Bab 10a
"Gila, sih. Gede banget rumah ini."
"Hooh, Pak Rainer emang beneran kaya."
"Kira-kira di acari istri nggak, ya?"
"Lah, ada Pendar."
"Istri kedua, dong. Bia raja Pendar jadi istri pertama, aku daftar yang kedua."
Sella menjerit saat Pendar mencubit pinggangnya. Mereka serempak menoleh pada gadis itu. "Apaan, sih? Sakit tahu."
"Lagian, omongan nggak bisa dijaga? Siapa yang jadi istrinya, Om?"
Mereka duduk di teras samping, yang menghadap langsung ke kolam. Ada kipas angin uap besar yang membantu memberikan kesejukan di tengah terpaan cuaca panas. Ada dua piring irisan buah dengan minuman segar, dan juga sambal kacang. Pendar tidak dapat menahan diri untuk makan rujak meski baru saja sarapan.
"Gue nggak nyangka kalau bokap tiri lo brengsek!" Marsel meringis, saat menggigit mangga. "Jangan sampai ketemu gue, bisa gue mampusin dia!"
"Hussst, seenaknya aja ngomong!" tegur Deswinta.
"Lah, dia hampir merkosa Pendar!"
"Maksud gue, seenaknya aja ngomong mau mampusin. Enaknya dipotong dulu tititnya."
"Wew, jaga bahasanya. Napa jadi pada ngomong jorok!" Pendar menatap bergantian pada teman-temanya. "Ingat, ini di mana?"
"Oh, ya, bukan rumah lo. Ngomong-ngomong, Pak Rainer kemana?" tanya Sella.
"Lagi kerja."
"Kerja melulu, pantas aja kaya. Kami datang selain mau lihat kondisi rumah Pak Rainer juga mau bahas masalah pemilihan puteri kampus. Vote-nya lusa nanti. Apa lo siap?"
Pendar menatap Sella dengan bingung. "Gue disuruh ngapain?"
"Pidato itu jelas, terus pemaparan ide dan tujuan. Itu aja gue kira."
Pendar mengangguk. "Oke, semoga gue bisa."
Deswinta menepuk bahu temannya. "Lo pasti bisa. Lo pintar soalnya."
Saat Rainer muncul dalam balutan pakaian santai, mereka menyapa dengan sedikit gugup. Rainer hanya melambaikan tangan, sebelum menghilang kembali ke dalam ruang kerja. Sesaat Deswinta ternganga lalu menghela napas panjang. "Kok lo bisa survive, ya? Ngadepin ketampanan Pak Rainer. Kalau gue udah oleng tiap hari."
Marsel melotot. "Gue juga tampan!"
Deswinta mengangguk, mengacungkan dua jempol. "Seluruh dunia tahu lo tampan. Jangan kuatir."
"Napa lo masih muji Pak Rainer?"
"Gimana, ya? Selera gue emang yang berumur matang."
Marsel terdiam, menekuk leher. Terlihat sedih dan kesal mendengar pujian Deswinta pada Rainer. Ia makan buah dengan diam, sambil sesekali mencuri pandang ke arah pintu ruang tengah. Berharap Rainer tidak muncul lagi.
Melihat Marsel murung, timbul rasa kasihan dalam hati Pendar. Ia tahu persis kalau pemuda itu menyukai Deswinta tapi hubungan mereka tidak pernah akur. Si cowok yang terlalu memuja dan si cewek yang enggan menjalin cinta. Ia tidak tahu, sampai kapan Marsel sanggup menunggu Deswinta.
Menatap kolam yang jernih, pikiran Pendar tertuju pada sosok Rainer. Ia dulu seperti Marsel, rela menunggu Rainer dan bahkan bertekad untuk mencari laki-laki itu saat mereka terpisah. Ternyata, nasib dan waktu berpihak padanya. Kini mereka bersama tanpa pernah direncanakan. Pendar berharap, Marsel dan Deswinta juga sama.
Setelah tiga temannya pulang, Rainer menyuruh Pendar bersiap-siap. Mereka akan makan malam di luar. Sebelumnya, Pendar bertanya, tempat seperti apa yang akan mereka kunjungi.
"Sate, bubur ayam, atau angkringan?"
Rainer menggeleng. "Bukan, tapi restoran steak. Sudah lama aku nggak makan itu, kebetulan ada kenalan yang buka restoran baru."
Pendar menggigit bibir bawah. "Om, tempatnya nggak terlalu formal'kan?"
"Kenapa memangnya?"
"Gaunku biasa aja soalnya."
Rainer tersenyum kecil. "Kita hanya makan, bukan mau pesta. Pakai apa saja yang menurutmu nyaman. Bahkan kalau kamu pakai karung goni sekalipun, tetap cantik di mataku."
Rayuan Rainer tentu saja, diucapkan seakan tanpa beban. Tidak menyadari jantung Pendar yang berdetak lebih kencang saat mendengarnya. Tentu saja Rainer akan selalu menerima apa pun yang dipakainya. Dari dulu laki-laki itu selalu sama. Tidak pernah mengkritisi apa pun yang dipakainya.
Pendar ingat, pernah suatu hari Rainer mengajaknya makan bakso gerbang komplek. Pendar hanya memakai celana pendek, kaos, dan sandal jepit, sedangkan laki-laki itu dalam keadaan rapi karena baru pulang kuliah. Meski begitu, Rainer tidak memintanya berganti pakaian. Padahal, celana pendek dan kaosnya sangat lusuh waktu itu.
"Kok bengong? Sana, mandi dan ganti baju. Aku tunggu."
Pendar mengangguk lalu menaiki tangga, menuju kamarnya. Rainer mengikuti langkah gadis itu hingga menghilang di balkon lantai dua. Duduk di ruang tengah, ia menerima beberapa panggilan dari Leoni dan Marsel. Meski sudah meminta pada kedua asistennya untuk libur tapi mereka tetap bersikeras untuk bekerja.
Saat Pendar menuruni tangga dalam balutan minidress batik, Rainer tersenyum lebar. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Pendar terlihat segar dan menawan, layaknya bunga yang baru mekar. Rainer berharap, bisa terus merawat bunga itu agar tidak layu sebelum waktunya.
"Wah, cantik sekali. Sudah siap?" Ia mengulurkan lengan.
Pendar mengangguk. "Siap."
Menggunakan mobil sport Rainer, mereka menuju restoran. Jalanan kota cukup padat, membuat perjalanan mereka sedikit tersendat. Pendar menatap pemandangan yang dilaluinya, berupa gedung-gedung tinggi dengan lampu-lampu menyala. Sangat kontras dengan jalanan yang padat, di mana penjual makanan menempati sisi trotoar. Pembeli, penjual, pengamen, dan tukang parkir, mereka berada di satu tempat yang sama, dengan tujuan yang berbeda-beda.
Mobil Rainer berhenti di sebuah restoran berlantai dua. Musik lembut terdengar dari dalam restoran. Rainer menggandeng Pendar masuk dan mereka mendapat tempat di dekat meja bartender. Ada meja persegi yang dialasi linen putih. Dengan dua kursi empuk yang berhadapan. Di tengah meja ada vas bunga, lilin, dan dua gelas kosong. Seorang pelayan menyapa sambil memberikan buku menu.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Rainer.
Pendar yang terkagum-kagum dengan design restoran yang elegan tidak mendengar pertanyaan Rainer . Ada beberapa lampu kristal berbentuk persegi yang unik tergantung di langit-langit. Jendela restoran berbentu persegi panjang dengan tembaga sebagai pinggirannya, menambah kesan mewah.
"Pendar, apa kamu mendengarku?"
Pendar mengangguk kecil. "Iya, Om. Terserah mau pesan apa, aku nurut."
Rainer menyebutkan beberapa menu dan Pendar menyetujuinya tanpa kata.
"Bagaimana? Bagus restorannya?" tanya Rainer.
"Bagus bukan ungkapan yang tepat. Lebih cocok bila diibaratkan seorang nyonya yang anggun dan berkelas."
"Boleh juga perumpamaanmu. Lihat bukan? Para pengunjung nggak semua berpakaian formal. Kamu makan di tempat mahal, asal ada uang itu udah cukup."
"Bukannya ada restoran tertentu yang memang punya dress code?"
Rainer mengangguk. "Memang, dan biasanya restoran di hotel bintang lima atau restoran Perancis."
Hidangan pertama datang, berupa roti gandum manis, dilanjut salad sayur dengan topping daging iris. Pendar mennyendok makanannya dan berdecak nikmat.
"Gimana rasanya?"
"Enak, Om."
"Ini baru makanan pembuka, ada satu lagi yang kamu pasti suka."
Hidangan kedua berupa sunsum panggang yang isinya dituang ke atas sayuran. Menurut Pendar rasanya memang luar biasa. Menu utama berupa steak dihidangkan dalam bentuk dipanggang dengan tulangnya. Mereka membawa irisan besar yang dari keterangannya seberat satu kilo setengah. Pelayan membantu menurunkan steak dari gantungan dan mengirisnya lalu membaginya dalam dua piring.
Pendar mencium aroma yang menggiurkan dari irisan daging yang bagian dalamnya masih merah. Tulang diletakkan di atas piring panjang, tepat di tengah meja.
"Steak di sini enak, bahkan tanpa saos dan hanya ditaburi garam, rasanya sudah mantap."
Pendar mengikuti cara makan Rainer dan berdecak nikmat. "Enak banget, Om."
"Memang, temanku ini jago membuat steak. Oh, iganya bisa dimakan juga. Nanti kalau mau makan iga bisa pakai sarung tangan, disediakan."
Pendar mengangguk, menusuk daging satu per satu dan memasukkan dalam mulutnya. Rainer memesan air putih untuk minum, menghindari alkohol karena tahu kalau Pendar tidak terbiasa meminumnya.
"Mau makan iga?" tanya Rainer.
Pendar menggigit bibir bawah. Tentu saja ia ingin makan daging iga. Tapi akan merepotkan kalau makan langsung dari tulangnya. Pasti sangat aneh kalau dilihat orang. Memberanikan diri, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran dan mendapati, ternyata banyak yang kana steak langsung dari tulangnya.
"Ini, pakai sarung tanganmu."
Pendar menerima sarung tangan dan memakainya.
"Ambil yang paling besar. Aku tahu kamu jago makan daging yang masih menempel pada tulang."
"Om nggak mau?" tanya Pendar sambil mengangkat iga yang besar.
Rainer tersenyum. "Sisakan saja yang kecil untukku."
"Oke, aku nggak malu-malu lagi kalau gitu."
Pendar menggigit daging dengan kedua tangan memegang tulang panjang. Ia menikmati sensasi menyenangkan di lidah. Daging yang masih menempel pada tulang, memang cenderung lebih gurih.
"Rainer? Kebetulan sekali kita ketemu di sini."
Pendar mengangkat kepala dan melihat seorang perempuan cantik berambut pendek menyapa Rainer. Perempuan itu tersenyum manis dan saat menatap Pendar, keningnya mengernyit.
.
.
.
.
.
Bab 23 sudah tayang di Karyakarsa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro