Pantang Selingkuh
Juno menunggu Rea di depan kelasnya. Lumayan lama. Padahal jam istirahat sudah berlalu sepuluh menit.
Dua orang gadis lewat di depannya. Tertawa riang. Pandangannya mengikuti gadis itu. Juno tahu mereka adalah kakak kelasnya.
“Inne.” Seorang cowok di belakangnya memanggil. Gadis itu menoleh. Semilir angin menerbangkan rambutnya.
Juno merasa waktu begitu lambat. Sehingga membuatnya melayang, terpesona. “Cantik,” gumamnya.
Setiap melihat perempuan cantik. Juno tidak sadar kini ekspresinya mirip seperti Chu pat kay. Sissy akan tertawa jika melihat ini.
Berkali-kali Rea memanggil, tapi kesadaran Juno belum sepenuhnya turun ke bumi.
Setelah Inne jauh dari pandangan. Barulah dia sadar si pipi bulat sudah ada di depannya. Juno langsung mengajak Rea, untuk ke kantin, meski waktu istirahat tinggal 10 menit.
Di kantin Juno kembali melihat Inne. Dia tak bisa berkedip saat melihat tenggorokkan Inne bergerak menelan teh dingin. Seolah transparan teh melaju lambat dari selang menuju tenggorokkan Inne, hingga ketika teh itu sampai menyentuh dada dan melepas dahaga Inne. Juno pun ikut merasakannya. “Ahhh.”
“Kenapa, Kak?” tanya Rea yang baru saja kembali membawa dua cup mie.
“Seger,” jawab Juno. Sembari tak beralih dari Inne yang berada di sebelah mejanya.
Rea memperhatikan apa yang dilihat Juno. “Oh, kak Juno mau teh dingin? Aku pesenin ya.”
Juno tak begitu mendengar apa yang dikatakan Rea hingga gadis itu berlalu.
Jantung Juno bekerja lebih cepat, karena melihat gerakan lambat Inne yang sedang mengikat rambut.
“Nih.” Rea kembali membawa satu botol teh dingin. Dia tak menghiraukan Juno. Saat ini cacing sudah meronta-ronta meminta mie yang sudah mulai dingin.
Rea sibuk memakannya hingga tandas, sementara bell sudah berbunyi. Dia segera menenggak teh dalam botol dan menyisakan setengah untuk Juno. Tak peduli dengan cowok yang mengakuinya sebagai pacar itu. Rea pun kembali ke kelasnya.
Juno seperti kehilangan sebagian nyawanya. Dia masih tak berkedip, padahal kantin sudah lenggang.
“Mas Juno,” panggil Bu Rumi pemilik kantin itu. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Padahal Juno tidak tidur, tapi dia seperti tidur. “Kesambet jin opo iki?” Dia mereguk air putih, kumur-kumur dan menyemburkannya pada wajah Juno.
Juno terperanjat. “Kenapa saya di sembur?” pekiknya. Dia segera mengusap kasar wajahnya. “Bu Rumi, lupa gosok gigi, ya?” Juno mengernyit. Lubang hidungnya membesar. “Bau,” lirihnya, tidak sopan.
Dia mengedarkan pandangan, kantin pun sudah sepi. “ Yang lain pada ke mana, Bu?”
“Sudah masuk.” Bu Rumi melenggang pergi.
Juno menatap mie-nya yang sudah sebesar belut. Dia menghela napas. Memakannya, meski rasanya sudah tidak enak. Tapi, orang tuanya selalu mengajarkannya untuk tidak buang-buang makanan, apalagi buang-buang uang.
Tak perlu waktu lama, satu cup mie sudah berpindah ke dalam perutnya. Dia juga mengisap teh yang tinggal setengah itu. Kenapa saat dia melihat Inne melakukannya terasa begitu enak dan menyegarkan. Tapi, sekarang dia tidak merasakan itu.
Juno berjalan lesu. Dia tak begitu mendengarkan omelan Guru. Karena dia datang terlambat.
Duduk begitu saja tanpa berkata apapun.
Kinanti mencebik. Matanya mendelik tidak suka. Rupanya dia masih menyimpan dendam pada Juno. Begitupun Eka. Dia melirik Juno dengan ujung matanya.
Sementara Sissy hanya menggelengkan kepala. Teman-teman satu kelas Juno pun tak ada yang prihatin padanya. Padahal baju Juno setengah basah karena mendapat semburan dari Bu Rumi, rambutnya berantakan, dasinya terlepas dari leher.
***
Juno masih melamun, sementara teman-teman yang lain sudah membubarkan diri. Tinggal Sissy yang memiliki rasa empati padanya. Dia mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Juno. “Kenapa Jun?”
“Aku merasa aneh.”
“Apa yang aneh?” tanya Sissy penasaran.
“Seorang perempuan membawa lari setengah jiwaku, hingga aku kehilangan sebagian kesadaran,” akunya.
Satu sudut bibir Sissy terangkat ke atas. Mengejek. Jika dia tahu ini hanya karena perempuan dan perempuan, Sissy tidak sudi untuk bertanya dan pura-pura berempati.
“Aku takut, Jun. Kamu beneran jadi babi. Terus diajak maen lumpur sama nenek-nenek itu.”
Juno berdecak. “Itu cuma mimpi, Sissy Presisi.”
“Kulit kamu nanti berubah jadi ping. Bulu-bulu ini, ni.” Sissy mencubit bulu-bulu halus di lengan Juno. “Jadi pirang. Hidung kamu jadi kayak gini nih.” Sissy mendorong hidungnya sendiri dengan telunjuk.
Juno mencebik. Dia menggelengkan kepala. Aneh, di zaman modern seperti sekarang, ada orang seperti Sissy yang terlalu mempercayai mimpi yang tak masuk akal.
Rea sudah berdiri di depan kelas Juno. Dia mengangguk ramah pada Sissy.
“Pacar kamu tuh.” Sissy beranjak dan meninggalkan mereka berdua.
Sedikit malu-malu, Rea masuk ke dalam kelas Juno. “Pulang yuk, kak.”
Juno mengangguk. sebelum dia beranjak dia sempat menanyakan kenapa Rea meninggalkannya di kantin?
Rea tersenyum kering. Dia tak ada waktu lagi untuk menyadarkan Juno yang sedang melamun panjang.
Juno dan Rea berjalan beriringan di koridor menuju parkiran. Lagi-lagi Juno mematung karena gerakan Inne memakai helm mencuri perhatiannya. Napasnya naik turun. Rambut Inne yang terurai membuatnya suka, apalagi saat si pemilik itu menggoyangkan kepalanya.
“Ayo kak.” Rea sudah berada di atas motornya, sementara Juno masih mematung. Air liur turun begitu saja.
Rea menekan klakson hingga membuat Juno tersadar. Juno naik ke atas motornya dan melajukannya sesaat setelah dia memakai helm.
***
Sudah hampir satu minggu setiap dia melihat Inne, selalu saja seperti itu. Entah pelet apa yang digunakan Inne, hingga Juno kesulitan mengendalikan dirinya sendiri.
Masih di kantin. Dia meminta Rea untuk putus. Tapi, Rea tidak mau. Bagi Rea selamanya Juno akan tetap menjadi miliknya.
“Maaf Rea, tapi kita harus putus.” Meski tindakan Juno itu keterlaluan, tapi pantang baginya untuk berselingkuh.
“Maaf, Kak. Itu tidak akan pernah terjadi.” Rea membulatkan matanya, sebulat tekadnya.
Juno pergi meninggalkan Rea. Bagi Juno hubungannya dengan Rea sudah berakhir.
Dia berjalan mengikuti Inne. Tiba-tiba seorang cowok berlari ke arah Inne. Gadis berambut panjang berpipi tirus itu menolaknya, tapi, si cowok itu memaksanya.
Arjuno akan datang sebagai pahlawan, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Permisi.” Juno berjalan ke tengah mereka, sehingga tangan si cowok itu terlepas dari tangan Inne. Saat si cowok kembali meraih tangan Inne, Juno lewat kembali ke depan mereka.
Darah si cowok mulai mendidih. “Apa sih?” Dia mendorong bahu Juno.
Inne langsung meraih tangan Juno. Dan memperkenalkan Juno sebagai pacarnya.
Inne mengerjapkan mata beberapa kali. Agar Juno mau membantunya.
Dada Juno seketika membusung, dia mengulurkan tangannya, “Kenalin Arjuno,” ucapnya dengan lantang.
Cowok normal yang mengganggu Inne itu pergi, tanpa meraih tangan Juno terlebih dahulu.
Inne membuang napas lega. “Makasih ya. Maaf udah ngaku-ngaku.”
Jelas Juno tidak akan menolak, meski perkenalan mereka berawal dari hal sepele seperti itu. Juno mengangkat alisnya. “Sama-sama, Kak.”
“Jangan panggil kakak dong. Inne aja.”
Juno mengangguk.
Dia tidak sadar Rea memperhatikannya sedari tadi. Hatinya sudah sangat panas, melihat tingkah Juno. Pantas dia memutuskan begitu saja. Bahkan terlihat sangat aneh. Rea tak habis pikir, bisa-bisanya Juno menduakannya.
***
Juno turun dari motor. Berjalan dengan semangat menuju rumah. Tapi langkahnya terhenti saat dia melihat Rea sudah ada di dalam rumahnya sedang bermain dengan Jeni. Hampir setiap hari Rea datang ke rumahnya untuk bermain dengan Jeni. Tapi, Juno selalu mengabaikannya.
Bahkan, ibunya Juno sudah sangat akrab dengan Rea. Baginya Rea itu anak yang manis dan tidak macam-macam. Yang terpenting dia bisa menjaga Jeni.
Makin hari Juno sibuk dengan Inne. Dia benar-benar sudah
tidak menganggap Rea.
Bohong. Kalau Rea katakan tidak sakit hati. Jelas cara Juno mencampakkannya membuatnya sakit setengah mati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro