainer, menggunakan pernikahan untuk bisnis bukan ide bagus."
"Sayangnya, aku tidak membutuhkan pendapat orang lain."
"Sebagai sesama teman hanya mengingatkan, meski kita akui bersama kalau PT, Ultima adalah yang terbesar saat ini. Mereka menguasai pangsa pasar otomotif hampir 20 persen dari total konsumen. Bayangkan apa yang bisa kalian dapatkan kalau melakukan merger. Sayangnya, aku dengar desas-desus kalau urusan itu tidak lancar?"
Rainer tidak menjawab provokasi Marcello, membiarkan saja laki-laki di depannya bicara panjang lebar. Soal hubungannya dengan Andrea, tidak ada yang bisa mengaturnya. Ia bukan anak kemarin sore yang mengamuk kalau ada yang mencubit. Alih-alih mengamuk, ia akan mencubit balik dengan lebih keras.
"Kenapa kalian tertarik dengan masalah pribadiku?" Rainer berkata dengan nada bosan. "Kenapa kamu mengurus masalah pribadimu? Aku dengar, perempuan itu naik banding?"
Raut wajah Marcello agak berubah tapi kembali netral dengan cepat. Mengedarkan pandangan ke sekeliling seolah baru sadar kalau tempat ini ramai.
"Hidup tidak selalu hitam dan putih, jangan menilai hanya apa yang terlihat."
Rainer mengangguk. "Benar, sama halnya kalau dalam hidup kita diajari untuk melihat kesalahan sendiri dulu sebelum mengkritik orang lain."
Perdebatan mereka terhenti saat walikota mendatangi mereka dan menyapa dengan keramahan yang dibuat-buat. Rainer yang awalnya ingin berkelit dari laki-laki itu, terpaksa menghadapi laki-laki yang kini menatapnya dan Marcello dengan wajah dan mata berbinar. Ada kegembiraan sekaligus keserakahan di sana, mungkin karena melihatnya bersama Marcello, seolah melihat ikan besar yang sayang untuk dilewatkan.
"Mari, kita ke ruang VIP. Bisa berbincang di sana."
Rainer menggeleng. "Maaf, masih ada urusan, Pak. Saya datang atas undangan Pak Menter."
Walikota mengangguk. "Ah, ya. Saya hanya merasa beruntung kalau bisa mengobrol dengan Pak Rainer sekaligus Pak Marcello."
Rainer tetap bersikukuh untuk pergi. Berpamitan dengan kaku, ia meninggalkan ruang pameran. Ia tidak berminat mengobrol dengan dua laki-laki yang tidak disukainya. Ia bukan tipe orang yang mudah beramah tamah dan membiarkan orang lain menjilat demi kepentingan mereka. Sang walikota, ia yakin akan menyanjung berlebihan kalau diberi kesempatan untuk bicara dan itu membuatnya muak.
"Pak, saya teringat sesuatu," ucap Leoni saat mereka sudah di dalam kendaraan.
"Ada apa?"
"Bukannya Pendar menang lomba dan hadiahnya magang?"
Rainer mengangguk. "Benar, di tempat Marcello."
"Anda akan membiarkannya, Pak?"
Rainer mendesah. "Jujur saja sebenarnya tidak ingin mengijinkan tapi, aku nggak mau dikatakan sebagai kekasih yang posesif. Lagi pula, ini sudah ketentuan kampus, mau nggak mau harus kita terima."
"Benar juga," gumam Leoni dengan suara pelan. "Biarpun sebenarnya kesal."
Rainer mengerti kekuatiran asistennya. Ia pun merasakan kekesalan yang sama tapi menurutnya sebagai seorang kekasih harus bisa bersikap baik dan percaya sepenuhnya dengan Pendar. Mereka sudah terpisah tujuh tahun, seorang Marcello tidak akan bisa menggoyahkan apa yang sudah tertanam sejak lama. Rainer memantapkan hati.
Selesai bekerja, ia meminta Pendar menemuinya di sebuah mall besar dan mewah di tengah kota. Gadis itu sempat bertanya, ingin membeli apa di mall dan Rainer menjawab singkat, ingin makan malam. Pendar juga berkilah, kalau Mira bisa masak untuk mereka berdua. Sampai akhirnya Rainer sedikit mengnacma barulah Pendar setuju untuk datang.
"Kalau kamu nggak mau ke mall, aku akan ke kampus dan menjemputmu. Pilihan di tanganmu, datang sendiri atau dijemput?"
Rainer tahu kalau gadis itu tidak suka dijemput, bukan karena malu tapi tidak ingin menarik perhatian. Rainer dengan kendaraan mewahnya, akan membuat kekacauan bagi yang melihat. Terlebih teman-teman Pendar sangat mudah penasaran.
Pukul tujuh malam, mereka bertemu di restoran yang sudah dipesan. Restoran yang menyediakan masakan khas Bali. Selama makan, Pendar bercerita pada Rainer tentang kegiatannya hari ini.
"Pesan kue sama orang, ditambahin harga lalu dijual lagi. Cepat juga, nggak sampai sejam udah habis."
"Kalian jual di kampus?"
"Iya, pagi sama sore. Yang bikin kesal itu Justin sama Andri ribut terus. Nggak tahu apa yang mereka ributin."
"Siapa Andr?"
"Ketua senat. Itu cowok aneh juga. Katanya punya konsep sendiri untuk mengumpulkan uang sumbangan. Bikin proposal untuk diajukan ke perusahaan atau kantor besar. Malah ikut-ikutan kita jual makanan."
Rainer menguyah sate lilit dan memandang Pendar yang sedang makan bebek betutu dengan lahap. Ia selalu suka melihat gadis itu makan, tidak ditahan-tahan dan melakukannya tanpa jaim.
"Kenapa kamu dan teman-temanmu nggak bikin proposal dan ajukan ke perusahaanku."
Pendar meleletkan lidah. "Nggak mau, Om. Terlalu mudah itu. Justin juga nawarin bikin prososal ke perusaan kakaknya, tapi kami nggak mau. Lebih seru begini, mumpung lagi nggak ada kerjaan juga."
Rainer menghargai pendapat Pendar dan tidak ingin memaksa. Ia cukup senang mendengar prinsip gadis itu tentang cara mencari sumbangan dengan tidak meminta-minta. Baginya, itu membangun mental yang bagus. Dengan berjualan berarti ada kerja keras yang patut diapresiasi.
Selesai makan, Rainer mengajak Pendar ke butik. Gadis itu lagi-lagi menolak, karena merasa tidak membutuhkan gaun baru tapi Rainer mengingatkannya tentang pesta sang kakak.
"Ingat, malam minggu ini kamu harus datang ke rumahku. Aku nggak ada masalah kalau kamu mau pakai apa pun, tapi bisa jadi pestanya nanti mengundang banyak orang."
Pendar tercengang. "Bukannya hanya pesta keluarga?"
"Menilik dari sifat mamaku, pesta nanti aku yakin jauh dari kata hanya keluarg. Percaya padaku."
Mengesampingkan rasa enggan, Pendar mengikuti saran Rainer untuk membeli gaun. Mereka masuk ke sebuah butik pakain ternama dengan label harga yang bisa membuat Pendar pingsan saat melihatnya. Namun, tidak begitu bagi Rainer. Laki-laki itu menyuruh pramuniaga untuk mengeluarkan koleksi terbaru dan meminta Pendar untuk mencoba.
Pendar merasa seperti adegan film, saat ia mencoba gaun satu per satu dan menunjukkannya di depan Rainer. Bukankah film-film romantis selalu ada adegan ini? Demi mereka berdua, butik yang harusnya tutup pukul sepuluh, rela mundur dua jam agar Rainer puas. Setelahnya ada tujuh gaun dengan warna dan model berbeda, tiga pasang sepatu, serta dua tas untuk Pendar, yang berusaha menolak dan mengatakan semua terlalu banyak/ Rainer tidak peduli, setelah membayar meminta pramuniaga membawa ke mobil.
Sepanjang jalan menuju rumah, Pendar tak hentinya mengoceh. Mengatakan kalau uang untuk membayar barang-barang itu bisa menghidupinya selama tiga tahun penuh tanpa bekerja.
"Ratusan juta hanya untuk pakaian, tas, dan sepatu. Ya Tuhan, Om. Kenapa boros sekali."
Rainer tersenyum dari balik kemudi. "Demi kamu, Pendar."
"Tetap aja terlalu banyak."
"Nggak masalah, kamu cukup nikmati aja. Tugas istri memang begitu, menikmati jerih payah suaminya."
Pendar terbeliak mendengar ucapan Rainer. Wajahnya terasa panas seketika. "Ih, Om ngrayu. Siapa pula yang mau nikah sama Om?"
"Oh, jadi kamu mau ingkar janji?"
"Janji yang mana?"
"Itu, mau melamarku kalau kamu sudah punya kerjaan. Ingat, Pendar. Jadi manusia yang dipegang itu ucapannya."
"Iya, iya, nanti aku lamar Om kalau udah siap lahir dan batin!"
"Nah, begitu baru benar."
Pendar mengeluh dalam hati, selalu kalah setiap kali berdebat dengan Rainer. Padahal, ia sudah mengeluarkan jurus jurus berkelit paling ampuh dan juga kata-kata bijaksana yang terpikir olehnya, tetap saja kalah sama laki-laki itu. Tidak heran kalau Rainer menjadi penerus dan pengusaha sukses, caranya menekan lawan tidak ada ampun. Tanpa disadari, Pendar terjebak dalam rencana laki-laki itu.
Rainer selalu membicarakan soal pernikahan, sedangkan seingat Pendar mereka tidak pernah berkomitmet secara serius. Jaangan-jangan, Rainer tidak membutuhkan legitimasi lagi untuk hubungan mereka? Menganggap kalau tinggal di rumah laki-laki itu berarti mereka sudah bersama? Pendar menduga, begitulah pemikiran Rainer. Ia pun sebaiknya berpendapat sama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro