Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11b


Rainer menawari Pendar membeli baju atau semua hal yang diperlukan, tapi ditolak. Gadis itu mengatakan rumah Rainer di rumah Rainer sudah lengkah dan tidak memerlukan hal lain lagi. Seperti biasanya, tiap pagi Pendar ke kampus. Rainer menawarkan mobil dan sopir tapi ditolak.

"Aku nggak mau manja, Om."

"Bukan manja, biar aman aja."

"Aku aman kok naik angkot."

"Nggak! Terlalu jauh kampusmu dari sini. Mulai sekarang nggak boleh lagi naik angkot."

"Tapi—"

"Kamu tinggal milih, diantar jemput sama aku, Leoni, atau sopir?"

Pendar terdiam, memikirkan tawaran Rainer. Sebelum menjawab, ia berunding dengan teman-temannya dan jawaban mereka membuatnya pusing.

"Gue saranin lo minta antar Pak Rainer. Ingat, satu hari ganti satu mobil. Gue siap nunggu di depan gerbang!" usul Marsel dengan nada menggebu-gebu. Pemuda itu punya niat ingin memeriksa semua koleksi mobil Rainer, kalau bisa malah menyetirnya langsung.

Deswinta tidak setuju. "Jangan, lo lagi ikut ajang puteri kampus. Bisa berabe kalau ketahuan tinggal bareng sama om-om. Mendingan lo pakai sopir aja."

Sella punya ide lain yang ternyata jauh lebih masuk akal. "Pendar, lo ikut gue aja pulang pergi. Kita jam kuliah selalu sama. Cukup bayar bensin, atau tol kalau mau pergi jauh."

Tentu saja, Pendar menyambut usulan Sella dengan gembira. Ia memilih ikut sahabatnya, dari pada Pendar atau sopir. Tidak ingin terlibat dalam berbagai gosip yang akhirnya akan membuat malu Rainer. Biarlah hubungan mereka menjadi rahasia pribadi, tidak perlu banyak orang ingin tahu.

Saat Pendar memberitahu tentang Sella yang akan mengantar jemput, Rainer setuju tanpa banyak kata. Soal uang bensin, laki-laki itu yang akan membayarnya tapi Pendar menolak.

"Aku kerja, Om. Biarpun jadi freelance. Hari Sabtu dan Minggu mau jadi pagar ayu, lumayan gajinya. Lagian, aku udah hemat biaya kos. Bisa untuk uang bensin."

Percuma Rainer membantah, karena Pendar akan menolak dengan berbagai alasan. Yang dilakukannya hanya mengamati gadis itu dari jauh, dan bersiap untuk menopang saat Pendar jatuh.

Mereka juga tidak berkomitmen untuk berpacaran atau menjalin hubungan serius. Yang terpenting keduanya sama-sama tahu isi hati masing-masing. Pendar mengerti kalau Rainer menyukainya. Rainer pun sama, merasa senang karena cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

"Kamu kuliah yang baik, lulus, jadi sarjana. Jangan pikirkan soal biaya atau yang lain."

Perkataan Rainer membuat Pendar tidak enak hati. Ia tidak ingin menambah beban pada laki-laki itu. Biar pun mereka menjalin hubungan, tidak seharusnya saling memanfaatkan.

"Om, kalau nanti aku punya uang dan penghasilan yang stabil, aku boleh mandiri?"

Pertanyaan Pendar dijawab dengan gelengan kepala oleh Rainer. "Nggak! Kalau kamu nanti punya uang dan penghasilan yang stabil, yang pertama kamu lakukan adalah menikahiku. Kamu dengar Pendar? Aku laki-laki tua ini, hanya bisa menunggu gadis muda sepertimu melamarku."

Sungguh perkataan yang konyol bagi Pendar. Bagaimana mungkin ia berani melamar Rainer? Memangnya ia sudah punya apa? Makan dan tidur aja masih menumpang di rumah laki-laki itu.

Rutinitas harian Rainer kini berubah. Bila biasanya berangkat pagi-pagi dengan wajah serius menghadapi pekerjaan, kini berbeda. Tiap pagi ia menunggu Pendar sarapan bersama, bercakap ringan tentang kegiatan sehari-hari. Ia mendengarkan dengan tekun, cerita gadis itu tentang kuliah, pekerjaan sampingan, dan pemilihan puteri kampus.

"Kamu bilang kalau juara bisa magang?"

"Iya, di Good and Food Offiial. Om tahu kantor itu?"

Rainer mengangguk. "Tahu dan kenal juga sama CEO muda di sana. Kalau sama orang tuanya hanya kenal tapi tidak akrab. Bisa dibilang, kami saingan dalam industry makanan siap saji."

Pendar tercengang, menatap Rainer dengan bingung. "Ka-kalau gitu, aku nggak jadi aja ikut pemilihan itu."

"Hah, kenapa?"

"Kata Om, mereka saingan."

Rainer mengusap rambut Pendar dengan lembut. "Hahaha. Nggaki masalah Pendar. Saingan bisnis itu biasa. Magang saja, hanya tiga bulan bukan?"

Pendar mengangguk. "Benar."

"Anggap saja kamu belajar, setelah itu baru kerja di tempatku."

"Serius boleh?"

"Tentu saja."

Ijin dari Rainer membuat Pendar kembali bersemangat mengikuti ajang puteri kampus. Dari awal yang ia incar adalah hadiah magang, bukan hal lain. Ia tidak pernah ingin bergelar puteri atau hal lain. Baginya, itu hanya popularitas yang akan membuatnya makin kesulitan dalam bergaul. Ia banyak dimusuhi para gadis di kampus, karena dianggap sebagai salah satu mahasiswi cantik. Ditambah gelar puteri, bisa tamat riwayat pergaulannya. Namun, dengan adanya hadiah magang itu adalah hal paling penting untuk meniti karir.

Hari ini adalah hari penentuan ajang di kampus. Pendar tampil cantik dalam balutan kebaya warna emas, dengan rambut disanggul dan diberi hiasan bunga mawar. Sayangnya, Rainer tidak bisa menyaksikan acara terakhir karena harus keluar kota. Rainer menugaskan Leoni untuk membantu Pendar, dari mulai mencari kebaya sampai penata rias. Bersama sahabat-sahabatnya, Pendar datang ke auditorium dengan penampilan anggun.

"Ya ampun, Pendar. Kamu cantik sekali. Wifeable banget. Udah, nggak usah ikut gitu-gituan, langsung aja nikah sama gue!" Justin yang ikut tanpa diundang, memuji dengan suara lantang.

"Berisik lo! Emang lo siapa berani ngajak nikah Pendar?" Sella menyela kesal.

"Eh, kalian nggak kenal siapa gue? Nggak apa-apa, nanti juga kenal."

Pendar mengabaikan kata-kata Justin. Ia sedang bersiap untuk naik panggung dan pidato. Ini adalah sesi paling penting, yang akan menentukan apakah dirinya bisa juara atau tidak.

"Lo lihat laki-laki pakai jas abu-abu di barisan depan? Yang duduk sama rektor dan dekan?" Deswinta berbisik padanya.

Pendar mengikuti arah jari sahabatnya. Melihat laki-laki berumur awal tiga puluhan yang terlihat berwibawa. "Siapa dia? Gue nggak kenal."

"CEO dari Good and Food Official. Namanya siapa? Tunggu, gue ingat. Ehm ... Marcel. Iya, gue ingat sekarang, namanya Marcello Razer dipanggil Pak Marcel."

Pendra mengernyit, merasa familiar dengan nama keluarga Razer, sepertinya ada seseorang yang ingat ingat menyandang nama itu, hanya saja ia lupa siapa. Ia tidak punya banyak waktu untuk berpikir saat namanya dipanggil host untuk naik ke panggung. Ada sekitar sepuluh pertanyaan dari para juri, menyangkut tentang isu sosial dan kemanusiaan, bisa dijawab dengan lancar. Selanjutnya, memberikan sedikit pidato atau opini pribadi tentang misi dan visi kalau kelak terpilih sebagai puteri kampus. Sambutan meriah, dan tepuk tangan menggelegar diterima Pendar begitu selesai tampil.

"Gila, lo kece banget. Publik speaking lo bagus!" puji Sella dengan wajah berseri-seri.

Pendar menghela napas panjang. "Gue nervous banget. Lihat, tangan sama kaki gue gemeteran."

"Nggak, apa-apa, udah berlalu. Sudah tenang. Tinggal pengumuman." Deswinta menepuk lembut punggungnya.

Pendar mengedarkan pandangan ke sekeliling auditorium yang penuh, mendengarkan gegap gempita mereka. Ia melayangkan pandangan ke barisan depan dan tanpa sengaja matanya bersirobok dengan Marcello. Pendar hanya menatap sekilas tanpa senyum, karena tidak mengenal laki-laki itu.

"Gue janji, kalau Pendar menang, bakalan traktir kalian semua!" ucap Marsel dengan penuh semangat.

"Seafood boleh?" tanya Deswinta.

"Tentu saja, Sayang. Jangan kata seafood, restoran yang paling mahal pun kita bisa datangi."

"Bener, ye? Awas bohong!"

"Swear!"

Pendar merasa terharu dengan dukungan teman-temannya. Mereka bukan hanya mendukung tapi juga memberikan support penuh untuknya. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari punya teman yang setia dan baik hati.

Waktunya pengumuman pemenang dimulai. Pendar dan kandidat yang lain diminta untuk naik ke panggung. Para host menyampaikan kata pengantar, dan selanjutnya pasangan putera dan puteri kampus yang sebelumnya naik ke atas dengan membawa selempang juara.

Pendar meremas jari jemarinya, menahan gugup. Ia teringat kata-kata Rainer untuk tetap tenang. Menang dan kalah sudah biasa. Tidak perlu takut. Padahal, niat utamanya untuk ikut ajang ini adalah ingin membanggakan Rainer. Semoga saja, niatnya tercapai.

Satu per satu juara sudah diumumkan. Dari harapan tiga sampai juara dua. Saat nama Pendar diumumkan sebagai juara satu sekaligus favorite dari para pemilih, ia mengucap doa-doa pada Tuhan. Yang mengalungkan selempang adalah puteri kampus sebelumnya. Untuk penyerahan hadiah uang dan juga sertifikat magang, dilakukan oleh Marcello.

Saat laki-laki itu memberikan dan menjabat tangannya, Pendar tersenyum ramah.

"Selamat Pendar. Akhirnya aku percaya kata-kata adikku, kalau kamu memang cantik, pintar, dan berbakat."

Pendar dilanda kebingungan mendengar perkataan Marcello. Siapa adik laki-laki itu yang sudah memujinya? Seingatnya, ia tidak punya teman konglomerat selain Rainer.

Pertanyaannya terjawab saat banyak teman memberinya selamat. Justin muncul dengan wajah berbinar-binar dan berteriak penuh kegembiraaan.

"Pendaaar! Kamu magang di perusahaan kakakku, aku jadi semangat ikut magang juga. Kita jadi rekan sekantor!"

Pernyataan Justin tentu saja mengejutkan setiap orang yang mendengar. Mereka tidak menyangka kalau Justin adalah adik dari Marcello. Pendar mendesah dalam hati saat melihat justin jingkrak-jingkrak karena merasa gembira. Ia berharap, tidak membuat masalah saat harus bekerja di perusahaan milik keluarga pemuda itu.

**

Obrolan Hati

Marsel: Mau restoran seafood yang mana? Kalian bilang aja, aku traktir.

Sella: Mau yang paling mahal. Bandar Jakarta enak kali, ya? Cari yang di pantai.

Deswinta: Boleh juga. Udah lama nggak makan di sana. Aku mau nguras uang Marsel.

Pendar: Aku pingin ikut tapi, Om nanti gimana?

Rainer: Ikut saja, Pendar. Aku nanti menyusul. Ngomong-ngomong ada hadiah istimewa untuk kemenanganmu. (Soal hadiah, Rainer sudah konsultasi dengan penulis, dan dilarang memberikan hadiah murah, terlebih hanya ciuaman.)

Justin: Yeah, akhirnya aku bisa bersama gadis pujaan! Kaaak! Mau kerjaaa!

Marcello: Pendar, nama yang unik.
.
.
.
.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah bab 30

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro